web analytics
Ziarah Pustaka Tinjauan Filosofis Kesakralan Kidung Rumekso Ing Wengi - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Dalam sejarah perkembangan Islam kepada tanah Jawa memang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta kiprah walisongo. Tanpa mengesampingkan kiprah anggota walisongo yang lainnya, Sunan Kalijaga adalah salah satu kepada antaranya yang banyak menghias lembar sejarah serta menempel kepada benak masyarakat Jawa. Nah, kepada kesempatan ini saya ajak kerabat perkerisan ziarah pustaka mengenal sosok Sunan Kalijaga lebih jauh serta lebih dalam lagi lengkap memakai bumbu sedap pro serta kontranya.

Dia adalah putra Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, serta Raden Abdurrahman. Selengkapnya tentang biografi lengkap Sunan Kalijaga dapat kerabat perkerisan baca kepada Silsilah Sunan Kalijaga serta Pemimpin Awal Tuban.

Dalam dakwah, Sunan Kalijaga mempunyai pola yang sama memakai pengajar sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" – bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia pula memilih kesenian serta kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Baca pula : Mengenal Lebih Dekat Sunan Bonang

Yang menarik, Sunan Kalijaga sangat toleran kepada budaya lokal. Ia memakai seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir serta Gundul-gundul Pacul. Dialah penggagas baju takwa, perayaan sekatenan, gerebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada serta Petruk Dadi Ratu.

Metode dakwahnya senyatanya sangat efektif, sampai sebagian akbar adipati kepada Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga: kepada antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Makam Sunan Kalijaga terletak kepada Kadilangu, Jawa Tengah sekitar 1,5 kilometer dari Masjid Agung Demak menuju arah tenggara. Makam Sunan Kalijaga banyak dikunjungi peziarah khususnya kepada malam Jumat kliwon. Bertepatan memakai Hari Raya Idul Adha, kepada makam Kadilangu ini pula dilakukan ritual 'penjamasan' (penyucian) tiga pusaka penting yang sebagai benda bersejarah. Ketiga pusaka yang dijamas itu adalah 'kutang' atau rompi Ontokusumo, keris Kiai Crubuk, serta keris Kiai Sirikan.

Selengkapnya tentang rompi ontokusumo dapat baca kepada : Misteri Rompi Ontokusumo Sunan Kalijaga

Kadilangu terletak tak jauh dari Demak kepada Jawa Tengah. Kalau kerabat perkerisan datang dari arah Semarang, sebelum sampai kepada Demak dapat mampir ke Kadilangu dahulu. Udara umumnya panas, tetapi orang-orang yang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus serta ketulusan itulah yang memberi perasaan damai. Memang, kepada sanalah terletak makam yang dalam tesis Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam kepada Nusantara Abad XV & XVI (2003) disebutkan sebagai paling dikeramatkan kepada Jawa Tengah, yakni makam Sunan Kalijaga.

Baca pula : Sejarah Singkat Tanah Perdikan Kadilangu Demak

Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih akrab lagi adalah karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang tak jarang dimanfaatkan tanpa disadari lagi sebagai gubahan Sunan Kalijaga. Seperti terjadi memakai kidung Rumeksa Ing Wengi, yang disamping berfungsi sebagai kidung tolak bala, andai saja dibawakan Nyi Bei Madusari pula terdengar rupawan sekali. Perhatikan :

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.

Terjemahan :

Ada kidung melindungi kepada malam hari
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin serta setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api sebagai air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.

Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum dhandhanggula. Bahkan Achmad Chojim dalam bukunya Mistik serta Makrifat Sunan Kalijaga memaknakan kidung rumekso ing wengi ini dapat serupa sabda atau firman, sebagai tehnik pembangkitan konsentrasi serta kekuatan pikiran. Titik perhatian inilah yang akan membangkitkan konsentrasi melalui kata kata yang tertata apik yang kemudian menjelmakan kekuatan pikiran.

Paparan Chojim ini mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics: Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness (1981), bahwa kekuatan pikiran dapat memproduksi sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat berinteraksi memakai serta mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi.

Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai dari kejahatan masuk akal seperti pencurian, sampai yang disebut gaib seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya kepada masa kehidupan Sunan Kalijaga.

Masih dalam buku Mistik serta Makrifat Sunan Kalijaga disana akan kita dapati gambaran kisah konkret, bahwa kidung ini masih berfungsi kepada desa kepada masa kini demi kebutuhan simpel, contohnya mengusir hama tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur serta buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa ing Wengi ini dibaca sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang.

Walhasil, tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut. Maksud dalam hal ini bukan tikus mati kepada mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut Chodjim, doa memang bukan untuk mengganggu, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan memakai tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif serta yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan serta kesucian.

Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi serta reputasi Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan Sunan Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang saya kutip kepada sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu sendiri, serta karena orang Jawa abad ke -15 tidak gampang mengucapkan apalagi memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan serta kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa itu.

Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun kepada 1935, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme serta Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, disebutkan bahwa kepada antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah yang paling orisinil. Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain sehabis memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga, para pendakwah yang menyebarkan Islam kepada tanah Jawa kepada abad ke-15.

Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, serta mengapa orisinalitas harus dianggap penting?

Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam, kesamaan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal kepada tempat ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke sana, mungkin baik kita ikuti kembali sastra mulut tentang proses kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna yang berada kepada balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti membaca buku sejarah modern, karena itu harus selalu diterima sebagai materi untuk ditafsirkan kembali.

Episode Brandal

Ada sebuah episode dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita sebut sebagai episode Brandal Lokajaya. Memang, sebelum menerima pencerahan serta disebut Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa ia bernama Raden Syahid, putra Adipati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta yang pula disebut Aria Teja IV, seorang keturunan Ranggalawe. Dipandang secara politis, penyebutan Ranggalawe ini bukanlah hubungan, melainkan penghubungan memakai Majapahit, demi legitimasi kekuasaan Mataram kelak seolah-olah Sunan Kalijaga sebagai penghubung serta sekaligus pengukuh kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.

Baca pula : Ronggolawe Dalam Kilas Pandang serta Ternyata Ronggolawe Bukanlah Putra Arya Wiraraja

Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat kritis terhadap kemiskinan kepada sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit, sebagai akibatnya ia bertindak sebagai maling aguno (maling budiman), yakni merampok orang kaya yang korup, memakai cara mencegatnya kepada dalam hutan serta hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin.

Baca pula : Misteri Goa Langseh Petilasan Brandal Lokajaya

Namun harap dicatat pula terdapatnya versi lain, seperti yang dikutip Nacy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir untuk disertasinya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (1995), bahwa Raden Syahid merampok bukan karena ia seorang maling budiman, melainkan karena betul-betul bejat. Dalam kedua versi, Raden Syahid bertemu batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak diketahuinya adalah Sunan Bonang, seorang wali kutub taraf pertama.

Seperti biasa, ia bermaksud membegal Sunan Bonang, terutama tongkatnya yang dalam pandangannya berlapis emas tetapi ketika berhasil merebutnya, ternyata hanya terbuat dari kuningan, maka lantas dikembalikan. Sunan Bonang berkata jangan menduga remeh yang tampaknya sederhana, serta ia perlihatkan betapa tongkat itu mampu mengubah buah aren sebagai emas. Dengan bernafsu, Raden Syahid memanjat untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata berubah sebagai buah hijau kembali saat itulah Raden Syahid menyadari kerendahan derajat hidupnya. Ia lantas menyatakan ingin berguru kepada Sunan Bonang, bukan untuk dapat mengubah buah sebagai emas, melainkan untuk belajar ilmu-ilmu.

Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya kepada tanah, serta meminta Raden Syahid tafakur kepada sana sambil menjaga tongkatnya itu, sebelum akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah membentuk kerajaan Demak. Peristiwa itu berlangsung kepada tepi sungai, serta dari ketafakurannya selama bertahun-tahun kepada sana Raden Syahid menerima nama sebutannya, Sunan Kalijaga.

Selanjutnya selama tafakur Raden Syahid berhasil menghayati arti kehidupan, serta ketika Sunan Bonang kemudian menemuinya kembali (sangat terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang sudah mencakup seluruh tubuh Raden Syahid) segeralah ia diberi pelajaran, yang isinya dapat dirujuk dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom kepada 1884, serta telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka kepada 1993. Dalam suluk linglung itu pula dikisahkan pertemuan Sunan Kalijaga memakai Nabi Khidir kepada tengah samudera ketika akan beribadah haji ke Mekah, yang sangat mirip memakai cerita wayang Dewaruci, bahwa untuk mendapatkan pencerahan seseorang cukup memasuki dirinya sendiri, yang dalam dirinya merupakan alam luas tak berbatas
.
Kisah ini, memakai berbagai perbedaan versi yang tidak mengubah alur, sangat terkenal, serta merupakan sejarah paling pokok dari pembangunan karakter Sunan Kalijaga : yakni bahwa selalu ada segi-segi kebadungan dalam diri Sunan Kalijaga justru sesuatu yang sangat penting dalam kelanjutan sejarah penyebaran Islam kepada Jawa, seperti terlihat dari perdebatannya memakai para wali lain untuk mempertahankan warisan tradisi Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai sarana berdakwah, yang tentu tidak begitu saja dapat segera diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam syariat agama.

Dalam kompromi memakai para wali lain itulah, Sunan Kalijaga memakai kreatifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi sebagai pipih dua dimensi (supaya tidak seperti patung, yang kepada Saudi Arabia masa itu tentu identik memakai berhala), serta memanfaatkan segala sarana pertunjukannya seperti layar yang putih serta kosong, blencong, bayang-bayang, posisi penonton kepada depan atau kepada belakang layar, serta wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat serta berdakwah, mengungkapkan ajaran agama Islam memakai cara yang dipahami serta disukai oleh masyarakat Jawa.

Bukankah pertanyaan sederhana seperti, Kalau wayang digerakkan oleh dalang lantas siapa yang menggerakkan dalang?, akan sangat gampang mengundang renungan atas kekuasaan Tuhan? Orisinalitas dalam pemikiran Sunan Kalijaga untuk mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi penting bagi kemandirian ciri-ciri budaya Islam kepada Jawa, dulu maupun sekarang.

Saka Tatal serta Jung Cina

Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dari kasus saka tatal yang terkenal. Diriwayatkan bahwa para wali bergotong royong membentuk Mesjid Demak, serta Sunan Kalijaga menerima bagian mendirikan salah satu dari empat tiang primer Mesjid. Entah kenapa, Sunan Kalijaga sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sebagai akibatnya memakai kesaktian nya ia terpaksa menggantikan balok kayu akbar itu memakai potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal serta ternyata tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap mesjid, sama kuat memakai tiang-tiang primer lain, meski sekarang tentunya sudah direnovasi. Dalam tradisi mulut Jawa, saka tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan Kalijaga, tetapi bagi penelitian ilmiah, soalnya ternyata sebagai lain.

Baca pula : Sekilas Tentang Masjid Agung Demak

Dalam buku Qurtuby yang sudah saya narasikan kepada atas, tesis yang meneliti peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam kepada Indonesia, disebutkan bahwa teknik perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap mesjid memakai himpunan tatal itu sama memakai cara penyambungan potongan kayu untuk tiang kapal jung Cina. Sehubungan memakai tujuan penelitiannya, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut :

Apakah Sunan Kalijaga meminta donasi tukang-tukang berasal Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam masyarakat Tionghoa yang telah bermukim sepanjang Pantai Utara kepada Jawa; apakah Sunan Kalijaga, sebagai wali yang kreatif serta menghayati hadits tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina, telah menyelidiki teknik itu dari orang-orang Tionghoa; serta yang paling rawan adalah, apakah Sunan Kalijaga sendiri adalah seorang keturunan Tionghoa?

Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah yang kurang teliti, antara lain oleh sejarawan kenamaan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa serta Timbulnya Negara-Negara Islam kepada Nusantara (1968), memakai yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai Gan Si Cang. Sumber Muljana adalah buku M.O. Parlindungan berjudul Tuanku Rao (1964), serta sumber Parlindungan adalah Malay Annal (Catatan Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian pakar kenamaan Belanda, H.J. de Graaf serta Pigeaud, tetapi yang tidak satu sejarawan pun sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani memastikannya.

Karena sudah terlalu panjang, kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang yang terhubungkan memakai Sunan Kalijaga, sebagai akibatnya menimbulkan kerancuan, tetapi dapat melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti terkini :
Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga kepada atas sebetulnya hanyalah narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi perkapalan yang dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya hanyalah tokoh khayalan yang sengaja diciptakan penggubah teks Malay Annals untuk menyamarkan figur Sunan Kalijaga? Qurtuby berpendapat agak susah untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang memakai Sunan Kalijaga, karena tradisi lokal tak secuilpun memunculkan kecinaan Sunan Kalijaga; namun kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik: Kalaupun Gan Si Cang adalah tokoh historis, kemungkinan ia adalah nama lain bukan Sunan Kalijaga yang dapat saja kepada waktu itu dimanfaatkan keahliannya oleh penguasa Demak untuk turut serta membentuk mesjid.

Sementara itu, dalam pemeriksaan Nancy Florida atas Babad Jaka Tingkir sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik atas peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Mesjid Demak sampai kepada saat harus menentukan arah kiblat.

Dalam babad ini terdapat adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida, yang meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan disertasi ini, menafsirkannya secara politis sebagai penawaran, bahkan kadang disebut pula perlawanan Muslim Jawa terhadap hegemoni Islam pusat kepada Mekah.

Masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah kiblat tidak ke Kabah? Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas menangani masalah ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa memberi posisi Muslim Jawa tunduk kepada suatu kekuasaan duniawi kepada manapun, meski tetap tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam memang berarti penyerahan diri.

Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah berikut, seperti dibahasakan oleh Florida sendiri dalam menganalisis Babad Jaka Tingkir.

Sunan Kalijaga menuntaskan proses lokalisasi ini. Berkat penanganan ajaibnya, sang Masjid akhirnya dari bersepakat memakai Kabah Mekah, serta kepada saat yang sama Kabah pun dari bersepakat memakai Mesjid Demak. Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang radikal:

Tangan kanan memegang Kabah Allah / Tangan kiri memegang / Balok puncak Mesjid itu / Ditariklah keduanya / Telah terulur diadu terantuk / Atap Kabah serta balok puncak Mesjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna segaris tiada melenceng.

Dengan tindakan berganda ini, keduanya dinyatakan serta dibuktikan sebagai keberadaan atau substansi yang satu. Kenyataan satu yang adalah – dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat diwujudkan memakai kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak serta Mekah yang kepada dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua) tidaklah memiliki dominasi yang mutlak.

Kesepakatan diraih berkat penanganan sang wali merdeka Kalijaga memproduksi perwujudan Mesjid Demak sebagai pusat salah satu pusat kepada dalam dunia Islam yang tidak mengakui kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda yang membuka peluang untuk penyebaran berbagai-bagai pusat ini justru berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap keterpinggiran mereka yang memang ada kepada pinggir.

Tentu saja kita tidak dapat mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam babad tersebut adalah Sunan Kalijaga historis, yang dari darah serta daging, tetapi bukankah justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar memisahkan antara yang mitos serta fakta, melainkan pula menafsirkan mitos demi pemahaman sejarah secara menyeluruh? Setidaknya kita mendapatkan informasi dari babad tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan Kalijaga : kreatif serta merdeka.

Lir-ilir, lir-ilir

Makam Sunan Kalijaga kini berada kepada dalam rumah kokoh memakai ukiran Jepara terbaik kepada pintu, jendela, maupun tiang-tiangnya. Bisa dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan Kalijaga bermukim serta mengajar kepada sana, tempat itu tentu jauh lebih sunyi daripada sekarang. Tanpa listrik tentu, serta tanpa suara bising dari jalan raya antarkota. Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa yang sunyi, dapat dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya, berkat wibawa serta kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu siap serta terbuka terhadap perubahan. Sehingga, meski antara pemakaman yang wingit serta pasar cinderamata kepada luarnya tampak seolah-olah tidak cocok, andai saja masyarakat kepada sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan Kalijaga pun kiranya dapat dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.

Akhir kata dari tulisan yang tidak mengecewakan panjang ini, adalah sebagai bentuk pengabdian serta sumbangsih saya sebagai wong Tuban, yang dalam banyak literasi maupun sastra mulut menyebutkan bahwasanya Sunan Kalijaga adalah berasal dari Tuban pula. Tidak mengapa kerabat perkerisan menyebutnya ethnosentris. Hehehe..

Namun lebih dari kepada itu semua, bahwa tulisan yang saya menyebutnya ziarah pustaka ini setidaknya membuat alam pikir kita jadi lebih melek. Saya percaya tulisan ini banyak kekuarangannya serta tentu saja saya membuka pintu selebar lebarnya bagi kerabat perkerisan untuk menambahkan kekurangan tersebut, termasuk kepada dalamnya kritik atas tulisan ini. Selebihnya mohon dimaklumi karena saya bukanlah sejarawan atau pun berlatar belakang pendidikan sejarah. Selanjutnya, kepada penghujung ziarah pustaka ini mari kita tutup memakai sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya ceria tapi pula sarat makna, karena sejatinya membawa selarik pesan keagaamaan yang serius, monggo :

Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!

Permisi ikut nampang njiih !
(kadilangu)

Referensi :
Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam kepada Nusantara Abad XV & XVI, Sumanto Al Qurtuby.
Mistik serta Makrifat Sunan Kalijaga, Achmad Chojim.
Mysticism and The New Physics: Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness, Michael Talbot.
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme serta Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, P.J.Zoetmulder.
Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang, Nacy K. Florida.

Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa serta Timbulnya Negara-Negara Islam kepada Nusantara, Slamet Muljana.

Leave a Reply