web analytics
Jelajah Suku Anak Dalam Makan Kelelawar Hingga Biawak [2] - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Tulisan yg kerabat perkerisan baca ini ialah kelanjutan goresan pena sebelumnya. Sengaja saya tulis berseri, supaya panjenengan tidak jenuh dalam membacanya.

Orang Rimba mengenal hutan dengan isinya sebaik mereka mengenal telapak tangan mereka sendiri. Orang Rimba tidak akan tersesat kepada hutan mereka. Saya gambarkan disini, kepada dalam rimba muncul jalan-jalan setapak yg menjadi jalur lintas pokok. Keadaan tadi persis seperti pulau Sumatera yg memiliki jalur lintas tengah, jalur lintas timur dan jalur lintas barat menjadi jalur jalan pokok, atau kepada pulau jawa yg memiliki jalur pantura dan jalur selatan. Satu tempat dengan tempat lain dihubungkan dengan jalan-jalan yg praktis dikenali. Orang luar yg baru pertama kali masuk rimba dijamin tidak akan tersesat bila jeli mengikuti jalan lintas tadi.

Dari penuturan Pak Te, jalur-jalur jalan kepada dalam hutan selalu bekerjasama dengan jalan-jalan lain yg semuanya bisa menuju keluar hutan. Artinya seseorang bisa masuk rimba dari suatu tempat kepada wilayah timur dan bisa keluar kepada tempat lain kepada wilayah barat, utara atau selatan. Misalnya seseorang yg masuk rimba dari wilayah desa Bukit Suban (wilayah kabupaten Sarolangun) yg berada disebelah selatan Taman Nasional bisa keluar melalui desa Tanah Garo (wilayah kabupaten Bungo) yg berada kepada sebelah utara taman.

Mengenali jalan Orang Rimba sangat praktis. Namun demikian jangan dibayangkan jalur jalan kepada dalam rimba sama seperti jalur jalan kepada pedesaan yg dibersihkan dari apapun dan diratakan. Jalur jalan didalam rimba hanyalah jalan setapak. Sangat sulit melewati jalan tadi bila bersisian. Berjalan disana harus beriringan. Lebar jalan paling-paling lebih kurang 1/2 hingga satu meter. Jalan kepada rimba terjadi lantaran tanah acapkali dilewati menjadi akibatnya tidak ditumbuhi tanaman lantaran meninggal terpijak.

Jangan kaget bila ditengah jalan melintang kayu bundar akbar. Tidak tanggung-tanggung, diameter kayu yg melintang bisa lebih dari 1 meter. Kita harus melompatinya bila ingin terus. Kadangkala kayu yg melintang sekalian dijadikan jalan oleh Orang Rimba. Apabila melintasi sungai mungil, Orang Rimba biasanya membuat jembatan dengan merobohkan btg-btg kayu melintangi sungai tadi. Namun tidak sporadis jalan berakhir kepada pinggir sungai. Artinya kita harus menyeberangi sungai dengan masuk ke air. Di seberang sungai kita akan disambut jalur jalan berikutnya.

Sebagaimana kita juga, berjalan tidak pernah menjadi kasus yg sulit bagi Orang Rimba. Bagusnya lagi tidak muncul orang cacat diantara Orang Rimba menjadi akibatnya mereka semua bisa berjalan normal, dan cepat. Mereka merupakan pejalan-pejalan yg tangguh. Kecepatan mereka berjalan sangat rupawan. Bisa dikatakan sepadan dengan kecepatan dan ketangguhan berjalannya orang Baduy Dalam, Lebak, Banten. Saya jadi teringat ketika masuk Baduy Dalam dari pintu masuk Ciboleger, ketika itu saya mengikuti ritme Mang Idong pemandu kami yg kebetulan orang Baduy Dalam. Waktu itu saya ingin mengetahui seberapa cepat Mang Idong berjalan. Ketika Mang Idong bertanya telah lelah apa belum, saya selalu menjawab belum. Hasilnya luar biasa, baru 20 menit berjalan saya telah kehabisan nafas dan terkapar. Jantung serasa mau meledak. Kepala nyut nyut. Referensi buat KONI ingin mencari bibit atlet buat cabang jalan cepat, Orang Rimba dan Baduy patut dipertimbangkan.

Sejak mungil, Orang Rimba merupakan pejalan kaki. Kemanapun, baik kepada dalam hutan maupun keluar hutan, Orang Rimba melakukan bepergian dengan jalan kaki. Efeknya luar biasa. Mereka tidak muncul yg mengalami kegemukan. Tidak muncul yg berperut buncit dan leher menggelambir. Perempuan Rimba selalu langsing. Meskipun baru saja melahirkan, tubuh perempuan rimba tidak menjelma kegemukan. Agaknya orang-orang kota perlu mencontoh Orang Rimba supaya tidak mengalami obesitas, yakni berjalan kaki kemana-mana.

Orang Rimba kepada umumnya memakai sandal ketika berjalan kaki. Namun sepertinya tanpa sandalpun tidak terlalu menjadi soal. Yang dikhawatirkan bila tanpa sandal hanyalah duri yg berpotensi menusuk telapak kaki. Orang Rimba memiliki telapak kaki yg bertenaga dan keras yg akan terjadi dari bepergian bertahun-tahun. Kelemahan telapak kaki mereka hanyalah jalan aspal yg panas dan duri.

Hasil kebiasaan berjalan selama hayati menjadikan Orang Rimba tidak saja pejalan cepat tetapi juga pejalan yg pintar mengatur ritme berjalan. Hanya kepada tempat-tempat tertentu mereka berhenti. Seolah-olah muncul tempat-tempat spesifik yg sengaja disiapkan buat beristirahat kepada sepanjang jalur jalan. Agaknya mereka enggan berhenti kepada sembarang tempat, persis seperti kereta api yg hanya berhenti kepada stasiun. Biasanya tempat berhenti ditandai dengan adanya btg-btg kayu sebesar lengan yg digunakan menjadi tempat duduk.

Apabila kita berjalan kepada dalam rimba, ingat menyiapkan penangkal pacet penghisap darah, contohnya tembakau. Pacet sangat menyukai darah manusia. Jadi kalau berjalan ingat acapkali-acapkali melihat kaki. Tanpa kita sadari, sang pacet boleh jadi telah menguras darah kita. Bayangkan darah yg akan terjadi makan sehari ternyata hanya dipersembahkan kepada pacet. Orang Rimba sendiri biasa terkena pacet, apalagi kita. Bagusnya pacet hanya banyak kepada hari-hari lembab, yakni dimana hujan belum usang turun. Bila demam isu terang, pacet sporadis kita temui.

Taman nasional Bukit Duabelas ialah wilayah tangkapan air buat sungai Batanghari yg merupakan sungai terbesar kepada Jambi sekaligus satu dari sungai terbesar kepada Indonesia. Di dalam tempat mengalir sub wilayah sirkulasi sungai Makekal, Kejasung dan Air Hitam Ulu. Sungai-sungai mungil mengalir ke ketiga sungai tadi yg kemudian mengalir ke sungai Batanghari. Bentuk sirkulasi sungainya seperti serabut akar.

Di dalam tempat tempat hayati Orang Rimba Air Hitam kepada wilayah selatan-barat daya taman nasional tidak muncul sungai akbar. Sungai-sungainya mungil-mungil, menjadi akibatnya lebih mirip selokan lantaran sirkulasi airnya kepada umumnya memiliki ukuran terlebar tidak lebih dari 2 meter. Airnya juga sangat dangkal, tidak hingga setinggi lutut. Bila tidak keruh dasar sungai terlihat sangat terang. Ikan-ikan yg bersliweran kepada dalam air bisa dicermati seperti melihat ikan kepada dalam aquarium.

Sungai kepada dalam rimba ialah sumber air minum bagi Orang Rimba. Mereka meminum air langsung tanpa dimasak dahulu. Sama persis dengan orang Baduy Dalam, Orang Rimba pun berpantang buat membuang kotoran ke dalam air. Membuang hajat kepada air sangat ditabukan, bahkan memakai sabun pun ditabukan. Bila mereka ingin membuang hajat, maka itu dilakukan kepada darat. Istilahnya ialah bingguk. Untuk membersihkan diri, Orang Rimba memakai daun-daunan atau kulit kayu, yg disebut dengan kata becuka.

Bahaya Rimba
Orang Rimba mengenal hutan sama baiknya seperti mengenal telapak tangannya sendiri. Orang Rimba sangat mengenal pertanda bahaya yg muncul didalam hutan. Misalnya muncul angin kencang mereka tidak akan melakukan bepergian malam hari lantaran ancaman kejatuhan cabang-cabang pohon yg runtuh. Demikian juga apabila mereka menunjuk tempat buat mendirikan bubung, mereka akan menunjuk tempat dimana tidak muncul cabang-cabang pohon diatas mereka yg memiliki kemungkinan runtuh.

Seperti yg telah saya narasikan kepada atas. Bahaya lain kepada dalam hutan ialah lintah. Binatang penghisap darah ini nisbi ditakuti lantaran konon kabarnya bisa masuk ke lubang dubur. Kalau telah begitu sangat sulit buat kepada keluarkan. Dalam hal ini, Bang Mangku sempat cerita kepada saya ditengah istirahat kepada basecamp perkebunan sawit tempat kami menginap sebelum melanjutkan bepergian keesokan harinya. Bang Mangku menuturkan, buat mengeluarkan lintah, maka perut harus diasapi dan dipanasi. Baru kemudian lintah itu mau keluar.

Seperti yg kita memahami, lintah biasanya hayati kepada air. Oleh karenanya kepada dalam rimba mesti berhati-hati bila sedang kepada dalam air. Sebenarnya muncul binatang penghisap darah yg lain yg hayati kepada darat, yakni pacet. Namun berbeda dengan lintah, pacet tidak dianggap berbahaya. Terkena pacet merupakan hal biasa. Tapi toh meski demikian, setetes darah yg dihisap pacet mungkin merupakan yg akan terjadi kita makan seminggu.

Beruang ialah binatang mamalia akbar yg paling ditakuti. Bertemu beruang bisa berarti petaka. Sudah acapkali terjadi Orang Rimba terluka lantaran diserang beruang. Saudara ipar Bang Mangku pernah diserang beruang hingga menyebabkan kakinya sobek. Menurut mitologi Orang Rimba, beruang beserta dengan ulo (ular), kalo (kalajengking) dan tikus merupakan binatang yg berasal dari neraka menjadi akibatnya selalu bermusuhan dengan manusia. Itulah makanya Orang Rimba dalam bepergian membekali dirinya dengan Kecepek (senjata api rakitan).

Jika contohnya kerabat perkerisan seseorang survival sejati, hayati beserta Orang Rimba lah komunitas yg paling komplit. Bagaimana tidak, binatang mamalia mungil seperti kelelawar biasa mereka ambil kemudian buat dimakan. Landak dan kancil ialah binatang favorit bagi Orang rimba.

Tidak nisbi hingga disini, TNBD ialah habitatnya berbagai jenis ular. Namun yg paling banyak disini ialah jenis ular sawah. Orang Rimba menyebutnya ulo sawo. Nah, ulo sawo inilah yg paling banyak diburu. Daginyanya kepada makan. Kulitnya disamak dan dijual. Hal yg sama juga buat biawak, mereka memburunya buat kemudian dagingnya dimakan dan kulitnya kepada jual. Tapi buat simpanse, Orang Rimba berpantang buat memakannya. Bagi Orang Rimba, simpanse satu famili dengan manusia oleh karenanya pantang dimakan.

Sebenarnya banyak binatang air yg dimanfaatkan oleh Orang Rimba. Berbagai jenis ikan, seperti ikan huloton, limbat, ikan tano dan semacamnya dipancing buat diijadikan lauk. Demikian juga berbagai jenis siput dan katak mereka makan. Labi-labi ialah binatang air sejenis penyu yg sangat terkenal. Lehernya panjang. Labi-labi selebar telapak tangan dengan berat 1 kg akan memiliki leher paling pendek sejengkal atau lebih kurang 20 cm. Moncongnya mirip penyu koordinator babi. Karapak punggungnya tidak keras. Keberadaannya telah sangat sporadis. Orang Rimba biasa mengambilnya dengan cara memancing atau mencari-cari didalam air dengan sejenis tombak yg disebut tiruk. Alat ini sebesar jari tangan yg semakin ke ujung semakin meruncing.

Buaya yg menurut cerita juga terdapat kepada sungai-sungai dalam rimba menjadi mitos tersendiri. Penduduk desa lebih kurang selalu mengagumi kemampuan Orang Rimba menaklukkan buaya. Mereka berani terjuan ke sungai yg muncul buayanya dan dengan tangan kosong menangkap buaya. Apabila muncul buaya yg tertangkap, kulitnya diambil dan dijual. Bersambung……

Leave a Reply