web analytics
Roro Mendut Petaka Sebuah Kecantikan - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Betapa besar pengaruh wanita terhadap jalannya pemerintahan negara. Karena wanita, percaturan politik suatu negara dapat berubah arah. Perang bisa mereda karena wanita. Namun, terdapat juga peperangan yang disulut oleh wanita. Di pergikelentikan tangan serta kerlingan matanya, wanita menyimpan pesona yang merontokkan jiwa lelaki.

Tentu ini bukan premis semata, sebagaimana yang kita ketahui digdayanya Panembahan Senopati pada medan perang harus berlunak hati segemulai-gemulainya saat berhadapan dengan Retno Dumilah putri sulung adipati Madiun yang ditaklukkannya. Satu keadaan yang memaksa adipati Madiun serta Raden Calonthang adik dari Retno Dumilah melarikan diri ketika Paembahan Senopati serta prajuritnya memasuki kadipaten. Hanya Retno Dumilah yang menyambutnya dengan tegar. Di bahunya terdapat endong penuh anak panah, sedang tangan kanannya memegang keris pusaka. Sedang pistol dipegang tangan kirinya. Gagah bagaikan Srikandi ia menghadang Panembahan Senopati.

Mendapati sikap perlawanan tadi, Panembahan Senapati urung murka. Dia justru jatuh cinta pada Retna Dumilah. Putri kadipaten Madiun itupun dikawininya. Sebagai tindak lanjut dari perkawinan itu, Raden Calonthang diangkat menjadi adipati Madiun yang baru.

Panembahan Senapati harus membayar mahal untuk kebijakannya ini. Adipati Pragola, adik sang permaisuri Senopati, merasa sakit hati. Setidaknya tercatat terdapat dua alasan yang dimiliki pemimpin kadipaten Pati ini. Pertama, tidak rela kakak perempuannya akan tersaingi oleh Retna Dumilah.

Kedua, pengangkatan Raden Calonthang menjadi adipati Madiun seolah mengabaikan segala pengorbanan para pendukung Mataram ketika berjuang menundukkan Madiun. Kebijakan panembahan senapati membuat Madiun menjadi barah dalam sekam bagi Mataram. Wujud sakit hati itu berupa 3 kali pemberontakan Adipati Pragola terhadap Panembahan Senopati. Namun ketiga pemberontakan tadi berhasil diredam.

Nah, pada babak inilah kisah petualangan Roro Mendut seperti pada judul tulisan ini dimulai. Roro Mendut adalah gadis pantai dari desa Telukcikal. Roro Mendut hidup dengan Kakek Siwa atau orang tua angkatnya karena ia adalah anak yatim piatu. Ketika menginjak dewasa, ia dipungut oleh Adipati Pragolo penguasa Pati yang tidak mau tunduk pada kerajaan Mataram. Adipati Pragola II meneruskan perjuangan ayahnya. Ketika kekuasaan mataram dipegang oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma yang menggantikan tahta Panembahan Senapati, Adipati Pragola II unjuk sikap. Dia tidak serta merta mengakui kedaulatan Mataram atas Pati. Dalam suatu pertempuran yang dipimpin langsung oleh Sultan Agung, Adipati Pragola II gugur. Dia tewas oleh tombak pusaka mataram yang bernama Kiai Baru.

Di tengah perjuangannya, Adipati Pragola sempat menyunting Rara Mendut. Namun putri duyung pantai utara itu tidak disentuhnya sama sekali. Dia ingin menuntaskan perjuangan menegakkan kedaulatan Pati terlebih dahulu. Dalam masa penantian itu, Mendut tinggal pada puri Pati untuk bersiap diri menyambut kemenangan Sang Adipati. Sayangnya, harapan itu tidak pernah terwujud. Gugurnya Adipati Pragola II menandai runtuhnya kadipaten Pati. Atas perintah raja Mataram, Tumenggung Wiraguna menggempur benteng-benteng Pati. Seluruh peti harta serta pusaka puri Pati diangkut ke Mataram. Kota Pati dibakar habis. Semua istri, selir, serta putra-putri Adipati Pragola dibunuh. Sementara para putri bangsawan pati diboyong ke Mataram menjadi harta pampasan perang, termasuk Rara Mendut.

Jatuh cinta pada pandangan pertama inilah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan ketertarikan Tumenggung Wiraguna kepada Rara Mendut. Ketika putri boyongan sedang dikumpulkan oleh balatentara Mataram, Rara Mendut berusaha lolos dari puri. Dia sempat membuat repot orang yang bertugas menangkap para putri hidup-hidup. Tumenggung Wiraguna bertemu Rara Mendut dalam situasi itu.

Kegesitan Rara Mendut seolah menjadi magnit bagi kerasnya jiwa besi Wiraguna. Tidak heran seandainya Wiraguna memberanikan diri meminta Rara mendut menjadi pemberian  kepada raja Mataram. Dari sini timbul dugaan keliru perihal motivasi Tumenggung Wiraguna. Sebagian besar orang menduga Wiraguna ingin mengawini Rara Mendut karena terpesona dengan tubuh sintalnya.

Tumenggung wiraguna sejatinya ingin mengawini mendut karena ia terinspirasi sebuah tembang dandanggula. Isi tembang tadi ialah suatu ramalan perihal masa kejayaan Mataram. Menurut ramalan tadi, Mataram bakal jaya seandainya Mataram berhasil menyatukan wilayah gunung dengan wilayah pantai. Tumenggung Wiraguna merasa inilah saat yang tepat.

Rara Mendut bukan cuma karena bertubuh jelita. Dia merupakan pengejawantahan jiwa pantai utara, kaum bahari. Sementara wiraguna menduga dirinya menjadi unsur gunung yang menyimbolkan Mataram. Oleh karena itu, Rara Mendut seharusnya tidak hanya tunduk, akan tetapi menyayangi Mataram. Pemikiran tadi membuat Wiraguna tidak memperkosa Mendut walaupun bisa. Dia ingin Mendut menyerahkan diri secara sukarela. Apabila gunung serta pantai bisa manunggal, maka Mataram berada pada puncak kejayaan.

Dia berani menolak hasrat berahi seorang Panglima, walaupun dengan itu, ia harus menanggung resiko membayar pajak upeti seperti layaknya sebuah kawasan ataupun orang-orang yang takluk oleh kekuasaan Mataram. Pemberontakan Mendut pada awalnya ditanggapi dengan lunak. Tapi lama kelamaan, Tumenggung merasa kesal serta jengkel. Pajak yang tadinya ditetapkan setiap bulan ditekan menjadi setiap minggu.

Mendut tak kehilangan akal, kemudian menjual semua perhiasannya untuk dijadikan modal berjualan puntung rokok. Di alun-alun Mataram Istana Karta, tepatnya pada tengah pasar rakyat, Mendut membuka warung puntung rokoknya. Sambil diiringi tarian erotis penuh gerakan kebebasan ala budaya pantai utara, Mendut menghisap rokok serta bekasnya dijual pada setiap pengunjung yang mau membeli.

Tentu saja harganya lebih mahal dari rokok biasa, karena rokok tadi telah tersentuh serta dihisap oleh Mendut, yang menurut anggapan rakyat banyak, Mendut adalah seorang Putri Selir Mataram dari Tumenggung Wiroguno. Di pasar itulah, Mendut mengenal Pronocitro pada pandangan pertama. Cinta mulai bersemi pada dada masing-masing dua insan yang sedang jatuh cinta.

Pronocitro pun kemudian tahu perihal cerita Mendut menjadi Puteri Boyongan dari Kadepaten Pathi. Sedangkan Pronocitro sendiri adalah seorang pengembala yang lari dari keinginan ibunya Nyai Singa Barong, seorang saudagar armada dagang pada Pekalongan, yang menginginkan putranya meneruskan bisnisnya. Terdamparlah Pronocitro pada Mataram serta menemukan Mendut menjadi jodohnya.

Dengan ketampanan serta keperkasaan tubuhnya, Pronocitro akhirnya dapat masuk ke dalam Puri Wirogunan menjadi pemelihara kuda. AwalnyaWiroguno tidak mencurigai keberadaannya, menjadi kekasih gelap Den Roro Mendut, tapi akhirnya kontak mereka berdua tercium juga oleh Wiroguno. Suatu malam Pronocitro serta Mendut merencanakan untuk kabur, karena sebelumnya mereka telah tahu bahwa, Wiroguno akan menangkap basah mereka saat berduaan. Dengan bantuan dayang-dayang Puri Wirogunan, yang sepakat dengan kontak Mendut-Pronocitro, akhirnya mereka berhasil mencuri start, sebelum Wiroguno serta pasukannya datang menyergap.

Wiroguno kalang-kabut serta bersama pasukannya mencoba mengejar serta menangkap mereka hidup-hidup. Setelah pencarian siang serta malam, akhirnya Mendut serta Pronocitro dapat terkejar serta tersudut pada Muara sungai Oya-Opak. Mereka telah terkepung serta sulit berkutik lagi. Namun Pronocitro dengan gagah berani tampil ke depan menghadapi seorang Panglima Mataram. Dia tahu kalau kekuatannya tidak sebanding dengan Tumenggung Wiroguno, tapi cinta telah menuntunnya untuk berani disaat-saat yang begitu mendesak.

Perkelahian tak dapat dihindaridan kemenangan telah dipastikan akan berpihak pada Wiroguno. Disodorkanlah keris sakti Wiroguno ke hadapan tubuh Pronocitro, namun secepat kilat Mendut telah berdiri tepat pada hadapan Pronocitro. Keris Wiroguno tertancap menusuk jantung Mendut serta tembus ke dada Pronocitro. Mereka rubuh bersimbah darah. Tubuh mereka hanyut dihemapas ke muara sungai menuju samudera, tempat berasal mereka dulu.

Cinta telah menyatukan mereka dalam satu nafas, kehidupan serta kematian. Sedangkan kekuasaan memang selalu menyiratkan kekuataan senjata serta darah, lalu melupakan nilai-nilai kemanusiaan perihal cinta serta kasih sayang. Pesan moral yang dapat kita petik dari kisah pada atas adalah bahwa harta, pangkat, serta jabatan bukanlah jamimanan untuk mendapatkan cinta sejati seseorang. Cinta sejati tidak selamanya bisa dinilai dengan materi, namun justru cinta itu hadir karena perasaan saling memberi-mendapatkan serta memiliki sebagaimana kisah Rara Mendut serta Pranacitra. Nuwun

Referensi :
Roro Mendut, Romo Mangunwijaya Dan diolah dari berbagai sumber

Leave a Reply