Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Setelah menikmati malam di Coban Rondo di Pujon, Malang. Tujuan selanjutnya adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya di Pamenang, Pagu, Kediri, Jawa Timur. Setiap tahun di situs ini, apalagi saat peringatan Tahun Baru Hijriah atau peringatan Satu Suro, tempat ini selalu dipenuhi menggunakan banyak orang dari seluruh penjuru negeri, terutama para penganut Kejawen. Mereka umumnya mengadakan sebuah ritual tertentu untuk memperingati Sri Aji Jayabaya yang mereka percaya tidak mangkat tapi tertentu moksa tiada jejak. Mati menggunakan menbawa jasadnya!
Tapi di luar 1 Suro , petilasan ini senyatanya juga ramai menggunakan banyak orang. Ada yang sekedar berkunjung atau berwisata sejarah, ada yang memang tiba menggunakan niat untuk bertapa atau semedi, ada yang tiba untuk tidur serta bermalam untuk mendapatkan wangsit, ada pula yang tiba untuk mengadakan kenduri umumnya menjadi ungkapan syukur sebab ada harapannya yang terkabul saat dia Ngalap Berkah di tempat ini.
Akhirnya setelah sempat beberapa kali nyasar untuk sampai ke situs ini akhirnya sampai juga. Bukan untuk ngalap berkah, tapi hanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu tentang sejarah masa lalu. Sekaligus menuntaskan rasa penasaran kami, itung-itung searah perjalanan pulang kami ke Tuban.
Sedikit kita mengulang sejarah tokoh kita yang satu ini, Sri Aji Jayabaya adalah raja Kerajaan Kadiri yang memerintah pada tahun 1135 1157M. Kerajaan Kadiri sendiri adalah pecahan dari Kerajaan Mataram Kuno atau Kahuripan yang diperintah oleh Raja Airlangga. Pada akhir November 1042, Airlangga memecah kerajaannya menjadi dua sebab ke 2 anaknya memperebutkan tahta. Akhirnya Sri Samarawijaya mendapatkan Kerajaan Panjalu yang berpusat di Daha, sedangkan Mapanji Garasakan mendapatkan Kerajaan Janggala yang berpusatkan di kota Kahuripan. Konon, ke 2 kerajaan itu dipisahkan oleh Sungai Brantas yang didesain oleh Mpu Baradah, yang mana dia terbang sambil menyiramkan air dari guci yang dia bawa yang kemudian berubah menjadi Sungai Brantas.
Sri Aji Jayabaya adalah raja keempat di Panjalu. Masa pemerintahaannya adalah puncak kejayaan Kerajaan Kadiri sebab berhasil mempersatukan kembali Panjalu serta Jenggala. Di masa pemerintahannya ekonomi berkembang pesat, demikian pula menggunakan perkembangan intelektual yang ditandai menggunakan keluarnya sastrawan-sastrawan seperti Mpu Sedah serta Mpu Panuluh yang menggubah Kakawin Bharatayudda.
Bahkan kemudian Jayabaya juga dikenal menjadi Nostradamus-nya orang Jawa sebab orang mengingatnya menjadi raja sakti yang mengeluarkan ramalan tentang Nusantara jauh di masa depan. Karena itulah orang Jawa selalu mengingat Jangka Jayabaya atau Ramalan Jayabaya, walaupun sebenarnya tulisan-tulisan mengenai ramalan Jayabaya sebenarnya baru dituliskan pada tahun 1618M oleh Sunan Giri ke tiga menggunakan judul Kitab Musarar.
Kembali ke tentang situs Petilasan Pamuksan Sri Aji Jayabaya ini, sesuai menggunakan dari katanya, pamuksan mampu diartikan menjadi tempat muksa dari Prabu Joyoboyo. Menurut legenda yang ada, Joyoboyo tidak dikatakan meninggal tetapi Ia muksa yaitu menghilang menggunakan jasadnya. Dalam pamuksan ni masih ada loka muksa, loka busana serta loka makuta. Masyarakat percaya terhadap hal tersebut, sebab sampai sekarang jasad Joyoboyo tidak diketemukan.
Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dipugar pada 22 Februari 1975 serta diresmikan pada 17 April 1976. Loka muksa yaitu tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana adalah tempat busana dari Prabu Joyoboyo, sedangkan loka makuta adalah tempat mahkotanya.
Sedangkan Sendang Tirtokamandanu merupakan sendang yang dipakai oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa. Tirto berarti air serta kamandanu berarti kehidupan. Jadi Tirtokamandanu mampu diartikan menjadi air kehidupan. Dalam hal ini adalah hidup kembali menjadi seseorang yang suci. Masyarakat percaya air sendang tersebut mampu mensucikan. Oleh sebab itu, sebelum masyarakat berdoa meminta berkah mereka akan mandi di sendang terlebih dahulu. Sendang Tirtokamandanu dipugar pada tahun 1982. Pemugaran ini diprakarsai oleh Keluarga Besar Hondodenta, Keraton Jogjakarta, yang dikoordinir oleh Sri Sultan HamengkuBuwono VI. Sayangnya, kami tidak sempat berkunjung ke Sendang Tirtokamandanu ini sebab keterbatasan waktu.
Mengingat bahwa Joyoboyo adalah tokoh yang sakti, maka banyak masyarakat yang tiba ke petilasan untuk meminta berkah. Tidak hanya terbatas pada warga sekitar saja tetapi juga masyarakat luar Kediri. Bagi masyarakat pada umumnya, masih ada empat tempat yang dianggap sakral yaitu loka muksa, loka busana, loka makuta, serta sendang tirtokamandanu. Loka muksa dianggap menjadi tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana merupakan tempat busana. Loka makuta berarti tempat mahkota. Sedangkan sendang tirtokamandanu merupakan pemandian yang dipergunakan oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa.
Selain dianggap menjadi tokoh yang sakti, Joyoboyo merupakan leluhur dari masyarakat Kediri. Oleh sebab itu agama masyarakat terhadap petilasan pun masih sangat tinggi. Masyarakat selalu menyelenggarakan upacara adat atau ritual khusus menjadi bentuk agama masyarakat terhadap petilasan. Ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro. Dalam upacara ini umumnya berupa minuman beralkohol-arakan yang dimulai dari balai desa Menang menuju ke loka muksa lalu berakhir di sendang Tirtokamandanu.
Selain menjadi galat satu bentuk sastra lisan, legenda petilasan ini juga menjadi warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak hanya menjadi aset bagi warga masyarakat Menang saja dikarenakan sudah dipotensikan menjadi tempat wisata wilayah Menang. Tetapi juga bagi bangsa Indonesia sebab legenda adalah galat satu bentuk khasanan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan. Maturnuwun.