web analytics
Kata Mataram pada Kehidupan Masyarakat Jawa - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, ada satu pertanyaan mendasar yg bisa jadi selama ini ada dalam benak sampeyan pula. Mengapa toh, orang Jawa begitu suka dengan istilah Mataram?

Menjawab pertanyaan sederhana dan berkesan nir penting ini bisa jadi lumayan panjang, karena kita wajib mengurai serakan sejarah masa lalu yg melatarbelakangi istilah Mataram ini. Sekurang-kurangnya kita wajib membuka lembaran sejarah dua kerajaan yg memakai nama Mataram di Jawa ini. Jauh memang rentang sejarah kerajaan yg memakai nama yg sama tersebut, hampir seribu tahun.

Tentu yg pertama adalah kerajaan Mataram Hindu-Budha yg keberadaannya diperkirakan pada abad VII Masehi. Sedangkan Mataram yg ke 2 seperti yg kita tahu adalah Mataram Islam yg berdiri pada abad XVI Masehi. Kemudian, untuk menelisik kerajaan Mataram kuno maka kita wajib membincang berdirinya kerajaan Medang. Seperti yg tertulis dalam sejarah, kerajaan Medang inilah kerajaan pertama di Jawa yg meninggalkan bukti keberadaannya.

Lantas, apa korelasinya Mataram Hindu dan Medang?

Mataram, adalah satu daerah yg ada di Jawa Tengah tempat di mana awal kerajaan Medang berdiri pada abad VIII dan sekaligus menjadikan tempat tersebut pusat pemerintahannya. Selanjutnya, pusat pemerintahanya berpindah ke kota Jombang, Jawa Timur pada abad X. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yg beredar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan membangun banyak candi baik yg bercorak Hindu maupun Budha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke XI.

Secara umum dalam literatur sejarah, istilah Kerajaan Medang hanya lazim digunakan untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yg sudah ditemukan, nama Medang sudah dikenal semenjak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Sementara itu, nama yg lazim digunakan untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah satu daerah ibu kota kerajaan ini.

Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yg berdiri pada abad ke XVI, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu. Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjukladang.

Istilah Mataram kemudian lazim digunakan untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun nir selamanya kerajaan ini berpusat di sana. Seperti yg sudah saya narasikan di atas, sejatinya pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yg pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yg sudah ditemukan diantaranya ;

Medang I Bhumi Mataram (zaman Sanjaya) berpusat di Yogya dan sekitarnya.
Medang II Mamrati (zaman Rakai Pikatan) berpusat di Magelang, Jawa Tengah.
Medang III Poh Pitu (zaman Dyah Balitung) berpusat di Magelang dan sekitarnya.
Medang IV Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) berpusat di Yogya.
Medang V Tamwlang (zaman Mpu Sindok) berpusat di Jombang, Jawa Timur.
Medang VI Watugaluh (zaman Mpu Sindok) berpusat di Jombang, Jawa Timur.
Medang VII Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh) berpusat di Madiun, Jawa Timur.

Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu sekarang. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yg terletak di daerah Madiun.

Awal Berdirinya Kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, tetapi nir menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yg memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Nama Sanna nir terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Bisa jadi ia memang bukan raja Kerajaan Medang.

Kemungkinan besar riwayat Sanjaya mirip dengan Raden Wijaya (pendiri Kerajaan Majapahit akhir abad ke XIII) yg mengaku sebagai penerus tahta Kertanagara raja Singhasari, tetapi memerintah sebuah kerajaan baru dan berbeda. Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yg baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke XVI (masa Mataram Islam). Sepeninggal Sanna, negara menjadi rancu. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.

Sanna pula dikenal dengan nama Sena atau Bratasenawa, adalah raja Kerajaan Galuh yg ketiga (709 – 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta proteksi pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yg adalah raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna.

Persahabatan ini pula yg mendorong Tarusbawa merogoh Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yg adalah sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yg memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan dan Resi Guru Demunawan putera bungsu Sempakwaja (saudara termuda ipar Sanjaya). Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Dinasti yg Berkuasa
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada 3 dinasti yg pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, dan Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Syailendra yg beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Syailendra berkuasa diseluruh Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya penguasa seluruh Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Syailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati (Magelang).

Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya. Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yg pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya. Contoh yg diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yg diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun778 memuji Rakai Panangkaran sebagai permata wangsa Syailendra (Syailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Syailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai semenjak Rakai Pikatan naik tahta menggantikan Rakai Garung. Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yg bermakna penguasa di. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan Penguasa di Panangkaran. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Syailendra yg sudah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga yg selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih. Sementara itu, dinasti ketiga yg berkuasa di Medang adalah Wangsa Isyana yg baru timbul pada periode Jawa Timur. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok. Sri Maharaja Isyana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa adalah raja terakhir Kerajaan Medang yg memerintah pada tahun 9911007 atau 1016.

Asal-Usul Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yg menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isyana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.

Pada umumnya para sejarawan sepakat menyebut Dharmawangsa sebagai putra Makuthawangsawardhana. Teori ini diperkuat oleh prasasti Sirah Keting yg menyebut Dharmawangsa sebagai anggota Wangsa Isyana. Jadi kesimpulannya, Makuthawangsawardhana mempunyai dua orang anak, yaitu Mahendradatta dan Dharmawangsa. Mahendradatta menjadi permaisuri di Bali dan melahirkan Airlangga.

Sementara itu, Dharmawangsa menggantikan Makuthawangsawardhana sebagai raja Kerajaan Medang. Setelah dewasa, Airlangga diambil sebagai menantu Dharmawangsa untuk mempererat kekeluargaan. Selain prasasti Pucangan dan prasasti Sirah Keting, nama Dharmawangsa pula ditemukan dalam naskah Mahabharata bahasa Jawa Kuno, pada bagian Wirataparwa, yg ditulis pada tanggal 14 Oktober 996. Prasasti Sirah Keting pula menyebutkan nama asli Dharmawangsa yaitu Wijayamreta Wardhana.

Menyerang Sriwijaya
Berita Cina dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Cina. Utusan San-fo-tsi yg berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh tentara Cho-po.

Pada musim semi tahun 992 duta San-fo-tsi tersebut mencoba pulang tetapi kembali tertahan di Campa karena negerinya belum kondusif. Ia meminta kaisar Song supaya menyatakan bahwa San-fo-tsi berada dalam proteksi Cina. Utusan Cho-po pula tiba di Cina tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yg naik tahta tahun 991. Raja baru tersebut diduga kuat adalah Dharmawangsa Teguh.

Dengan demikian, dari info Cina tersebut mampu diketahui kalau pemerintahan Dharmawangsa dimulai semenjak tahun 991. Kerajaan Medang berhasil menguasai Palembang tahun 992, tetapi pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatra.

Mahapralaya Medang
Prasasti Pucangan mengisahkan kehancuran Kerajaan Medang yg dikenal dengan sebutan Mahapralaya atau kematian besar. Dikisahkan Dharmawangsa menikahkan putrinya dengan seorang pangeran Bali yg baru berusia 16 tahun, bernama Airlangga. Di tengah keramaian pesta, tiba-tiba istana diserang Aji Wurawari dari Lwaram dengan bantuan askar-askar Sriwijaya.

Istana Dharmawangsa yg terletak di kota Wwatan hangus terbakar. Dharmawangsa sendiri tewas dalam serangan tersebut, sedangkan Airlangga lolos dari maut. Tiga tahun kemudian Airlangga membangun istana baru di Wwatan Mas dan menjadi raja sebagai penerus tahta mertuanya.

Dari prasasti Pucangan diketahui adanya perpindahan ibu kota kerajaan. Prasasti Turyan menyebut ibu kota Kerajaan Medang terletak di Tamwlang, dan kemudian pindah ke Watugaluh menurut prasasti Anjukladang. Kedua kota tersebut terletak di daerah Jombang sekarang. Sementara itu kota Wwatan diperkirakan terletak di daerah Madiun, sedangkan Wwatan Mas terletak di dekat Gunung Penanggungan.

Mengenai alasan Haji Wurawari membunuh Dharmawangsa terjadi beberapa penafsiran. Ada yg berpendapat bahwa Wurawari sakit hati karena lamarannya terhadap putri Dharmawangsa ditolak. Ada pula yg berpendapat bahwa Wurawari adalah bawahan yg ambisius yg hendak merogoh alih kekuasaan Dharmawangsa. Prasasti Pucangan yg keadaannya sudah tua melahirkan dua versi terhadap tahun berdirinya istana Wwatan Mas.

Golongan pertama membaca nomor tahun berupa kalimat Suryasengkala yaitu Locana agni vadane atau tahun 1010 Masehi, sedangkan golongan ke 2 membacanya Sasalancana abdi vadane atau tahun 1016. Dengan demikian, versi pertama menyebut kehancuran istana Wwatan atau kematian Dharmawangsa terjadi pada tahun 1007, sedangkan versi ke 2 menyebut kejadian Mahapralaya tersebut terjadi tahun 1016.

Airlangga (Bali, 990 – Belahan, 1049) atau seringkali pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yg memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yg menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi ke 2 putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam banyak sekali cerita rakyat, dan seringkali diabadikan di banyak sekali tempat di Indonesia
Runtuhnya Kerajaan Medang

Raja Kerajaan Medang yg terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1006 Raja Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan Medang, yg tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan keponakannya yg bernama Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana raja Bali. Ia lolos ditemani pembantunya yg bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wanagiri).

Airlangga Mendirikan Kerajaan
Pada tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Pada mulanya daerah kerajaan yg diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan Medang yg membebaskan diri. Baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala di India tahun 1023.

Airlangga merasa leluasa membangun kembali kejayaan Wangsa Isyana. Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur mampu ditaklukkannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yg kuat bagai raksasa.

Airlangga kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo sekarang. Musuh wanita mampu dikalahkan, bahkan kemudian Raja Wurawari pun mampu dihancurkan pula. Saat itu daerah kerajaan mencakup hampir seluruh Jawa Timur. Nama Kahuripan inilah yg kemudian lazim digunakan sebagai nama kerajaan yg dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yg sebenarnya cuma nama ibu kota, lazim digunakan sebagai nama kerajaan yg dipimpin Kertanagara. Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti Pamwatan, 1042 dan Serat Calon Arang.

Kahuripan Sebagai Ibukota Janggala
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara ke 2 putranya. Calon raja yg sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari pada naik tahta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, dan bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun tahta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Dengan berdirinya Kerajaan Jenggala maka berakhirlah sejarah kerajaan Medang / Mataram Hindu Budha. Sekian.

Dirangkum dari banyak sekali sumber

Leave a Reply