web analytics
Serat Gatholoco serta Sakralitas Genital Wanita - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Sebelumnya mohon maaf, tulisan yang sedang sampeyan baca ini merupakan berisi kalimat vulgar. Selain tulisan ini lumayan panjang terlebih sampeyan masih belum cukup umur, alangkah baiknya cukup dibaca hingga dalam sini!

Jujur harus kita akui, sejarah sastra Indonesia merupakan sejarah perdebatan, sejarah perkelahian alam pikir & pertarungan tentang nilai-nilai yang juga melibatkan dalam luar isi kitab. Di masa lalu ada namanya serat Gatholoco yang menggemparkan dunia penulisan dalam masa Hindia Belanda.

Apa yang kita ketahui, pahami tentang Gatholoco? Bisa jadi, dari sebagian kita akan teringat dengan kontrovesial yang pernah menghiasi perjalanan agama Islam, khususnya perkembangan Islam dalam tanah Jawa. Tokoh yang pernah diklaim sebagian orang yang pernah ngobok-ngobok tatanan Islam yang telah mapan dengan tingkah laku & pertanyaan yang aneh-aneh. Baca juga Falsafah Gatholoco

Perdebatan-perdebatan yang dilontarkan oleh Gatholoco terhadap kaum puritan menjadikan kedua belah pihak saling bersitegang. Bahkan, perdebatan itu kemudian dinamai perdebatan antara kaum kejawen dengan kaum ulama Islam, yang sebenarnya hanyalah bentuk pendeskritan semata.

Penamaan yang semata-mata hanya didasari ketidaksukaan & usahan untuk melenyapkan salah satu pihak yakni Gatholoco. Tak pelak lagi dalam sana sini muncul pikiran yang penuh kecurigaan. Lebih parah lagi konflik itu diwariskan & disebarkan antargenarasi yang melibatkan kaum agama & penguasa.

Serat Suluk Gatolotjo merupakan karya sastra yang kontroversial. Itu karena identifikasi sosok & namanya mendorong yang membaca berasosiasi jorok. Itu tak terelakkan, karena Gatolotjo secara harafiah memang bermakna lingga. Sama juga dengan darmogandul, totok, penis, phallus atau sebutan lain yang identik dengan kemaluan laki-laki. Untuk itu, kendati makna yang diusung serat ini menyangkut masalah hakiki, tentang hakikat hidup & perbincangan dari-akhir hidup, tetap saja kesan porno itu tidak mampu terhindari.

Serat Gatholoco sendiri merupakan karya sastra Jawa anonim yang muncul dalam awal abad 19 dalam jaman Mataram Surakarta. Menariknya merupakan cara penyampaiannya yang sangat kontroversif & vulgar. Tokoh Gatholoco ini digambarkan sebagai sosok yang sangat buruk & menjijikkan. Nama Gatholoco saja sudah memiliki arti yang sangat tabu yaitu kelamin pria yang digosok.

Memang Gatolotjo secara implisit mempunyai arti seperti itu. Ini faktor yang membuat serat ini tak habis-habis menjadi bahan perdebatan. Dari masa ke masa pro-kontra tumbuh subur. Sempat tidak boleh dibaca atau diedarkan ketika Orde Baru karena didekati melalui pendekatan agama-agama samawi. Agama wahyu.

Dalam agama wahyu, Islam, Kristen, & Yahudi, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan. Disebut dalam sejarah kejadian tersebut, Allah menciptakan manusia sesudah malaikat diciptakan dari cahaya & setan dari api. Manusia dibentuk dari tanah hitam yang ditiupkan roh Allah.

Kemudian, sesudah itu seluruh malaikat bersujud, kecuali iblis. Iblis tidak mau sujud dalam manusia (Nabi Adam) dengan alasan yang menjadi bahan manusia merupakan tanah. Peristiwa ini yang menjadikan setan sebagai makhluk yang dikutuk. Firman Allah : Keluarlah kamu dari nirwana. Sesungguhnya kamu merupakan orang yang diusir. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu hingga hari pembalasan.

Dalam Serat Suluk Gatolotjo pemahaman dari manusia itu tidak demikian. Tradisi sinkretisme mengental didalamnya. Dikatakan begitu, karena dalam serat ini akulturasi berbagai paham merasuk teramat dalam. Dari identifikasi sang tokoh, lingkungan dalam melakukan petualangan dan ngudarasa, mengekspresikan gejolak batinnya campur-aduk. Tidak mengherankan seandainya berbagai anggaran itu kalau ditarik ke ranah agama, berbagai isme agama diketemukan dalam serat ini. Paham itu mengalir begitu saja tanpa rasa bersalah, kendati menimbulkan benturan akidah.

Namun seandainya ditarik garis lurus, dalam antara sekian paham itu, penyembahan roh nenek moyang sangat tinggi muatannya. Itu kental terbaca, terutama dalam melihat dari-usul manusia hadir ke dunia. Paham bercorak animis itu akar kehadiran Gatolotjo. Paham itu simultan tampil melalui percakapan dengan kawan maupun lawan-lawan bicara Gatolotjo. Tentu, pandangan itu jelas bertentangan dengan dogma agama samawi, terutama Islam.

Tapi tak dipungkiri pemahaman seperti itu merupakan khas Jawa lama. Budaya terbuka, sikap permisif etnis ini memberi ruang luas untuk segalanya masuk & dengan gampang diterima. Kendati dengan satu catatan, tidak dan-merta paham itu dipeluk & dijalankan sesuai syariatnya.

Manusia Jawa itu memang manusia yang nriman ning ora nrimo. Gampang menerima apa saja, termasuk paham yang datang dari berbagai agama, tetapi penerimaan itu tidak otomatis dijalankan sesuai aslinya. Paham itu butuh waktu panjang untuk diterima. Butuh proses surealitas untuk bisa menjadi bagian dari batin manusia Jawa.

Setiap paham yang datang, dari bilang kulo nuwun akan dipersilahkan masuk. Setelah bertamu terjadi proses seleksi ketat melalui saringan roso (batin). Cawan penyaring itu berasal dari keyakinan lama. Tatkala paham itu mempunyai kesamaan dengan keyakinan purba, maka kesamaan itulah embrio yang berhasil nyantol ke dalam batin orang Jawa.

Kesamaan memang pintu masuk. Kesamaan itu yang menggugah batin manusia Jawa untuk melakukan kreatifitas tinggi, menggodok tiap paham yang datang sebelum dipeluknya. Untuk itu seandainya kelak manusia Jawa itu mengamalkan sebuah ajaran, maka hakekatnya ajaran itu bukanlah ajaran yang datang & dipersilakan masuk tadi. Ajaran itu telah berganti baju. Baju itu hasil permakan (modifikasi), adonan yang berasal dari berbagai paham. Itulah paham baru, sinkretisme, yang acap juga disebut kejawen.

Pandangan seperti itu secara eksplisit tertuang dalam Kitab Wedhatama karangan Mangkunegaran IV (18091881) . Agama Islam yang merambah kerajaan pedalaman (Mataram) memberi pemahaman unik terhadap keyakinan sang raja dalam menerima agama baru itu.

Dalam satu pupuhnya dikatakan : Kowe kuwi wong Jowo le, ojo ndadak ngikuti lakune nabi. Biso cegah lek lan cegah dhahar wae wis cukup. Artinya, kamu itu orang Jawa, jangan berharap banyak bisa mengikuti sunnah Nabi (Muhammad). Bisa mengurangi tidur & puasa saja sudah cukup.

Juga dalam Serat Centhini yang digagas Pakubuwana (1788-1820). Serat kolaborasi berbagai pakar itu juga terbentang campuran heterogenitas agama & kepercayaan. Kendati sosok tokoh-tokohnya, Amongrogo, Ni Tambang Raras dan Centhini dipersonifikasikan sebagai Islam deles (Islam taat), pemeluk Islam taat, figur yang sangat Islami, toh sikap & perilakunya tetap mblakrak (mengembara) kemana-mana. Jauh menyimpang dari kaidah Islam!

Perkawinan Politik Mataram
Pandangan dua raja Mataram itu sudah mewakili dunia batin orang Jawa. Namun seandainya mau surut ke belakang, sinkretisasi Islam itu sebenarnya sudah mengental sejak Sultan Agung (1613-1646). Raja ketiga Mataram sebelum terpecah oleh Perjanjian Giyanti (1755) & Perjanjian Salatiga (1757) itu dikenal sangat cerdik.

Kecerdikannya sebagai negarawan, Sultan Agung memanfaatkan agama sebagai saranaberpolitik. Islam dipakainya untuk menerapkan politik devide et impera. Politik pecah-belah sebelum menginvasi kerajaan Islam dari dalam bagi ekstensi teritorial Mataram.

Panembahan Senopati (1584-1601), pendiri Mataram yang selalu gagal memekarkan wilayah kekuasaannya dijadikan tauladan. Kerajaan yang belum kental Islamnya itu tidak kunjung berhasil menaklukkan daerah pesisir. Sandungannya, kerajaan Islam kecil-kecil itu menjadi sangat kuat dalam bawah kendali Walisongo (Walisana versi Widji Saksono dalam MengIslamkan Tanah Jawa).

Ketika kuasa raja berada dalam tangannya, yang mula-mula dilakukan Sultan Agung merupakan mengIslamkan diri. Mengubah perhitungan tahun dari rembulan ke matahari sehingga Tahun Hijriyah & Tahun Jawa menjadi sama. Dia mengajukan permohonan ke Ottoman (kekaisaran Islam) untuk menggunakan gelar sultan. Setelah itu Sultan Agung merangkul para wali sebagai justifikasi Mataram memang beragama Islam.

Dari sekian banyak inovasi yang dilakukan Sultan Agung itu, perubahan perhitungan tahun merupakan salah satu yang membuat kegoncangan. Berbagai upacara jadi berubah waktu & penyebutan. Penentuan satu Suro yang bersendi penanggalan Aboge (Alip Rebo Wage) berselisih waktu. Saat itulah Sekatenan yang semula sebagai paweling asaling dumadi akhirnya dimaknai sebagai upacara memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Ketika Kerajaan Mataram benar-benar diakui sebagai kerajaan beragama Islam, pencaplokan wilayah pun mulai tidak terhindarkan. Menurut catatan De Han & De Graff, kerajaan kecil dalam pesisir satu demi satu diklaim sebagai tanah milik Mataram. Tindakan ini mendisharmonisasi kerajaan Islam dalam pesisir.

Saat pertemuan Bupati dalam Rembang, Jawa Tengah, Sunan Giri Prapen yang lama mendengar tindakan itu merasa perlu mengingatkan. Dengan halus Sang Giri Nata menegur secara euphemistis. Sunan Giri menyindir cucu Panembahan Senopati itu.

Sindiran yang tertuang dalam Kitab Al Asror itu ternyata tidak membuat Sultan Agung sadar, tapi malah sebaliknya. Raja Mataram itu menyimpan dendam kesumat. Terbukti, sesudah sekutu kerajaan Surabaya dalam Pontianak ditraklukkan & diteruskan penaklukan Surabaya, Pangeran Pekik muda, putera Pangeran Pekik tua, raja Surabaya yang meninggal, dipanggil ke Mataram.

Di Mataram, putera Raja Surabaya itu tidak dipidana. Sultan Agung berbaik hati. Pangeran Pekik muda itu disambut kemeriahan, dikawinkan dengan adiknya yang bernama Ratu Pandansari, & diangkat sebagai Raja Surabaya menggantikan ayahnya. Ini perkawinan politik gaya Sultan Agung.

Kedok kebaikan hati sang raja itu terkuak ketika Pangeran Pekik muda telah memasuki hari keempatpuluh pernikahannya. Ratu Pandansari disuruh menghadap Sultan Agung. Sang sultan bercerita tentang kegundahannya, karena Giri tak kunjung mau memberi upeti & berserah diri ke Mataram. Sultan Agung ingin Giri diserang & ditaklukkan. Dan yang melakukan itu merupakan Pangeran Pekik muda, suami Ratu Pandansari.

Malamnya Ratu Pandansari membisiki suaminya, bahwa masih ada satu klilip Mataram yang harus disingkirkan. Klilip (benda kecil yang masuk ke dalam mata) itu merupakan Giri. Kerajaan Giri yang diperintah Sunan Giri muda, cucu Sunan Giri Prapen, guru Pangeran Pekik tua, ayahandanya.

Ketika Pangeran Pekik muda kebingungan dengan permintaan itu, Ratu Pandansari menjelaskan, bahwa hubungan antara guru-murid itu sudah terputus sesudah meninggalnya Sunan Giri Prapen. Sunan Giri muda itu juga disebutnya sebagai raja yang tidak mengenal keris & pedang.

Akhirnya Pangeran Pekik muda berangkat menuju Giri dengan pasukan Mataram yang membawa persenjataan lengkap. Sunan Giri muda bersiap diri sesudah mendengar Mataram bakal menyerangnya. Adipati Sepanjang, orang kepercayaan Pangeran Pekik muda menyebar tilik sandi & memberi laporan, bahwa Kedaton Giri melatih 200 prajurit hebat menghadapi Mataram.

Prajurit itu dilatih Indrasena. Dia murid Giri yang berasal dari China, pandai menggunakan senjata & ilmu kanoragan lainnya. Dengan gemblengan yang dilakukan Indrasena terhadap prajurit Giri, maka Sunan Giri muda yakin pasukannya bisa mengatasi serbuan Mataram yang dibantu prajurit Surabaya.

Dan itu benar. Ketika pasukan Mataram yang dipimpin Pangeran Pekik muda menyerang, pasukan ini kocar-kacir. Pasukan Giri mampu memukul mundur prajurit yang berasal dari dua kerajaan, Mataram & Kerajaan Surabaya.

Saat itulah Ratu Pandansari tampil. Putri Mataram ini memahami letak kekalahan pasukan suaminya. Adik Sultan Agung itu mengumpulkan prajurit yang habis kalah perang itu. Dia tidak memarahi para prajurit, tetapi justru memberinya hadiah berupa busana indah dan uang. Sehabis itu Ratu Pandansari berjanji akan memberi tambahan hadiah lagi sepulang dari medan laga membawa kemenangan.

Akhirnya politik uang itu membawa kejayaan. Kedaton Giri berhasil direbut. Sunan Giri muda ditangkap. Harta benda Giri diambil sebagai pampasan perang. Dan ini sebuah ironi. Ironi sejarah yang dalam Babad Tanah Jawi ditulis secara liris & mistis.

Sekarang pertanyaannya, kenapa syariat Islam tidak diwajibkan, tetapi hanya puasa & mencegah tidur saja yang ditekankan untuk dijalankan? Itu tak lepas dari kepercayaan lama manusia Jawa yang meyakini ndadar awak & ngebor sukma supaya terkabulkan apa yang diinginkan itu harus melalui pakem ngelmu kuwi soko laku. Menimba ilmu itu dari menjalankan lelaku.

Menjalankan lelaku yang dimaksud aplikasinya sebagai kewajiban cegah lek (mengurangi tidur) & cegah dahar (puasa). Ini sebuah kebiasaan yang bersumber dari paham animis, yang sudah berabad-abad lampau dijalankan manusia Jawa. Tulisan lengkap mengenai hal bisa sampeyan baca dalam Intrik Wangsa Mataram : Ketika Dendam Sultan Agung Berujung Penaklukan Giri Kedaton

Faham Lingga Yoni
Sebagai serat sinkretis, berpaham gado-gado, Gatolotjo merupakan gambaran kemaluan laki-laki yang diperankan sebagai tutup. Fungsi tutup untuk menutupi organ lain yang terbuka. Akan terbentuk kesempurnaan seandainya organ lain itu telah tertutupi. Filosofi tumbu oleh tutup, benda terbuka mendapat penutup disini secara wadag merupakan penyatuan kelamin laki-laki & kelamin perempuan. Ini cerminan sangkaning dumadi yang dipercaya sebagai dari-usul manusia.

Penyatuan lingga-yoni sebagai cikal-bakal manusia memang tergambar dalam Gatolotjo. Sang penulis meyakini, sangkaning dumadi manusia itu bukan dari Tuhan, tetapi dari pertemuan kemaluan laki-laki (lingga) dengan kemaluan perempuan (yoni). Menyatunya tumbu oleh tutup.

Dalam bahasa terkenal, kalangan sinkretis Jawa sering menyebut, asale menungso kuwi soko bapak lan embok. Manusia itu berasal dari bapak & ibu. Ini tidak berbeda dengan penyebutan ibu sebagai pertiwi & angkasa sebagai ayah. Dalam pandangan Jawa, semuanya berpasang-pasangan supaya terbentuk harmoni jagat. Keselarasan dunia.
Itulah sangkaning dumadi. Asal kejadian. Untuk itu dalam banyak aktifitas, pseudo atau terang-terangan, konotatif atau denotatif, nuansa tiap benda yang digunakan atau dikonsumsi masyarakat Jawa dominan merujuk dalam paham lingga-yoni itu.
Gambaran manusia berasal dari tumbu oleh tutup penyatuanlingga & yoni hingga sekarang masih lestari & terjalani dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengenang itu saban seremoni selalu dihadirkan. Bukan melalui pengkisahan Gatolotjo atau pengumbaran aurat, tetapi lewat simbol yang menyiratkan kepercayaan purba tersebut. Simbol yang dimaksud salah satunya berbentuk tumpeng. Segalanya dianggap belum afdol seandainya belum dibuka dengan potong tumpeng.

Tumpeng dalam konteks ini merupakan gambaran dari tumbu oleh tutup, penyatuan lingga-yoni. Nasi mengerucut melambangkan lingga. Sedang sayuran & lauk berserakan dalam bawahnya sebagai simbol yoni. Boleh kita berargumen macam-macam soal ini. Tapi lestarinya tumpeng implisit pengakuan, bahwa kepercayaan lingga-yoni sebagai sangkaning dumadi sudah sangat mentradisi dalam masyarakat Jawa (Indonesia).

Dalam busana pun epheumisme yang mengarah ke paham itu tetap dipercaya masyarakat Jawa. Sarung, busana yang digunakan laki-laki sering diasumsikan sebagai akronim kanggo nutupi barang kang nyurung. Sarung itu untuk menutupi benda yang suka mendorong. Benda mendorong yang dimaksud merupakan penis.

Begitu juga dengan kain yang digunakan wanita Jawa. Pakaian panjang ini disebut sewek. Penyebutan ini juga mempunya makna yang sama dengan sarung. Sewek dimaknai sebagaipenutup barang kang suwek. Dan benda robek yang dimaksud merupakan kata asosiatif dari kemaluan perempuan, yaitu vagina, yang secara kasat mata memang bentuknya seperti benda robek. Nuwun.

Leave a Reply