web analytics
Sejarah dan Telaah Sufistik Sunan Bonang - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Di antara anggota walisanga yg lainnya, Sunan Bonang inilah yg pusaranya ada di tiga tempat berbeda. Yang pertama di Desa Bonang Rembang, Sunan Bonang di Tuban & di Pulau Bawean. Tentu saja setiap daerah mengklaim bahwasanya ditempatnya tersebutlah jasad Sunan Bonang atau Maulana Makdum Ibrahim ini dikebumikan. Tapi kali ini saya tidak hendak membincang klaim klaiman tersebut, lebih dari itu. Yakni tentang ajarannya. Tapi yg jelas, disemua tempat yg menjadi pusara & pernah disinggahi Sunan Bonang seluruh membawa berkah bagi masyarakat sekitar karena serinng diziarahi & menjadi wisata religi.

Di kalangan ulama tertentu mungkin peranan Sunan Bonang dianggap tidak begitu menonjol dibanding wali yg lain. Tetapi kalau kita mencermati manuskrip-manuskrip Jawa lama peninggalan jaman Islam yg masih ada di Museum Leiden & Museum Batavia (sekarang dipindah ke Perpustakaan Nasional), justru Sunan Bonang yg meninggalkan warisan karya tulis paling banyak, berisi pemikiran keagamaan & budaya bercorak sufistik.

Putra Raden Rahmad alias Sunan Ampel, & cucu Maulana Malik Ibrahim, yg nenek moyangnya berasal dari Samarkand ini, masih bertalian darah dengan Sunan Giri, wali yg paling berpengaruh di Jawa Timur. Kedua saudara dekat ini diperkirakan lahir dalam pertengahan abad ke-15 M, dalam dikala Kerajaan Majapahit sedang di ambang keruntuhan. Sunan Bonang (nama sebenarnya Makhdum Ibrahim bergelar Khalifah Asmara) wafat sekitar tahun 1530 M di Tuban, tempat kegiatannya terakhir & paling lama, dalam masa jayanya Keultanan Demak Bintoro.

Kedua wali itu dikenal sebagai pendakwah Islam yg gigih. Keduanya sama-sama belajar di Malaka & Pasai, baru kemudian menunaikan ibadah haji di Mekah. Bedanya, kalau Sunan Giri lebih condong dalam ilmu fiqih, syariah, teologi, & politik; Sunan Bonang tanpa mengabaikan ilmu-ilmu Islam yg lain lebih condong dalam tasawuf & kesusastraan. Sumber-sumber sejarah Jawa, termasuk suluk-suluknya sendiri menyatakan bahwa dia sangat aktif dalam kegiatan sastra, mistik, seni lakon, & seni kriya. Dakwah melalui seni & aktivitas budaya merupakan senjatanya yg digdaya untuk menarik penduduk Jawa memeluk agama Islam.

Sebagai musikus & komponis terkemuka, konon Sunan Bonang menciptakan beberapa komposisi (gending), di antaranya Gending Dharma. Gending ini dicipta didasarkan  wawasan estetik sufi, yg memandang alunan suara musik tertentu bisa dijadikan sarana kenaikan menuju alam kerohanian. Gending Darma, konon, kalau didengar orang bisa menghanyutkan jiwa & membawanya ke alam meditasi (tafakkur). Dalam sebuah riwayat disebutkan, penabuhan gending ini pernah menggagalkan rencana perampokan gerombolan bandit di Surabaya. Manakala gending ini ditabuh oleh Sunan Bonang, para perampok itu terhanyut ke alam meditasi & lupa akan rencananya melakukan perampokan. Keesokannya pemimpin bandit & anak buahnya menghadap Sunan Bonang, & menyatakan diri memeluk Islam.

Sunan Bonang bersama Sunan Kalijaga & lain-lain, jelas bertanggung jawab bagi perubahan arah keindahan Gamelan. Musik yg semula bercorak Hindu & ditabuh didasarkan  wawasan estetik Sufi. Tidak mengherankan gamelan Jawa menjadi sangat kontemplatif & meditatif, berbeda dengan gamelan Bali yg merupakan warisan musik Hindu. Warna sufistik gamelan Jawa ini lalu berpengaruh dalam gamelan Sunda & Madura.

Sunan Bonang juga menambahkan instrumen baru dalam gamelan. Yaitu bonang (diambil dari gelarnya sebagai wali yg membuka pesantren pertama di Desa Bonang). Bonang adalah alat musik dari Campa, yg dibawa dari Campa sebagai hadiah perkawinan Prabu Brawijaya dengan Putri Campa, yg juga saudara sepupu Sunan Bonang. Instrumen lain yg dibubuhi dalam gamelan ialah rebab, alat musik Arab yg memberi suasana syahdu & wajib kalau dibunyikan. Rebab, yg tidak ada dalam gamelan Bali, sangat lebih banyak didominasi dalam gamelan Jawa, bahkan didudukkan sebagai raja instrumen.

Sebagai Imam pertama Masjid Demak, Sunan Bonang bersama wali lain, terutama murid & sahabat karibnya Sunan Kalijaga, sibuk memberi warna lokal dalam upacara-upacara keagamaan Islam seperti Idul Fitri, seremoni Maulid Nabi, peringatan Tahun Baru Islam (1 Muharram atau 1 Asyura) & lain-lain. Dengan memberi warna lokal maka upacara-upacara itu tidak asing & akrab bagi masyarakat Jawa.

Syair Islam pun akan mulus & ajaran Islam gampang diresapi. Toh, menurut Sunan Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-araban. Menutupi aurat tidak mesti memakai baju Arab, tetapi relatif dengan memakai kebaya & kerudung.

Di antara upacara keagamaan yg diberi bungkus budaya Jawa, yg sampai kini masih diselenggarakan ialah upacara Sekaten & Grebeg Maulid. Beberapa lakon carangan pewayangan yg bernapas Islam juga digubah oleh Sunan Bonang bersama-sama Sunan Kalijaga. Di antaranya Petruk Jadi Raja & Layang Kalimasada.

Setelah berselisih paham dengan Sultan Demak I, yaitu Raden Patah, Sunan Bonang mengundurkan diri sebagai Imam Masjid Kerajaan. Ia pindah ke desa Bonang, dekat Lasem, sebuah desa yg kemarau kerontang & miskin. Di sini dia mendirikan pesantren kecil, mendidik murid-muridnya dalam berbagai keterampilan di samping pengetahuan agama. Di sini pula Sunan Bonang banyak mendidik para mualaf menjadi pemeluk Islam yg teguh. Suluk-suluknya seperti Suluk Wujil, mengungkapkan bahwa dia bukan saja mengajarkan ilmu fikih & syariat serta teologi, melainkan juga kesenian, sastra, seni kriya, & ilmu tasawuf. Tasawuf diajarkan kepada siswa-siswanya yg pandai, jadi tidak diajarkan kepada sembarangan murid.

Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali banyak sumber air & sumur untuk perbekalan air penduduk & untuk irigasi pertanian lahan kemarau. Sunan Bonang juga mengajarkan cara memproduksi terasi, karena di Bonang banyak masih ada udang kecil untuk pembuatan terasi. Sampai kini terasi Bonang sangat terkenal, & merupakan sumber penghasilan penduduk desa yg relatif krusial.

Karya & Ajaran

Karya Sunan Bonang, puisi & prosa, relatif banyak. Di antaranya sebagaimana dianggap B Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud (1967), Drewes (1954, 1968 & 1978) ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng & lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yg dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yg ditulis dalam bentuk percakapan antara guru tasawuf & muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan & terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian disunting lagi oleh Drewes & disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969).

Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan pembahasan ringkas dalam tulisannya Soeloek Woedjil: De Geheime leer van Soenan Bonang (majalah Djawa no. 3-lima, 1938). Melalui karya-karyanya itu kita bisa memetik beberapa ajarannya yg krusial & relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yg lain, berkenaan dengan metode intuitif atau jalan cinta (isyq) pemahaman terhadap ajaran Tauhid; arti mengenal diri yg berkenaan dengan ikhtiar pengendalian diri, jadi bertalian dengan kasus kecerdasan emosi; kasus kemauan murni & lain-lain.

Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah tendensi yg kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Mahaindah. Dalam pengertian ini seseorang yg mencintai tidak memberi tempat dalam yg selain Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba dari cinta seperti itu ialah pengenalan yg mendalam (makrifat) tentang Yang Satu & perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran & eksistensi-nya. Apabila telah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati & perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi & diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) & waspada.

Cinta merupakan, baik keadaan rohani (hal) maupun peringkat rohani (maqam). Sebagai keadaan rohani dia diperoleh tanpa upaya, karena Yang Satu sendiri yg menariknya ke hadirat-Nya dengan menawarkan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta dicapai melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah & melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin melawan tendensi buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu.

Ibadah yg sungguh-sungguh & latihan kerohanian bisa membawa seseorang mengenal kehadiran rahasia Yang Satu dalam setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu kemauan yg tidak dicemari sikap egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa nafsu, timbul dari tindakan ibadah. Kita wajib menjadikan diri kita masjid yaitu, tempat bersujud & menghadap kiblat-Nya, & segala perbuatan kita pun wajib dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan & perilaku kita. Kemauan baik tiba dari ingatan (zikir) & pikiran (pikir) yg baik & jernih tentang-Nya.

Dalam Suluk Wujil, yg memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yg berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang wali bertutur:

Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya bisa kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yg terjadi di sekitarmu
Adalah implikasi perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau wajib mengenal yg tidak bisa binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga dalam akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yg mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan bisa memperbaikinya

Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yg spiritual yg menentukan yg material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, dia menyangka yg material semata-mata yg menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.

Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:

Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi & wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.

Dalam Suluk Ing Aewuh dia menyatakan:

Perkuat dirimu dengan ikhtiar & amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.

Relevansi & Pengaruh

Jelas sekali bahwa Sunan Bonang mengajarkan tasawuf positif dengan menekankan pentingnya ikhtiar & kemauan (kehendak) dalam mencapai hasrat.

Pengaruh ajaran ini juga terasa pula dalam pandangan hidup & budaya masyarakat muslim pesisir, khususnya di Jawa Timur & Madura. Penduduk muslim Jawa Timur & Madura sejak lama ialah pengikut madzab Syafii yg patuh dengan tendensi tasawuf yg kuat. Namun mereka juga mempunyai etos kerja keras & akrab dengan budaya dagang.

Tasawuf yg diresapi & dipahami ternyata bukan tasawuf yg eskapis & pasif. Sebaliknya yg dihayati ialah tasawuf yg aktif & militan; aktif & militan dalam kehidupan sosial, ekonomi & politik, & juga dalam kehidupan agama & kebudayaan.

Pengaruh krusial lain ajaran Sunan Bonang ialah dalam pemikiran kebudayaan termasuk dalam seni atau wawasan estetik. Sunan Bonang berpendapat bahwa agama apa pun, termasuk Islam, bisa tersebar cepat & gampang diresapi oleh masyarakat, kalau unsur-unsur krusial budaya masyarakat setempat bisa diserap & diintegrasikan ke dalam sistem nilai & pandangan hidup agama bersangkutan. Nuwun. ~disarikan dari berbagai sumber~

Leave a Reply