web analytics
Ngelmu & Kawruh Dua Sisi Berbeda dalam Pandangan Penghayat Kebatinan - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Bagaimana puasanya, lancar? Semoga saja demikian. Kali ini saya tidak hendak menulis yang berfokus, yang enteng-enteng saja. Istilah pada judul di atas, saya yakin sampeyan tidak asing lagi, terlebih sampeyan orang Jawa.

Membincang wacana Ilmu serta Kawruh, seperti pada judul di atas, saya jadi teringat pengalaman beberapa tahun yang lalu. Ceritanya waktu itu saya diajak seorang sahabat sowan ke rumah pemangku salah satu peredaran penghayat Kejawen di wilayah Karanganyar, Jawa Tengah. Saya ingat benar kalimat pertama selesainya sesi basa-basi ketika itu.

Aku iki ora duwe ilmu, aku iki Jowo lugu, ngertiku mung kawruh. Pengakuan inilah yang terlontar menjadi pembuka saat kami mulai berbincang wacana wawasan spiritual Jawa. Bika diterjemahkan, pengakuan tersebut kurang lebihnya artinya, Saya ini tidak punya ilmu, saya ini orang Jawa lugu, saya tahu hanya kawruh.

Dua istilah ini berdasarkan awal sudah menarik perhatian saya, tidak ingin terlewat begitu saja serta berlanjut pada bagagan lain, maka kemudian saya tidak tahan buat tidak menanyakan perbedaan antara Ilmu serta Kawruh tersebut. lantas, apa bedanya Ilmu serta Kawruh yang sedang kita bincang ini?

Bika tidak salah ingat berdasarkan penjelasannya, Ngelmu atau Ilmu itu artinya sebentuk wejangan (petuah), sedangkan Kawruh artinya wijenan (pembenihan, berdasarkan celoteh dasar wiji yang berarti benih). Nah, karena Ngelmu itu artinya berasal berdasarkan wejangan seseorang, maka perlu dijajal (uji coba) buat membuktikannya. Sementara Kawruh itu merupakan ilmu batin (wijenan). Karena itu gak perlu dijajal, namun relatif dilakoni (dijalankan apa adanya) serta diroso pangroso (dirasakan secara batin).

Contohnya gaman (senjata), buat kita tahu kualitas tuwo atau enom kita harus mengujinya terlebih dahulu. Kata tuwo (tua) sejatinya artinya sanepan atau simbolik bahwa sesutu (gaman/senjata) misalnya, itu digdaya, sakti atau tajam. Sedangkan enom (muda) artinya merujuk pada arti kurang digdaya, kurang sakti atau tumpul. Bika kita artikan lebih spesifik gaman atau senjata itu artinya pisau misalnya, maka perlu dicoba dulu apakah pisau itu benar-benar tajam atau tidak.

Contoh di atas artinya penggambaran paling simpel buat kita pahami bagaimana Ngelmu itu berati wejangan, yang buat menunjukkan kehebatanya maka perlu kita jajal atau kita coba terlebih dahulu. Hal barusan tentu tidak sinkron secara perbedaan nyata beserta Kawruh yang gak perlu dijajal, namun relatif dilakoni atau dirasakan beserta penghayatan mata bathin yang mendalam. Sejalan beserta pengakuan Saya ini tidak punya ilmu, tapi hanya punya Kawruh di atas. Lantas, bagaimana memahami Kawruh itu?

Penjelasan paling simpel buat penggambarannya masih wacana gaman atau senjata. Saya masih ingat benar penjelasanya ketika itu, Gaman itu teko opo, yen nggawe piye, kok iso landep piye carane?. Atau kalau dalam bahasa Indonesia-nya artinya Gaman atau senjata itu terbuat berdasarkan apa, kalau menghasilkan bagaimana, kok bisa tajam bagaimana caranya?.

Penjelasan kawruh yang relatif sederhana. Mengajak kita buat nggraito (merasakan serta menghayati) dalam-dalam wacana hakekat sesuatu. Ternyata kalau kita renungkan sedikit lebih mendalam, ujaran yang mengadung tanya tersebut mengajak kita buat mengetahui muasal asal pengetahuan tersebut diperoleh serta fungsinya buat apa. Ya, dalam sistem ajar Jawa, tidak mengenal dalil-dalil yang ndakik, seperti para filosof kulonan (Barat) dalam memahami sesuatu. Bertelekan pada narasi di atas, Kawruh serta Ngelmu artinya dua hal yang tidak sinkron.

Nah, sekarang kita beranjak pada istilah wijenan. Wijenan itu merujuk pada celoteh wiji yang berarti benih. Satu permisalan saja, seumpama sampeyan saya kasih benih padi, bagaimana supaya bisa tumbuh itu benih serta sebaiknya diapakan. Cocoknya ditanam di tanah yang seperti apa, apakah ditanam di tanah pegunungan bisa tumbuh atau tidak!

Kalimat yang mengadung tanya di atas itulah klarifikasi paling sederhananya, bahwa Kawruh itu tidak sinkron beserta Ilmu atau Ngelmu (proses mendapatkan Ilmu). Artinya, proses memperoleh Ilmu didapatkan atas dasar mendapat barang jadi atas dasar wejangan (misalnya menghafalkan mantera-mantera eksklusif), serta buat tanda ada hasilnya, kita harus menjajal (mencoba) serta menujukkannya pada orang lain, atau harus ada objek yang menjadi sasaran pembuktiannya.

Sementara Kawruh gak perlu dicoba seperti apa ketangguhan, keampuhan, atau kesaktian sesuatu atas apa yang kita lakukan. Karena Kawruh itu diperoleh berdasarkan proses menghayati, merasakan, serta menjalankan kegiatan secara apa adanya (nglakoni) yang prosesnya menggunakan kekuatan batiniyah. Kawruh itu melekat pada diri kita, serta hanya akan berguna saat benar-benar dibutuhkan, bukan ditunjukkan hanya buat tanda kesaktiannya atau fungsinya, apalagi hanya buat sekedar kesombongan.

Kok tampaknya sudah menginjak pukul 02 pagi lewat, ad interim sampai disini dulu kisanak. Esensi berdasarkan celoteh atau istilah yang kita bincang ini setidaknya mengingatkan pada kita buat tidak arogan. Tidak simpel sobong hanya karena kita telah merasa mempunyai ilmu pengetahuan, apalagi sekedar gelar yang berderet-deret di awal serta akhir nama kita. Bukankah, ketika seseorang semakin tahu wacana sesuatu, semakin dalam beliau memahaminya, maka semakin beliau merasa banyak hal yang tidak beliau ketahuinya. Selamat santap sahur mumpung masih melek, semoga ramadhan ini lebih banyak mendulang pahala berdasarkan ramadhan tahun lalu. Nuwun. (Urd2210)

Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat, 01/06/2017

Leave a Reply