Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Mudik ke kampung halaman serta lebaran ialah teman sebangku, begitulah pengandaian yang pas buat tradisi tahunan ini. Beruntunglah bagi sampeyan yang masih mempunyai kampung halaman, karena tidak sedikit menurut kita yang tidak mempunyainya lagi. Entah karena musibah, tergusur atau karena lainnya.
Membincang tentang kampung halaman sering selalu membuat hati masygul. Terlebih tahun ini, suka tidak suka tidak dapat kembali kampung sendiri karena giliran kembali kampungnya di rumah mertua. Ya, kampung halaman ialah tempat dimana kita dilahirkan serta menghabiskan masa kecil kita hingga menjelang dewasa. Tempat dimana kita punya ingatan yang mendalam tentang teman-teman bermain neker (kelereng) serta petak umpet. Ingatan tentang cinta monyet pada gadis paling elok di kampung.
Kenangan masa lalu mengenai kampung halaman selalu tidak dapat ditinggalkan atau dilupakan dalam ingatan. Seperti apa pun, senestapa apa pun atau sebahagia apa pun, kenangan yang sudah berlalu justru menyeruak mengambil tempat dalam pikiran serta tampil menjadi sebuah catatan diri yang tidak pernah hilang. Seperti pada goresan pena-goresan pena sebelumnya, goresan pena ini pula masih tentang cerita masa kecil di kampung halaman saya di Tuban.
Saya lupa tahunnya pastinya kapan, akan tetapi yang jelas sudah lebih menurut seperempat abad yang lalu. Umumnya anak kampung ketika itu, kalau tidak angon (menggembala) biasanya tugas anak-anak sepulang sekolah ialah ngarit (mencari rumput). Pun halnya saya pula tidak luput menurut tugas tidak tertulis itu, yakni ngarit sepulang menurut sekolah yang meski sebenarnya tidak pernah disuruh. Tapi dalam hal ini amanah harus saya akui, saya tidak pernah memenuhi kerajang dalam mayapada per-ngarit-an ini.
Saya masih jangan lupa betul kisah yang akan saya ceritakan kali ini, hari itu ialah Jumat, hari libur sekolah. Maklum, dominan anak-anak kampung kami sekolahnya di Madrasah. Karena libur, biasanya kami berangkat ngarit agak pagi agar selepas Jumatan kami dapat bebas main seharian. Begitulah galibnya kehidupan kami kala itu.
Pagi itu, sesudah lamur (embun) turun, saya serta dua teman saya yang lain, yakni Suparman serta Sulikan dengan membawa alat-alat tempur masing-masing tertentu ke sawah di selatan desa buat mencari rumput. Belum usang berada sawah yang berbatasan dengan persil (hutan jati milik perhutani), hujan turun dengan lebatnya. Terpaksa kami berteduh di punden Mbah Sukun yang beratapkan welit. Punden ini dinamakan demikian karena keberadaannya persis dibawah pohon sukun tidak jauh menurut DAM atau bendungan peninggalan Belanda. Nama bendungan inipun dinamai sama, yakni Bendungan Sukun.
Kira-kira waktu sudah menentukan jam 2 siang, ternyata hujan belum reda, sedang rasa lapar di perut semakin menggoda. Mau kembali jelas takut didamprat emak karena belum dapat rumput barang segenggam pun. Dalam rintik hujan, kami bertiga menuju ke sawahnya Pak Sampit, seorang Tukang Sunat atau calak yang merangkap dukun suwuk yang memang letaknya tidak jauh menurut punden buat nyolong jagung muda sebagai hambatan rasa lapar. Jangan berpikir harus dibakar dulu, biasanya kami akan memakannya mentahan.
Sebelumnya, kami memang sudah memetik kacang panjang muda yang manis cita rasanya. Namun belum agak mengganjal perut kami yang tidak pernah kenyang. Di samping sawah Pak Sampit, saya disuruh Suparman serta Sulikan menjaga bila Si Empunya tiba-tiba datang. Sedangkan Sulikan serta Suparman sendiri masuk ke tengah sawah buat memetik jagung, agar tidak kelihatan jagungnya tercuri. Sambil menunggu mereka, saya pun terus memetik kacang panjang serta mengunyahnya. Belum habis dua butir, tiba-tiba saya lihat mereka berdua lari terbirit-birit menurut tengah sawah.
Saya yang kaget tertentu mengikuti mereka lari menuju hutan serta baru berhenti ketika hingga di pohon randu alas yang besar. Kami bertiga tertentu merebahkan badan dengan nafas yang terengah-engah. Saya lihat wajah mereka berdua amat pucat ketakutan, terlebih Suparman. Rupanya, sewaktu mereka berdua mencuri jagung ternyata ketahuan Pak Sampit yang sedang berada di gubuk yang terdapat di tengah sawah buat menjaga jagungnya.
Dari balik pepohonan, kami melihat Pak Sampit membawa sabit Suparman sambil mencari-cari kami. Jam 4 sore hujan masih belum reda, saya serta Sulikan tetapkan segera kembali meski tanpa membawa segenggam rumput pun. Sedang Suparman belum berani kembali. Takut. Sekali pun saya serta Sulikan sudah mengatakan bahwa Pak Sampit sudah tidak di sawah lagi.
Selepas maghrib, dukuh Winong, nama pedukuhan kami menjadi geger karena Suparman belum kembali. Bahkan sesudah isya pun, Suparman belum nongol. Maka kabar Suparman digondhol Wewe Gombel menjadi santer. Akhirnya diputuskan buat mencari Suparman di dekat punden Mbah Sukun hingga pinggir persil. Sekitar 20-an orang mencari Suparman sambil membawa tempeh atau niru (alat menampi beras), tompo, wajan, panci, serta alat-alat masak lainnya lalu ditabuh (dipukul) dengan nada yang sedikit dinamis sambil berjalan menuju punden keramat Mbah Sukun.
Diharapkan dengan tetabuhan itu, Wewe Gombel jadi tertarik lalu berjoget-joget serta melepaskan Suparman menurut payudaranya yang besar itu. Pak Dhe Sumiyak, bapaknya Suparman, Pak Ngadenan, serta termasuk Pak Sampit sendiri yang pula seorang ngerti membawa obor menurut pelepah daun pepaya sambil pelotot sana sini barangkali terdapat Suparman.
Hla ini aritnya Suparman….. istilah Lek Sarkam ketika hingga di dekat punden. Pasti Suparman terdapat di kurang lebih sini!
Semua tertentu terdiam serta tidak membunyikan tetabuhan lagi. Aku hanya tersenyum dalam hati melihat polah Pak Sampit. Saya serta Sulikan memahami yang menawarkan arit atau sabit Suparman di sini ialah Pak Sampit tadi. Obor pun dimatikan lalu semua berusaha mencari Suparman. Kami berdua, saya serta Sulikan yang kecil tertentu menyelinap menuju ke pohon randu alas menemui Suparman. Kami berdua melihat Suparman masih duduk di sana.
Aku lapaaaarrrr…… ucapnya memelas.
Sudahlah kembali saja….. Gak apa-apa kok. Pak Sampit gak marah….. kataku memohon. Lalu dengan mengendap-endap kami bertiga menuju punden. Sesampainya di sana Suparman kami suruh duduk, ad interim kami berdua, saya serta Sulikan kembali menuju kumpulan pencari.
Setengah jam tidak menemukan Suparman, akhirnya kami menyalakan kembali obor serta menabuh alat-alat dapur serta kembali ke punden Mbah Sukun. Ketika hingga di punden, kami lihat Suparman duduk terpekur dengan wajah yang pucat. Jelasnya bukan karena takut, karena lapar, soalnya kami memahami betul teman kami satu ini tidak terlatih buat lapar.
Aduh …Le..le…. engkau sudah kembali. Syukurlah…. istilah Pak Sampit lalu menciuminya sambil menggendong menuju rumah Suparman diringi kegembiraan semua orang yang mencari. Saya serta Sulikan kembali hanya tersenyum dalam hati melihat kegembiraan Pak Sampit serta semua orang yang ikut mencari malam itu.
Di rumah Suparman, kami disambut penuh haru serta bahagia. Beberapa mak mengumpulkan masakan buat dinikmati bareng.
Sudah ya….lain kali kalau hujan segera kembali serta jangan bermain di punden, istilah Pak Sampit.
Saya hanya tersenyum dalam hati. Saya, Sulikan, serta Suparman memahami, Pak Sampit menyesali perbuatannya yang mengacung-acungkan sabit ke arah Suparman ketika ketahuan mencuri jagungnya sebagai akibatnya Suparman ketakutan. Dan saya pun memahami, Suparman tidak berani kembali karena sudah lebih menurut 3 kali ketahuan mencuri flora Pak Sampit. Bukan karena digondol Wewe Gombel.
Sampai saat ini kisah nyata ini tetap menjadi rahasia kami bertiga. Suparman tetap menjadi petani sahabatku, meski sudah sporadis bersua. Sementara Sulikan, teman saya satu ini meninggal beberapa tahun kemudian sesudah tragedi tadi karena tetanus. Sedangkan Pak Sampit pula sudah usang berpulang. Sekian dulu kisanak, hingga jumpa lagi pada cerita serta goresan pena yang lainnya. Terima kasih pula sudah menyempatkan diri membaca cerita ini. Nuwun.
Tatar Galuh, Banjar, 18/06/2017