web analytics
Perang Jawa Pecah Kongsi Dua Sekondan Kyai Modjo dan Diponegoro - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Tulisan yang sedang kerabat perkerisan baca ini adalah kelanjutan dari seri Perang Jawa memasuki tulisan yang ketujuh. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian & perasaan yang bhineka satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian & perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang konkret ini mampu menjadi faktor penyebab konflik, sebab dalam menjalani interaksi, seseorang tidak selalu sejalan dengan orang lain. Seperti halnya dua sekondan penting dalam Perang Jawa ini, Diponegoro & Kyai Modjo pun mengalami pecah kongsi.

Jalannya perang menunjukan pasang surut antara menang & kalah. Pertempuran demi pertempuran telah mengakibatkan banyak jatuh korban pada ke 2 belah pihak. Perang telah meluas bukan hanya pada kota Yogyakarta tapi ke seluruh Jawa Tengah & Jawa Timur.

Memasuki tahun keempat (1828) peperangan, Kyai Modjo melihat bahwa perang ini telah membawa kesengsaraan yang berat bagi rakyat & pengikutnya, maka ia mencoba melakukan kontak dengan Belanda buat mengakhiri perang. Yang diutamakan oleh Kyai Modjo adalah agunan software sariat Islam pada Jawa & kemakmuran rakyat, sehingga tidaklah penting siapa yang berkuasa pada tanah Jawa. Sehingga bila Belanda mampu mengklaim hal tersebutmaka ia siap melepaskan senjata buat berdamai.

Sebaliknya Diponegoro memiliki latar belakang yang lebih komplek, khususnya yang berafiliasi dengan suksesi kepemimpinan pada kraton, & faktor inilah yang menjadi sebab planning perjuangan Kyai Modjo & Diponegoro berbeda.

Perselisihan antara Kyai Modjo & Diponegoro tentang tujuan perang kudus, & siapa yang berhak menduduki kursi kepemimpinan setelah tujuan tercapai, menciptakan Kyai Modjo putus harapan & mengundurkan diri dari medan pertempuran.

Hal penting lain yang menciptakan Kyai Modjo tidak akur dengan Diponegoro adalah adanya kecenderungan dari Diponegoro memposisikan diri menjadi juru selamat & secara tersirat menghubungkan peristiwa spiritual yang dialaminya seakan akan sama dengan peristiwa spiritual yang dialamai oleh Nabi Muhammad saw.

Peristiwa spiritual yang dimaksud disini adalah mirip proses yang dialami oleh Nabi Muhammad saw sewaktu beliau diangkat menjadi Rasul & peristiwa-peristiwa khusus yang dialami beliau, mirip senang menyendiri pada goa & gunung, mendapat wahyu dari Malaikat Jibril & lain-lain
.
Dalam buku Babad Diponegoro karangan Pangeran Diponegoro sendiri muncul dua versi Babad Diponegoro, yang satu dikarang oleh Cakranegara, seseorang Bupati pro Belanda & musuh Pangeran Diponegoro) menulis bahwa ia (Diponegoro) telah mengalami kejadian spiritual (& secara implisit menginformasikan bahwa peristiwa tersebut) sama mirip yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW.

Diponegoro menulis, saat sedang berkhalwat (bertapa) pada gua Secang pada tanggal 21 Ramadhan, ia mendapat tugas kudus dari Allah swt melalui perantaraan Ratu Adil buat berperang, & pada tanggal 27 Ramadan Ratu Adil mengangkatnya menjadi Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah pada tanah Jawa (Babad Diponegoro, p.98-100). Kutipan dari halaman 10 buku babad tersebut, Diponegoro menulis menjadi berikut:

Amba nuwun, sampun tan kuwawi jurit, lawan tan saget ika, aningali dhumateng pepeti
[Hamba mohon(ampun), hamba tak kuat berperang (lagi) & tak mampu melihat orang (tewas)].
Akan akan tetapi Ratu Adil menjawab :

Ora kena iku, wus dali karsaning sukma, tanah Jawa pinasthi marang hyang Widhi, kang duwe lakon sira nDatan ana liya maning-maning

[Itu tak boleh, telah menjadi kehendak Allah, ditakdirkan pada pulau Jawa yang memegang peranan ialah engkau, tak muncul yang lain lagi.]

Contoh lain yang ditulis dalam buku itu adalah mengenai kejadian dalam suatu perang (mirip dengan perang Hudaibiyah), mengaku tidak memahami membaca & menulis (padahal ia telah menulis buku Babad), & lain-lain.

Barangkali Diponegoro pada waktu itu pernah membaca atau diceritakan mengenai sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, & mencoba mentransformasikan peristiwa spiritual Nabi Muhammad tersebut ke dalam dirinya sendiri. Memang setiap Muslim dianjurkan buat berusaha meniru atau mencontoh akhlak Rasullullah sebagi suri tauladan, akan tetapi bukan berarti harus menjelma mirip nabi.

Mungkin menjadi orang Jawa Diponegoro (meskipun telah beragama Islam) belum bebas dengan imbas budaya Jawa yang kental dengan hal-hal yang berbau mistik & Hinduism. Menghadirkan tokoh spirituil mirip Ratu Adil (Jibril atau mesias ?), Nyai Roro Kidul, & tokoh yang kuasa-yang kuasa yang menjelma menjadi manusia bertujuan buat menghipnotis warga agar memandang orang-orang yang memiliki interaksi istimewa dengan tokoh tersebut adalah orang yang istimewa atau terpilih (memiliki kanuragan) & statusnya berbeda dengan manusia kebanyakan, sehingga pada akhirnya warga menjadi patuh & tunduk secara sosial maupun politik.

Alasan Diponegoro memberontak tidak semata sebab faktor penjajah, akan tetapi lebih dari itu. Diponegoro berkeinginan mendirikan kerajaan Jawa yang baru dengan ia menjadi rajannya. Keinginan ini barangkali dipicu oleh perasan frustrasi akan konflik internal (suksesi) kerajaan yang berkepanjangan dampak campur tangan penjajah.

Kecenderungan Diponegoro memposisikan diri menjadi raja (baru) Jawa terlihat dalam gaya & atribut kerajaan yang ditonjolkannya dalam memimpin peperangan. Karena Diponegoro berjuang buat mendirikan istana tandingan, gelar & perlengkapan kebangsawanan Jawa selalu ditampilkan demi kebutuhan buat menunjukan bahwa ia adalah penguasa spiritual yang berhak atas tahta Mataram.

Para pengikutnya (kecuali Kiay Modjo Cs), dengan aneka macam cara, pula memperlakukan & melayani semua keperluan Diponegoro sebagaimana layaknya seseorang pemegang tahta kerajaan. Mereka memperlihatkan perlengkapan bangsawan Jawa yang megah, termasuk didalamnya pusaka pribadi-keris, kuda, & lain-lain. Disamping itu, meskipun Diponegoro sendiri berpakaian jubah Arab muslim, ia & para bangsawan dikelilingi oleh payung berlapis emas. Bendera yang digunakan bertuliskan ornamen kerajaan (Ali Munhanif, 2003).

Diponegoro berhasil memakai sentimen kebudayaan Jawa (mistisisme; Ratu Adil) yang diadopsi dari kebudayaan Hindu-Budha, buat merekrut sebagian warga & bangsawan beraliran (kepercayaan) bergabung dalam panji-panji kerajaan tandingannya.

Disebabkan kelelahan berperang & perbedaan pandangan mengenai tujuan perang antara Kyai Modjo & Diponegoro tersebut serta belakangan diketahui oleh Kyai Modjo bahwa tindakan-tindakan Pangeran Diponegoro & pengikutnya tidak mencerminkan ahlak Islam menciptakan Kyai Modjo bersedia berunding dengan Belanda buat menghentikan perang. Keinginan itu disampaikan Kyai Modjo melalui surat tanggal 25 Oktober 1828 kepada Kolonel Wira Negara Komandan Pasukan Tentara Kraton, menyatakan keinginan mengadakan pertemuan & perundingan dengan Belanda. Tempat pertemuan yang ia inginkan pada wilayah Pajang sebagaimana ia berasal.

Belanda sadar bahwa kekuatan Diponegoro sangat tergantung pada Kyai Modjo. Sehingga andai saja Kyai Modjo & pasukannya mampu ditundukan maka akan mudah buat meringkus Diponegoro. Maka saat Belanda mendengar keinginan Kyai Modjo buat melakukan negosiasi perdamaian kesempatan ini tidak disia siakan oleh Belanda. Dimata Belanda Kyai Modjo ini adalah seoarang pemimpin & panglima yang sangat mengancam kepentingan Belanda, sehingga penting bagi Belanda buat melumpuhkan tokoh ini.

Kabar Kyai Modjo yang berkeinginan berdamai ini tentu saja sangat menggembirakan Belanda. Belanda berpura-pura sepakat melakukan perdamaian sembari menyusun siasat busuk buat memperdaya & menangkap Kyai Modjo. Atas konvensi bersama pertemuan akan diadakan pada Mlangi Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober 1828, pertemuan ini gagal terlaksana kemudian direncanakan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, pertemuan inipun gagal.

Atas kegagalan ini Belanda kemudian membujuk Kyai Modjo buat mengadakan perundingan pada Klaten & Kyai Modjo menyetujui. Belanda telah bertekat akan menangkap Kyai Modjo & pengikutnya bila pertemuan berhasil diadakan. Pertemuan pada Klaten direncanakan diadakan pada tanggal 12 Nopember 1828. Pada tanggal tersebut, saat Kyai Modjo & pengikutnya datang buat berunding, Kyai Modjo & pasukannya yang berjumlah sekitar 500 orang disergap & dilucuti oleh Belada pada dusun Kembang Arum tanpa muncul perundingan, ditangkap & dibawa ke Salatiga dengan pengawalan ketat. Atas permintaan Kyai Modjo sebagian besar pasukannya dibebaskan oleh Belanda & hanya kerabat Kyai Modjo, beberapa tokoh kepercayaan, prajurit, & pelayan saja yang permanen ditawan oleh Belanda.

Dalam global modern tindakan Belanda ini adalah suatu kejahatan perang. Konon dalam menangkap Kyai Modjo & pasukannya, Belanda mendatangkan tentara Belanda Pribumi dari Manado & Ambon.

Di Salatiga pada tanggal 17 Nopember 1828, Belanda mengadakan pertemuan (tepatnya interogasi) dengan Kyai Modjo & kerabatnya. Pembicaraan tersebut tertuang dalam dokumen Raden Tumenggung Mangun Kusumo tertanggal Magelang 19 Nopember 1828 (Arsip Nasional RI, Ina Mirawati) tentang pembicaraan Letnan Gubernur Jendral beserta staffnya Residen Kedu (F.G Valck), Letkol Roepst & kapten de Stuers dengan Kyai Modjo beserta para pengikutnya. Isi laporan tersebut secara singkat (dengan sedikit editing) menjadi berikut ;

Dalam pembicaraan itu Kyai Modjo mendapat pertanyaan apakah dirinya sepakat & cocok andai saja Pulau Jawa dikembalikan kepada Diponegoro (maksudnya Diponegoro menjadi raja tanah jawa, dengan demikian menghapus kekuasaan dua sultan yang berkuasa saat pada Solo & Yogya). Kyai Modjo tidak menjawab sepakat atau tidak akan tetapi ia menyampaikan bahwa Diponegoro akan puas & akan berdamai andai saja tanah Jawa dikembalikan kepada Diponegoro (Diponegoro menjadi raja jawa yang baru). Tersirat dalam pernyataan Kyai Modjo tersebut bahwa ia mengetahui benar apa sebenarnya motif dibalik pemberontakan Diponegoro. Kyai Modjo menyampaikan satu keinginannya yaitu menjadikan Agama Islam sebagi kepercayaan negara (bukan kepercayaan kesultanan).

Dalam pembicaraan tersebut Pemerintah Kolonial menjawab bahwa tanah Jawa tidak akan diberikan kepada Diponegoro & Belanda akan permanen berkuasa hingga pemberontak bersedia bergabung lagi dengan Sultan Solo & Sultan Yogya (ke 2 sultan tersebut notabene berada dalam kendali Belanda). Mengenai keinginan Kyai Modjo agar Agama Islam menjadi kepercayaan negara, Belanda menyampaikan bahwa kepercayaan permanen berada dalam konservasi Sultan (Yogya) & Sunan (Solo). Bahwa pererintah Kolonial tidak memiliki niat buat membarui Islam yang menjadi keyakinan mereka itu, tidak akan melakukan perubahan-perubahan dalam bidang keagamaan, masalah-masalah yang berkaitan dengan Agama permanen bernafaskan Islam & mengacu pada Alquran. Pemerintah pada ke 2 kerajaan itu wajib melindungi & percaya terhadap Agama Islam.

Jawaban Belanda yang tidak mengabulkan keinginan Diponegoro bukan persoalan besar bagi Kyai Modjo. Awalnya Kyai Modjo bersedia membantu Diponegoro dalam peperangan sebab Diponegoro punya keinginan buat membersihkan ajaran Islam dari praktek-praktek bidah, akan tetapi belakangan beliau mengetahui banyak pengikut Diponegoro yang mengaku beragama Islam telah tidak lagi melakukan sembahyang, tidak memberi zakat & tidak pergi ke Mekah, minum minuman keras & main perempuan. Bahkan Diponegoro sendiri ikut-ikutan main perempuan & banyak selir (Sultan Abdulkamit Herucakra, halaman 74 76, KRT Hardjonagoro). Juga Diponegoro telah memposisikan diri menjadi Ratu Adil yang diutus oleh Allah SWT meniru pengalaman spiritual Nabi Muhammad SAW.

Yang menjadi Kyai Modjo kecewa adalah bahwa Belanda permanen menjadikan Agama Islam dalam wewenang kekuasaan Sultan. Kyai Modjo sedih & prihatin mengingat tindak tanduk ke 2 sultan & budaya pada kraton telah sangat melenceng jauh dari ajaran syariat Islam. Para Sultan & pemerintah serta rakyatnya telah melacurkan & mencampuradukan (sinkretisme) syariat Islam dengan Hinduisme. Pencemaran ritual Islam tumbuh fertile dimana-mana mirip mistikisme, sesajenisme, kejawenisme & lain-lain.

Dalam situasi yang tidak menguntungkan buat Kyai Modjo pada Salatiga itu, pemerintah Kolonial hanya memberikan pilihan kepada Kyai Modjo; bergabung kembali dengan Sultan (baca Belanda) atau ditahan & diasingkan keluar pulau jawa, & ……….Kyai Modjo menentukan pilihan ke 2 akan tetapi menolak dianggap menjadi pemberontak.

Proses Pembuangan Kyai Modjo & Pengikutnya dari Semarangn- Batavia Ambon Tondano (Masarang)

Meskipun Kyai Modjo & pengikutnya telah berada dalam tahanan Belanda pada Semarang, Belanda masih khawatir akan resiko imbas Kyai Modjo pada tanah Jawa & kemungkinan melarikan diri dari tahanan kemudian melakukan perlawanan lagi. Karena itu Belanda bermaksud membawa Kyai Modjo & pengikutnya jauh dari tanah Jawa, menyeberangi samudera ke Manado. Para petinggi kolonial Belanda pada Semarang, Batavia, Ambon & Manado secara intensif melakukan kontak-kontak buat secepat mungkin membawa Kyai Modjo & pengikutnya keluar dari Jawa Tengah. Jalur laut yang dipilih adalah Semarang Batavia Ambon Manado, memakai kapal perang dengan pengawalan kuat. Pembuangan tidak langsung dari semarang ke Manado sebab masih dibutuhkan persiapan mobilisasi (kesiapan kapal perang), keamanan, akomodasi & konsumsi yang membutuhkan biaya besar mengingat bepergian yang jauh.

Keputusan Pengadilan Tinggi Belanda : Kyai Modjo menjadi Tahanan Politik.

Tahap pertama Belanda mengeluarkan Kyai Modjo & pengikutnya dari Semarang menuju Batavia. Untuk formalitas landasan hukumnya Pemerintah kolonial Belanda kemudian dengan cepat menggelar sidang pengadilan buat memutuskan status Kyai Modjo & pengikutnya. Hasil sidang Pengadilan Tinggi Kolonial Belanda adalah (ref. surat dari Menteri Negara Komisaris Jendral tanggal 1 Desember 1828 kepada Letnan Gubernur jendral);

1. Kyai Modjo & pengikutnya dipenjara dalam bentuk tahanan rumah.

2. Membangun gedung baru menjadi rumah tahanan buat Kyai Modjo & pengikutnya,

3. Ir.Tromp ditunjuk menjadi pelaksana pembangunan rumah tahanan tersebut.

4. Menyiapkan 25 orang sedadu Ambon secara bergantian menjaga rumah tersebut.

Persiapan Pemberangkatan Kyai Modjo & pengikutnya ke Batavia.
Persiapan-persiapan pemberangkatan Kyai Modjo & pengikutnya ke Batavia menyangkut jumlah orang , jumlah kapal & pengawalan yang dibutuhkan. Kyai Modjo merupakan tawanan yang harus mendapat pengawasan ketat sebab ia memiliki imbas besar. H.M van de Poll selaku Kepala Komisaris Negara pada Dewan Negara ditunjuk mengurus tawanan perang Kyai Modjo & pengikutnya.

De Poll diperintahkan membawa semua tawanan negara tersebut dengan kapal Fregat De Belona dipindahkan ke kapal tunggu. Pengurusan Kyai Modjo & pengikutnya ditempatkan pada kapal Fregat De Belona & satu kapal tunggu buat kemudian siap dinaikan ke kapal perang Mercury, semua itu dibawah pengawasan militer, memperlakukan tawanan dengan baik sesuai perjanjian antara Kepala hakim & Komandan Fregat De Belona, melakukan serah terima tawanan dari pimpinan kapal perang sesuai konvensi antara Komandan Angkatan Laut, Kepala hakim Batavia & Komandan Fregat De Belona.

Daftar Pengikut Kyai Modjo yang diberangkatkan

Daftar nama tawanan perang yang dibawa kapal Fregat De Belona dari Semarang ke Batavia

1) Kyai Modjo, 2) Baderan (Kyai Baderan), 3) Urawang (Urawan Ngurawan), 4) Paeyang (Tmg.Zess Pajang), 5) Roso Negoro (Tmg.Reksonegoro), 6)Brojo Yudo, 7) Ishak, 8) Wonopati, 9) Ajali (Gazaly), 10) Tirto Drono, 11) Ngiso (Wiso), 12) Haji Ngali (Haji Ali), 13) Meraji (?), 14) Elias (Elias Zess), 15) Wiro Negoro (?), 16) Merto Mergolo (Tumenggolo, putra Kyai Baderan), 17) Abdul Wahab (?), 18) Kagiman (?), 19) Mansor (?), 20) Mesin (?), 21) Sapeni (Syafei, putra Kyai baderan) 22) Sasi (Kosasih), 23)Abdul Rahman (?), 24)Kusini (Kusen), 25)Samangi (Semangi), 26)Sarijo (?), 27)Abrah (?), 28)Markoh (?), 29)Ngali Imran (Ali Imran), 30)Amat saiman (?), 31)Kasidin (?), 32)Surodrono, 33)AmanWarsiman, 34)Setro Dilogo, 35)Mohamat Tup (Thayeb), 36)Mohamad Ibrahim, 37)Haji Hasan (Kyai Hasan Mochammad ?), 38) So Dirjo, 39)Jogo Prawiro, 40)Budo , 41)Amat Suke, 42)Kasan Niman, 43)Usin , 44)Wahodo.

Daftar tawanan perang yang berada pada kapal tunggu.

1)Sapawi, 2)Kalis, 3)Sonoro, 4)Trayem, 5)Tojoyo, 6)Pali, 7)Saiman, 8)Yunus, 9)Gremis, 10)Beno, 11)Wonorejo, 12)Mangin, 13)Bayer, 14)Bayi, 15)Kertojoyo, 16)Dumiri, 17)Mumin, 18)Adam, 19)Jupri, 20)Diman, 21)Sorogi, 22)Sareman, 23)Setrojoyo, 24)Matsari, 25)Kanafi (Hanafi), 26)Kampret, 27)Kemis, 28)Tolosono, 29)Busu, 30)Abdul Lagem, 31)Tenami, 32)Duko.

Kyai Modjo & pengikutnya dalam tahanan sementara pada Batavia.

Kyai Modjo & kerabat beserta pengikutnya secara sedikit demi sedikit dibawa menuju Klaten, Solo, Salatiga, Semarang, & Batavia (Jakarta).

Rombongan Pertama : Kyai Modjo & 76 orang pengikut.

Merujuk pada surat Kepala penjara Batavia kepada Letnan Gubernur Jendral No.994/768 tertanggal 3 Desember 1828, kedatangan rombongan pertama Kyai Modjo & pengikutnya tiba pada Batavia pada tanggal 2 Desember 1828 dengan pengawalan militer sangat kuat, memakai tiga kapal perang militer yaitu Mercury, Fregat De Belona & Fregat Anna Paulona. Dalam rombongan pertama ini tidak termasuk istri Kyai Modjo & 2 orang saudara Kyai Modjo yaitu adiknya (Kyai Khasan Besari/Imam Agung) & kakaknya (Kyai Imam Hazaly/Khasan Mochammad ?)

Sesuai dengan konvensi semua pihak maka tawanan ini diperlakukan dengan baik serta diperhatikan kebutuhan sehari-harinya. Hal ini perlu sebab Kyai Modjo masih memiliki imbas yang kuat. Karena dianggap berbahaya oleh Belanda maka sewaktu berada pada Batavia and Manado. Dengan penempatan tahanan politik pada kantor baru ini memudahkan penjagaan maupun anugerahlayanan, kebutuhan sehari-hari. Tidak ditempatkan pada gedung penjara menyatu dengan tahanan biasa tapi ditempatkan pada kantor baru menjadi tahanan rumah. Rumah ini dibangun memang khusus buat menempatkan tahanan politik yang sangat istimewa itu, menunggu ke kawasan pembuangan terakhir pada Tondano.

Semua biaya yang diajukan itu disetujui oleh Menteri Komisaris Jendral, buat selanjutnya Kantor Keuangan Negara yang akan melakukan pembayaran. Biaya ini belum termasuk sewa kapal buat mengangkut tahanan politik ke kawasan pembuangan sementara pada Maluku (Ambon), biaya hayati yang ditanggung pemerintah buat para tahanan politik pada Manado, pengiriman istri Kyai Modjo dimulai dari Semarang hingga Manado menyusul suaminya. Pengiriman ini perlu sebab pemerintah menduga istrinya pun cukup berbahaya.

Rombongan Kedua ; Empat Orang Pengikut Kyai Modjo Tiba pada Batavia.

Ketika Kyai Modjo & pengikutnya dibawa dari Semarang ke Batavia, masih muncul beberapa orang lagi yang masih tertinggal pada Semarang. Empat orang antara lain yang kemudian dibawa ke Batavia menyusul Kyai Modjo & tiba pada Batavia pada akhir Desember 1828. Keempat orang tersebut adalah Kajali, Imam Agung, Bawu & Kawat Sari.

Kedatangan empat orang pengikut Kyai Modjo ini telah menambah pengeluaran pemerintah kolonial buat keperluan sandang/pangan & pengamanan mirip terekam dalam dokumen Surat dari hakim Batavia No.15/10 tanggal 2 januari 1829. Surat ini ditujukan kepada Menteri Negara Komisaris perihal permintaan uang kepada pemerintah buat ;

Uang saku Kyai Modjo & pengikutnya sebanyak 312,5 gulden.

Membayar 12,5 pon daging buat menu makan para penjaga. Perhitungan ini digunakan dengan jatah yang diberikan kepada Kyai Modjo & pengikutnya berjumlah 87 orang selama tanggal 3 s/d 31 Desember 1828 sebanyak 1914 gulden.

4 orang pengikut yang baru datang dari Semarang selama tanggal 27 s/d 31 desember 1828 telah menelan biaya 15 gulden.

Biaya bepergian Kyai Modjo & pengikutnya selama berada pada kapal Mercury, Belona & Anna Paulona sebanyak 250 gulden.

Biaya kostum Kyai Modjo & pengikutnya (termasuk 4 orang yang datang belakangan) yang dipasok oleh kapten Cina Jap Soanko sebanyak 40,5 gulden.

Keperluan tikar, bantal, bale-bale & lainnya sebanyak 258,40 gulden.

Total biaya yang dibutuhkan 3051,15 gulden.

Surat Keputusan Letnan Gubernur Jendral tanggal 6 Januari 1829 No.38 berisi persetujuan atas biaya buat keperluan Kyai Modjo & pengikutnya sebanyak 3051,15 gulden & memerintahka Menteri Negara Komisaris Jendral buat membayar sejumlah tersebut & memasukannya menjadi biaya perang.

Kyai Modjo & pengikutnya Menuju Ambon (bersama Adipati Anom – putra Diponegoro).

Semula Letnan Gubernur Jendral Van den Bosh yang baru diangkat (menggantikan De Cock) menginginkan agar Kyai Modjo & 4 orang pengikutnya yaitu putra Kyai Modjo (Gazaly), Ajali (Imam Hazaly) & putranya (Wiso/Ngiso, tidak berdua Reksonegoro sebab akan menjadi 5 orang – penulis) serta Tirto drono (Suro Drono) tidak dikirim ke maluku tapi cukup pada Batavia saja akan tetapi tidak disetujui oleh Komisaris Jendral.

Secara sedikit demi sedikit semenjak dikeluarkannya Keputusan Letnan Gubernur Jendral tanggal 19 Oktober 1829 No.24 & 24 Oktober No.18 tahanan politik tersebut sementara dikirim ke Ambon, menunggu kesiapan Manado mendapat tahanan politik yang sangat istimewa tersebut menjadi kawasan pembuangan terakhir.

Setelah sekitar 10 bulan Kyai Modjo & pengikutnya berada & ditahan pada Batavia, selanjutnya mereka diberangkatkan menuju Ambon dalam dua rombongan. Rombongan pertama memakai kapal Belanda Thalia. Tidak muncul berita mengenai tanggal embarkasi pertama ke Ambon akan tetapi penulis memperkirakan pada akhir bulan Oktober 1829.

Daftar nama 48 orang tawanan sesuai Keputusan Letnan Gubernur Jendral Tanggal 19 Oktober 1829 No.8 dikirim ke Ambon memakai kapal Thalia :

1) Pangeran Sudiro Kromo (putra P.Diponegoro ?), 2) Ketib Biman (Kyai baderan ?), 3) Wahodo, 4) Ishak, 5) Urawang (Urawan/Ngurawan), 6) Brojo Yudo, 7) Sis (Tumenggung Zes Pajang Mataram, putra Kyai Hasan Besari), 8) Reso Negoro (Tumenggung Reksonegoro), 9) Wonopati, 10) So Dilogo, 11) Joyo Prawiro, 12) Seco Dirjo, 13) Mohammad Ibrahim, 14) Adam Kasani, 15) Abdul rahman, 16) Mohamad Singep, 17) Ngiso (putra Moch.Khasan), 18) Janu, 19) Semangi, 20) Elias (Elias Zes, putra Kyai Hasan Besari), 21) Amat Senawi, 22) Sopani, 23) Maruf, 24) Kasimiman, 25) Ali, 26) Tahip (Thayeb), 27) Hilman Meraji, 28) Trasim, 29) Ngaliniman, 30) Ahmat Pekce (Maspekeh), 31) Kusasi (Kosasih), 32) Sopingi (putra Kyai baderan), 33) Kanafi (Hanafi), 34) Mesir, 35) Mangun, 36) Tamjid, 37) Mandurahman, 38) Sopingi (=no.32), 39) Kerip, 40) Jemari, 41) Kanapi (=no.33), 42) Raniman, 43) Kasriman, 44) Sarijo, 45) Amat Baino, 46) Sibawi, 47) Mohamad Kas(an)iman (Mochammad Khasan?), 48) Wiro Negoro (ketua keamanan kraton ?). Dari dokumen ini terdapat 2 orang yang yang ditulis dua kali (no.38 & no.41) sehingga jumlah sebenarnya adalah 46 orang. (Note: huruf tebal & garis bawah dari penulis).

Di kapal Thalia tawanan no.1 s/ 21 ditempatkan pada kamar kelas.1, tawanan no.22 s/d 48 ditempatkan pada kamar kelas-2.

Jila bepergian Batavia Ambon membutuhkan waktu 2 bulan maka rombongan pertama ini diperkirakan tiba pada Ambon pada bulan Desember 1829.

Sementara ke 48 pengikut Kyai Modjo dikirim ke Ambon pada tahap I, Kyai Modjo & beberapa pengikut masih berada pada penjara polisi Batavia, ditempatkan pada :

Kamar kelas 1 : Kyai Modjo, Ajali (Gazaly), Rojali, Hazaly.

Kamar kelas 2 : Tirto Drono.

Kamar kelas 3 : 37 pengikut.

Pengiriman Kyai Modjo & sisa pengikutnya ke Ambon dilakukan pada tahap II, nampaknya dilakukan pada awal bulan Pebruari 1830 (sebulan sebelum Belanda mengadakan perundingan dengan Pangeran Diponegoro & kemudian menangkapnya), setelah kapal Thalia kembali ke Batavia dari mengangkut rombongan tawanan tahap I ke Ambon, mirip tersirat dalam dokumen berikut.

Surat Direktur Lands Producten en Civile Magazijn tanggal 19 Pebruari 1830, ditujukan kepada Letnan Gubernur Jendral memberitahukan bahwa ref. Resolusi bersama antara Letnan Gubernur Jendral & Hooge Regeering tanggal 29 Januari 1830 No.1, Direktur Lands Producten en Civile Magazijn mengajukan kuasa mengirim para tawanan menuju Ambon dari Batavia dengan kapal sewaan Mostora dengan juru mudi L.I.Psluger & dikawal dengan kapal Thalia.

Kyai Modjo & pengikutnya Tiba pada Ambon

Rombongan ke 2 (termasuk Kyai Modjo pada dalamnya) diperkirakan tiba pada Ambon pada awal bulan April 1830, mirip tersirat pada Surat Gubernur Maluku Tanggal 20 April 1830 No.32 yang ditujukan kepada Letnan Gubernur Jendral tentang :

a. kedatangan Kyai Modjo, Ajali (Gazaly), Rosali alias Hajali (Hazaly) & 22 orang pengikut, semuanya berjumlah 25 orang. Dari 22 orang pengikut 10 orang antara lain meninggal pada bepergian & 1 orang meninggal setelah 2 hari tiba pada Ambon. Pengikut yang meninggal tersebut adalah : 1) Mansur, 2) Saman, 3) Saeru Drono, 4) Adam, 5) Termis, 6) Hunus, 7) Citro Joyo, 8) Kuncung, 9) Setro Wijoyo, 10) Proyo Truno alias Sanogo, 11) Kasidin (meninggal pada Ambon).

Jila nama Rosal (Rojali) sama orangnya dengan Hajali (Hazaly), maka jumlah tawanan yang masih tertinggal pada batavia – saat rombongan pertam diberangkatkan ke Ambon adalah 41 orang (Lihat 5.4 surat no.8) sehingga muncul 16 orang yang tidak turut ke Ambon, kemungkinan mereka permanen atau meninggal pada Batavia atau dikirim pada tahap ke 3 (wallahu alam).

Permintaan bantuan makanan & kostum dengan biaya setiap hari menjadi berikut;

1 gulden :Kyai Modjo

1 gulden :Ajali (Gazaly), Rosali (Hazaly) & Tirto Drono.

1 gulden : 11 orang pengikut.

Selain itu masih ditambah masing-masing 3 gulden per hari.

(Note: menjadi perbandingan gaji seseorang patih pada Surakarta 1000 gulden/bunan, Sartono Kartodirdjo ,1973).

Sesuai resolusi tanggal 29 januari 1830 No.2, tahap selanjutnya para tawanan akan dikirim ke Manado.

Kyai Modjo & pengikutnya diberangkatkan dari Ambon ke Manado.

Kyai Modjo & pengikutnya berada pada Ambon hanya sekitar 1 bulan, selanjutnya mereka diberangkatkan ke kawasan pengasingan terakhir Manado.

Mengenai putra Diponegoro, ia tidak ikut serta ke Menado akan tetapi permanen tinggal pada Ambon hingga wafat pada sana.

Kyai Modjo & Pengikutnya Tiba pada Manado.

Tidak muncul dokumen pada Arsip Nasional Indonesia (ARNI) yang menginformasikan tanggal kedatangan Kyai Modjo & pengikutnya pada Manado. Namun menurut suatu study (Babcock,1989) mereka tiba pada Manado (Pelabuhan Amurang ?) pada bulan Mei 1830.

Letnan Belanda yang mengawal selama bepergian dari Surakarta hingga pada Manado melaporkan bahwa Kiay Modjo & pengikutnya seringkali menyanyikan lagu-lagu (Zikir Qolibah ?) yang diambil dari Alquran.

Tentang Istri Kyai Modjo : Diasingkan Menyusul Kyai Modjo ke Tondano.

Setelah penangkapan Kyai Modjo pada Nopember 1828, istri Kyai Modjo tinggal pada Bojonegoro, Keresidenan Rembang. Beliau mencoba datang ke kraton akan tetapi ditolak oleh petinggi kraton.
Keberadaannya pada tanah Jawa masih dianggap berbahaya oleh Belanda & diasingkan ke Tondano menyusul suaminya Kyai Modjo ke Tondano pada tahun 1831. Nama sebenarnya tidak diketahui, akan tetapi pada Tondano beliau dikenal dengan sebutan mbah wedok (mbah perempuan) saja.

Keadaan mbah wedok setelah penangkapan Kyai Modjo terekam dalam dokumen berikut :

Surat Residen Kedu (Lawick van Pabst) tanggal 12 Pebruari 1831 No.6.

Surat ditujukan kepada Komisaris Raja-Raja Jawa pada Yogyakarta, isi surat melaporkan :

Istri Kyai Modjo telah datang ke Yogya tapi tidak boleh masuk oleh para penguasa kraton sebab dianggap berbahaya.

Residen Kedu telah mengadakan pertemuan dengan para penguasa kraton & mendapat keterangan bahwa penguasa kraton tidak bertanggung jawab terhadap wanita itu.
Penguasa kraton tidak yakin mampu menjaga wanita itu pada kraton sebab telah terbukti wanita itu telah pergi ke Distrik Padangan buat bertemu dengan Raden Ronggo tokoh ini pada pemerintahan Daendels pernah memberontak pada sebuah gunung.

Di kawasan Raden Ronggo, wanita ini memanfaatkan waktunya memuja Raden Ronggo menjadi Nabi sambil menghasut kemarahan penduduk, & wanita ini berhasil mendapat pengikut & dicintai pengikutnya.
Residen Kedu mengusulkan agar istri Kyai Modjo ini segera dikirim ke Manado berkumpul dengan suaminya pada sana.

Surat Komisaris Raja-Raja Jawa tanggal 16 Pebruari 1831 No.8.

Surat ditujukan kepada ke 2 penguasa kerajaan pada Jawa, isi surat :

Istri Kyai Modjo sesudah akhir Perang Jawa, tinggal pada Bojonegoro, Keresidenan Rembang. Kemudian berita terakhir ia berada pada Keresidenan Madiun, lalu mendapat ijin selama beberapa bulan pada Yogya. Ternyata selama 2 bulan ia beserta pengikutnya sulit ditemukan.
Residen Kedu melalui suratnya tanggal 12 Pebruari 1831 No.6 telah mengusulkan agar istri Kyai Modjo ini segera dikirim ke Manado berkumpul dengan suaminya pada Manado.
Sehubungan dengan hal itu, mohon Lawick van Pabst diberi ijin mengurus (mengirim) wanita itu (ke Manado).

Surat Komisaris Raja-Raja Jawa tanggal 16 Pebruari 1831 No.46.

(Surat ditujukan kepada Residen Kedu) menugaskan Residen Kedu mengirim istri Kyai Modjo besok hari, dari Magelang ke Semarang dengan pengawalan prajurit bersenjata lengkap selama dalam bepergian, walaupun ini merupakan penghinaan sebab dikirim dari Magelang bukan Yogyakarta (maksudnya krabat kraton telah tidak mempedulikan istri Kyai Modjo, padahal ia adalah mantan istri (janda cerai) Pangeran Mangkubumi adik seseorang Raja Jawa; HB III penulis).

Nasib Sentot, Mangkubumi & Diponegoro paskah penangkapan Kyai Modjo.
Sejak Kyai Modjo ditangkap & pada Nopember 2008, pada awal tahun 1829 Diponegoro menyatakan kesediaannya berunding tanpa melepas tuntutannya buat permanen diakui menjadi panatagama. Berturut-turut, sesudah itu menyerahlah Pangeran Mangkubumi (September 1829), & Sentot (Oktober 1829), yang menyatakan siap sedia mencurahkan energi bagi bala tentara Belanda.

Tertangkapnya Kyai Modjo pada tanggal 12 Nopember 1828 memberikan pukulan yang berat pada Diponegoro. Sebaliknya Belanda sangat bersuka cita sebab dengan demikian pilar utama Diponegoro telah runtuh. Tinggal dua pilar Diponegoro yang harus dilumpuhkan yaitu panglima pemberani; Sentot Alibasyah Prawirodirdjo (saat itu berumur sekitar 20 tahun) & Pangeran Mangkubumi.

Belanda berusaha mengontak Sentot & memberikan janji yang muluk-muluk agar mau menghentikan perlawanan. Sentot terpengaruh & pada tanggal 17 Oktober 1829 Sentot menghentikan perlawanan. Barangkali sebab umurnya yang masih muda & dendamnya telah tersalurkan, ia akhirnya dengan imbalan materi dari Belanda, bersedia meletakan sejata pada tanggal 17 Oktober 1829. Bahkan selanjutnya menjadi tentara bayaran Belanda, Sentot dikirim ke Sumatra Barat memerangi saudara muslimnya sendiri dalam perang Padri. Usaha Sentot buat kembali ke Jawa setelah usai perang padri tidak dikabulkan oleh Belanda. Dan pada Bengkulu Sentot menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.

Pangeran Mangkubumi yang saat itu telah berusia sepuh (70 tahun) & anak istrinya disandera oleh Belanda akhirnya menyerah pada tanggal 28 September 1829.

Dengan tertangkap & menyerahnya tokoh-tokoh pendukung utamanya maka posisi Diponegoro menjadi sangat sulit sehingga mudah bagi Belanda memperdayainya. Dengan memakai cara yang sama saat memperdayai Kyai Modjo & Sentot, Belanda kembali menyusun siasat buat menangkap Diponegoro.

Diponegoro yang paham bahwa posisinya telah lemah akhirnya bersedia berunding dengan Belanda. Dengan memakai imbas kebangsawanannya & pimpinan perang tertinggi beliau berusaha menghipnotis Belanda buat tunduk pada keinginannya menjadi kompensasi perdamaian, atau akan terus berperang. Namun Belanda menduga ancaman Diponegoro tersebut menjadi gertakan saja. Belanda tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu; Diponegoro harus ditangkap tanpa syarat.

Pada Februari 1830 terjadi perundingan antara Diponegoro dengan Van de Kock. Perundingan itu sempat ditunda sebab Diponegoro tak bersedia berunding selama bulan puasa. Diponegoro diundang ke Magelang buat berunding dengan agunan, andai saja perundingan gagal, maka Diponegoro dibolehkan kembali ke tempatnya dengan kondusif. Perundingan diadakan pada saat perayaan Idul Fitri tanggal 28 Maret 1830. Namun sebenarnya perundingan itu adalah jebakan belaka sebab de Kock telah mengatur siasat liciknya yaitu sebelum memasuki wilayah perundingan pasukan Diponegoro dilucuti senjatanya.

Diponegoro diundang ke rumah Residen Kedu pada Magelang guna meneruskan perundingan antara pihak Diponegoro & pihak Belanda, akan tetapi tidak tercapai konvensi. Ketika pihak Diponegoro akan meninggalkan kawasan perundingan buat meneruskan peperangan, Belanda memakai kekuatan militernya & memaksa Diponegoro buat menyerah atau dibunuh. Siasat licik Belanda buat kesekian kali telah memperdaya Kyai Modjo & Pangeran Diponegoro.

Dalam perundingan, Diponegoro ternyata masih berkeras dengan tuntutannya sehingga ia ditawan & dibawa ke Ungaran, kemudian ke Semarang buat selanjutnya 8 April 1830 hingga pada Jakarta & ditawan pada Stadhuis, pada 3 Mei 1830 melalui pelabuahan Batavia diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado. Di Manado ditawan pada benteng Amsterdam, Diponegoro hanya empat tahun sebab Belanda menduga penjagaan pada Manado kurang kuat.

Diponegoro dipindah ke benteng Rotterdam pada Makasar (kini Ujungpandang) tahun 1834, hingga wafatnya, 8 Januari 1855, dalam usia 70 tahun, & dimakamkan pada kampung Melayu Makassar.
Demikianlah peristiwa penangkapan Diponegoro. Selanjutnya Diponegoro & pengikutnya dibawa menuju Semarang kemudian Batavia & tiba pada Batavia (Jakarta) pada tanggal 8 April 1830. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 mereka diberangkatkan dari Batavia menuju Manado dengan memakai kapal Belanda Polux.

Selain Diponegoro dalam kapal tersebut pula ikut istrinya (RA Ratnaningsih), saudara wanita & suaminya (RA Dipasana, Tmg.Dipasana), pengawal & pelayan pria (Wangso Taruno alias Sataruno, Anggamerta, Rajamenggala, Rata Djoyosuroto, Bambang Mertosono alias Merta Leksono, Achmad Banteng Wareng, Saiman, Kasiman, Tiplak, Nurhamidin), pengikut perempuan ; Nyai Dula (ibu dari Rata Djoyosuroto), Nyai Anggamerta, Nyai Sataruna, Sarinten, Truna Danti, Nyami).

Sedangkan anak-anak Pangeran Diponegoro tertinggal pada Jawa. Rombongan Diponegoro tiba pada Manado pada tanggal 12 Juni 1830 & pada tahan pada Benteng Belanda Amsterdam selama 4 tahun. Selama pada Manado Diponegoro tidak pernah bertemu dengan Kyai Modjo yang berada pada Tondano. Dilaporkan waktu pada Manado Diponegoro mengirimkan bantuan uang kepada Kyai Modjo, akan tetapi dikembalikan lagi oleh Kyai Modjo. Pada tahun 1834 Diponegoro berikut pengawal & pelayannya dipindahkan ke Makasar (Ujungpandang) & ditahan pada Benteng Roterdam hingga wafat pada sana pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia 70 tahun.

Pada selang tahun 1835 1840 sebagian pengikut Diponegoro yang pria (Sataruno, Djoyosuroto, Mertosono, Nurhamidin, Banteng Wareng) kembali ke Manado (Kampung Jawa Tondano) kemudian menikah & memiliki keturunan pada sana. Sekian

Referensi :
Arsip Nasional Republik Indonesia, Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah No.5, Ihtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun 1839 1948, Jakarta, 1973
Babcock Tim G; Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity, Gajah Mada University, 1989.
Carey Peter, Asal Usul Perang Jawa, Pengantar Ong Hok Ham, LKIS, 2004
De Graaf H J DR, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senopati, Grafiti, Cetakan ke-3, 2001
Djamhuri Saleh A, Strategi Menjinakkan Diponegoro, Pengantar Lapian A B, Komunitas Bambu, Jakarta, 2003
Hardjonagoro KRT dkk; Sultan Abdulkamit Herucakra Kalifah Rasulullah pada Jawa 1787 1855, edisi pertama, Museum Radya Pustaka, Surakarta, 1990
Heru Basuki, Dakwah Dinasti Mataram, Samodra Ilmu, Cetakan I,Yogyakarta,2007,
Jayadiningrat Pangeran; Orlog van Java (Perang Diponegoro), Naskah melayu antik, 1825, Perpuskakaan Nasional Jakarta
Mirawati Ina, Akhir Perarng Jawa, KasusPembuanagn kyai Modjo, Arsip Nasional Republik Indonesia, Penerbitan Naskah Sumber, 2000
Munhanif Ali,Drs, MA; Ensiklopedi Tematis Jilid 5; Dunia Islam Asia Tenggara; Gerakan Keislaman Diponegoro, Ichtiar Baru van Houwe, 2002
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Katalog Naskah-naskah Nusantara jilid 4, Disunting oleh Behren T.E, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998.
Pulukadang Umar; Kiay Modjo & Islam pada Minahasa, Naskah, 1975
Sagimun MD; Pangeran Diponegoro Berjuang, Gunung Agung, Cetakan ke-2, Jakarta, 1986.
Stephen C.Headly, Durga Mosque, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapore, Cetakan I,2004

Leave a Reply