web analytics
Hikayat Sultan Mahmud atau Kyai Jejeruk - DUNIA KERIS

AKARASA Syahdan, Sultan Mahmud beserta para bencana tentaranya terombang ambing di tengah Samudera. Semakin usang ombak semakin besar menerjang kapal Sultan dan pengikutnya. Kapal pecah sesudah membentur karang, seluruh barang bawaan terhanyut oleh gelombang yang datang. Tinggal Sultan Mahmud dan pengawal setianya yang bertumpu di kayu sisa pecahan kapalnya.Potongan kayu sisa pecahan kapal yang dirancang pegangan berdua dengan sang patih akhirnya menepi di sebuah pantai dekat perbukitan. Tak berapa usang didera kebingungan ada seorang pencari ikan yang melintas. Dipundak lelaki tersebut ada kepis (wadah ikan asal bambu anyam). Lalu kepada lelaki itu Sultan Mahmud bertanya."Ini adalah kawasan bukit Bonang. Di atas sana ada seorang lelaki yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang…" belum selesai lelaki pencari ikan itu bicara Sultan Mahmud menyela. "Kisanak antarkan aku ke Sunan Bonang sekarang juga," pintanya tergesa.Lalu Sultan Mahmud diantar oleh lelaki itu ke sebuah gubug di puncak bukit. Ada ragu di dalam hatinya melihat gubug yang tak layak untuk seorang yang terkenal macam Sunan Bonang. Lama tercenung melihat gubug itu namun ketika hendak bertanya kepada pencari ikan yang mengantarnya, ternyata lelaki itu telah pergi. Saat keraguan itu semakin mendera hatinya, Sultan berniat kembali ke pantai mencari lelaki pencari ikan yang tadi mengantarnya. Untuk mengucapkan terimakasih dan memastikan apakah gubug tersebut adalah tempat tinggal tinggal Sunan Bonang. Ketika hendak berbalik tiba-tiba sebuah suara muncul asal dalam tempat tinggal. "Sultan Mahmud, seandainya kau hendak mencari kebenaran akulah Sunan Bonang. Namun seandainya engkau hendak mencari kemewahan kembalilah ke Minangkabau di kerajaanmu!". Sultan Mahmud terhenyak mendengar suara itu. Lebih heran lagi, ketika sultan Mahmud masuk ke dalam gubug yang disebut tak layak tersebut. Saat kaki kanannya masuk ke dalam tempat tinggal dadanya bergetar hebat. Seperti ada kegelisahan yang entah beliau sendiri tak mampu menggambarkannya. Getaran hebat itu menuntunnya pada sebuah kedamaian yang tak pernah dirasakannya selama ini. Tiba-tiba air matanya meleleh, mengucur begitu deras. Merasakan bahwa dialah orang paling arogan di global ini. Sebuah titik kesadaran yang tiba-tiba saja merasuk ke sanubarinya. Entah datang asal mana.Lelaki bersahaja keluar asal dalam tempat tinggal. Membawa kepis kemudian disodorkan kepada sang Sultan. Sultan Mahmud hanya berfikir, bukankah kepis itu milik pencari ikan yang tadi mengantarnya ke gubug ini? "Benar Sultan. Ini adalah milik pencari ikan yang tadi mengantarmu. Akulah pencari ikan itu. Kini bukalah kepis ini, bukankah ini yang kau risaukan selama ini," ucap Sunan Bonang.Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, segera Sultan Mahmud membuka kepis yang disodorkan Sunan Bonang. Benar, ternyata kitab-kitab yang dibawanya asal Minangkabau. tadi telah disebut hilang oleh Sultan ketika kapal pecah dihantam ombak. Hati Sultan Mahmud semakin yakin bahwa Sunan Bonanglah orang yang beliau cari selama ini. Goncangan dadanya semakin kencang antara bahagia dan terharu bertemu sang Guru.Hatinya menjerit bahagia. Meluruhkan syukur dan pengakuan kemaha besaran Allah, Tuhannya. Semakin deras air matanya mengucur membasahkan kegelisahan. Kegalauan yang menderanya selama ini."Benar kanjeng Sunan. Dan karena kitab-kitab inilah yang membuatku mengembara sejauh ini," ucap Sultan mahmud memulai cerita. Bahwa Sultan Mahmud mendapatkan hibah asal Raja Minangkabu, ayahnya. Namun beliau sendiri tidak mampu menafsirkan makna kitab-kitab miliknya. Kegelisahan semakin mendera hatinya asal hari ke hari. Hingga suatu ketika beliau mendapatkan semcam perintah untuk pergi ke pulau jawa. "Hanya ulama di sana yang mampu mengajarkanmu makna terdalam asal hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," kata suara tersebut.Maka berlayarlah Sultan Mahmud bersama pasukannya menuju pulau jawa. Pertama mula beliau sudah mendengar kehebatan Kasultanan Banten. Maka pelabuhan pertama ketika beliau berlayar adalah Kasultanan Banten. Namun Sultan Mahmud wajib menahan kekecewaan. Karena para pujangga dan ulama-ulama di Kasultanan Banten tidak ada yang mampu memberi jawaban. Justru menyarankan Sultan untuk terus berlayar ke timur. "Di timur pulau jawa Sultan akan temukan orang yang tepat," ucap Sultan Banten kala itu.Perjalanan dilanjutkan ke timur. Mendengar kehebatan orang-orang Cirebon akhirnya sang Sultan berhenti di Kasultanan Cirebon. Takjub sang Sultan melihat kesederhanaan masyarakat Cirebon. Kasultanan yang begitu damai menyambutnya sebagai famili. Namun kitab sang sultan tetap juga tak mampu dibabar di sana. Sama dengan Kesultanan Banten, Sultan Cirebon juga menyarankan Sultan mahmud untuk pergi ke timur."Hingga akhirnya aku terdampar dan kini menghadap kanjeng Sunan Bonang. Saya berharap Kanjeng Sunan sudi mengangkat aku menjadi siswa dan mengajarkan aku tentang hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," pinta Sultan Mahmud pada Sunan Bonang.Sunan Bonang mendapatkan Sultan Mahmud menjadi siswa. Mengajarkan tentang kebenaran dan hakikat hidup. Menafsir terjemahkan makna yang terkandung dalam kitab pemberian ayah Sultan Mahmud. Terjawab sudah kegelisahan Sultan Mahmud selama ini. Merasakan anugerah maha besar karena dipertemukan kepada sang guru yang mampu membimbingnya. Menuntun kepada kebenaran dan hakikat kesadaran.Telah agak yang kau pelajari di bukit ini. Kita telah bersama mencecap kemahabesaran Tuhan. Kini yang terakhir permintaanku, ucap Sunan Bonang pada Sultan Mahmud. Kau mesti bertapa berdiri. Dipilihkan sebuah tempat di sebelah utara bukit tempat Sunan Bonang tinggal. Sultan Mahmud memulakan tapanya. Keyakinan yang begitu dalam pada sang guru menciptakan Sultan Mahmud begitu ihlas dan patuh. Tidak ada kehendak untuk bertanya apalagi membantah perintah. Dalam hatinya hanyalah cinta dan kesetiaan pada sang guru yang telah membimbingnya. Karena baginya apapun yang dikatakan guru adalah kebenaran."Janganlah kau beranjak asal tempat ini sebelum aku kembali," ucap Sunan Bonang sambil menanam dua biji asam jawa di sebelah kanan dan kiri Sultan Mahmud berdiri. Sunan Bonang kemudian kembali meneruskan kegiatannya dalam mengajar siswa. Sedang Sultan Mahmud tetap berdiri dalam kepatuhan. Tapa Nggejejer (berdiri) dan theruk-theruk (berdiam). Kelak tampat tersebut terkenal dengan sebutan Jejeruk. Berawal asal kalimat Nggejejer dan Theruk-theruk, Berdiam dengan berdiri memohon dibukakan pintu mata dan hatinya. Mengikuti perintah sunan Bonang, sang guru.Saat Sunan Bonang kembali pohon asam yang ditanam telah tumbuh besar. Sultan Mahmud masih berdiri di sana sebagaimana perintahnya. Gambaran kepatuhan seorang siswa kepada guru sejatinya."Seberapa usang yang kau rasakan waktu ketika aku meninggalkanmu berdiri bertapa Sultan Mahmud?" tanya Sunan Bonang.
"Saya merasakan beberapa ketika saja guru. Tidak dalam waktu yang agak usang. Karena aku merasakan estetika sebagaimana yang guru sampaikan. Bahwa aku tidak merasakan apapun kecuali Tuhan yang menggerakkan seluruh nadi hidup ini. Taka ada yang terdengar tak ada yang terasa kecuali kemahabesaran Tuhan semata. Namun sepertinya kanjeng Sunan meninggalkan aku antara waktu zuhur sampai asar. Tak lebih asal lima jam aku berdiri di sini," ucap Sultan Mahmud."Kini kembalilah kau ke Minangkabau. Seluruh rakyatmu telah menantimu di sana. Usai sudah proses perjalananmu. Kitab yang kau bawa telah kau temukan makna terdalamnya," pinta Sunan Bonang."Terimakasih atas titah Kanjeng Sunan. Bahwa kitab yang aku bawa telah tepat memberikan ajaran kepada kita. Apabila diperbolehkan maka hamba ingin memohon satu hal. Bahwa Kerajaan beserta kemewahannya telah aku tinggalkan. Damai di sini bersama Kanjeng Sunan dalam darma. Lalu apakah aku wajib kembali menapaki hari-hari risau dalam gelimang kemewahan global. Sedang hatiku tidak lagi berada di sana. Telah nyawiji bersama alam ini dalam memuji. Maka perkenankanlah aku mengajak isteri aku untuk mencecap estetika perjalanan di sini. Bahwa global telah berjalan sebagaimana adanya. Bahwa kerajaan telah terpimpin dengan adil oleh yang memegang amanah. Sebagai siswa Bonang aku tidak mau menjadi raja yang dzolim. Raga di sana namun jiwa jauh berada di bukit ini bersama kanjeng Sunan," pinta Sultan Mahmud.Dan permintaan itu disetujui oleh Sunan Bonang. Bahwa hidup dan perjalanan telah dipilih Sultan Mahmud. Dia telah menunjuk untuk meninggalkan gelimang global. Merasa lebih damai nyawiji bersama alam dalam kesederhanaan dan tanpa beban. Menyisakan kisah dan sejarah perjalanan untuk generasi berikutnya.

Akhirnya Sultan Mahmud beserta Siti Asiyah, isterinya menghabiskan hidup di sana. Sebelah utara pasujudan Sunan Bonang. Di Puncak asal bukit Watu Layar, Desa Binangun Kecamatan Lasem.

Demikianlah sekelimut cerita tutur yang bisa aku tuturkan ulang bagi kerabat perkerisan sekalian. Beliau ini dikenal juga dengan nama Kyai Jejeruk (Mbah Jejeruk) adalah Raden Abdur Rokhman atau juga dikenal sebagai Sultan Makhmud. Beliau adalah raja asal kerajaan Minangkabau.Ketika ayahnya wafat, Sultan Makhmud mendapat tinggalan warisan sebuah kitab, namun sayangnya beliau belum mampu memahami arti yang terkandug dalam kitab tersebut. Untuk itu beliau pergi sampai ke Mesir dan Mekah untuk mencari seorang guru yang mampu menerangkan maksud atau arti asal kitab yang dimilikinya, tapi hasilnya sia-sia. Sehingga hatinya bertambah susah, mengapa beliau mendapat warisan sebuah kitab yang tidak diketahui maksudnya. Kebetulan ada seorang pengail yang mengetahui bahwa di tanah Jawa ada ulama yang sangat alim, tentang hal tersebut disampaikan kepada Patih dan oleh Sang Patih kabar tersebut disampaikan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bergembira dan memutuskan untuk segera berangkat ke tanah Jawa untuk menemui Kiai yang dimaksud. Dengan perbekalan yang agak berangkatlah Sultan Mahmud beserta patihnya dengan menumpang sebuah perahu besar, sayang ditengah perjalanan datanglah angin kencang yang mengakibatkan perahu tadi terguling. Semua perbekalan beserta kitab beliau hilang, masuk ke dasar bahari. Sultan Mahmud susah karena hilangnya sebuah kiab yang sangat berharga. Karena kebingungannya itu, Sultan Mahmud bermaksud untuk kembali ke kerajaan. Oleh Sang Patih hal tersebut tidak disetujui. Dengan rasa berat, diteruskalah perjalanannya sampai mampu menemui Sang Kiai. Di hadapan Sang Kiai (Kanjeng Sunan Bonang) Sultan Mahmud memperkenalkan diri, maksud kedatangannya beserta musibah yang menimpa dalam perjalanannya. Tiba-tiba Sang Kiai mengeluarkan sebuah kitab asal sakunya, dan menanyakan apakah kitab ini yang dimaksud. Setelah diteliti oleh Sang Raja, sahih bahwa kitab itu adalah miliknya. Seketika itu Sultan Mahmud melepas pakaian dan pangkat kesultanan, sujud (sungkem) dihadapan Kanjeng Sunan Bonang namun hal itu dicegah oleh Kanjeng Sunan. Kanjeng Sunan Bonang mulai membaca dan menerangkan semua isi yang terkandung dalam kitab tadi dan akhirnya difahami oleh Sang Raja. Setelah Sang Raja memahami semuanya, beliau memerintah kepada Sang Patih untuk kembali ke Minangkabau dengan beberapa pesan : 1. Beliau (Sultan Mahmud) akan menetap di tanah Jawa (Bonang)
2. Memberi kebebasan kepada Sang Putri Ratu (istri) untuk menunjuk tetap tinggal di keraton, atau menyusul ke Jawa.
tiga. Menyerahkan tahta kerajaan kepada saudara termuda baginda raja, untuk memegang sentra pemerintahan Minangkabau. Karena kesetiaan sang putri kepada sang suami Baginda Raja, maka beliau tetap menunjuk untuk menyusul ke tanah Jawa, waau wajib melepas tahta kerajaan. Akhirnya Sultan Mahmud beserta istri menjadi siswa yang setia asal Kanjeng Sunan Bonang.
Maturnuwun

Leave a Reply