Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Sampeyan merokok? Jika jawabannya iya, pernahkah terlintas atau berkeinginan mengetahui berasal usul candu linting ini? Saya rasa nir semuanya. Termasuk saya juga di dalamnya. Hingga lalu membaca sebuah majalah bekas yang satu dari artikelnya mengetengahkan berasal usul masyarakat khususnya masyarakat Jawa doyan merokok. Tapi sebelumnya, saya nir mengajak sampeyan sampeyan untuk merokok lho ya, tahu sendiri kan bahayanya. Ya, akan namun bagaimana lagi wes kadung, wong berhentinya juga susah kan? Baik, intronya cukup segini saja.
Ternyata, akar jawabannya nir jauh menurut sejarah Mataram Islam, kepada abad ke 16 lampau. Dalam sebuah naskah Jawa, Babad Ing Sengkolo (1600) dikisahkan mangkatnya Panembahan Senopati, sang pendiri wangsa dinasti Mataram. Ketika itulah tembakau mulai merasuk di tanah Jawa.
"Waktu Panembahan wafat di Gedung Kuning ialah bersamaan tahunnya menggunakan mulai munculnya tembakau. Setelah itu, mulailah orang merokok." Begitulah kira-kira petikan naskah antik tadi.
Semenjak itulah, lalu orang Jawa mulai mengenal berbagai jenis candu linting ini. Mulai menurut rokok kelembak, kawung, hingga klobot. Tapi, yang dianggap rokok kretek baru muncul hampir 3 abad lalu, tepatnya pasa 1880-an, di masa hayati seorang lelaki bernama Haji Djamari. Siapa beliau? Mari kita cari tahu.
Kisah dimulai ketika kepada suatu hari pak Kaji (haji) tiba tiba sakit. Maklum wae, lha wong pak Kaji ini doyan banget merokok, meski beliau mengidap asma. Pendek istilah, lebih baik beliau tidak makan menurut kepada nir merokok, untuk menggambarkan bagaimana doyannya beliau sama rokok. Kita tahu juga kan, bagaimana kalau pengidap asma sedang kambuh, napasnya kembang-kempis. Lha itu juga dialami sang Pak Kaji Djamari ini. Napasnya akan berangsur membaik apabila beliau mengurutkan minyak cengkeh. Suka nir senang, aksi merokoknya pun tertunda sejenak.
Tapi rupa rupanya Pak Kaji Djamari ini tipe orang yang visioner. Ia nir kekurangan akal. Ia ini tipikal orang yang senang gotah gathuke. Kenapa nir cengkeh dipadukan saja menggunakan rokok? Selain melegakan dada, sedotan jalan terus! Ternyata eksperimen ini sukses. Setelah mengisap ramuan tembakau dan cengkeh itu, konon asma Kaji Djamari hilang. Ihwal ramuan rokok dan cengkeh ini pun segera menyebar dan menerima sambutan hangat. Tidak terbendung.
Pak Kaji menyebut ramuannya itu "rokok cengkeh". Tetapi sebutan lebih populer yang lalu berkembang ialah "rokok kretek". Soalnya, ketika dibakar, candu linting ini seakan-akan berbunyi "kretek… kretek…".
Keluarga Djamari dikabarkan sempat memasarkan rokok cengkeh. Sayang, belum sempat urusan ekonomi itu berkembang, Kaji Djamari keburu mangkat kepada 1890. Tapi, wafatnya Pak Kaji bukan berarti rokok kretek lantas lenyap. Kurang lebih satu dekade berselang, rokok kretek masuk babak industri di tangan sejumlah orang.
Dalam babak baru itu, setidaknya ada 11 orang yang tercatat menjadi pendekar industri awal rokok kretek. Wajah mereka terpajang di Museum Kretek di Kawasan Getas Pejaten, Kudus, Jawa Tengah. Mulai Nitisemito, pemilik pabrik rokok cap Bal Tiga, M. Atmowidjojo (Goenoeng Kedoe), H.M. Muslich (Teboe & Djagoeng), H.M. Ashadi (Delima), H. Ali Asikin (Djangkar), Tjoa Khang Hay (Trio), hingga M. Sirin (Garbis & Manggis). Semua perintis dan pabrik rokok mereka itu juga telah almarhum.
Dari sekian poly tokoh yang saya sebutkan di atas, yang dipercaya paling layak menyandang predikat "Bapak Kretek Indonesia" ialah Nitisemito. Sebab, dialah yang pertama kali meletakkan dasar manajemen modern kepada industri rokok.
Sumbangsih Nitisemitro atauRoesdi nama kecilnya di industri rokok nir lantas ujug ujug datang menurut langit. Dengan latar belakang keluar priyayi Jawa, beliau lebih menunjuk berwirausaha, meski sang bapaknya beliau digadang gadang untuk menganntikannya menjadi Lurah Jagalan, Kudus Kulon. Berbagai perjuangan pernah dilakoninya, mulai menurut berdagang kain, perjuangan batik, hingga merintis warung kelontong hingga lalu beliau menikahiNasilah. Seperti lazimnya istiadat Jawa, nama Roesdi lalu berganti jadi Nitisemito.
Garis nasib Nitisemito mulai berubah menjelang tahun 1906. Ketika itu, beliau mulai melirik urusan ekonomi rokok kretek. Ia memproduksi rokok menggunakan merek amat tidak lazim: "Kodok Mangan Ulo" yang berarti "katak makan ular". Logikanya tentu saja sebaliknya, ular yang makan katak. Mungkin Nitisemito ingin agar kreteknya segera menerima perhatian menggunakan tampil beda, nyentrik sekaligus nendang.
Toh, akhirnya Nitisemito mengubah mereknya menggunakan "Bal Tiga". Walaupun usahanya masih digolongkan industri tempat tinggal tangga, Nitisemito telah menjalankan manajemen perusahaan secara modern untuk ukuran masa itu. Misalnya, beliau membuka sejumlah cabang di beberapa kota besar, misalnya Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, bahkan hingga Sumatera dan Kalimantan.
Untuk mendongkrak angka penjualan, beliau menyediakan berbagai bonus, misalnya cangkir, piring, dan gelas. Hampir di tiap masjid besar di kota-kota besar terpajang jam dinding pemberian menurut Nitisemito. Tak tanggung-tanggung, beliau bahkan menyediakan undian menggunakan pemberian tunggangan beroda empat.
Maka, tidak mengherankan, dalam waktu kurang menurut delapan tahun, Nitisemito telah menjadi pengusaha rokok raksasa. Di tangannya, pabrik rokok Bal Tiga mampu memproduksi 10 juta batang per hari kepada 1938. Tenaga kerja yang terserap pun mencapai 10.000 orang.
Sepanjang hayatnya, pabrik rokok Bal Tiga pernah mengalami pasang surut perjuangan. Terutama di masa penjajahan Jepang, ketika hampir tidak ada perjuangan rokok kretek tradisional muslim yang selamat. Pabrik dan sejumlah aset Nitisemito juga ikut dirampas Jepang.
Dengan susah payah, Nitisemito berusaha bangkit pulang menggunakan meminta pabriknya. Baru kepada 1947, Jepang mengabulkannya menggunakan supervisi yang ketat. Tapi urusan ekonomi itu ternyata tidak mampu bangkit lagi. Sampai akhirnya Nitisemito wafat kepada 1953. Tahun itu pulalah Bal Tiga berhenti berproduksi. Walau demikian, toh asap rokok kretek hingga kini masih mengepul di seluruh Nusantara. Tentu menggunakan pemain lain dan pabrik yang jauh lebih modern. Nuwun.