web analytics
Mitos Kembang Wijayakusuma serta Asal Usul Pulau Majeti - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Pada judul & gambar pelengkap tulisan ini saya percaya kerabat perkerisan tidaklah asing. Iya, Kembang Wijayakusuma. Wijayakusuma berasal dari dua istilah Jawa. Wijaya berarti menang, & Kusuma berarti bunga. Secara sederhana bisa diartikan sebagai bunga kemenangan. Baik, mari kita kaji dari segi ilmiah & mitos yang menyungkupi bunga yang pada yakini kembangnya raja-raja ini.

Epiphyllum anguliger begitulah nama latin dari bunga yang masuk dalam marga kaktus atau yang lebih familiar kita mengenalnya Kembang Wijayakusuma. Seprti galibnya kaktus yang bisa tumbuh subur pada wilayah sedang samapi tropis, pun halnya demikian juga beserta Kembang Wijayakusuma. Bunga satu ini tergolong bunga yang aneh & sarat misteri. Ketika mekar bungannya semerbak mewangi. Selain itu, bunga ini hanya mau mekar pada malam hari saja, itupun hanya sesaat kemudian melayu. Dan satu hal lagi tidak semua Kemabang Wijayakusuma dapat berbunga beserta gampang.

Kembang ini dapat dilihat beserta jelas mana bagian daun & mana bagian batangnya, setelah berumur tua. Batang pohon Wijayakusuma sebenarnya terbentuk dari helaian daun yang mengeras & mengecil. Saat masih muda rona daunnya kuning lembut. Helaian daunnya pipih, berwarna hijau beserta permukaan daun halus tidak berduri. Pada setiap tepian daun Wijayakusuma terdapat lekukan-lekukan yang ditumbuhi tunas daun atau bunga.

Bunga yang tumbuh pada karang ini, selain ada pada Nusakambangan yang dikeramatkan itu, banyak pula terdapat pada pulau Karimunjawa, Kepulauan Seribu, Bali & Madura. Bunga ini berasal dari daratan Amerika Selatan, kemudian masuk ke Cina & baru ke Indonesia pada jaman Majapahit. Nah yang menarik, mitosnya pada sebagian masyarakat Jawa, ada agama bahwa barang siapa yang mempu melihat mekarnya bunga Wijayakusuma, maka hidupnya tidak akan susah.

Berkait erat beserta Kembang Wijayakusuma ini, ada agama yang tak lekang oleh waktu. Iya, bahwa raja Mataram yang baru dinobatkan, tidak akan sah diakui mayapada kasar & halus, kalau belum berhasil memetik bunga Wijayakusuma sebagai pusaka keraton.

Mengapa harus memetik bunga itu? Tradisi memetik bunga itu didasarkan atas agama, bahwa pohon yang memproduksi bunga itu adalah jelmaan pusaka keraton Batara Kresna. Batara titisan Wisnu ini kebetulan menjadi Raja Dwarawati. Dalam satu legenda menyebutkan, pusaka keraton itu dilabuh (dihanyutkan) ke Laut Kidul oleh Kresna, sebelum beliau mangkat ke Swargaloka, pada kawasan Nirwana. Pusaka atribut Raja Kresna itu setelah dilabuh menjadi pohon pada atas batu pulau karang. Letaknya pada ujung timur Pulau Nusakambangan pada selatan Kota Cilacap.

Dalam tradisi Mataram misalnya, meski tidak terserat namun diamini oleh sebagian besar masyarakat Jawa, bahwa raja-raja Mataram (yang sudah dinobatkan) tidak akan sah diakui mayapada kasar & halus jikalau belum memetik bunga Wijayakusuma. Dalam konteks kekinian, hal ini terdengar sepele. Namun bila direnungkan lagi, ternyata ada nilai-nilai tersembunyi pada balik keyakinan itu.

Bahwa seorang raja yang sanggup memetik bunga Wijayakusuma, dipastikan ia adalah seorang yang mentalnya tergembleng beserta baik. Sebab untuk dapat memetik bunga Wijayakusuma dalam keadaan mekar, seseorang harus memiliki kesabaran tinggi. Bunga Wijayakusuma hanya akan mekar sesaat & waktunya pada malam hari saja.

Dan mekarnya kelopak bunga misterius ini tidak dapat diperkirakan waktunya. Belum tentu dalam setahun bunga ini akan mekar. Maka, seorang raja yang berhasil memetik bunga ini, berarti ia telah melewati penantian yang panjang beserta penuh kesabaran & perjuangan yang berat. Sebab ia tidak tumbuh disembarang tempat.

Ada beberapa tempat pada Cilacap yang dari zaman Kerajaan Mataram hingga Orde Baru berkuasa, secara berkala disambangi para petinggi negara, terutama bila mereka tengah menghadapi persoalan berat. Tempat-tempat ini sangat dikeramatkan. Para pejabat itu kadang datang sendiri secara diam-diam, namun terkadang menyuruh utusan.

Di lokasi keramat Jambe Pitu & Jambe Lima pada sebuah bukit pada Srandil, Kec. Adipala atau sekitar 15 km arah timur Kota Cilacap, serta Gua Masigit Selo & Pulau Majeti, Nusakambangan, mereka bersemadi mengharap wahyu yang berisi petunjuk untuk merampungkan persoaannya. Di pulau Majeti, Nusakambangan inilah bunga Wijayakusuma tumbuh.

Kisah kesaktian bunga Wijayakusuma sendiri tercatat dalam Babad Tanah Jawa. Tidak hanya raja-raja Mataram yang wajib mendapatkan pusaka itu agar singgasananya langgeng. Namun sebelumnya, keturunan Majapahit pun mencari bunga ini. Keberadaan bunga Wijayakusuma, kecuali pada lokasi terpencil & terjal, juga dijaga pasukan gaib yang bermarkas pada Jambe Pitu & Jambe Lima.

Itulah sebabnya, tidak sembarang orang bisa ke sana, apalagi mendapatkan bunga itu. Hanya orang-orang tertentu & memiliki kelebihan khusus yang bisa mendapatkannya. Pada jaman raja-raja Mataram dulu, untuk bisa memperoleh bunga Wijayakusuma ini harus memenuhi beberapa persyaratan.

Konon, Jaman dahulu kala pada wilayah Jawa Timur (Kediri) ada MahaRaja yang menyandang gelar Prabu Aji Pramosa. Raja tersebut memiliki watak keras, beliau pantang tunduk kepada siapapun. Raja tersebut tidak suka setiap ada orang pada negaranya yang kelihatan menonjol atau mempunyai pengaruh. Petugas sandi (intel) Kerajaan disebarkan pada setiap penjuru kerajaan & akhirnya ada laporan bahwa pada dalam kerajaan tersebut ada Resi yang sudah terkenal sebab kesaktiannya. Resi tersebut bernama Resi Kano, yang bergelar Kyai jamur.

Kesaktian Kyai Jamur akhirnya terdengar pada telinga Raja. Raja Prabu Aji Pramosa sangat bingung jikalau hendak menangkap rakyat yang tidak punya salah itu harus ada buktinya. Akhire raja mengundang Patih Hulubalang, Senapati & pejabat utama kerajaan tujuannya mencari cara untuk mengatasi Resi sakti tersebut. Setelah mendapat saran dari pajabat kerajaan, raja langsung memutuskan : Untuk menjaga keselamatan kerajaan & raja, Kyai Jamur harus diusir dari kerajaan atau dibunuh sekalian, seperti itulah titah sang raja.

Berita agenda raja tersebut cepat beredar, akhirnya juga terdengar oleh Kyai Jamur. Beliau memutuskan sebelum utusan kerajaan tiba, beliau harus mendahului meninggalkan negeri itu.

Mendengar bahwa Kyai Jamur sudah tidak ada pada tempatnya, sang Aji Pramosa tambah jengkel, Raja terus memberikan perintah kepada punggawa kerajaan agar mengejar & menangkap Kyai Jamur, Resi harus dipenjara. Sebagai alasan Raja, Resi dianggap salah sebab pergi tanpa izin kepada raja. Sang Resi berjalan terus sepanjang pantai laut selatan yang akhirnya sampai pada tempat yang bernama Cilacap, Resi merasa bahwa Cilacap sepertinya wilayah yang aman sebagai persembunyian dari pengawasannya Raja.

Raja tidak pernah berhenti mencari & mengejar Sang Resi pokoknya harus tertangkap. Sesudah dicari kemana-mana akhirnya Raja menemukan persembunyian Resi. Aji Pramosa & pasukannya sampai ketika waktu Resi bertapa, mengetahui Resi sedang bertapa tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Sang Resi langsung pada tangkap terus dibunuh. Tapi sebab Sang Resi adalah orang sakti mandraguna jasadnya menghilang (moksa, .Jawa). Raja menjadi heran bercampur ketakutan. Belum hilang ketakutannya, Raja dibuat kaget lagi beserta adanya suara gemuruh angin rebut pada tengah laut.

Aji Pramosa berusaha tetap tenang menghadapi berbagai peristiwa yang mengerikan itu. Suara gemuruh & anginpun reda, namun pada saat yang sama datanglah seekor naga besar mendesis-desis seolah-olah hendak melahap Aji Pramosa. Gelombang laut menjadi besar bergulung-gulung, hingga banyak penyu (kura-kura) menepi ke tepi pantai. Pantai itu dikemudian hari disebut Pantai Telur Penyu. Dengan sigapnya sang Aji Pramosa segera melepaskan anak panahnya, ternyata tepat mengenai sasaran, perut nagapun robek terkena panah & naga hilang tergulung ombak.

Rupanya naga tadi jelmaan dari seorang putri cantik yang muncul beserta tiba-tiba sambil berlarian pada atas gulungan ombak dari arah timur pulau Nusakambangan. Sang putri ayu menghampiri Aji Pramosa sembari mengucapkan terima kasih sebab berkat panahnya ia bisa berubah menjadi kembali menjadi manusia. Sebagai rasa terima kasih, putri cantik tadi menghaturkan bunga Wijayakusuma kepada sang Aji Pramosa. Sang putri mengatakan Kembang Wijayakusuma tidak mungkin bisa diperoleh dari alam biasa, barang siapa memiliki kembang itu bakal menurunkan raja-raja yang berkuasa pada tanah Jawa.

Selanjutnya putri cantik memperkenalkan diri, namanya Dewi Wasowati. la berpesan, kelak pulau ini akan bernama Nusa Kembangan. Nusa artinya pulau & Kembangan artinya bunga. Seiring pergantian jaman, nama Nusa Kembangan akhirnya berubah menjadi Nusakambangan. Prabu Aji Pramosa sangat girang hatinya menerima hadiah kembang itu, kemudian beserta tergesa-gesa ia mengayuh dayungnya untuk kembali menuju daratan Cilacap, tetapi sebab terlalu gugup & kurang hati-hati, kembang itu jatuh ke laut & hilang tergulung ombak, beserta sangat menyesal sang Aji Pramosa pulang tanpa membawa kembang.

Beberapa lama setelah sang Prabu berada pada kerajaan, terbetik berita bahwa pada pulau karang dekat Nusakambangan tumbuh sebuah pohon aneh & ajaib, beliau pun ingin menyaksikan pohon aneh yang tidak berbuah itu & ternyata benar bahwa pohon itu tidak lain adalah Cangkok Wijaya Kusuma yang ia terima dari Dewi Wasowati. Melihat pohon itu, sang Aji Pramosa teringat akan istilah-istilah Dewi Wasowati bahwa siapa yang memperoleh kembang Wijayakusuma akan menurunkan raja-raja pada tanah Jawa.
Peristiwa terjadinya kembang Wijaykusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri itu setelah bertahun-tahun menimbulkan agama bagi raja-raja pada Surakarta & Yogyakarta. Menurut cerita, setiap ada penobatan raja baik Susuhunan Surakarta maupun Kesultanan pada Yogyakarta mengirim utusan 40 orang ke Nusakambangan untuk memetik kembang Wijayakusuma.

Sebelum melakukan tugas pemetikan, para utusan itu melakukan ziarah ke makam-makam tokoh leluhur pada sekitar Nusakambangan seperti pasarehan Adipati Banjaransari pada Karangsuci, Adipati Wiling pada Donan, Adipati Purbasari pada Dhaunlumbung, Kyai Singalodra pada Kebon Baru & Panembahan Tlecer pada Nusakambangan. Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma pada Gilirangan & Kyai Khasan Besari pada Gumelem (Banjarnegara).

Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan & sedekah kepada fakir miskin. Malam berikutnya nepi (bermalam) pada Masjid Sela. Masjid Sela adalah sebuah gua pada pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid. Pemetikan kembang Wijayakusuma juga dilakukan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, yaitu saat Sunan Pakubuwono XI baru jumenengan (dinobatkan sebagai raja).

Bahkan adat leluhur ini konon sudah dilakukan jauh sebelum itu. Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia rnenobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya. Menurut seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilaksanakan pada Ajibarang pada lepas 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat dikejar Trunojoyo.

Menurut keterangan, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak beserta tangan tetapi beserta cara gaib melalui semadi. Sebelumnya para utusan raja melakukan upacara melabuh" (sedekah laut) pada tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibalut terlebih dahulu beserta cinde sampai ke atas. Dengan berpakaian serba putih utusan itu bersemadi pada bawahnya, jikalau memang semedinya terkabul, kembang Wijayakusuma akan mekar & mengeluarkan bau harum.

Kemudian bunga itu jatuh beserta sendirinya ke dalam kendaga yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya kembang tersebut dibawa para utusan ke Kraton untuk dihaturkan ke Sri Susuhunan / Sri Sultan. Penyerahan itu pun dilakukan beserta upacara tertentu, konon kembang itu dibuat sebagai rujak & disantap raja yang hendak dinobatkan, beserta demikian raja dianggap syah & dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya.

Mitos tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan pada pantai selatan. Ada sejenis ikan yang mereka keramatkan yaitu ikan Dawah (dawah artinya jatuh). Ikan ini dianggap jelmaan dari daun pohon Wijayakusuma yang berjatuhan pada laut. Para nelayan itu sangat berpantang memakan ikan Dawah, mereka takut mendapat bencana atau malapetaka. Umumnya mereka menolak rezeki Tuhan yang satu ini padahal dagingnya empuk & cita rasanya lezat. Pengaruh Mitos ini juga melahirkan upacara budaya sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Sura, mereka melarung rezekinya ke laut pantai selatan. Nuwun.

Referensi :
Babad Tanah Jawa

Disarikan dari berbagai sumber terpilih beserta editing penyelarasan bahasa.

Leave a Reply