web analytics
Mengenal 'Agama Sunda ' Kampung Adat Cireundeu - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Kampung Adat Cireundeu, mungkin masih asing dalam alat dengar kita, akan namun bagi warga yang tinggal di Priangan tentu sudah mengenalnya. Kampung Adat Cireundeu ini letaknya tak begitu jauh dari Bandung, lebih tepatnya di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Salah satu sisi menariknya penganut "kepercayaan Sunda" ini, syahdan kalau meninggal dikubur bersama alat-alat kerjanya.

Bagi masyarakat Cireundeu, Lebaran nir jatuh pada 1 Syawal, mereka merayakan hari besar keagamaannya yang paling meriah pada 1 Syura atau Muharam. Sebagaimana biasanya umat Islam menyongsong Idul Fitri, menjelang tahun baru Hijriyah itu warga Cireundeu di perantauan serentak pulang kampung, alias pulang kampung.

Pada hari itulah mereka menjalani ritualnya, seraya berkumpul memakai sanak kerabat, melakukan sungkeman, saling memaafkan. Meski 1 Syura merupakan athun baru baru Islam, masyarakat Kampung Cireundeu justru bukan pemeluk Islam. Komunitas yang meliputi sekitar 250 ketua famili itu bersikukuh memegang teguh keyakinannya, yang mereka sebut "Ngaji Diri".

Mirip aliran kepercayaan, alias Kejawen dalam masyarakat Jawa, Ngaji Diri juga berprinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Meski tak poly ritual kepercayaan yang mereka lakukan, pengikut aliran ini diwajibkan jangan lupa kepada Tuhan setiap ketika. Satu-satunya upacara keagamaan yang biasa mereka jalankan artinya perayaan 1 Syura tersebut.

Ajaran Ngaji Diri memang menyebut Tuhan-nya memakai Allah, mirip umat Islam. Mereka juga melaksanakan ritual "berpuasa", yang dimulai sehari sesudah 1 Syura itu. Cuma, puasanya nir seratus %. Dalam "puasa" yang dijalani selama sembilan hari berturut-turut itu, hanya 3 jam mereka tak boleh makan & minum, yaitu sejak pukul 07.00 hingga pukul 10.00. Ngaji Diri berasal dari keyakinan leluhur Sunda, alias karuhun, yang dipadukan memakai ajaran Islam, agak mirip Sunda Wiwitan nya orang Baduy.

"Nabi" ajaran ini artinya Haji Ali, warga Bandung, yang hayati pada penghujung abad ke-19. Alkisah, ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, pada 1811, Haji Ali menerima ide agar menemui seseorang di Bogor. Disebutkan, orang itu akan mewariskan ilmu kepercayaan kepadanya. Nah, sepulang ke Tanah Air, Haji Ali bergegas memenuhi ide itu. Di Bogor ia bersua memakai anak bupati bernama Raden Saleh Bustaman, yang malah memintanya pergi ke Cirebon, buat menemui Pangeran Sofyan. Dari Pangeran Sofyan itulah ajaran Ngaji Diri diterima Haji Ali.

Kembali di Bandung, Haji Ali mendirikan komunitas penganut ajaran ini, sembari terus menyebarkannya. Dalam kesulitan di masa penjajahan itu, Haji Ali mengajarkan hayati irit memakai hanya mengonsumsi singkong. Lama-usang norma makan singkong itu menjadi bagian dari ajaran Ngaji Diri yang sangat dipatuhi penganutnya.

Mereka memantangkan nasi. Karena itu, warga Cireundeu hingga kini tak menanam padi. Tapi, pantangan itu teryata bukan harga mati. Warga yang berniat "nyambi" makan nasi diharuskan melapor kepada tetua. Kemudian mereka harus melaksanakan sebuah ritual, berupa acara selamatan yang dihadiri warga lainnya.

Tradisi lain yang dijalani penganut Ngaji Diri tampak pada upacara kematian. Warga yang meninggal dikuburkan dalam peti berbalut kain hitam, bersama barang-barangnya. Aika mendiang seseorang petani, ia "dibekali" memakai "pakaian lapangan" bersama, misalnya, cangkul, golok, & topi. Aika yang meninggal seseorang pelajar, jenazahnya dilengkapi pakaian seragam & alat-alat sekolah.

Eloknya, meski hayati menjadi grup minoritas di tengah warga lain yang menganut Islam, komunitas Ngaji Diri tak merasa rikuh menjalankan keyakinannya. Umat Islam di sekitar Cireundeu juga suka membantu mereka dalam poly sekali aktivitas, tanpa menyoal keyakinannya yang "menyempal" itu.

Ajaran yang dikenal menjadi 'kepercayaan Sunda' itu pada perkembangannya sudah poly ditentukan ajaran Islam. Sejauh ini, para peneliti mengalami kesulitan merunut ajaran aslinya, alasannya "kitab suci" mereka tak ditemukan lagi. Yang menarik, ajaran itu ternyata tetap lestari di Cireundeu, yang cuma berjarak sekitar enam kilometer dari kota Bandung. Nuwun.

Leave a Reply