Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Orang Rimba atau lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam merupakan galat satu etnik minoritas di Indonesia. Di keteduhan hutan hujan dataran rendah Sumatera mereka hidup & mempertahankan tradisi budaya dari nenek moyang yg berpusat pada hutan sebagai sumber filosofinya. Kehidupan mereka nisbi nir banyak berubah dibandingkan dengan kehidupan nenek moyang mereka ratusan tahun silam. Mereka masih berburu, memungut, & meramu hasil hutan.
Hutan ialah ruang hidup Orang Rimba. Hutan merupakan rumah, sumber penghidupan & proteksi bagi Orang Rimba. Hutan ialah tempat anak-anak rimba tumbuh berkembang sebagai manusia yg arif terhadap alam. Dalam keteduhan pepohonan, Orang Rimba menganyam kehidupan.
Namun kini sebagian dari mereka pula telah berladang. Sejauh ini yg kita tahu & banyak beredar dalam artikel di berbagai blog, mereka dikenal sebagai gerombolan yg senang berpindah-pindah. Namun nir mirip yg diduga banyak orang, ternyata mereka nir berpindah secara terus menerus sepanjang waktu. Pada dasarnya mereka menetap. Mereka hanya berpindah jikalau terjadi kematian galat satu anggota kelompoknya saja atau bila terdapat penyakit yg mewabah. Namun karena taraf kematian yg tinggi, perpindahan tak sporadis terjadi. Akibatnya mereka terkesan sebagai gerombolan nomaden.
Tahun 2014 silam, saya berkesempatan menengok denyut nadi kehidupan mereka saat ikut kolega dekat saya pengenalan pen-caleg-annya waktu itu.
Bagi kerabat perkerisan yg kebetulan penggemar film dokumenter tentunya pernah menonton film tentang suku suku asli rimba. Seperti diantaranya yg hidup di kedalaman hutan Amazon di Brazil. Nah, kehidupan Orang Rimba sedikit mirip dengan kehidupan suku tersebut.
Taman Nasional Bukit Duabelas (TMND) di pedalaman Jambi merupakan ruang hidup Orang Rimba. Namun selain sebagai tempat hidup mereka, nir banyak diketahui banyak orang Taman Nasional Bukit Duabelas pula merupakan rumah bagi etnik minoritas lain, yakni Orang Batin Sembilan. Bersama dengan Orang Rimba, Orang Batin Sembilan lebih tak sporadis kita kenal dengan sebutan Orang Kubu. Bahkan nir hanya itu, daerah taman nasional & bagian pulau Sumatera bagian tengah lainnya pula sebagai ruang hidup beberapa etnik minoritas yg tidak sinkron.
Disana hidup Orang Sekak, Orang Talang Mamak, Orang Sakai, Orang Lom, Orang Duano, Orang Akit, Orang Bonai & beberapa lainnya. Ini ialah penuturan Pak Te, warga Pauh, Sarolangun, Jambi yg sangat mengenal sahih kehidupan komonitas Orang Rimba ini.
Mereka hidup tersebar mulai dari daerah pantai hingga di dekat daerah Taman Nasional Kerinci Seblat. Ruang hidup mereka bervariasi. Ada yg mendiami daerah hutan di antara sungai-sungai besar, di rawa-rawa pantai, juga di pulau-pulau lepas pantai.
Data waktu itu yg sempat saya catat (2014), jumlah holistik Orang Rimba yg tersebar di seluruh pedalaman Jambi diperkirakan antara 2000 hingga 3500 orang. Jumlah yg sangat mini jika kita bandingkan dengan jumlah penduduk satu desa di Jawa. Tapi hal ini cukup menegaskan betapa minoritasnya Orang Rimba.
Selain berjumlah mini, Orang Rimba merupakan gerombolan marginal. Meski nir sepenuhnya terisolasi, mereka memiliki akses sangat terbatas buat mengikuti motilitas mayapada modern. Mereka hampir nir tersentuh pendidikan formal. Maka nir mengherankan jikalau mereka nir memiliki akses kekuasaan di pemerintahan sama sekali. Lantas sebagai nir aneh jikalau Orang Rimba sebagai gerombolan yg sangat lemah. Ketika hutan mereka yg kaya kayu dijarah, kemudian diubah sebagai perkebunan sawit yg menghampar itu, mereka nir berdaya. Mereka hanya dapat menyesali hutan yg dihancurkan, yg berarti menunjukan bahwa kehidupan mereka terancam.
Pengakuan terhadap keberadaan Orang Rimba secara legal hukum sang negara belum usang diberikan. Itupun nir secara tertentu. Orang Rimba di hutan Bukit Duabelas baru menerima pengakuan sah dari pemerintah melalui surat keputusan penetapan hutan Bukit Duabelas sebagai taman nasional pada tahun 2000. Dalam penetapan itu disebutkan bahwa selain buat proteksi, taman nasional pula sebagai cagar bagi Orang Rimba agar kehidupan & penghidupan mereka di dalam hutan terjaga. Taman nasional ditetapkan sebagai proteksi bagi Orang Rimba.
Selama ini terdapat beberapa penamaan bagi mereka ; Orang Rimba, Suku Anak Dalam, atau Kubu?
Orang Dalam ialah galat satu nama lain yg dilekatkan sama meraka, nama lain diantaranya ialah mirip Kubu, Orang Rimba, Sanak, & Suku Anak Dalam. Sejak berabad-abad yg lalu, warga umum mengenal gerombolan Orang Rimba sebagai Orang Kubu. Bahkan hingga saat inipun, masih banyak yg menyebut mereka dengan sebutan kubu. Dan istilah kubu ini pula yg sebagai nama internasional bagi Orang Rimba. Hal ini disebabkan kiprah para penjelajah awal abad ini yg selalu menyebut Orang Rimba sebagai kubu dalam tulisan-tulisannya. Akibatnya melekatlah nama kubu sebagai istilah resmi dalam literatur.
Saat ini kata kubu sangat dekat berasosiasi dengan sesuatu yg berbau primitif, kotor, & nir tahu sopan santun. Oleh orang-orang di desa-desa pinggir hutan, kata kubu digunakan buat kata ejekan. Jila diterangkan nir mengerti-mengerti akan diklaim memang kubu! Maksudnya terbelakang. Jila anak-anak disuruh mandi nir mau, merupakan hal biasa bila orangtua mereka menakut-nakuti nir mau mandi, mau jadi Orang Kubu?! Jila bertindak nir mengikuti sopan santun dari ukuran orang desa itu, ialah hal biasa bila diumpat dasar kubu!
Kebanyakan Orang Rimba pada saat ini enggan diklaim kubu. Bahkan, Bang Mangku (Orang Rimba) yg waktu itu ikut sebagai penunjuk jalan sempat membicarakan pada saya bahwa dirinya sangat murka kalau diklaim sebagai kubu. Hal itu mereka anggap sebagai ejekan. Secara konotatif, kubu memang bermakna negatif, yakni terbelakang, bau & jorok. Mereka lebih bahagia diklaim sebagai Orang Rimba. Pada saat berbincang-bincang dengan mereka, buat menyebut gerombolan mereka sendiri, mereka tak sporadis membicarakan kami Orang Rimbo… karenanya dalam tulisan ini saya menuliskannya sebagai Orang Rimba.
Tidak sporadis mereka pula menyebut diri mereka sendiri sebagai Orang Dalam. Sebab mereka ialah orang yg tinggal didalam hutan sedangkan orang-orang desa & lainnya tinggal diluar hutan. Orang Rimba memiliki kosa kata khusus buat menyebut orang desa & semua orang yg bukan Orang Rimba yakni Orang Terang. Mungkin istilah itu berasal dari adanya perbedaan suasana tempat tinggal. Hutan tempat tinggal Orang Rimba selalu teduh karena terlindung sang pepohonan hutan yg besar-besar & tinggi. Sedangkan daerah orang desa & lainnya selalu terang karena jarangnya pepohonan.
Mula-mula saya menyebut Orang Rimba sebagai Suku Anak Dalam sebagaimana yg beredar di artikel artikel & tayangan- tayangan televisi. Akan namun nyatanya terdapat Orang Rimba yg nir tahu dengan istilah itu. Mereka malah balik bertanya, Suku Anak Dalam tu apo? Saya sempat kaget, mengapa yg diberi nama malah nir tahu dengan namanya sendiri.
Memang, Suku Anak Dalam merupakan nama yg jauh lebih populer di mata warga Indonesia daripada nama Orang Rimba. Hal itu merupakan kiprah media massa yg selalu mengekspos mereka dengan sebutan demikian. Sepertinya Pemerintah sendiri agaknya dengan nama Suku Anak Dalam sebagai istilah resmi. Hal ini terbukti dari penggunaan nama Suku Anak Dalam didalam berbagai dokumen resmi dinas-dinas pemerintahan.
Masyarakat desa di lebih kurang daerah tempat tinggal Orang Rimba menyebut Orang Rimba sebagai sanak, yg memiliki arti harfiah saudara. Pada awalnya panggilan sanak buat Orang Rimba diberikan sang orang Minangkabau, namun kemudian seluruh warga di lebih kurang hutan ikut-ikutan memanggil mereka dengan sebutan sanak. Ketika berbincang-bincang dengan warga desa & merujuk pada Orang Rimba, sayapun menyebut mereka dengan kata ganti sanak.
Dimana Orang Rimba tinggal?
Dari leteratur yg terdapat, Orang Rimba secara tradisional hidup di daerah pulau Sumatera bagian tengah yg tercakup dalam daerah administratif provinsi Jambi. Mereka tersebar di berbagai lokasi yg bhineka, misalnya di selatan sungai Tembesi, di antara sungai Tembesi & Merangin, di Taman Nasional Bukit Duabelas, & di Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Jumlah holistik Orang Rimba diseluruh lokasi berkisar antara 2000 hingga 3000 jiwa.
Mereka tercakup dalam 3 gerombolan besar, yakni gerombolan Makekal, gerombolan Kejasung, & gerombolan Air Hitam. Khusus Kelompok Air Hitam, yg tinggal di daerah selatan-barat daya Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan Orang Rimba yg kita bicarakan dalam tulisan ini.
Seperti yg telah saya narasikan di atas, daerah hutan Bukit Duabelas sebagai daerah ruang hidup Orang Rimba ditetapkan sebagai Taman Nasional sang pemerintah pada tahun 2000. Secara administratif TNBD tercakup dalam 3 daerah kabupaten, yakni Sarolangun, Batanghari & Tebo. Kecamatan yg meliputi daerah TNBD ialah kecamatan Air Hitam & Mandiangin (Sarolangun), kecamatan Tebo Ilir (Tebo) & Maro Sebo Ulu (Batanghari). Untuk memasuki daerah TNBD, perizinan nir melalui dinas pemerintahan namun melalui pengelola daerah, yakni dinas BKSDA Jambi. Pos terdekat BKSDA dengan daerah Taman ialah pos BKSDA di desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Ruang hidup Orang Rimba
Taman Nasional Bukit Duabelas (lazim disingkat TNBD) merupakan galat satu hutan ruang hidup Orang Rimba yg terpenting. Disana syarat hutannya nisbi masih memungkinkan kehidupan tradisi budaya Orang Rimba berjalan dengan baik.
Rimba sendiri secara harfiah bermakna hutan. Orang Rimba berarti orang yg hidup di dalam hutan. Tidak mirip para petualang atau pencari kayu yg tinggal hanya beberapa waktu di dalam hutan, Orang Rimba hidup di dalam hutan sepanjang hayat. Tidak mirip para petualang yg meskipun tinggal bertahun-tahun lamanya di dalam hutan namun selalu memiliki rumah tempat kembali balik , hutan ialah rumah Orang Rimba. Mereka telah sebagai bagian ekosistem hutan dimana mereka tinggal. Orang Rimba ialah alam itu sendiri. Dalam konteks TNBD, mereka ialah bagian integral & nir terpisahkan dalam ekosistem taman.
Hutan di TNBD memiliki kerapatan yg tinggi. Sinar surya sulit menorobos dedaunan. Oleh karena itu meskipun Orang Rimba nir dengan baju, mereka nir kepanasan karena hutan selalu sejuk. Kondisi tanahnya terdapat yg berbukit-bukit & terdapat yg datar. Berjalan di dalam rimba akan tak sporadis naik turun bukit sehingga menguras tenaga. Namun bagi Orang Rimba, nir pernah terdapat keluhan akan hal itu. Mereka hanya berjalan sedikit melambat waktu mendaki bukit.
Hampir setiap area di dalam hutan diberi nama. Hal itu tentu buat memudahkan Orang Rimba dalam menentukan letak. Biasanya nama suatu daerah berdasarkanpada nama sungai yg mengalir. Namun jangan dibayangkan kita bakal menemukan suatu gejala fisik bahwa suatu tempat bernama tertentu. Kelompok inti Air Hitam misalnya tinggal disuatu daerah yg bernama Kedondong Mudo. Lalu gerombolan-gerombolan mini lainnya tersebar di daerah yg bhineka & memiliki nama tersendiri, misalnya Siamang Mati, Air Behan, Sungai Meranti, Sungai Tengkuyung, & lainnya. Nama tempat kadang pula sebagai bukti diri mereka. Mereka menjelaskan seseorang sekaligus dengan nama tempat tinggalnya. Misalnya Nijo, dari air hitam, Nalitis, dari siamang meninggal, & lainnya.
Bersambung..