web analytics
Noyo Gimbal Antara Perjuangan, Sumpah, Dan Kutukan - DUNIA KERIS

Dunia Keris – Dahulu, sumpah adalah kata sakral yang tak simpel buat diucapkan. Bahkan kepada zamannya, seandainya terdapat seseorang nayaka praja bersumpah tetapi ia tak bisa membuktikan, maka, nyawa adalah taruhannya. Berbeda dengan sekarang, sering terdapat pejabat yang dengan sangat enteng mengeluarkan sumpah hanya buat membela diri ataupun menutupi aibnya. Padahal akan lebih mutlak seandainya sumpah hanya dipakai buat menyemangati diri dalam mencapai tujuan yang mulia.

Walau waktu terus berlalu, tetapi, Sumpah Hamukti Palapa yang dikumandangkan oleh Mahapatih Gajah Mada, tetap dikenang sepanjang masa Dari sekian poly sumpah yang pernah dikumandangkan kepada bumi pertiwi, galat satunya adalah sumpah Naya Sentika, pemimpin perang Bangsri-Blora yang populer dengan kesaktiannya. Ia bersumpah takkan memotong rambutnya hingga terurai panjang sebelum kompeni enyah dari bumi Blora. Agaknya, inilah yang menimbulkan kenapa ia lebih dikenal dengan sebutan Noyo Gimbal.
Prof Dr. Suripan Sadi Hutomo, budayawan terkemuka asli kelahiran Blora mendapati naskah ketik dari galat seseorang penduduk tentang Pambuka Purwaning Carita Rakyat Noyo Sentiko Gelar Noyo Gimbal, yang diartikan sebagai : Pakem (kitab pegangan, catatan) berisi cerita tentang Dukuh Sumber Wangi yang kala itu kedatangan tiga orang yang masing-masing bernama Naya Sentika, Dyah Ayu Sumantri (isteri Naya Sentika) dan Sura Sentika. Ketiganya adalah anak didik Pangeran Diponegoro. Ini adalah cerita tutur tentang perjuangan Naya Sentika ketika mengusir penjajah Belanda yang dikenal dengan Perang Bangsri dan Blora yang telah lama dilupakan orang.

Pembuka kisah, Naya Sentika dan keluarganya yang bermukim kepada Dukuh Sumber Wangi meyakini bahwa dirinya selalu terdapat dalam kekuasaan Tuhan. Ia sangat senang alasannya mukim kepada tengah-tengah warga yang amat mencintainya. Namun begitu, masih melekat kuat dalam ingatannya ketika ia masih berjuang bareng-sama dengan Pangeran Diponegoro hingga kepada 10 Desember 1831, ia bareng istri dan anaknya terpaksa berpisah dengan junjungannya dan mengungsi ka Dukuh Sumber Wangi hingga rentang 1855.
Selama mukim kepada Dukuh Sumber Wangi, Naya Sentika dan isterinya yang anggun, Dyah Ayu Sumarti sempat menimba ilmu kesalehan kepada Ki Samboro, seseorang pertapa kepada Padepokan Gua Nglengkir. Di padepokan ini ia memiliki saudara termuda seperguruan yang bemama Bejo. Bahkan, ia mendapatkan restu dari gurunya saat mengutarakan maksudnya ingin melanjutkan perjuangan Pangeran Diponegoro buat mengenyahkan Belanda dari tanah Jawa.

Oleh Ki Samboro, Naya Sentika disarankan buat bertapa kepada Gunung Genuk kepada wilayah Taunan. Menurut waskita sang pertapa, ia bisa memulai pemberontakan sesuai sasmita
(menerangkan-Jw) dari Gana (loka air dan tanah) yang masih terdapat kepada Gunung Genuk. Jika Genuk itu rebah dan mulutnya menghadap ke arah barat, maka ia wajib memulai pemberontakan dari arah barat, ad interim, seandainya mulut genuk itu menghadap ke arah selatan, maka ia wajib memulai peperangan dari arah selatan.

Tapi sayang, Bejo, saudara termuda seperguruan Naya Sentika merasa iri alasannya kurang mendapatkan perhatian dari Ki Samboro. Di samping itu, membisu-membisu, ia juga tertarik dengan Dyah Ayu Sumarti, isteri Naya Sentika. Rasa iri, dendam dan dengki yang membalut hatinya, menciptakan Bejo jadi gelap mata. Saat Naya Sentika sedang semedi, Bejo pun datang dengan membisu-membisu dan merebahkan Genuk lalu bersembunyi kepada kaki Gunung Genuk.

Paginya, Naya Sentika mendapati Genuknya rebah dan mulutnya menghadap ke arah barat. Seketika, ia menghunus pusakanya yang bernama Kyai Sadak dan berniat maju ke medan perang. Perbuatan ini eksklusif diikuti sorak-sorai dari para prajuritnya yang setia,kepada akhirnya, kini loka tersebut dikenal dengan sebutan Gunung Surak.
Ki Samboro yang waskita tahu bahwa rebahnya Genuk tersebut adalah alasannya ulah Bejo. Ki Samboro mengingatkan Naya Sentika agar mengurungkan niatnya. Tetapi Naya Sentika beropini lain, Bejo yang akhirnya tertangkap dan mengakui segala perbuatannya adalah hanya adalah lantaran dari rebahnya Genuk. Oleh karenanya, dengan hati bundar, Naya Sentika pun tetap memulai pemberontakan dari arah barat, Rembang.

Dan yang pertama kali diserang adalah Lasem, maklum, kepada kota ini masih terdapat Gudang Garam. Bangunan gudangnya dibakar, Wedananya ditangkap, dibawa pergi dan akhimya dieksekusi. Dan loka Wedana Lasem dieksekusi akhimya diabadikan sebagai nama desa, Nggakyang. Maklum kepada waktu dieksekusi, sang Wedana mangkat dalam keadaan berdiri. Mirip misalnya tonggak pohon. Sementara, bekas ceceran darahnya dinamakan Sada Merah akan tetapi, sejak kejadian G 30S/PKI, oleh pemerintah nama desa ini diubah sebagai Sendhang Harjo.

Setelah menyerang Lasem, Naya Sentika pun menuju ke Dukuh Bangsri yang waktu itu dipimpin oleh Ki Gede Toinah yang memang berpihak kepadanya. Dari Bangsri, penyerbuan ke berbagai desa yang berpihak kepada Kompeni pun dilakukan. Selanjutnya, Naya Sentika bareng pasukannya berkecimpung ke arah tenggara hingga tiba kepada suatu loka yang akhirnya dinamakan Desa Nglorok (artinya arah tenggara, ngalor-ngetan-Jw).
Mendengar terjadi kraman kepada Bangsri, maka, Bupati Blora pun mengirimkan adiknya yang bernama Pangeran Sumenep buat memadamkannya. Alih-alih memadamkan, sang pangeran malah jatuh hati kepada Dyah Ayu Sumarti. Sekali ini cinta bertepuk sebelah tangan. Dyah Ayu Sumarti dengan tegas menolak cinta Pangeran Sumenep. Karena Pangeran Sumenep tetap memaksakan kehendaknya, maka, Dyah Ayu Sumarti pun lari kepada suaminya yang kala itu sudah berjuluk Noyo Gimbal. Ya Naya Sentika telah bersumpah nir akan memotong rambutnya sebelum kompeni enyah dari bumi pertiwi.
Ketika kedua lelaki ini bertemu, permasalahan sengit pun terjadi dan dimenangkan oleh Naya Gimbal. Duel maut ini ternyata sempat melahirkan beberapa nama desa kepada antaranya Desa Turi, loka Naya Gimbal mengobati prajuritnya yang luka dengan daun turi belia atau pupus, Desa Semampir, loka mata galat seseorang prajurit Pangeran Sumenep yang tersangkut kepada pohon, dan Desa Tinggil, loka prajurit Naya Gimbal bersukaria alasannya menang perang dan saling mengangkat tubuh.

Ketika Bupati Blora, RTM Cokronegoro mendengar kekalahan adiknya, ia pun jadi berang. Tanpa membuang waktu, ia pun berangkat ke Semarang buat meminta kontribusi kepada Belanda. Sementara itu, Naya Gimbal, isteri, Ki Toinah, Ki Samboro, Bejo dan para prajurit yang setia kepadanya meneruskan perjalanan ke arah timur, hingga tiba kepada Dukuh Sambeng (timur bahari, Cepu).

Manakala sebagian prajurit diperintah buat merogoh sisa senjata kepada Gunung Genuk, kepada tengah jalan, mereka bertemu dengan penduduk desa Taunan dan desa Mrayu. Mereka menyarankan agar senjata yang tersisa kepada Gunung Genuk disimpan kepada rumah Lurah Desa Mrayu. Saran itu eksklusif diterima oleh utusan Naya Gimbal. Bahkan hingga sekarang, sesuai penelitian kepada 1994, senjata yang berupa pedang dan bendhe (gong mini buat aba, aba) masih tersimpan dengan apik kepada Desa Mrayu. Sementara itu, prajurit Blora yang dibantu oleh Belanda terus mengejar Naya Gimbal hingga kepada Dukuh Sambeng. Sayang, terdapat penduduk yang berkhianat dan memberitahukan loka persembunyiannya.
Akhirnya, dengan didahului oleh minuman beralkohol-arakan pengantin yang diiringi terbang dan jedhor (rebana-Jw), kompeni dan prajurit Kadipaten Blora menyerang loka persembunyian Naya Gimbal. Malang tak bisa ditolak dan mujur pun tak bisa diraih,poly penduduk Dukuh Sambeng yang gugur dalam peyerbuan ini.

Oleh Naya Gimbal, akhirnya, desa ini diberi nama desa Besah, yang berasal dari kata Blasah, yang artinya mangkat bergeletakan. Tak hanya itu, ia pun mengumandangkan kutuk, kelak orang desa Sambeng (alasannya berkhianat) tak diperkenankan menikah dengan orang Desa besah.

Dalam perang ini tak satu pun peluru bisa menembus tubuh Naya Gimbal. Namun akhimya, ia menyerah dan dibawa ke Kadipaten Blora. Oleh Residen Rembang Naya Gimbal diikat, dimasukkan ke dalam tong, dan kepada paku kemudian diceburkan ke dalam bahari. Setelah itu, Bupati Blora bareng para prajuritnya pun kembali pulang, dan mendapatkan imbalan bantuan gratis dari Sunan Surakarta. Sayangnya, kematian yang tragis itu mulai dilupakan orang.Akankah legenda perjuangan Naya Gimbal hilang ditelan zaman. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Leave a Reply