Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Narkoba dari masa ke masa semakin berkembang. Penyalahgunaan candu atau madat pada generasi masa kini sudah sangat memprihatinkan. Meski ribuan pelaku & pemakai sudah banyak dipenjara, bahkan sebagian diantaranya menagguk ajal diujung bedil karena vonisnya. Namun sepertinya hal ini tidak cukup membuat jera, para pemakai & pengedar terus bermunculan. Nah, pertanyaannya semenjak kapan sebenarnya orang Indonesia ini akrab dengan madat & siapa btg hidungnya yang mengenalkannya?
Panjang kang untuk mengungkapkan hal ini, semua berawal dari satu nama Poppy. Poppy yang saya maksud disini bukanlah nama orang, tapi nama lain dari Bunga opium (poppy), yang dalam bahasa Latin dianggap Papaver somniferum.
Tahukan kita zat adiktif pertama yang menjadi induk dari narkoba seperti morfin, sabu & kokain? Tak lain ialah Papaver somniferum atau si Poppy ini. Poppy atau bunga opium inilah yang menjadi bahan utama candu. Nah, Opium atau candu inilah engkongnya produk berbagai jenis & nama narkotika ketika ini.
Bunga opium (poppy), memang tidak ditanam pada Pulau Jawa. Meski demikian, orang Jawa ditengarai sudah memakai opium jauh sebelum kedatangan Belanda. Kemudian setelah orang Belanda mendarat pada Pulau Jawa, pada akhir abad 17, mereka bersaing keras dengan pedagang Inggris untuk merebut pasar opium pada Jawa.
Pada 1677, Kompeni Hindia Timur Belanda (VOC) memenangkan persaingan tersebut. Kompeni berhasil memaksa Raja Mataram, Amangkurat II, menandatangani sebuah perjanjian yang menentukan. Isi perjanjian itu ialah: Raja Mataram menunjukkan hak monopoli kepada Kompeni untuk memperdagangkan opium pada wilayah kerajaannya.
Dari berbagai literasi disebutkan Opium telah lahir & digunakan semenjak ribuan tahun lalu. Di zaman neolitikum bibit opium banyak ditemukan pada dekat tempat pembakaran mayat & juga dikenal sebagai flora obat pada Afganistan. Opium diketahui banyak tersebar pada Afghanistan, Pakistan, India Selatan & Myanmar.
Pertanyaannya, kenapa candu menjadi perhatian yang besar pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad 19 & awal abad 20? Tak lain ialah keuntungan yang berlipat lipat yang pada dapatkan dari aktifitas perdagangan ini. Candu memang tidak ditanam pada Hindia Belanda, melainkan barang yang masuk ke Hindia Belanda khususnya Jawa melalui jalur perdagangan.
Candu awalnya dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai bahan campuran minuman (teh & kopi), masih ada juga yang mengkonsumsi candu dengan cara dimakan (Jawa: mangan, nyeret) atau dirokok dengan memakai pipa (Jawa: Ngudud). Berbagai literatur Jawa seperti Serat Suluk Gatolotjo & Surat Kabar Djawi Hiswara telah menuliskan adanya penggunaan candu yang berbentuk lintingan rokok sebagai bagian dari pemberian sajen kepada nenek moyang.
Candu menjadi menarik karena pada awal mula perdagangan komoditi ini muncul pada abad ke-16 VOC sudah mulai tertarik & bersaing dengan pedagang-padagang dari Inggris, Denmark & Arab. Menurut James R. Rush dalam bukunya Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910 mengatakan monopoli perdagangan candu yang didapatkan oleh VOC berkaitan dengan perjanjian antara VOC & Sultan Amangkurat II, raja Mataram untuk memasukan candu ke wilayah kekuasaan Mataram.
Pada tahun 1678, Kerajaan Cirebon juga menyepakati perjanjian serupa. Inilah tonggak awal monopoli opium Belanda pada Pulau Jawa. Hanya dalam tempo 2 tahun, lalu lintas perdagangan opium meningkat 2 kali lipat. Rata-homogen setiap tahun, 56 ton (!) opium mentah masuk ke Jawa secara resmi. Tetapi, opium yang masuk sebagai barang selundupan bisa 2 kali lipat dari jumlah impor resmi itu.
Pada awal 1800 an, sirkulasi opium sudah menjamur pada seluruh pesisir utara Jawa, dari Batavia sampai ke Tuban, Gresik, Surabaya pada Jawa Timur, bahkan Pulau Madura. Di pedalaman Jawa, opium menyusup sampai ke desa-desa pada seantero wilayah Kerajaan Surakarta & Yogyakarta. Di Yogyakarta saja masih ada 372 tempat penjualan opium.
Di kalangan kaum bangsawan, opium bahkan menunjukkan corak tertentu pada gaya hidup yang sedang berkembang. Opium dicermati sebagai peranti keramah-tamahan dalam kehidupan bermasyarakat. Di pesta- pesta kalangan atas, jamak belaka jikalau para tetamu laki-laki disuguhi opium. Bahkan, menurut sebuah laporan, para prajurit Pangeran Diponegoro, selama Perang Jawa berlangsung, banyak yang jatuh sakit ketika pasokan opium terganggu.
Permukiman Cina, yang semula hanya terpusat pada sepanjang pesisir utara, pada pertengahan abad ke-19 mulai menyebar ke kota-kota pedalaman Jawa. Bahkan, justru kawasan pedalaman inilah yang kemudian berkembang menjadi lahan subur bagi para bandar opium. Pasar opium paling ramai terletak pada kawasan Jawa Tengah & Jawa Timur.
Bandar opium Surakarta, misalnya, bersama wilayah Keresidenan Kediri & Madiun, Jawa Timur, selalu menghasilkan pajak opium tertinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sejak awal abad 19 sampai awal abad 20, kawasan itu juga mencatat rekor jumlah pengguna opium, dibandingkan dengan wilayah mana pun pada Pulau Jawa.
Peringkat kedua diduduki oleh penduduk yang bermukim pada wilayah pesisir: Semarang, Rembang, sampai Surabaya. Tapi, pada peringkat yang sama juga tercatat kawasan pedalaman Yogyakarta, & wilayah Keresidenan Kedu. Kemudian disusul wilayah Batavia, sampai pantai utara bagian timur, Rembang, Tuban, Besuki, Pasuruan, Probolinggo, Madura, juga pedalaman Ponorogo.
Pada masa itu, mengisap opium seperti menjadi ciri generik kehidupan kota & desa. Opium dipasarkan bahkan sampai ke tengah masyarakat desa yang tergolong miskin. Pesta panen, misalnya, sering dibarengi dengan pesta candu. Bahkan dalam hajatan pernikahan, tak jarang tuan rumah menyediakan candu untuk para tetamu yang dikenal sudah biasa menghirup madat.
Para Pamong Desa (perangkat desa) pun dijamu dengan cara ini. Opium masuk ke dalam kehidupan masyarakat Jawa tanpa memandang pangkat & derajat. Candu dijajakan seperti kacang dari rumah ke rumah. Hampir pada setiap desa masih ada pondok tempat mengisap opium. Orang Jawa membeli opium dengan duit yang didapat dari memeras keringat sebagai petani, pedagang, buruh, & kuli perkebunan.
Padahal, penghasilan seorang buruh pada 1885 homogen-homogen hanya 20 sen per hari. Sementara itu, belanja opium homogen-homogen orang Jawa pada masa itu mencapai 5 sen per hari. Artinya, sekitar seperempat pendapatan dijajankan untuk opium. Diperkirakan, satu dari 20 lelaki Jawa mengisap opium hanya sebagai kenikmatan sesaat, tak sampai terjerat menjadi pecandu.
Ibarat istilah, kedudukan opium pada masa itu mirip dengan posisi rokok pada masa kini. Tapi, masih ada juga sebagian orang Jawa yang membelanjakan sampai 20 sen per hari hanya untuk opium. Karena itu, tidaklah mengherankan bila banyak orang Jawa yang jatuh papa lantaran opium. Mulai insaf akan ancaman obat bius ini, pada abad ke-18, Raja Surakarta, Paku Buwono II, bertekad melarang semua keturunannya mengisap opium.Larangan itu, rupanya, ibarat gaung jatuh ke lembah. Terdengar selintas angin, lalu lenyap ditelan kegelapan.
Di kalangan masyarakat Cina pada masa itu, mengisap opium malah bisa dikatakan sudah menjadi semacam "kebudayaan". Baik untuk kalangan yang tinggal pada kota besar, maupun pada kota kecil & pedesaan. Para hartawan Cina menikmati opium pada rumah mereka, atau pada klub-klub opium yang bersifat langsung. Sedangkan Cina miskin mengisap opium pada pondok-pondok opium generik, bersama penduduk setempat.
Hanya sedikit Cina kaya yang terbebas dari opium pada masa itu. Adalah sebuah kehormatan besar bagi tamu-tamu pada rumah tangga Cina, bila mereka disuguhi candu. Dibandingkan dengan orang Jawa, secara individu orang Cina memang lebih banyak mengonsumsi opium. Tetapi, pada lapisan pecandu berat opium, orang Jawa tetap menduduki peringkat paling atas. Di masa-masa awal, orang Sunda ternyata tak mempan oleh godaan opium.
Masyarakat tanah Pasundan bahkan menyatakan kebenciannya terhadap opium dengan membuat larangan resmi. Sepanjang abad 19, kawasan ini dinyatakan bebas opium. Pemerintah kolonial Belanda melarang bandar opium Cina masuk beroperasi pada wilayah Keresidenan Priangan & Banten.
Barulah pada awal abad 20, opium resmi masuk Priangan & Banten, setelah pemerintah kolonial Belanda mencabut hak monopoli sirkulasi dari para pedagang Cina. Sebagai gantinya, semenjak ketika itu Belanda mengizinkan agen opium pemerintah beroperasi secara resmi pada kedua wilayah keresidenan itu. Jawa Barat pun, akhirnya, tak bisa lepas dari rayuan opium.
Belanda mulai mendirikan bandar-bandar opium resmi pada pedalaman Jawa pada 1830. Kompeni mengimpor opium mentah yang dilelang dari pasar opium pada Calcutta, India, & Singapura. Pengolahan bahan mentah itu diserahkan kepada para pedagang, yang sekaligus bertindak sebagai distributor opium pada tanah Jawa.
Pemerintah kolonial menunjuk para pedagang Cina untuk mengawasi sirkulasi opium pada dearah tertentu. Penunjukan ini dilakukan lewat lelang, yang berlangsung pada pendapa kediaman resmi para bupati setempat. Ketika lelang berlangsung, berkumpullah para bupati, pejabat kolonial, & para pedagang Cina. Mereka mengenakan pakaian kebesaran, lengkap dengan lambang kekuasaan & pengawalnya. Banyak yang dipertaruhkan pada meja lelang. Bagi residen Belanda, penawaran tertinggi berarti sumbangan melimpah akan masuk ke pundi-pundi pemerintah. Hal ini ditafsirkan sebagai sebuah keberhasilan pemerintah. Sebab, pajak opium dijadikan alat ukur bagi kemakmuran wilayah.
Monopoli candu yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda selalu mengalami perubahan. Pertama ketika VOC memegang monopoli ini sistem yang digunakan ialah amfioen societeit yaitu sebuah badan perantara yang melakukan penjualan candu pada wilayah Indonesia dari tangan VOC. Karena tidak menunjukkan keuntungan yang diperlukan & banyaknya perdagangan gelap maka sistem ini diganti dengan amfioen directie.
Setelah bubarnya VOC pemerintah kolonial Belanda mengganti sistem monopoli candu dengan sitem pemborongan (pachtstelsel). Sistem pemborongan ini (opiumpacht) dijalankan selama abad ke-19. Sistem monopoli candu ini pun bukan sistem yang terbaik yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda karena sistem ini menimbulkan berbagai masalah yaitu pemerasan, penyelewengan, & menimbulkan jatuhnya wibawa pemerintah kolonial Belanda.
Para pemborong (pachter) banyak melakukan tindakan korupsi & terlibat dalam perdagangan gelap. Mereka juga melakukan pemerasan terhadap rakyat yang berhutang candu. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi rakyat dimana rakyat menjadi miskin & sengsara yang akan terjadi sistem pemadatan ini. Sistem opiumpacht yang sangat merugikan ini ditentang oleh banyak orang terutama oleh Anti Opium Bond pada tahun 1890. Anti Opium Bond ini juga menyarankan kepada pemerintah kolonial untuk mengganti sistem opiumpacht menjadi sistem opium regie. Saran ini diterima & dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.
Sistem penjualan candu yang baru, opium regie merupakan monopoli penjualan candu oleh pemerintah secara keseluruhan mulai dari impor sampai candu sampai ke tangan pembeli. Sistem opium regie ini mengadopsi sistem yang dijalankan oleh Perancis pada Indo China. Opium regie mulai diberlakukan pada tahun 1894 pada Madura & pulau Jawa. Pemerintah kolonial Belanda melarang penanaman opium pada seluruh Hindia Belanda, opium diimpor & diolah dipabrik yang didirikan pada Batavia.
Pabrik madat pertama yang berada pada wilayah Struiswijk (Gang Tengah, Jakarta) & pada Meester Cornelis (Jatinegara Jakarta) dalam waktu singkat, kedua pabrik madat ini kewalahan memenuhi kebutuhan candu hisap pada Nusantara. Maka kemudian untuk memenuhi kebutuhan pasar, dibuatlah pabrik candu moderen pada tahun 1901 pada wilayah Kramat Jakarta pada tahun 1901. Lengkap dengan jalur kereta apinya untuk membawa berton-ton candu mentah dari pelabuhan ke pabrik tersebut. Bekas pabrik candu moderen pertama pada Jakarta itu sekarang digunakan menjadi kampus Universitas Indonesia yang teletak pada Jalan Salemba.
Sistem opium regie mengharuskan penjual yang dianggap mantri candu, mencantumkan papan nama disetiap bangunan yang menjual candu dengan nama Kantor Penjualan dengan bahasa Belanda, Melayu & bahasa wilayah dimana candu tersebut pada jual. Biasanya loket penjualan candu masih ada pada wilayah-wilayah yang dekat dengan masyarakat seperti dekat pasar, perkebunan, & pelabuhan.
Loket candu ini dibuka pada siang hari mulai jam 12 siang sampai jam 10 malam, pada hari minggu & hari-hari besar seperti Gerebeg puasa, hari ulang tahun kerajaan Belanda loket penjualan candu ditutup. Para pembeli candu diijinkan untuk memakai candu pada warung-warung candu (bambon peteng) yang telah ditunjuk oleh dinas opium regie.
Pemerintah kolonial Belanda juga mengontrol wilayah-wilayah penjualan candu dengan menetapkan jenis konsumen (Eropa, Pribumi & China) & melarang beberapa golongan masyarakat untuk mengkonsumsi candu yaitu militer, anggota kerajaan, pegawai pemerintah & orang yang belum berumur 20 tahun. Daerah-wilayah sirkulasi candu juga ditetapkan yaitu wilayah terbuka (konsumen bebas untuk membeli & mengkonsumsi candu tanpa lisensi).
Daerah terbuka untuk perdagangan candu yaitu Batavia, Meester Cornelis, Semarang & Surabaya. Daerah lisensi (pembeli harus mendapatkan ijin untuk membeli candu & menggunakannya). Di Jawa sebagian besar ialah wilayah berlisensi sehingga masyarakat yang akan mengkonsumsi candu harus mengajukan surat permohonan kepada kontrolir untuk diberikan ijin. Pemohon ijin penggunaan candu harus mencantumkan penghasilan mereka untuk dipengaruhi oleh petugas berapa candu yang boleh dikonsumsi dalam sehari sehingga tidak terjadi pemborosan.
Candu-candu itu telah membawa keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda meskipun tidak dimuat dalam neraca perdagangan ekspor yang resmi. Keuntungan pada Neraca Perdagangan seolah-olah hanya didapat langsung dari penjualan produk-produk Nusantara seperti kopi, gula, timah & lainnya.
Hasil keuntungan dari penjualan candu itu digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk pengeluaran-pengeluaran tidak resmi seperti menyogok para Raja & penguasa pribumi & juga untuk ongkos operasi peperangan yang tidak dimasukkan dalam neraca pendapatan & pengeluaran pemerintah Hindia Belanda.
Keuntungan yang diperoleh pemerintah Hindia Belanda dengan menjual candu itu tentunya dengan pengorbanan orang-orang pada Nusantara terutama pada Jawa yang terseret dalam kebiasaan mengisap candu yang melemahkan otak & fisik. Bahkan candu ialah penyebab peperangan antara Kerajaan Lombok dengan Hindia Belanda, karena bersaing dalam penjualan candu.
Keuntungan yang diperoleh pemerintah Hindia Belanda dengan menjual candu itu tentunya dengan pengorbanan orang-orang pada Nusantara terutama pada Jawa yang terseret dalam kebiasaan mengisap candu yang melemahkan otak & fisik. Bahkan candu ialah penyebab peperangan antara Kerajaan Lombok dengan Hindia Belanda, karena bersaing dalam penjualan candu.
Seperti halnya, ketika Kerajaan Bone pada serang oleh pasukan Belanda pada tahun 1905 tidak melakukan tembakan balasan. Hanya butuh sehisapan candu pasukan Belanda untuk merebut kerajaan karena tentara kerajaannya mundur. Daya tempur para prajurit Kerajaan Bone Sulawesi Selatan tersebut kendur yang akan terjadi gemarnya ngisep candu.
Diceritakan ketika benteng diserang, para prajurit Bone hanya duduk termenung & memandang ke depan tanpa aktualisasi diri. Sementara info pada majalah Militaire Gids terbitan tahun 1913 menuliskan bahwa 60 persen dari para Bintara orang Jawa ialah penghisap candu. Candu dijual secara sembunyi-sembunyi pada asrama yang membuat para serdadu muda itu itu berubah menjadi serdadu penghisap candu.
Di asrama tentara juga biasanya disediakan bilik-bilik bagi istri prajurit untuk menghisap candu. Tapi para istri prajurit itu lebih suka menikmati candu pada kamarnya masing-masing. Kini setelah terbebas dari penjajahan, ternyata generasi bangsa ini masih banyak yang terjajah candu. Mirisnya lagi, korbannya ialah selalu anak-anak muda yang harusnya menjadi penerus bangsa.
Oei Tiong Ham, Bandar Terakhir
Untuk memberantas opium selundupan pada wilayahnya, para bandar opium menebar mata-mata, bekerja sama dengan polisi Belanda. Pengedar opium gelap yang tertangkap diseret ke pangadilan Belanda. Tapi, sejauh itu, polisi Belanda hanya dapat menangkap pengedar kelas teri. Padahal, sudah menjadi rahasia generik bahwa sirkulasi opium gelap itu merupakan ulah seorang bandar untuk menghancurkan urusan ekonomi bandar pesaingnya.
Tio Siong Mo, bandar dari Solo, mengeluh karena wilayahnya dibanjiri opium gelap dari Semarang, yang diproduksi Be Biauw Tjoan. Banjir opium gelap itu menimbulkan Tio bangkrut, & terancam dicabut kontraknya pada 1854. Ia minta keringanan pajak dari Gubernur Jenderal Belanda. Tetapi, keluh kesah Tio itu dipercaya sepi. Ia justru dipenjarakan, lantaran tak sanggup membayar kewajiban pajaknya. Sebaliknya, pada Negeri Belanda sendiri, parlemen Belanda menuduh pemerintahkolonial menganakemaskan Be Biauw Tjoan. Sepuluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Belanda baru berhasil mengungkap kiprah kunci Be Biauw Tjoan dalam bulat penyelundupan candu.
Pangkat Be Biauw Tjoan sebagai mayoor de Chinesen dicopot. Para bandar opium pada masa itu umumnya memang merangkap "opsir" Cina. Pangkat ini tidak masih ada hubungannya dengan dunia kemiliteran, meskipun pangkat itu mulai dari "luitenant" (letnan), "kapitein" (kapten), sampai "mayoor" (mayor). Para "opsir" ini hanya ditugasi memimpin komunitas Cina pada kota tertentu.
Meski demikian, Be Biauw Tjoan tidak keluar dari urusan ekonomi candu. Bandar opium yang kaya raya ini terus mendominasi urusan ekonomi opium pada Jawa Tengah. Ia sangat militan pada meja lelang, & menyerang bandar- bandar opium saingan lewat "opium ilegal". Be dilaporkan bandar opium Banyumas mengedarkan opium pada kawasan ini pada 1867. Tapi, ia sudah telanjur tak terjamah. Pada tahun itu, ia justru diangkat pulang sebagai mayor, sampai meninggal pada 1904.
Di setiap kota pada Jawa masih ada keluarga opsir Cina kaya yang secara turun-temurun mencari nafkah dari urusan ekonomi candu. Bandar opium terakhir yang terbesar ialah Oei Tiong Ham. Ayahnya, Oei Tjie Sien, tiba pada Semarang pada 1858. Lima tahun kemudian, Oei Tjie Sien mendirikan kongsi dagang Kian Gwan, yang beranjak pada bidang perdagangan gula. Pada 1886, Oie Tiong Ham, yang baru berumur 20 tahun, diangkat sebagai "letnan" Cina.
Keluarga Oei masuk ke urusan ekonomi candu pada 1880, ketika sebagian besar bandar opium bangkrut. Oie membeli lima kebandaran opium yang menguasai Semarang, Solo, Yogyakarta, Rembang, & Surabaya. Dari urusan ekonomi opium ini, Oei Tiong Ham berhasil mengeruk keuntungan sekitar 18 juta gulden. Tetapi, bandar opium hanyalah sebagian dari kerajaan urusan ekonomi Oei yang terus berkembang. Pada 1893, Oie Tiong Ham menggabungkan kongsi Kian Gwan, membentuk Handel Maatschappij Kian Gwan, yang beranjak pada bidang perdagangan gula, pelayaran, & perbankan. Oei menguasai perdagangan gula pada Jawa, memiliki lima pabrik gula pada Jawa Timur. Ia mendominasi kebandaran opium Jawa Tengah & Jawa Timur, sampai kebandaran opium yang dipegang orang-orang Cina dibubarkan pemerintah kolonial, pada 1902.
Referensi :
Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910, James R. Rush.
Majalah Gatra, &
Diolah dari berbagai sumber