web analytics
Meluruskan Mitos Tembang Durma Sebagai Pemanggil Kuntilanak - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Bagi sebagian orang, musik atau lagu terkadang mewakili perasaannya, bahkan muncul jua yg mempunyai perbedaan makna spesifik dalam hidupnya, entah itu lagu melow atau upbeat. Karena tidak dipungkiri bahwa sebuah lagu bisa menciptakan hati seseorang sumringah ataupun nestapa.

Miris, begitulah kesan pertama ketika tembang durma lingsir wengi ini diasosiasikan sebagai media pemanggil kuntilanak. Tragisnya, kita yg tidak tahu menahu perihal tembang yg sejatinya sarat makna ini ikut ikutan mengamini mitos ini hanya karena yg nembang artis cantik Julie Estele dalam film Kuntilanak tadi. Nah, pada kesempatan kali ini saya ajak kerabat perkerisan buat meluruskan mitos yg tidak kentara tadi.

Tembang lingsir wengi sendiri diciptakan oleh Sunan Kalijaga & mirip yg kita ketahui beliau ialah keliru salah satu wali songo yg terkenal pada pulau Jawa. Secara logika paling sederhana, seorang sunan kalijaga membangun tembang yg spesifik buat memanggil kuntilanak.

Durma merupakan keliru satu bagian dari tembang Macapat atau dalam bahasa Sunda dikenal sebagai pupuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata durma berarti merupakan bentuk komposisi tembang jenis macapat (terdapat pada Jawa, Sunda, Bali), umumnya buat melukiskan cerita-cerita keras (perkelahian, perang).

Durma jua berasal dari kata Jawa klasik / bahasa Kawi yg berarti harimau. Dur sendiri dalam bahasa Jawa Kawi berarti ala (jelek). Sesuai dengan arti itu, tembang Durma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram.

Harimau ialah lambang dari 4 nafsu insan, yaitu :

1. Ego centros nafsu angkara,
dua. Polemos nafsu gampang murka/berangasan,
3. Eros nafsu birahi/sofia,
4. Relegios nafsu keagamaan, kebenaran & kejujuran.

Durma jua bisa diartikan sebagai pengabdian, yaitu sifat ingin memberi atau berderma yaitu hasrat buat menolong sesamanya yg sedang dalam kesulitan. Durma jua menyiratkan kontak yg sangat erat antar insan sebagai makhluk sosial.

Dalam menjalankan kehidupannya, insan senantiasa mempunyai ketergantungan pada insan lainnya. Dengan adanya ketergantungan tadi, maka setiap individu dituntut buat bertanggung jawab terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Terutama tanggung jawab dalam mengemban tugas. Dalam arti nilai-nilai profesionalisme sahih-sahih dijunjung tinggi.

Tanggung jawab akan melahirkan rasa kondusif sekaligus rasa percaya terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggung-jawab kontak antara sesama insan sebagai serasi & harmonis, sebagai akibatnya menghilangkan rasa saling curiga & jelek sangka. Dengan demikian maka kontak yg dilandasi saling percaya, saling ketergantungan, saling bertanggung-jawab dan mempunyai keterikatan yg kuat akan menjauhkan insan dari segala permusuhan.

Berikut contoh tembang Durma yg mengingatkan kita perihal kehidupan sosial & profesionalisme:

Lamon dika epasrae panggabayan Ampon mare apeker Terang ka'eko'na Ad janji maranta'a Pon pon brinto tarongguwi Anggap tanggungan Ma ta malo da oreng (Asmoro, 1950 ; 19)

Terjemahannya : (Jika kamu mendapatkan beban pekerjaan, Sudah terselesaikan dipikir, Tntang seluk-beluknya kerja, Usaha buat menuntaskan, Jika demikian haruslah serius, Bekerja dengan penuh tanggung jawab, agar tidak mengecewakan orang).

Selain makna diatas tembang Durma bisa jua diartikan sebagai berikut: Tembang durma bisa diuraikan bahwa Durma berarti munduring rapikan krama (kemunduran etika/rapikan krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan hitam yg jahat. Sebut saja contohnya Dursasana, Durmogati, Duryudana.

Dalam terminologi Jawa dikenal banyak sekali istilah memakai suku kata dur / dura (nglengkara) yg mewakili makna negatif (awon) mirip yg saya sebutkan diatas tadi bahwa dur ialah sesuatu yg jelek. Sebut saja contohnya : duratmoko, duroko, jahat, dura sengkara, duracara (bicara jelek), durajaya ,dursahasya , durmala , durniti, durta, durtama , udur , dst.

Tembang Durma, diciptakan buat mengingatkan sekaligus memberi paparan keadaan insan yg cenderung berbuat jelek atau jahat. Manusia getol udur atau cekcok, cari menang & benarnya sendiri, tidak mau memahami perasaan orang lain. Sementara insan cenderung mengikuti hawa nafsu yg dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep).

Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapak ibu sudah tidak digubris & dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, tetapi getol menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, tetapi tidak peduli caranya yg kurang baik. Begitulah keadaan insan pada planet bumi, senang bertengkar, emosi, tidak terkendali, mencelakai, & menyakiti. Maka hati-hatilah, yg selalu eling & waspada .

Tembang Durma ngelmu sifat: galak, nesu. Inilah yg saya maksudkan dengan kemunduran etika rapikan krama. Kemunduran itu sendiri dewasa ini sangat nampak kentara kita rasakan. Tidak hanya pada golongan muda, wong cilik, borjuis, religius, politikus, & hampir disetiap golongan lapisan warga kita. Parahnya andai saja insan itu sendiri telah merasa bahwa dirinya ialah yg paling sahih. Maka bisa dengan mudahnya beliau akan menyalahkan orang lain tanpa lebih dulu mengkajinya.

Udur-uduran (mengeyel & berdebat) yg sebenarnya kadang tidak membawa manfaat bahkan lebih seringkali memecah belah. Manusia tidak lagi menempatkan empatinya, kemunduran rasa prihatin & tepo seliro (toleransi) mulai dikebiri. Layaknya bahwa beliau ialah yg sepantas-pantasnya merasa ingin dihormati tetapi enggan menghormati insan lainnya.

Inikah kemunduran itu? Banyak kaum muda yg kurang memberikan rasa hormat kepada orang tuanya, sebagai arogan & menentang tata cara-tata cara sosial ataupun beragama. Tidak hanya pemuda, kaum religi pun jua tidak kalah mengalami kemunduran etika. Etika buat saling menghormati kepercayaan & kekhusyukan ibadah orang lain.

Inikah kemunduran? Padahal dalam kehidupan bermasyarakat etika itu sangat diharapkan, agar kita tidak gampang terjebak dalam keakuan. Dalam perasaan yg merasa paling ingin diunggulkan. Ujungnya akan terselip sebuah hasrat buat disanjung & dielu-elukan. Ingin dipuji & dinomorsatukan. Padahal andai saja kita sedikit saja merenungkan, pujian ialah jebakan. Jebakan yg membuahkan kita kufur tidak tahu syukur atau justru akan berbalik menciptakan kita semakin interopeksi diri.

Mundurnya etika itu jua ditandai dengan perilaku anti kritik. Menurut sebuah pepatah "Raja akan sebagai kurang pandai bila tidak mau mendengar kritik dari sang susah dikendalikan, & Pembangkang akan sebagai kurang pandai andai saja hanya tahu mengkritik tanpa mau menelaah apa yg telah raja kerjakan." Orang lebih senang mengkritik perbuatan orang lain, tampil ke depan sebagai polisi moral tapi terkadang jua lupa akan dirinya sendiri. Mundurnya etika ini jua seringkali ditunjukkan oleh orang-orang besar negeri ini. Saling tunjuk saling tikam sepertinya lumrah & masuk akal, adu argumentasi pembenaran.

Berikut keliru satu tembang Durma yg lain: Mundur kang dadi rapikan krama Dur iku duratmoko duroko jahat Dur iku durmogati dursosono duryudono Dur udur tan bisa nimbang rasa Dur udur paribasan pari kena Maknane nglaras rasa jroning durma Sinom dhandanggula kang sinedya Lali purwaduksina kelon asmaradana Lali wangsiting ibu lan rama Mangkono werdine gambuh durma Amelet wong enom ing ngarcapada Pan mangkono Jarwane paribasan parikena

Artinya: Mundur (menjauhi) dari etika Dur, itu pencuri, penjahat tidak beretika Dur, mirip Durmogati, Dursasana, Duryudana Dur, mau menang sendiri, tidak menimbang rasa Dur, perumpamaan sekenanya, Itu perumpamaan Durma Remaja dalam mimpi-mimpi indah, Lupa segalanya berpeluk asmara, Lupa pesan Ibu Bapaknya Seperti perumpamaan Gambuh & Durma Yang selalu memikat semua kaum remaja dalam kehidupan pada muka bumi Seperti itu, maksud pengertian sekenanya.

Inilah filosofi Durma & kemunduran etika yg bisa saya tuliskan. Tentu kerabat perkerisan jua bertanya apa hubungannya dengan kata kuntilanak pada judul artikel? Ada kalangan yg mengungkapkan bahwa tembang Durma yg terdengar magis & mendayu merupakan sebuah mantra buat memanggil kuntilanak. Baik, ayo kita luruskan dengan mengartikannya bait perbait. Berikut petikannya :

Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tidak utusi
Dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet

Artinya : Menjelang malam, dirimu (bayangmu) mulai sirna Jangan terbangun dari tidurmu Awas, jangan terlihat (menampakan diri) Aku sedang gelisah, Jin setan ku perintahkan Jadilah apapun jua, Namun jangan membawa maut.

Dari lagu pada atas, ayo kita cermati liriknya lebih dalam lagi. (Lingsir wengi sliramu tumeking sirno ojo Tangi nggonmu guling / Menjelang malam, dirimu (bayangmu) mulai sirna jangan terbangun dari tidurmu. Pada bait diatas sudah sangat kentara bahwa si penyanyi meminta (entah siapa yg diminta bisa jadi memang setan atau lelembut lainnya termasuk kuntilanak) jangan bangun atau jangan bangkit dari peristirahatannya ketika malam telah tiba. (awas jo ngetoro aku lagi bang wingo wingo / Awas, jangan terlihat (menampakan diri) Aku sedang gelisah.

Berikutnya dijelaskan bahwa si penembang memintanya jangan menampakkan diri karena beliau sedang gelisah. Artinya tidak ingin diganggu. (Jin setan kang tidak utusi dadyo sebarang wojo lelayu sebet/ Jin setan ku perintahkan jadilah apapun jua, tetapi jangan membawa maut).

Kalau diperhatikan dengan baik, lirik dari lagu ini bisa dikatakan sebagai mantra tolak peristiwa. Karena dalam liriknya mengandung doa agar dijauhkan dari hal-hal jelek. Lagu ini jua mengingatkan kita buat selalu mendekatkan diri pada Tuhan agar terhindar dari kutukan & malapetaka. Jadi, estimasi bahwa lagu lingsir wengi bisa memanggil kuntilanak itu keliru besar.

Bahkan zaman dulu, lagu lingsir wengi ini biasa dinyanyikan oleh seorang ibu buat menidurkan anaknya. Atau muncul jua yg menyanyikannya sehabis salat malam sebagai ganti wirid, karena lagu ini jua mengandung arti sebagai permohonan doa pada Tuhan. Jika sahih lagu tadi bisa memanggil kuntilanak, tidak mungkin seorang ibu menyanyikan lagu ini buat menidurkan bayinya. Nah, bagaimana masih mempercayai mitos tadi?

Leave a Reply