Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Vivere Pericolosa, ada yang sudah tahu istilah ini? Ya, bagi sebagian kita tentu masih asing bareng istilah tersebut. Saya sendiri menemukan istilah Vivere Pericolosa ini pun kebetulan, saat selancar mencari referensi tulisan yang menyangkut biografi Bung Karno, presiden pertama kita. Ternyata celoteh atau istilah tersebut dipakai menjadi judul pidato kenegaraan Bung Karno dalam memperingati hari kemerdekaan, 17 Agustus 1964 bareng judul Tahun Vivere Pericolosa. Istilah dalam bahasa Italia ini secara pribadi bisa diartikan menjadi hidup dalam bahaya atau hidup meyerempet-rempet bahaya.
Istilah ini kemudian menjadi sangat populer pada 1964-1965. Pada masa itu, konteksnya tentu saja berbeda bareng zaman kini. Waktu itu lagi terjadi perang ideologi. Dalam pidatonya, Bung Karno mengingatkan bahwa ada ranjau revolusi & keberanian menjadi penting untuk menghadapi krisis serta kemandirian menjadi fondasi demokrasi. Terkait ancaman revolusi, ia menuding ada kekuatan-kekuatan reaksioner & apa yang disebutnya setan multiparty system. Bukannya antipolitik, tapi yang tidak disukai Bung Karno yaitu praktik-praktik menunggangi partai politik untuk memperkaya diri & melampiaskan ambisi-ambisi perseorangan, sepertinya yang ini masih relevan hingga kini ya.
Tapi sudahlah, kita cukupkan bicara tentang politik, lagi pula saya maupun awam tentang hal-hal sering disepadankan pada papan catur ini. Walau dalam konteks yang berbeda bareng kondisi pemerintahan Orla itu, sebetulnya boleh maupun Presiden kita saat ini, Jokowi mendeklarasikan era pemerintahannya menjadi Pemerintahan Vivere Pericolosa. Tentu kita masih ingat, saat presiden dijabat SBY, negeri ini dihempas bencana yang beruntun, sehingga rakyatnya memang harus hidup menyerempet-rempet bahaya. Mulai berdasarkan gempa, tsunami, gunung meletus, & masih poly lagi yang lainnya yang tak mungkin saya sebutkan semuanya di sini.
Tapi memang apa mau dikata, kita hidup di dunia, dimana kerak kulitnya memang disusun seperti jigsaw puzzle sang 16 lempengan tektonik yang selama jutaan tahun terbentuknya dunia, lempeng-lempeng ini selalu bergerak, saling mendesak & saling mendorong tanpa pernah berhenti. Hasil berdasarkan interaksi ini merupakan terjadinya gempa bumi, terbentuknya gunung berapi, & mengkerutnya bagian atas dunia menjadi pegunungan, lembah, & palung lautan yang dalam. Gawatnya atau untungnya? Indonesia justru terletak di perbatasan 5 (lima) lempengan tektonik, yaitu Lempengan Australia, Pasifik, Philipina, Eurasia & India. Itulah sebabnya mengapa di Indonesia tidak pernah sepi berdasarkan gempa bumi & letusan gunung berapi.
Jadi pilihan hidup di Indonesia ini merupakan bagaimana kita berbaik-baik bareng gejala alam gempa bumi tektonik bareng kemungkinan gelombang tsunami di tepi pantai, atau menghadapi letusan gunung berapi di daerah pegunungan. Tampaknya nenek moyang kita lebih memilih beresiko gunung berapi & bertempat tinggal di daerah pegunungan, karena memang kegiatan gunung berapi lebih terlihat bareng gejala-gejala meletus yang bisa diperkirakan dibanding tinggal di tepi pantai menghadapi resiko tsunami yang tidak bisa diduga sama sekali. Walaupun tetap saja resiko itu ada dimanapun kita berada.
Ambil contoh Kerajaan Mataram kuno yang didirikan sang Prabu Bardasana pada tahun 732 M di Medangkamulan di Gunung Merapi menjadi penerus berdasarkan Kerajaan Balungkara yang didirikan sang kakeknya, yaitu Sanghyang Barkala Wastu pada tahun 547 M. Bardasana yang merupakan anak berdasarkan Nyimas Dewi Kalapangi alias Nyi Melati, merupakan orang Hindu pemuja Syiwa, termasuk anaknya, Sanjaya Wijaya.
Baru cucunya, Raja Mataram ke-III, yaitu Syailendra Dyah Pancapana Rakai Panangkaran yang menikah bareng Nyimas Dewi Wungkari, memeluk agama Budha & memuja Dewi Tara. Dan sepeninggal Rakai Panangkaran (782M), Kerajaan Mataram terbelah dua dampak konflik agama menjadi Mataram Hindu yang terletak di Jawa Tengah utara & Kerajaan Mataram Budha yang terletak di Jawa Tengah selatan. Raja-raja Mataram Hindu meninggalkan Candi Bima & Punta Dewa di Pegunungan Dieng, maupun Candi Plaosan, & komplek Candi Rara Jonggrang; sedangkan Raja-raja Mataram Budha meninggalkan Candi Sewu, Sari, Pawon, Mendut & Borobudur.
Baru kemudian saat Rakai Pikatan menjadi Raja Mataram Hindu, menikah pada tahun 850 M bareng Pramodhawardani, yang merupakan putri sulung Raja Samaratungga berdasarkan Mataram Budha, kedua kerajaan bersatu kembali & penganut Agama Hindu & Budha bisa hidup bareng rukun. Perayaan pernikahan agung & bersatunya dua negara maupun dirayakan secara meriah sang Raja Samaratungga bareng upacara pembukaan Candi Borobudur, yang dibangun bareng 1,6 juta blok batu, pahatan batunya mencapai hampir 5 km, & dihiasi sang patung Budha sejumlah 504. Hanya sayang tidak lama setelah pesta agung ini, terjadi kekacauan dampak saudara termuda Pramodhawardani, Balaputra Dewa, memberontak tapi bisa dikalahkan sang Rakai Pikatan. Balaputra Dewa kemudian melarikan diri ke Sumatera selatan & mendirikan Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram kuno sendiri harus berakhir pada era pemerintahan Raja Wawa yang memerintah sementara waktu berdasarkan tahun 924 929 M, karena seluruh kerajaan terendam lava sampai mencapai 10 meter dampak letusan dahsyat Gunung Merapi pada tahun 932 M. Candi Borobudur yang terletak sebelah barat Gunung Merapi & digunakan belum sampai 100 tahun hilang terkubur lava. Bukti terakhir hal ini merupakan ditemukannya Candi Hindu Sambisari yang terletak di desa Sambisari, Kelurahan Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Jogjakarta, sang seseorang petani pada tahun 1966. Candi yang terkubur sedalam 6 meter di bawah sawah & jalan raya, rupanya merupakan tempat persembahan warga Mataram Hindu bareng melakukan upacara menyembelih & mengorbankan hewan kepada tuhan-tuhan pujaannya.
Akibat berdasarkan bencana meletusnya Gunung Merapi tahun 932 M, Kerajaan Mataram kuno yang dipimpin Wangsa Sanjaya punah setelah 10 generasi pemerintahan. Menantu Raja Wawa, Rakai Hino Sri Isyana Wikrama Darma Tungga Dewa alias Mpu Sindok, memindahkan pusat kerajaan & pusat kebudayaan menjauhi Gunung Merapi ke arah timur ke Jawa Timur dekat Jombang & mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Medang. Kerajaan Medang berdasarkan Wangsa Isyana ini yang merupakan kelanjutan berdasarkan Kerajaan Balungkara & Mataram Hindu serta Budha, kemudian menurunkan raja-raja berdasarkan Kerajaan Kediri, Jenggala, Singasari & Majapahit.
Tapi tampaknya memang nenek moyang kita lebih memilih beresiko bareng gunung berapi dibanding mendirikan kerajaan di tepi pantai. Selain tentunya punya kerajaan di puncak gunung mempunyai nilai lebih bagi pertahanan terhadap serangan musuh yang menyerbu.
Lihat pusat kerajaan Caringin Kurung (antara abad ke 3 SM 2 M) yang berada di Puncak Manik Gunung Salak; Prabu Kian Santang (abad 2 3 M) memindahkan Kerajaan Pasundan (warisan berdasarkan ayahnya yaitu Prabu Siliwangi) berdasarkan daerah Pameungpeuk di tepi pantai ke daerah pegunungan ke bekas lokasi Kerajaan Janggarimang (asal ibunya yaitu Ratu Subang Larang) ke Leles, Garut; Kerajaan Lunggai (atau kini dikenal menjadi Kutai, Abad 3 4 M) terletak di Muara Kaman, di tengah Pulau Kalimantan; pusat Kerajaan Tarumanegara (abad 4 5 M) terletak di Ciaruteun, Leuwiliang, Bogor; Kerajaan Medang, Kediri, Jenggala, Singasari & Majapahit (abad 10 15 M) terletak di sekitar Jombang, Kediri, Malang, & Trowulan, maupun jauh berdasarkan pantai; begitu maupun Kerajaan Mataram Jogja berada jauh di pedalaman.
Bandingkan bareng ibu kota negara & propinsi kita kini, yang hanya Bandung & Palangka Raya saja yang tidak terletak di tepi pantai. Entah karena manusia kini lebih berani & nekad atau telah kehilangan kearifan berdasarkan belajar sejarah. Padahal melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, para pakar memperkirakan bahwa pada masa purba masih ada gunung yang sangat akbar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat (yang lebih hebat berdasarkan letusan tahun 1883) yang menyisakan sebuah kaldera (kawah akbar) yang sisi sisinya dikenal menjadi Pulau Rakata, Pulau Panjang & sebuah pulau lagi.
Akibat letusan Gunung Krakatau purba ini diyakini telah menyebabkan gelombang akbar tsunami yang menghantam seluruh pantai di Jawa, Sumatera & sekitarnya & inilah yang menjadi alasan mengapa nenek moyang kita menjadi trauma mendirikan pusat kebudayaan di tepi pantai, sehingga kemudian lebih memilih membangun di pegunungan.
Kemudian dalam bepergian waktu & dampak berdasarkan pertambahan penduduk, orang mulai lupa akan trauma kejadian bencana tsunami dampak meletusnya Gunung Krakatau purba, maka pusat kebudayaanpun (utamanya didorong sang tumbuhnya pusat perdagangan) mulai tumbuh di tepi pantai. Hal ini dimulai bareng tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Samudera Pasai, Demak, Surabaya, Cirebon & Banten.
Sementara itu peninggalan meletusnya Gunung Krakatau purba yaitu Pulau Rakata kemudian tumbuh sesuai bareng dorongan vulkanik dampak berdasarkan pergerakan kerak lempeng bumi, & muncul tiga buah gunung barah yang dikenal menjadi Gunung Rakata, Gunung Danan & Gunung Perbuwatan. Kemudian pada tanggal 26 Agustus 1883 Gunung Krakatau meletus kedua kalinya bareng sangat dahsyat & menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata & menyebabkan korban 36.000 orang meninggal. Suara letusan gunung Krakatau sampai terdengar di Alice Springs, Australia & pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer berdasarkan pulau Jawa.
Dan seperti kisah yang tidak pernah habis, mulai pada tahun 1927 berdasarkan kawasan kaldera purba kembali muncul gunung barah baru generasi ketiga – yang dikenal menjadi Anak Karakatau yang masih aktif & tetap bertambah tingginya. Tampaknya sejarah akan terulang kembali, hanya tinggal menunggu waktu. Kemungkinan Gunung Krakatau meletus bareng dahsyat untuk ketiga kalinya bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.
Jadi Sukarno benar, bangsa Indonesia memang hidup menyerempet-rempet bahaya alias Vivere Pericolosa. Di daratan ada gunung berapi yang bisa meletus, mengeluarkan lava, menyemburkan awan panas. Di pantai kemungkinan tsunami sangatlah mungkin & lebih susah ditebak daripada aktivitas gunung berapi. Tsunami akbar di Aceh tanggal 24 Desember 2004 & Pangandaran tanggal 17 Juli 2006, pasti bukanlah yang terakhir. Bahaya Gunung Merapi, Gunung Krakatau, ataupun ratusan gunung berapi lainnya memang bisa muncul setiap saat.
Bencana, memang harus disadari merupakan bagian berdasarkan hidup bangsa ini & kita tidak punya pilihan lain. Tapi bukankah berdasarkan bencana gunung meletus yang bisa mematikan datangnya kesuburan lahan bagi kehidupan, & berdasarkan patahan-patahan & pergerakan lempeng bumi yang bisa menyebabkan gempa tektonik & tsunami yang menghancurkan desa & kota maupun bisa mendatangkan hasil tambang bagi modal tumbuhnya bangsa ini. Segala sesuatu memang ada sisi positip & negatipnya. Bagi orang bijak hal ini bukanlah masalah tetapi justru merupakan tantangan.
Tapi rasanya bareng bencana yang datang bertubi-tubi beberapa tahun lalu itu, pasti ada pesan melalui alam yang harus kita tangkap bareng bijak. Mungkin ini saatnya bagi kita untuk berhenti sejenak & melihat kebelakang serta belajar berdasarkan sejarah berdasarkan orang tua kita. Atau memang ini saatnya bagi kita untuk memperhatikan alam. Jangan-jangan kita selama ini telah dzolim kepada alam & mulai melupakan Sang Pencipta. Cubitan merupakan peringatan bagi orang yang peka, tapi buat orang bebal, ditamparpun sering tidak paham-paham. Jangan-jangan kita semua merupakan orang dzolim & ndableg? Sehingga perlu dikirim bencana menjadi peringatan? Tapi semoga tidak. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat 10052017