Kirab pusaka, Beraneka ragam cara-cara masyarakat kejawen yang mendambakan hikmahnya 1 Suro. Di antaranya ada yang mengadakan tirakatan di makam para leluhur, ada yang mendaki puncak Gunung Lawu, ada pula yang semalam suntuk membaca tembang “Mocopat” dan ada yang berpuasa dan sebagainya. Dalam kepentingan ini maka setahun sekali pusa-ka-pusaka milik Keraton Surakarta, Yogyakarta, Mangku-negaran maupun Paku Alaman dijamasi yaitu disiram dengan semacam cairan khusus pencuci tosan aji ( = besi bertuah).
Untuk pusaka Sambernyawan yang ada di Selogiri dilakukan jamas di pendopo Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri. Pusaka-pusaka Keraton Surakarta yang dijamasi antara lain: Tombak Kiai Baru, Kiai Kebo Mas, Kiai Slamet, Kiai Brekat, Kiai Karo Bathok, Kiai Kartoraharjo, dan keris-keris. Menurut cerita konon Tombak Kiai Baru ada hubungan sejarah dengan Ki Ageng Mangir Wonoboyo, sedang Kiai Kebo Mas digunakan pada upacara pembukaan berdirinya Ke-sultanan Yogyakarta.
Kiai Slamet digunakan sebagai mendatangkan keselamatan semasa negeri Surakarta dilanda wabah penyakit, banjir atau musibah kebakaran khususnya semasa Sri Susuhunan Pakubuwono X bertahta. Pusaka Yogyakarta yang dijamasi antara lain: Tombak Kiai Pleret dan Keris Kiai Kopek. Adapun pusaka Samber-nyawan yang dijamasi di pendopo Kecamatan Selogiri adalah Tombak Kiai Totog, Kiai Bolodewa dan Keris Kiai Korowe-lang. Tata upacara jamasan sejak dahulu selalu dijatuhkan pada tanggal 1 Suro atau tanggal 1 Muharom tahun Hijrah dengan maksud untuk mengambil hikmahnya bulan Sura. Pada umumnya pusaka adalah kelengkapan senjata untuk berperang, pusaka dijamasi di bulan Sura dengan maksud agar pusaka tersebut meningkatkan keberaniannya bagi siapa yang memegangnya.
Arti Sura dalam bahasa Jawa mengandung arti berani, adapun hari terpilih untuk memulai menjamas/mencuci pusaka ialah Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Lama menjamas kurang lebih sekitar 3 hari. Sebelum melaksanakan menjamasi, orangnya harus berpuasa terlebih dahulu dan selama menjamas disediakan sesaji. Tanggal 1 Sura tahun 1983 jatuh pada hari Sabtu Pahing 8 Oktober 1983 hari Selasa Kliwonnya jatuh pada tanggal 11 Oktober 1983. Seminggu sebelum upacara jamas pusaka, sekretaris keraton sudah menyebarkan surat kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan upacara jamas pusaka.
Pada hari upacara jamas pusaka diadakan hari “Pisowanan” khusus putra dan kerabat keraton serta petugas khusus jamas pusaka. Pada han jamas pusaka sekitar jam 08.00 pagi mulai dipersiapkan perabot-perabot perlengkapan jamas, di antaranya mengatur bangku-bangku untuk penyiraman,- mempersiapkan periuk baru, tempat air cucian berisi kembang atau bunga, ada pula yang menguliti jeruk nipis dan memerasnya, ada yang mempersiapkan minyak cendana, kawul ( = serbuk lembut hati bambu apus yang telah dikerik dan dikeringkan), sekitar pukul 09.00 para putra kerabat istana telah mengha-dap di balai pisowanan, pukul 09.00 ada perintah dari Sri Susuhunan Paku Buwono.
Untuk Yogya perintah dari Sri Hemengku Buwono, yaitu untuk mengeluarkan pusaka-pusaka dari sanggarnya. Pukul 10.00 pusaka dikeluarkan dan dibawa melalui Prabasuyasa atau balai besar istana. Pusaka-pusaka yang dikeluarkan di-bawa bersama-sama, paling depan adalah tombak Kiai Baru, untuk Yogyakarta Kiai Pleret. Keluarnya Kiai Baru ke pangrantunan dibawa oleh bupati wanita, sedangkan untuk kiai Pleret dibawa langsung oleh Sri Sultan Hamengku buwono sendiri. Pada hari pertama upacara jamasan dilaksanakan oleh Sri Susuhunan Paku Buwono sendiri sampai selesai. Adapun untuk jamas hari-hari berikut diserahkan kepada pangeran yang dianggap lebih tua.
Urutan tata laksana jamas pusaka ialah sebagai berikut: Yang pertama ialah “Mutihi” artinya memutihkan semua pusaka atau tosan aji, disikat dengan air dan jeruk nipis, pekerjaan ini dikerjakan berulang kali sehingga tidak ada yang kelewatan hingga karatnya hilang. Apabila karat sukar dihilangkan, maka harus digosok dengan pucuk mancung atau seludang kelapa yang telah dikeringkan. Berkali-kali penggosokan dilakukan sehingga bersih benar, setelah tampak gilap putih, lalu disiram dengan air bunga. Selanjutnya dikebat yang artinya disikat secara sentuhan saja. Keduanya secara meranggi ialah pembubuhan warangan selesai memutih.
Kemudian tosan aji diberi larutan warangan, caranya wesi aji dibasahi air jeruk warangan, hal tersebut dilaksanakan pada tempat yang kering dan panas, agar cepat meresap larutan warangan cukup terserap oleh tosan wesi aji. Bagi pusaka tua misalnya tangguh Majapahitan ke atas maka larutan warangan cukup dijatuhkan sekali saja. Bagi pusaka yang muda cukup dijatuhi warangan dua tiga kali apalagi untuk pusaka-pusaka yang lebih muda misalnya baru berusia kurang dari 60-an tahun. Ketiga kalinya ialah “Menjamasi” dan apabila pekerjaan membubuh warangan usai, tampak pamor pusaka itu dengan jelas lalu disiram dengan air kembang lagi, dikebat lagi dengan sikat sehingga tuntas selanjutnya dikawal dan disikat dengan sikat kering yang belum basah lalu pekerjaan yang terakhir dibutuhkan minyak cendana, selain diberi minyak cendana perlu dikawul lagi dengan tujuan agar minyak cendana tidak mengenai sarang pusaka.
Selesai pekerjaan yang dimaksud di atas lalu pusaka-pusaka tersebut disanggarkan kembali di tempat penyimpanan. Pusaka Sambernyawan yang ada di sanggar Selogiri disim-pan dalam tugu batu berbentuk candi. Semasa Kanjeng Gusti Paku Alaman Mangkunegoro VII dahulu ada permohonan dari rakyat Nglaroh antuk mengabdikan kebaktiannya kepada Pangeran Sambernyawa (KGPAA Mangkunegoro ke-1) seperti diketahui perjuangan Pangeran Sambernyawa banyak di-bantu oleh rakyat Nglaroh yang setia. Permohonan rakyat Nglaroh tersebut disetujui oleh Mangkunegoro VII sehingga beberapa pusaka Sambernyawan disanggarkan di tempat tugu Selogiri. Ukuran candi di Selogiri ialah sekitar 7 m pintunya hanya satu di sebelah atas, sedang yang membuka pintu di atas tersebut harus 8 orang penduduk Selogiri. Katanya bila yang membuka pintu bukan orang Selogiri maka pintu tidak dapat terbuka, selanjutnya jika pembuka pintu itu orang Selogiri, maka pintu dapat terangkat kemudian pusaka-pusaka diambil, seterusnya diturunkan dan dibawa oleh para abdi dalem Mangkunegaran ke pendopo Kecamatan Selogiri untuk kemudian siap dijamasi.
Di Pendopo Kecamatan Selogiri banyak pusaka para lurah dan rakyat sekitar Selogiri untuk minta dijamasi bersama-sama dengan pusaka Sambernyawan. Maka pekerjaan menjamas tidak cukup sehari, sebelum pusaka-pusaka dijamas terlebih dahulu diawali dengan berkenduri. Kemudian pusaka diberi “caos dahar” dengan dupa kemenyan. Selesai jamas pusaka, maka rakyat diberi kesempatan mengambil hikmah keramatnya dari pusaka Samber-nyawan. Selesai menjamas pusaka Sambernyawan lalu dikembalikan dalam sanggar penyimpanan dalam tugu candi Selogiri.
Selanjutnya ikuti acara kirap pusaka yang artinya pusaka.- pusaka dibawa keliling sepanjang Baluwarti istana dalam bulan Sura. Kirap pusaka Mangkunegaran dimulai pukul 07.00 sore sedang untuk kirap pusaka Keraton Kesunanan Surakarta di-mulai sekitar pukul 24.00 tengah malam. Pusaka Keraton Su-rakarta yang dikirabkan ialah tombak Kiai Baru, Kiai Kebo Mas, Kiai Slamet, Kiai Brekat, Kiai Karo Bathok, Kiai Kartaraharja, Keris-keris dan Kiai Jompong. Sebagai penuntun kirab ialah kerbau bulai Kyai Slamet. Sedang pusaka-pusaka Mangkunegaran yang dikirapkan ialah Kiai Tambur dan fandel pusaka yang berwujud Kiai Poh Jeng-gi, mirip kelapa yang dihias dengan “Cucuk”. Semua hiasan berupa serba mas, kirap pusaka Mangkunegaran dan pusaka dari Keraton Surakarta waktunya tidak bersamaan. Hal ini disebutkan karena Mangkunegaran mempunyai pendirian “Sangat” atau saat yang tepat atau lagi peralihan hart saat matahari tenggelam. Sedang Keraton Surakarta berpedoman bahwa peralihan hari adalah tepat tengah malam pukul 24.00 maka masyarakat Solo beruntung dapat melihat kirab pusaka 2 X ialah kirap pusaka dari Keraton Surakarta dan dari Pura Mangkunegaran.
Meskipun ada dua perbedaan pendirian namun tata waktu kirap pusaka antara Mangkunegaran dan Keraton Surakarta adalah sama ialah arahnya menuju ke kanan dahulu. Jadi, seperti arah mengitari Candi Prambanan. Cara yang benar mengamati Candi Prambanan bermula dari selatan menuju pintu barat kemudian menuju arah utara, timur, dan yang paling akhir ke selatan. Demikian pula perjalanan kirap pusaka di Mangkunegaran mengitari Baluwarti, keluar pintu selatan ke barat dan seterusnya kembali dari arah timur. Kirap pusaka keraton keluar dari pintu gerbang utama ke alun-alun utara, ke gladak lalu ke timur kemudian menuju selatan dengan lewat Pasar Kliwon menuju ke Gading terus ke barat selanjutnya belok lewat Nonongan dan kembali ke keraton lagi. Secara tradisional masih banyak yang menyembah atau ber-sujud sewaktu pusaka itu lewat di hadapannya. Meskipun sua-sana hujan mereka bersabar menunggu kirap pusaka dan sebagaimana biasa merupakan kesenangan tersendiri bagi kaum remaja. Demikianlah akhir cerita “Jamas dan Kirab Pusaka Keraton”
9 Keris Pusaka Sakti legendaris