web analytics
Memintal Benang Merah Kebenaran Melalui Falsafah Aksara Jawa - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Menapak tilasi kisah legenda tokoh Prabu Aji Saka, seseorang pemuda menurut negeri Hindustan (India), yang melakukan pengembaraan panjang hingga ke kerajaan Medang Kamulan dalam pulau Jawa, memang sangat menarik. Dengan dalam temani 2 abdi setianya, Dora serta Sembada, maka Aji Saka menjelajah hampir ke seluruh negeri.

Ini bukan jalan-jalan biasa, tentu saja bukan mirip traveling ala kita sekarang. Aji Saka bukan saja ngansu kawruh (menimba ilmu) kepada setiap resi atau begawan dalam negeri yang disinggahi, namun jua belajar membaca alam. Di stulah, Aji Saka dapat menyelidiki sastra alam yang terdapat dalah khasanah Jawa yang sering dianggap dengan falsafah sastra cetha wadiningrat atau ngelmu sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu.

Ketika rombongan mini yang terdiri 3 orang ini kabotan (keberatan) barang-barang bawaannya, yang terdiri menurut barang-barang antik serta aneka macam pusaka, maka Saka mengundi kepada 2 orang abdinya. Menentukan siapa yang akan mengikutinya melanjutkan pengembaraab serta siapa yang akan tinggal menjaga barang-barang berharga tadi dalam pulau Majeti.

Setelah diundi, ternyata Dora harus tinggal dalam sebuag pondokan dalam pulau Majeti, sedang Sembada mengikuti Saka melanjutkan bepergian ke pulau Jawa. Sebelum pergi, Saka mewanti-wanti atau berpesan dalam Dora bahwa siapa pun tak boleh merogoh barang-barang miliknya, kecuali dirinya sendiri.

Singkat cerita, setelah berbilang waktu tinggal bareng Mbok Rondo Sengkeran dalam Medang Kawitan, Aji Saka harus berhadapan dengan Prabu Dewata Cengkar, raja Medang Kamulan. Mengapa? Yang terang bukan buat main catur, selayaknya sahabat lama. Sebabnya, Mbok Rondo Sengkeran mendapatkan undian buat dijadikan lauk makannya sang prabu. Maklumlah lantaran santapan prabu yang satu ini ialah seseorang insan setiap harinya. Mewakili Mbok Rondo yang kena undian, maka berangkatlah Saka ke Medang Kamulan.

Tentu saja, maksudnya bukan bersedia buat dimangsa sang raja raksasa tadi, namun hendak memberantas dur angkara (kejahatan) prabu Dewata Cengkar. Sebelum dimangsa, Aji Saka sangat lihat mengelabuhi sang prabu berpostur dalam atas rata-rata tadi. Ia mengajukan permintaan sejengkal tanah seukuran udheng (surban) yang dikenakannya, namun pengukurannya harus disaksikan sang banyak orang.

Anehnya, waktu Aji Saka mengulurkan udheng-nya dalam Dewata Cengkar, ternyata surban tadi terus membesar makin membesar serta memanjang hingga sang prabu tergiring dalam bibir segoro kidul (laut selatan). Tak lama lalu, dapat kita tebak. Aji Saka mengibaskan surban tadi hingga tubuh Dewata Cengkar terpelanting serta akhirnya kecebur ke Samudera Hindia. Anehnya lagi, tubuh Dewata Cengkar tadi tiba-tiba berubah menjado buaya putih yang menggelepar-gelepar.

Begitulan drama perang tanding antara Aji Saka dengan prabu Dewata Cengkar, yang lalu mengantarkan pemuda menurut tanah Hindustan in sebagai raja Medang Kamulan yang baru. Setelah sebagai raja binathara, Aji Saka pun berakibat Cakrawati sebagai permaisuri. Dan, sang prabu jua mengangkat Sembada sebagai nayaka praja Medang Kamulan.

Suatu hari, raja muda ini teringat terhadap abdi kinasihnya yang tinggal dalam pulau Majeti, yakni Dora. Segera saja, raja muda ini mengutus Sembada agar merogoh barang-barang berharga miliknya yang dijaga sang Dora dalam pulau Majeti. Saat itu raja muda ini wanti-wanti Sembada bahwa ia tak boleh pulang ke Medang Kamulan dengan tangan hampa.

Di sinilah, suatu kejadian besar terjadi, yakni mati sampyuh Dora serta Sembada. Karena kesetiaan keduanya yang sangat besar kepada Aji Saka, Dora serta Sembada hingga-hingga merelakan nyawanya sebagai taruhannya.

Peristiwa krusial inilah yang hendak diabadikan sang prabu Aji Saka agar dapat dikenang sepanjang masa, bukan saja sang dirinya namun jua sang rakyat dalam Jawadwipa kala itu.

Lantas, kenang-kenangan apa yang diciptakan sang Aji Saka yang hendak dipersembahkan dalam mendiang Dora serta Sembada?

Pertama, diciptakannya aksara Jawa yang sarat dengan falsafah kehidupan atau muatan simbolisasi relijius-spiritual, yakni hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga.

Kedua, dirancang suatu almanak tahun Saka (tahun Jawa) yang dimulai dalam tahun 78 Masehi.

Dua hal tadi merupakan sesuatu yang luar biasa bagi orang Jawa. Sebab, hal itu mencerminkan bahwa peradaban serta kebudayaan orang Jawa telah sangat tingginya, bahkan tak kalah dengan peradaban mancanegara.

Tak dipungkiri memang bahwa berkaitan dengan aksara Jawa selama ini terkesan mirip ideologi terbuka. Artinya, siapapun boleh menyampaikan gagasan, ilham, pandangan serta seterusnya buat menafsirkan aksara Jawa sebagai falsafah yang sangat mendalam. Dan, kenyataannya sangat banyak para pakar dalam menafsirkan falsafah aksara Jawa.

Jumlah aksara Jawa yang berjumlah 20, misalnya banyak orang menafsirkan simbolis menurut 20 sifat wajib Gusti Allah. Bahwa 2 orang utusan dalam hana caraka mencerminkan gambarab orang hidup dalam mayapada yang terdiri menurut pria serta wanita, yang keduanya sama-sama sebagai utusan Tuha. Dua orang utusan, pria serta wanita, lalu beranak pinak atau berkembang sebagai banyak.

Sang caraka, yakni antara pria (suami) serta wanita (istri), dalam mengarungi tempat tinggal tangga tentu acapkali mengalami perselisihan atau cekcok. Dan itulah yang dianggap dengan data sawala, yakni keadaan benceng cuweng atau berlainan pendapatnya antara yang satu dengan lainnya.

Meski demikian, lantaran sebagai caraka (utusan), maka keduanya, yakni pria (suami) serta wanita (istri), tentu mempunyai kelebihannya masing-masing, terutama dalam mengatur serta menjalani kehidupan ini. Dan, kenyataannya memang insan makhluk kreasi Tuhan yang paling mulia. Seperti dalam baris ketiga aksara Jawa, padha jayanya.

Terakhir yaitu maga bathanga, dimaknai sebagai pasangan suami istri yang sedang melakukan saresmi (interaksi intim) lalu digambarkan sama-sama sebagai bathang (bangkai), yakni keadaan nglimprug, tak berdaya atau sebagai lupa sesaat. Begitulan makna mati sampyuh (sama-sama mati) antara suami istri dalam aksara Jawa dalam baris keempat. Dan, mati sampyuh tadi hanya bersifat sementaraatau nir langgeng.

Yang tak kalah menariknya yaitu ihwal almanak tahun Saka atau tahun Jawa yang dimulai tahun 78 Masehi. Hal itu berarti bahwa lahirnya tahun Saka lebih dahulu daripada lahirnya tahun Hijriyah. Tahun Masehi dipengaruhi berdasar bepergian surya, sedang tahun Saka serta tahun Hijriyah sinkron bepergian bulan.

Aika pembuatan tahun Masehi didasarkan kejadian kelahiran Yesus (Nabi Isa As), sedang tahun Hijriyah bertepatan kejadian hijrah Rasulullah saw menurut Makkah ke Madinah, maka tahun Saka berkenaan dengan kisah mengharukan mati sampyuh-nya Dora serta Sembada. Nuwun.

Leave a Reply