web analytics
Babad Tuban Asal - Usul serta Cikal Bakal Penguasa Negeri Tuban - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Tidak hiperbola kiranya jikalau terdapat ungkapan bijak yg berkata bahwa, sejarah adalah rekaman kehidupan, sejarah adalah catatan kehidupan bahkan sejarah adalah pengajar kehidupan. Tidak terdapat satupun insan yg hidupnya lepas dari sejarah, kecuali mereka sudah lepas dari kehidupan dunia yg fana ini menuju alam keabadian. Kehidupan sendiri kepada hakekatnya adalah sebuah proses sejarah bepergian kehidupan dari semenjak keberadaan insan dimuka bumi ini sampai berakhirnya kehidupan di jagad raya ini.

Sebagai sumbangsih menjadi orang yg terlahir di Tuban, kepada kesempatan ini saya akan sarikan dari usul Tuban dari aneka macam sumber serta saya coba rangkaikan sampai menjadi goresan pena yg kerabat perkerisan baca ini. Dari literatur yg tersebar selama ini memang wajib kita akui, sejarah kota Tuban lebih dekat dengan cerita rakyat atau folklore, hal ini bisa jadi alasannya adalah terdapat pengaitan nama dengan sejarah lokal wilayah tertentu, tanpa mengesampingkan manuskrip-manuskrip pendukung yg selama ini di-amin-i beserta.

Tapi, demikianlah sejarah. Akan selalu terdapat bagian yg dipenuhi bermakna ganda serta selalu terkait dengan sudut kepentingan kekuasaan kepada masa tersebut. Sejarah kota Tuban, misalnya halnya sejarah wilayah-wilayah lain, memiliki bab-bab yg samar serta multi interpretasi. Dimulai dari raja-raja nusantara sebagian besar memiliki babakan yg memunculkan heterogenitas opini serta bahkan kontroversi.

Bisa jadi, mungkin kerabat perkerisan nir begitu mengenal Tuban sekarang ini. Tapi setidaknya dalam lbr sejarah, Tuban dikenal menjadi kota tua di bumi Nusantara. Hal bisa di tilik dari bisa usianya yg sudah mencapai tujuh ratus tahun lebih. Jika dibandingkan dengan kota atau kabupaten lain di Indonesia, usia itu tegolong jauh di atas homogen-homogen. Bahkan lebih tua daripada Jakarta atau Surabaya sekalipun. Usia Tuban diambil dari pengakuan resmi Kerajaan Majapahit terhadap Kadipaten Tuban dengan melantik Raden Arya Ronggolawe menjadi Adipatinya (1293 M).

Sedangkan nama Tuban sendiri dikukuhkan kurang lebih 20 tahun sebelumnya sang Ki Ageng Papringan alias Raden Aryo Dandang Wacana (Kakek Ronggolawe). Beliau menamakan kampung yg dibangunnya menjadi Tuban, yg berasal dari tutur meTU-BANyu, selesainya sekian usang air tawar sulit didapatkan di wilayah pantai. Kampung itu kemudian menjadi kota mini serta Ki Ageng Papringan bertindak menjadi pemimpinnya.

Tetapi ternyata banyak di antara kita yg nir menyangka bahwa cikal bakal Tuban sebenarnya sudah terdapat jauh sebelum tahun kelahiran itu sendiri. Dalam sejarah Lamongan dapat kita baca bahwa kepada tahun 1041 Prabu Erlangga pernah mengadakan bepergian dari bunda kota kerajaan Kahuripan menuju pelabuhan Kambang Putih, di mana letak pelabuhan tersebut ditengarai berada di antara pantai Boom sampai dengan Klenteng Kwan Sing Bio. Sedangkan tahun 1041 dapat dibuktikan dari petilasan beliau ketika beristirahat di desa Pamotan kecamatan Sambeng Kabupaten Lamongan. Pada jaman itu Kambang Putih ditetapkan menjadi pelabuhan antar negara, sedang buat pelabuhan antar pulau Erlangga dengan Canggu yg terletak di tepi sungai Brantas.

Berkaitan dengan dulu Tuban bernama Kambang Putih ini diperkuat dalam fakta-fakta para penulis China (kepada jaman dinasti Song Selatan 1127-1279 serta dinasti Yuan (Mongol) 1271-1368 sampai jaman dinasti Ming th.1368-1644 ). HJ De Graaf, dalam bukunya maupun sedikit banyak menyinggung maslah Tuban. akan namun lebih membincang mengenai kasus pemerintahan serta pergantian penguasa di Tuban. Sedang bentuk phisik kota Tuban De Graaf nir menyebut sama sekali. Adapun fakta catatan mengenai bentuk phisik kota Tuban secara kurang jelas didapat dari fakta kapal Belanda yg mendarat di Tuban yg dipimpin sang Laksamana muda Van Warwijck (Tweede Schipvaert) kepada bulan Januari th. 1599. Dalam fakta itu disebutkan bahwa orang Belanda terkesan sekali sang kemegahan Keraton Tuban.

Prabu Airlangga memerintah Kerajaan Kahuripansejak tahun  1019 – 1042 masehi. Perjuangannnya membangun negeri dari reruntuhan kerajaan Medang yg musnah implikasi agresi musuh (1007) mendapat dukungan penuh dari para pemuka agama. Kecintaan para brahmana kepada pemuda dari Bali ini tergambar dalam kitab Arjunawiwaha, di mana Airlangga diidentikkan menjadi Sang Arjuna jagonya para yg kuasa yg berhasil membunuh raja super besar Niwatakawaca. Bahkan sang para kawula, raja muda ini diyakini menjadi titisan Batara Wisnu yg hadir ke tengah dunia buat menata kehidupan umat insan. Tidak heran jikalau kemudian Erlangga dipuja serta dicintai sang rakyatnya.

Dari Kerajaan Jenggala Hingga Pajajaran Selama 23 tahun dalam pemerintahannya kerajaan Kahuripan sudah mengalami kejayaan. Namun menjadi seseorang raja agung Erlangga waskito ing paningal. Dalam pandangannya dunia adalah waktu yg senantiasa berjalan. Seiring dengan kehendak jaman maka yg baru lahirpun akan beranjak dewasa serta yg tua wajib mendapatkan tempatnya di alam baka. Dan Erlangga sadar sepenuhnya akan hal itu. Maka selesainya berhasil membujuk putri sulungnya Dewi Kilisuci buat menjadi seseorang biksuni, kepada tahun 1042 beliau lantas membagi kerajaan Kahuripan menjadi 2. Putranya yg lebih tua Raden Jayanegara mendapatkan Kediri sedang yg muda Raden Jayengrono memperoleh Jenggala.

Bahkan nir tanggung-tanggung, buat mengukuhkan kebijaksanaan itu Airlangga meminta Mpu Baradha buat mengadakan upacara kudus besar-besaran di lapangan mayat Wurare (sekarang bernama Surabaya). Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1045. Selanjutnya sang raja agung lantas lengser keprabon menjadi seseorang brahmana di pertapaan Kapucangan dengan nama Resi Gentayu.

Itulah keadilan, buat harga sebuah keadilan Airlangga rela mengorbankan keutuhan negara yg sudah susah payah dibangunnya. Dan sebenarnyalah menjadi insan pilihan dia tahu sahih, dalam pandangan batinnya sudah tergambar bahwa antara kedua anaknya nir akan bisa hidup berdampingan. Mantra-mantra sakti Mpu Baradha walau seberapapun ampuhnya hanyalah sekedar usaha insan, sedangkan takdir adalah kehendak sang Pencipta yg hanya dapat berubah atas ijin sang Pencipta sendiri.

Oleh karenanya Resi Gentayu tetap yakin bahwa akan terdapat satu di antara 2 anaknya yg pasti menang, serta bagi yg kalah mati atau lari menjadi konsekwensinya. Keyakinan itu semakin diperkuat dengan ketidak sempurnaan Mpu Baradha ketika melakukan tugas besar itu. Meskipun mantra-mantra kudus sudah terloncat dari ekspresi sang mpu, namun tidak urung jubah yg dia kibarkantersangkut kepada sebuah pohon asam kate (kamal pandhak). Ini adalah sebuah firasat kegagalan.

Tetapi di manapun nir terdapat raja agung yg tanpa mewariskan taktik politik kepada anak turunnya. Tidak terkecuali Airlangga yg melalui sasmito gaibnya sudah membisikkan wasiat kepada siapa yg akan tersisih. Demikianlah, waktu silih berganti. Raja Jenggala pertama digantikan sang putranya Prabu Anom Kertopati serta kemudian Prabu Mahesa Tandreman menjadi raja ketiga. Apa yg dikhawatirkan Resi Gentayu ternyata terbukti. Terjadi perselisihan hebat antara Kediri serta Jenggala. Dan buah dari perselisihan adalah pelarian diri.

Saat itu di awal abad ke-12, Prabu Mahesa Tandreman atau Kuda Lalean terpaksa wajib melarikan diri ke barat buat menghindari agresi Kediri. Dicarinya wilayah yg sama sekali nir terjangkau sang pengaruh saudaranya. Maka kepada sebuah dataran tinggi di Jawa Barat (sekarang: dekat Bogor) dia dirikan sebuah kerajaan yg dia beri nama Pajajaran.

Di Kerajaan Pajajaran, selesainya Prabu Tandreman wafat digantikan putranya Prabu Banjaransari. Dalam diri Prabu Banjaransari inilah mengalir keagungan darah Airlangga. Beliau adalah seseorang raja yg gemar sekali bertapa. Tidak heran jikalau sang prabu mencicipi bahwa Kerajaan Pajajaran nir akan dapat berdiri usang, sementara sang raja pun sadar akan kewajibannya buat mengembalikan kejayaan darah leluhur. Baginya Kerajaan Pajajaran boleh saja runtuh, namun keturunan Airlangga nir akan gampang lenyap begitu saja. Oleh karenanya demi menjunjung pesan leluhur, Prabu Banjaransari segera bergerak trengginas.

Ada 2 langkah strategis yg dia terapkan dalam usianya yg nir lagi muda itu. Pertama mengangkat putranya Mundhingsari menjadi putra mahkota yg kelak menggantikannya menjadi raja Pajajaran. Kedua menugaskan Raden Matahun (putra dari garwo selir) buat mengadakan penyelidikan ke wilayah timur. Guna membantu misi itu sang raja segera mengirimkan beberapa telik sandi. Saat itu Jawa Timur sedang dikuasai sang Kerajaan Singosari dengan rajanya Ken Arok yg menghancurkan Kediri kepada tahun 1222. Meskipun Raden Matahun gagal melakukan tugas ekspedisi, namun tugas itu disanggupi sang anaknya, yaitu Raden Randu Kuning.

Ketika Raden Randu kuning siap melaksanakan tugasnya, kejayaan Pajajaran sudah semakin berkurang. Suksesi kepemimpinan sudah berlangsung beberapa kali. Prabu Banjaransari digantikan Prabu Mundhingsari, kemudian Prabu Mundhingwangi, serta yg terakhir Prabu Sri Pamekas. Raja yg terakhir ini memiliki 3 anak, yakni Raden Susuruh, Raden Arya Bangah, serta Raden Siyung Wanara yg dibuang sang raja alasannya adalah lahir menjadi anak yg aneh serta angker. Dalam cerita rakyat kita mengetahui bahwa riwayat kerajaan Pajajaran berakhir alasannya adalah dihancurkan sang Siyung Wanara yg merasa dendam kepada ayah serta saudara-saudaranya. Sri Pamekas gugur di dalam penjara, sementara Raden Susuruh serta arya Bangah lari ke wilayah timur.

Ekspedisi Kambang Putih

Atas ijin Prabu Sri Pamekas, kepada sekitar tahun 1225 Raden Randu kuning melaksanakan tugasnya melanglang buwana ke arah timur. Hal ini menjadi reaksi atas hancurnya kerajaan Kediri alasannya adalah perbuatan Ken Arok. Bagi mereka tujuan primer ekspedisi ini adalah pelestarian darah Erlangga. Meskipun mereka nir dapat melupakan penghinaan para bangsawan Kediri terhadap Jenggala lebih dari seabad yg lalu, namun kehancuran Kediri berarti ancaman terhadap eksistensi trah Kahuripan. Kondisi ini nir dapatdibiarkan. Begitulah, Raden Randu kuning meninggalkan Pajajaran. Setumpuk taktik sudah dia emban dari sang eyang Prabu Banjaransari swargi.

Tidak kentara, apakah ksatria Pajajaran ini dalam perjalanannya melewati darat atau bahari, namun sejarah pertanda bahwa Raden Randu Kuning berakibat wilayah sekitar pelabuhan Kambang Putih menjadi sasaran pertama. Mengapa wajib ke Kambang putih, nir ke Kediri, Canggu, atau eksklusif menembus jantung kota Singosari? Hal ini memberitahuakn kecerdasan politik tingkat tinggi dalam diri generasi Erlangga, terutama Prabu Bajaransari menjadi perumus ekspedisi serta Raden Randu Kuning menjadi pelaksananya.

Sebagai negara baru, Singosari masih dalam tahap konsolidasi. Apalagi Ken Arok yg semula hanya menjadi hamba sahaja lantas madeg suraning driyo jumeneng noto. Tentu saja konsentrasi supervisi teritorial masih dalam syarat lemah, sehingga masuknya Raden Randu Kuning ke wilayah Kambang Putih nir sempat terdeteksi sang petugas sandi Singosari. Di samping itu Singosari misalnya layaknya kerajaan lain nir dapat hidup tanpa kolaborasi dengan negara-negara tetangga, sedangkan posisi Kambang Putih menjadi pelabuhan antar negara ketika itu kentara memiliki peranan yg sangat lebih banyak didominasi.

Sebagaimana dijelaskan sang Tan Khoen Swie (1936) dalam Serat Babat Toeban bahwa Raden Randu Kuning memulai tugasnya dengan cara membuka hutan Srikandi (wilayah Kecamatan Jenu), yg kemudian dia bangun sebuah perkampungan ramai dengan nama Lumajang Tengah. Letak hutan Srikandi kurang lebih 10 Km sebelah barat pelabuhan Kambang Putih. Pada ketika itu lalu lintas kapal memang lebih banyak yg melewati jalur barat. Para pedagang dari Sriwijaya, Kamboja, serta negara-negara besar lainnya lebih senang dengan selat Malaka, alasannya adalah di samping safety maupun lebih banyak tempat yg dapat disinggahi.

Dengan demikian kampung Lumajang Tengah (Srikandi) merupakan tempat yg amat strategis buat maksud pengintaian. Kampung Lumajang Tengah semakin ramai serta Raden Randu Kuning sendiri lebih senang mengunakan nama Ki Gedhe Lebe Lodhang. Untuk melanjutkan obsesinya Ki Gedhe merasa perlu memahami keadaan wilayah sekitar, sehingga dia minta kepada para pengikutnya buat mencari tempat lain yg lebih memungkinkan didirikannya sebuah kampung baru. Demikianlah, ketika 15 tahun kemudian Raden Arya Bangah menyusul ke Lumajang Tengah, sang Ki Gedhe anak Sri Pamekas itu disarankan agar pergi ke arah tenggara.

Raden Arya Bangah yg merupakan cucu keponakan Ki Gedhe Lebe Lodhang segera melaksanakan perintah sang kakek. Setelah melakukan bepergian beberapa hari dia menemukan tempat yg nisbi strategis, yaitu hutan yg di kanan kirinya terdapat sumber air mini-mini. Hutan itu bernama hutan Gumenggeng (sekarang menjadi Desa Banjaragung Kecamatan Rengel). Di Kampung Gumenggeng inilah Raden Arya Bangah melatih para pengikutnya menjadi petani-petani yg ulet sehingga kehidupan mereka menjadi makmur.

Ki Arya Bangah memiliki seseorang putra yg dia beri nama Arya Dandang Miring. Sebagai sesama darah Kahuripan semangat pemuda ini buat menjunjung darah Erlangga maupun sangat tinggi. Tidak tidak sama dengan ayahnya, Ki Dandang Miring selesainya dewasa maupun bercita-cita membangun perkampungan baru. Hal ini dimaksudkan buat semakin memperkuat serta memperbanyak para pengikut. Akhirnya pemuda itu pergi ke arah barat serta membuka perkampungan di hutan Ancer-Ancer (kira-kira di Kecamatan Bancar).

Akhirnya Ki Dandang Miring maupun memiliki seseorang putra yg diberi tetenger Arya Dandang Wacana. Sejak mini kecerdasan Dandang Wacana sudah nampak kentara, bahkan keuletan dalam menimba ilmu maupun nir kalah dengan ayah atau kekeknya. Setelah menginjak dewasa atas prakarsanya sendiri Ki Dandang Wacana melakukan napak tilas bepergian ayah serta kakeknya. Dengan petunjuk Yang Maha Kuasa akhirnya dalam bepergian itu dia menemukan tempat yg amat cocok buat mendirikan pesanggrahan.

Di sebuah hutan yg diberi nama hutan Papringan dia jumpai sumber air yg semula mini, namun ketika para pengikutnya melakukan penggalian lebih lanjut ternyata sumber air itu luar biasa besarnya. Ki Dandang Wacana meminta para pengikutnya mendirikan perkampungan di sekitar sumber air tersebut, serta dia sendiri akhirnya terkenal dengan nama Ki Ageng Papringan. Kampung tersebut diberi nama Tuban yg merupakan penyederhanaan dari tutur meTU-BANyune (sekitar tahun 1270).

Ki Ageng sendiri mendirikan rumah di dekat sumber air serta kepada bulan-bulan tertentu mengundang para penduduk. Karena banyaknya orang yg tiba menjadi tanda kesetiaan (bekti) kepada Ki Ageng, maka tempat pesanggrahan itu kemudian dinamakan Bektiharjo. Sedangkan Kampung Tuban semakin banyak penduduknya sehingga menjadi desa yg tergolong ramai serta besar.

Akan namun ternyata Ki Ageng Papringan nir gegabah buat menyatakan diri bahwa Tuban menjadi sebuah kadipaten baru. Terlalu berbahaya bagi keselamatan dia serta pengikutnya, alasannya adalah hal itu bisa mengundang kecurigaan para telik sandi Singosari. Meskipun demikian misi ekspedisi yg dicita-citakan Prabu Banjaransari buat tahap pertama dapat dikatakan berhasil, alasannya adalah sejak ketika itu wilayah sekitar Kambang Putih secara praktis sudah dikepung sang generasi trah Erlangga.

Versi lain mengenai nama Tuban ini dapat kita lihat dalam buku Hari Jadi Tuban (1986:14) menjadi berikut:

1. Tuban berasal dari tutur Watu Tiban. Hal ini dikaitkan dengan sebuah cerita bahwa ketika kekuasaan Majapahit berakhir, maka harta kekayaan Majapahit dipindahkan ke Demak. Barang-barang yg dipindahkan ke Demak tersebut termasuk adalah pusaka yg berbentuk Yoni. Guna memindahkannya, maka dipercayakan kepada sepasang burung bangau. Sesampai di Tuban, burung-burung tersebut diolok-olok sang anak-anak yg sedang menggembala. Tampaknya, sepasang burung bangau itu tersinggung serta menjatuhkan barang bawaannya. Daerah tempat jatuhnya batu pusaka tersebut kemudian diberi nama Tuban kependekan dari Wa (Tu) Ti (Ban).

2. Menurut istiadat warga Tuban yg gampang diarahkan buat melaksanakan tugas guna membangun negerinya. Sifat-sifat misalnya itu dalam bahasa Jawa dikenal menjadi Nges (Tu) ake kewaji (Ban).

3. Menurut bahasa Jawa Kawi, Tuban berarti Jeram (Wojowasito, 202). Kata Jeram dalam Bau Sastra Djawa-Indonesia karangan S. Prawiroatmojo diartikan menjadi air lata atau bisa berarti air terjun.

4. Menurut pendapat Drs. Soekarto (dalam Hari Jadi Tuban, 1986:17) tutur Tuban berasal dari tutur Tubo yaitu homogen tumbuhan yg dapat didesain racun. Hal ini dibuktikan bahwa di sebelah barat kota Tuban terdapat wilayah yg bernama Jenu. Menurutnya, tutur Jenu serta Tubo memiliki arti yg nir jauh tidak sama.

*******
BUKU YING YAI SHENG LAN

Berita Tionghoa yg sangat penting, adalah uraian Ma Hua dalam bukunya Ying Yai Shing Lan. Ma Huan adalah orang Tionghwa beragama Islam, yg mengiringi Cheng Ho dalam perjalanannya yg ketiga (1413 1415) ke wilayah-wilayah samudera selatan. Kecuali soal-soal mengenai keadaan aneka macam wilayah yg ber-interaksi dengan kedudukan politiknya, yg sangat menarik perhatian adalah uraian Ma Hua mengenai keadaan kota Majapahit serta rakyatnya.

Kalau orang pergi ke Jawa, katanya, kapal-kapal lebih dahulu sampai ke Tuban. Kemudian dengan melalui Gresik yg banyak penduduknya Tionghoa, orang tiba di Surabaya. Di sini orang pindah ke perahu-perahu mini berlayar ke Canggu. Melalui jalan darat, orang kemudian pergi ke arah selatan serta tibalah orang di Majapahit, tempat kediaman sang raja. Kotanya dikelilingi tembok tinggi yg didesain dari bata, serta penduduknya sejumlah kira-kira 300.000 orang. Sang raja kepalanya terbuka, atau tertutup dengan mahkota dari emas, dengan kain serta selendang, nir berterompah serta selalu membawa satu atau 2 bilah keris. Kalau keluar dia naik gajah atau kereta yg ditarik sang lembu.

Rakyatnya pun dengan kain serta baju, serta tiap orang laki-laki mulai anak berumur 3 tahun dengan keris, yg hulunya bagus sekali, terbuat dari emas, cula badak atau gading. Kalau mereka bertengkar sekejap saja mereka sudah siap dengan kerisnya. Mereka biasa makan sirih, bahagia mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu kepada seremoni-seremoni, senang bermain-main beserta waktu terang bulan dengan disertai nyanyian-nyanyian berkelompok serta bergiliran antara golongan perempuan serta laki-laki, gemar jua menonton wayang beber (wayang yg adegan-adegan ceriteranya digambar di atas sehelai kain, kemudian dibentangkan antara 2 belah kayu.serta diceriterakan isinya sang dalang).

Penduduk Majapahit terdiri atas 3 golongan ; orang-orang Islam yg tiba dari barat serta mendapatkan mata pencaharian di bunda kota, orang Tionghwa yg banyak jua memeluk agama Islam serta rakyafcte- lebihnya yg menyembah berhala serta tinggal beserta dengan anjing mereka.

BUKU LING WAI TAl TA

Dari output-output kesusasteraan dapat jua diketahui sedikit bagaimana keadaannya dalam zaman Kediri. Tetapi masih menarik perhatian ialah keterangan-keterangan yg terdapat dalam fakta-fakta Tionghoa. Kitab Ling Wai Tai Ta yg disusun sang Chou Ku Fei dalam tahun 1178 menyampaikan paparan yg nir didapat dari lain sumber mengenai pemerintahan serta warga Kediri.

Dikatakan contohnya, bahwa orang-orang dengan kain sampai di bawah lutut, sedangkan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya sangat rapi serta bersih. Lantainya dari ubin yg berwarna hijau serta kuning. Pertanian, peternakan serta perdagangan mengalami kemajuan serta perhatian dari Pemerintah. Pun terdapat pemeliharaan ulat sutra serta kapas.

Hukuman badan nir terdapat, orang-orang yg bersalah didenda serta pembayaran berupa emas, kecuali pencuri serta perampok yg dibunuh. Untuk perkawinan, famili anak perempuan menerima maskawin berupa sejumlah emas. Alat pembayaran adalah mata uang dari perak. Orang sakit bukan dengan obat, melainkan memohon sembuh kepada yg kuasa-yg kuasa serta kepada Budha.

Tiap bulan ke 2 diadakan pesta air, serta orang ber-perahu-perahu penuh kegembiraan; tiap bulan 10 seremoni ber-eksklusif di gunung serta orang berduyun-duyun ke sana buat ber-bahagia-bahagia. Alat-indera musiknya terdiri atas seruling gendang serta gambang dari kayu.

Tentang sang raja sendiri dikatakan, bahwa dia berpakaian sutra, bersepatu kulit serta dengan perhiasan-perhiasan dari emas. Rambutnya disanggul di atas kepala. Setiap hari dia menerima pejabat-pejabat serta mengurus pemerintahan. Maka dia duduk diatas, singgasana yg berbentuk segi empat. Sehabis sidang para pejabat itu menyembah 3 kali, baru mengundurkan diri.

Jika raja keluar, naik gajah atau pun kereta, dia diiringi 500 sampai 700 orang prajurit serta rakyat di tepi jalan semuanya jongkok sampai raja lewat. Dalam pemerintahan sang raja dibantu sang 4 orang menteri terkemuka, yaitu rakryan kanuruhan, rakryan maha mantri i hulu, rakryan mahamantri i rangga serta rakryan mahapatih.

Mereka ini nir menerima honor tetap, namun kepada waktu-waktu tertentu menerima output bumi atau lainnya. Selanjutnya pemerintahan dilakukan sang 300 orang pegawai, yg memegang tata buku serta tata usaha : 1000 orang pegawai rendahan bertugas mengurus perbentengan, perbendaharaan negara, gudang-gudang persediaan serta keperluan-keperluan para prajurit. Panglima tentara setiap 1/2 tahun mendapat 10 tail emas serta para prajurit yg ber-jumlah 30.000 mendapat bayarannya 1/2 tahun sekali jua serta besarnya honor sesuai dengan pangkatnya.

Demikianlah keterangan yg diperoleh dari sumber Tionghoa. Hal-hal tersebut maupun terdapat dalam Kitab Chu Fan Chi sang Chau Ju Kau tahun 1225. Dalam buku tersebut diceriterakan maupun, bahwa di Asia Tenggara terdapat 2 kerajaan yg terkemuka serta terkaya, pertama ialah Jawa serta kedua Sriwijaya. Di Jawa terdapat 2 macam agama yaitu agama Budha serta agama para pertapa (maksudnya Hindu). Rakyatnya lekas naik darah serta berani berperang, kesukaannya ialah mengadu ayam. Mata uangnya didesain dari logam adonan tembaga, perak serta timah.

Leave a Reply