web analytics
Jejak Sejarah Si Pieter Erberveld, Pemberontak Non Pribumi berasal Batavia - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Berontak berdasarkan KBBI ; 1 meronta-ronta hendak melepaskan diri. Sebab – alasannya adalah terjadinya pemberontakan sanggup dipandang dari realita & perkembangan dari masa lalu sampai masa awal terjadinya pemberontakan itu sendiri. terdapat beberapa alasan diantaranya, Ketidak adilan & kesejahteraan. Pemberontakan poly terjadi lantaran kesewenang-wenangan dari unsur "penguasa" yang mengaku sebagai pemimpin.

Disadari atau nir sang unsur-unsur tersebut, kesenjangan yang terdapat lah yang membentuk kemelut. Secara sederhana Pemberontakan sanggup dikatakan penolakan akan sesuatu hal lantaran ketidakserasian akan suatu nilai yang dipercaya bertentangan. Di Indonesia sendiri bukan sekali 2 kali pemberontakan terjadi, & permasalahannya permanen saja sulit buat dipahami kalau nir mau dikatakan nir mau memahami. Berkali-kali unsur-unsur penguasa mempertahankan egonya menggunakan sistem yang sudah nyata-nyata gagal, nyata-nyata menyengsarakan & nir efektif.

Sebut saja yang paling lekat dalam ingatan kita, pemberontakan PKI & DI/TII, misalnya. Tidak poly diketahui sang poly orang, dalam era VOC berkuasa, ketidakadilan merebak dalam mana-mana. Sejumlah pemberontak pun muncul dipimpin beberapa nama. Salah satunya artinya Pieter, bangsawan berdarah Jerman dari Batavia.

Jejak si Pieter sanga pemberotak dari Batavia ini pun masih sanggup kita saksikan sampai kini dalam bentuk tugu peringatan tua. Tingginya sekitar 2 meter yang dalam zenit tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri menyeramkan menantang langit. Persis dalam badan tengah tembok itu, sebuah tulisan kuno berbaris kaku.

Sebagai kenang-kenangan yang menjijikan atas dihukumnya sang pengkhianat Pieter Erberveld.Karena itu dipermaklumkan kepada siapapun, mulai kini nir diperkenankan buat membangun menggunakan kayu, meletakan batu bata & menanam apapun dalam tempat ini & sekitarnya. Batavia, 14 April 1722,demikian kira-kira terjemahan bebas dari suara huruf-huruf berbahasa Belanda & Jawa itu.

Bersama ratusan nisan & prasasti lainnya, tugu itu merupakan bagian dari Museum Prasasti, Jakarta Pusat. Aslinya benda tersebut berasal dari Kampung Pecah Kulit (kini Jalan Panggeran Jayakarta dalam Jakarta Utara). Namun semenjak dijalankannya proyek relokasi sang Gubernur Ali Sadikin dalam 1977, tembok berpenampilan menyeramkan itu dipindahkan ke sana. Lantas siapa Peter Erberveld yang dianggap dalam prasasti itu?

Adolf Heukeun dalam Historical Sites of Jakarta menyatakan pemberontakan Peter Erberveld memang tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita bermula dari sebuah kejadian yang terjadi dalam 1708. Ketika itu, pemerintah VOC (maskapai perdagangan Hindia Timur yang merupakan wakil dari Kerajaan Belanda dalam Nusantara kala itu lewat Dewan Hemradeen (Collage van Heemraden) menyita ratusan hektar tanah dalam Pondok Bambu atas nama kepemilikan Peter Erberverld. Alasannya, tanah itu tak mempunyai akte yang disahkan sang VOC.

Pieter Erberveld artinya seorang Indo. Ayahnya bernama Peter Erberveld senior, seorang pengusaha penyamakan kulit yang berasal dari kota Elberfeld (kini merupakan bagian kota Wuppertal dalam negara bagian Nordrhein-Westphalen, Jerman). Ibu Pieter sendiri konon berasal dari Siam (Thailand). Namun terdapat yang menyampaikan, sang mak konon berasal dari Jawa.

Bisa jadi lantaran setengah inlander, Pieter jadi mempunyai hubungan baik menggunakan orang-orang pribumi. Itu dibuktikan ketika terjadi penyitaan tanah sang VOC, rakyat kebanyakan berdiri dalam belakangnya. Namun kendati didukung warga poly, VOC permanen bersikeras menyita tanah juragan kulit Jerman itu. Alih-alih membebaskannya, Gubernur Joan van Hoorn malah menambah denda menggunakan mewajibkan Pieter menyerahkan denda 3300 ikat padi kepada VOC.

Sejak kejadian tersebut, Pieter memendam benci kepada VOC. Terlebih dalam menjalankan bisnisnya selain kerap licik & kejam, maskapai dagang besar pertama dalam global itu pula bergelimang korupsi. Sebuah prilaku yang dianggap-sebut dalam literasi sejarah sebagai biang keladi kebangkrutan VOC dalam 1799.

Insiden Pondok Bambu berakibat hubungan antara Pieter menggunakan VOC berlangsung tegang & penuh kecurigaan. Namun sebaliknya, dalam kalangan warga pribumi, kejadian yang menimpa Pieter itu memunculkan sikap simpati yang lebih besar. Sebagai menandakan hubungan baik itu berlangsung, Pieter tak jarang berkunjung ke tempat tinggal-tempat tinggal warga pribumi & tak jarang mengadakan rendezvous dalam rumahnya yang terletak dalam kawasan yang kini bernama Kampung Pecah Kulit.

Pertemuan demi rendezvous memunculkan rasa senasib & sepenanggungan. Dari ikatan emosional itu entah dari mana datangnya lantas muncul hasrat buat melakukan pemberontakan. Bersama seorang ningrat dari Banten, Raden Ateng Kartadriya & 25 pengikutnya,Pieter merencanakan aksi pembangkangan. Hari H-nya: 31 Desember 1721, bertepatan menggunakan pesta malam tahun baru 1722.

Selain berharap dalam donasi Kesultanan Banten yang sudah dikontak sebelumnya, pemberontakan itu pula rencananya akan melibatkan poly donasi dari berbagai pihak. Bahakn, Raden Kartadriya jauh sebelumnya sudah menjanjikan sedikitnya 17.000 prajurit yang sudah siap memasuki kota.

Namun mujur tak sanggup diraih malang tak sanggup ditolak. Pemufakatan subversiv itu malah bocor sebelum waktunya kepada intelejen VOC. Lewat lisan seorang budak Pieter yang bernyanyi, Reykert Heere (Komisaris VOC buat urusan bumiputera) bertindak cepat menggunakan menangkap 23 pelaku planning pemberontakan tersebut termasuk Pieter & Raden Kartadriya.

Sekitar 4 bulan pasca penangkapan, Collage van Heemradeen Schepenen (Dewan Pejabat Tinggi Negara) memutuskan denda mangkat buat Pieter & para pengikutnya. Namun denda mangkat itu dilakukan menggunakan cara yang nir biasa & sangat kejam. Di sebuah lapangan sebelah selatan dekat Balai Kota, mereka menjalani denda sebagai pemberontak menggunakan punggung diikat dalam sebuah salib, tangan kanan dibacok sampai putus, lengan dijepit, daging kaki & dada dicungkil keluar.

Seolah ingin lebih puas, jantung mereka dikeluarkan & dilemparkan ke paras para terhukum. Kepala dipancung & tubuh mereka diikat sang 4 ekor kuda yang berada dalam 4 posisi arah mata angin. Begitu kuda-kuda tersebut dihela maka berpecahanlah tubuh & kulit mereka ke 4 penjuru. Kepala mereka lantas ditancapkan dalam sebuah tonggak dalam sebuah tempat dalam luar kota. Maksudnya agar sebagai makanan burung-burung sekaligus pembangkit imbas jera kepada siapapun yang berniat melakukan pemberontakan terhadap VOC. Kini, bekas tempat eksekusi Pieter & kawan-kawanya dianggap sebagai Kampung Pecah Kulit.

Benarkah Pieter & kawan-kawan bumiputeranya merencanakan sebuah pemberontakan berdarah? Secara niscaya hanya Tuhan & para pejabat tinggi VOC-lah yang memahami. Namun 200 tahun sehabis eksekusi barbar itu, seorang sejarawan Belanda bernama Prof.Dr.E.C.Godee Molsbergen dalam De Nederlandsch Oostindische Compagnie in de Achtiende eeuw, menyebut Insiden Pieter Erberveld sebagai kejadian berdarah yang sarat konspirasi politik.

Selain faktor ketamakan ekonomi VOC, Prof.Godee menyatakan Insiden Pieter Erberveld terjadi lantaran adanya intrik & nafsu politik dalam kalangan para pejabat maskapai dagang tersebut. Ia percaya bahwa gosip planning pemberontakan hanya bualan semata. Baginya tidaklah mungkin seorang Pieter yang terpelajar & pandai berlaku sembrono menggunakan merencanakan kudeta tanpa persiapan & serba mendadak.

Masih dalam literasi tersebut, berdasarkan Kepala Kearsipan Negara dalam Hindia Belanda (1922-1937) itu, sekitar 3 minggu pasca persekutuan Pieter diciduk, inspeksi intens dijalankan sang Dewan Pejabat Tinggi Negara terhadap 23 orang. Termasuk Erberveld, Kartadriya & Layeek, seorang lelaki dari Sumbawa yang merupakan terdakwa pokok. Dalam inspeksi tersebut, ketiganya ngotot menyatakan diri tak merencanakan apapun.

Landdrost (semacam jaksa) lantas mengambil jalan pintas buat memunculkan pengakuan. Caranya Kartadriya digantungi timbangan. Anak timbangan pemberatnya terus menerus ditambah. Kemudian rambut kepalanya dipotong. Heeren Schepenen rupanya percaya, bahwa seperti halnya menggunakan masalah sihir, kekuatan seorang terdakwa buat diam terletak dalam rambutnya. Semua usaha itu sia-sia alasannya adalah Kartadriya permanen bungkam.

Lalu giliran Layeek. Begitu disiksa, orang Sumbawa itu tertentu mengaku lantaran daya tahan fisik & mentalnya tak setangguh Kartadriya. Menurut hasil nyanyiannya Pieter Erberveld memang sudah membujuknya buat menyusun planning pemberontakan.

Bika planning itu berhasil, Pieter akan sebagai raja atau gubernur & para pendukungnya akan mendapatkan ganjaran berdasarkan partisipasi masing-masing dalam pemberontakan itu. Begitu pengakuan didapat, jaksa memerintahkan penyiksaan lebih sadis kepada Kartadriya & Pieter. Usaha mereka nir sia-sia, Pieter & Kartadriya akhirnya mengaku keliru lantaran tak tahan menghadapi siksaan yang makin kejam. Pieter mengiyakan bahwa dirinya dihasut sang Kartadriya.

Tidak hanya itu, Pieter pun menyebutkan dokumen planning persekutuan itu disembunyikannya dalam sebuah peti yang tersimpan dalam lemari tua dalam rumahnya. Ia pula menyatakan sudah mengadakan hubungan surat menyurat menggunakan putera Untung Suropati, pemberontak Bali dalam Kartasura. Dalam nada mengingau lantaran secara fisik & mental sudah musnah lebur, Pieter menyebut sejumlah nama fiktif : 12 pangeran dari Banten dan 13 pangeran & 3 orang raden dari Cirebon. Namun anehnya, kendati dicari secara teliti, tak sepucuk suratpun ditemukan dalam sebuah kotak dalam almari tua dalam tempat tinggal Pieter.

Prof. Godee Molsbergen pula menyebut beberapa kenyataan yang nir wajar dalam proses pengadilan itu. Menurutnya, masalah pengkhianatan yang tergolong kejahatan terhadap yang dipermuliakan seharusnya diadili sang Raad van Justitie, bukan sang Collage van Heemraden.

Bahkan seharusnya, buat perangkat lunak denda mangkat pun nir boleh dalam sembarang tempat, namun harus dalam tempat yang biasa dalam gunakan sang raad van Justitie. Dalam kasus Pieter Erberveld para terdakwa nir diberi pembela. Harta milik para terdakwa nir hanya disita separoh sebagaimana keputusan yang dijatuhkan, namun seluruhnya.

Konspirasi politik semakin terang, kala beberapa hari sehabis pembantaian Pieter & kawan-kawannya dilakukan. Reykert Heere, pejabat VOC yang merasa mendapatkan info pertama ihwal "pengkhianatan" Erberveld, minta balas jasa. VOC sigap menggunakan menaikan pangkat Rykert dari seorang Komisaris sebagai Opperkoopman (pembeli tertingi). Gajinya pun naik jadi 100 gulden sebulan.

Kini hampir 300 tahun, tugu peringatan tua itu masih berdiri kokoh. Tingginya sekitar 2 meter menggunakan warna putih pucat dimakan zaman. Tepat dalam zenit tugu tersebut, sebuah tengkorak terpancang lembing berdiri menyeramkan menantang langit. Sebuah bentuk pemakluman atas hitamnya sejarah kemanusian dalam Batavia dalam April 1722. Nuwun.

Disarikan dari berbagai sumber terpilih

Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat 10052017

Leave a Reply