Dunia Keris – Tan Malaka adalah anak asal wilayah yang selalu gelisah, wilayah yang membutuhkan intelektualitas sekaligus pencerahan spiritual. Ia tumbuh di Alam Minangkabau dimana adatnya memberikan tempat pada akal sekaligus hidup dalam alam kepercayaan. Tan Malaka berdiri di dua tempat ini.
Ia adalah pelajar yang cerdas bahkan teramat cerdas. Ia sekolah di Kweekschool, sekolah Raja untuk sebagai guru. Tan Malaka mini sebagai murid yang paling cerdas di sekolahnya atas rekomendasi Tuan Fabius ke Nederlaand dan sekolah di Rijkskweekschool, disana Tan Malaka hidup dengan beberapa orang Belanda asal kalangan sosial rendah. Saat Tan Malaka sekolah di Belanda, Eropa sedang dicekam suasana gelisah sebab pertarungan wilayah antara Jerman, Prusia, Perancis dan Rusia. Gerak gerik awal Revolusi Rusia sudah menjalari banyak intelektual di eropa, di Belanda sendiri berkembang sirkulasi besar Sosialis Demokrat atau dikenal Sosdem, Tan Malaka banyak bergaul dengan orang-orang Sosdem bahkan teman indekost-nya sendiri seseorang Belgia penganut Sosdem banyak bertukar pikiran bahkan asal teman Belgia-nya ini Tan Malaka mendapat surat warta Sosdem.
Tan Malaka orang yang sangat kritis dan rasional, dan ia memilih jalur Lenin untuk mendapatkan titik hidup teori Marxisme. Ia membacai goresan pena-goresan pena Lenin tentang revolusi, akselerasi sejarah dan segala macam aplikasi asal sebuah revolusi. Tan Malaka terpikat. Ia memutuskan untuk membebaskan bangsanya. Tan Malaka adalah orang pertama asal Hindia Belanda yang secara berkesadaran penuh bahwa suatu saat Hindia Belanda akan membentuk peradaban baru, ia sendiri menamai peradaban itu sebagai Peradaban Aslia (Asia-Australia Raya) dan pusatnya di Indonesia.
Tan Malaka pulang ke Indonesia dan ia diarahkan untuk bekerja di sebuah perkebunan di Deli bernama Senembah. Saat itu di Deli banyak perkebunan jumlahnya berkisar sampai 500 buah, seluruh perkebunan berjalan lancar dibawah integrasi pengaturan pemerintahan Hindia Belanda yang rapi, sistem pengangkutan ada dibawah Maskapai Deli-Spoor. Jaringan ini menciptakan Deli sebagai pusat perkebunan di dunia. Disinilah Tan Malaka menganatomi kehidupan dicermati asal kelas-kelas sosial. Tan Malaka mencatat bahwa untuk mendapatkan energi kerja yang murah maka ada satu hal yang harus dijadikan bargain : "Daya Tawar Kebodohan" Pemerintah Hindia Belanda harus menjadikan kuli-kuli kontrak sebagai manusia bodoh, terikat dan berwawasan sempit. Mereka harus memeras keringat untuk hidup, sehingga mereka tidak lagi mampu memahami makna kehidupan dan pembebasan pada manusia. Oleh pihak perkebunan Tan Malaka diperintah untuk mendirikan satu pendidikan yang hanya artifisial sebagai 'desa Potemkin' desa Potemkin adalah julukan bagi sebuah desa yang diatur bagus supaya Raja yang melihatnya senang, desa jenis ini banyak dibikin pada masa Tsar Katharina dan hanya dipakai untuk menyenangkan Tsarina.
Namun Tan Malaka selalu menolak segala hal yang artifisial ia orang hakikat, ia selalu bekerja pada situasi-situasi penuh esensi. Tan Malaka memberontak dan diusir asal perkebunan Deli. Ia ke Batavia (Jakarta), di Batavia ia bertemu dengan kelompok kiri yang baru tumbuh di lingkaran Sneevliet. Nasib membawanya sebagai pemimpin PKI, bahkan Tan Malaka diakui sebagai keliru satu pemimpin Komunis terbesar di Asia. Ia bertemu dengan Stalin dan banyak pejabat di Komunis Moskow, tapi ia melihat ada sesuatu yang keliru di Stalin, ia melihat begitu banyak distorsi. Ia berpikir : "Teori Marx adalah teori yang menjauhkan manusia pada keterasingan, keterasingan dirinya pada lingkungan, keterasingan manusia pada pikirannya dan keterasingan manusia pada gerak sejarah. Tapi kenapa Stalin justru memenjarakan manusia hanya demi sebuah gerak sejarah' Tan Malaka berpikir tapi ia belum mendapat jawab.
Ia pulang ke Jawa disana ia langsung berkantor di Semarang, saat itu sedang ramai perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI), suatu malam Tan Malaka dibawa ke Prambanan oleh sekelompok orang. Para pemimpin PKI berteriak pada pertemuan sangat misteri " Kita Memberontak sekarang juga sebagai katalisator, sebagai pemicu pemberontakan besar di Asia Tenggara" tandas keliru satu pemimpin Komunis. Tapi Tan Malaka justru berdiri "Saya menolak" Tan Malaka kontan dibenci dan ia dijauhi oleh kelompok Moskow. Namun nama Tan Malaka sudah terlanjur sebagai ikon PKI.
Adalah sebuah takdir sejarah di negeri ini PKI selalu saja mengalami jebakan gerakan konyol dan gerakan 1926/27 di Silungkang, Banten, Semarang dan Prambanan adalah rangkaian gerakan paling kacau yang justru merugikan gerakan yang sudah dibangun banyak elemen. Polisi Belanda punya kesempatan mengacau gerakan dengan main keras. Dan Tan Malaka sebagai buronan nomor satu Agen Polisi Belanda.
Agen Polisi Rahasia Hindia Belanda di Bogor mengontak Pemerintahan Inggris di Singapura dan Perwakilan Amerika Serikat di untuk memburu Tan Malaka sesudah Tan Malaka berhasil lari asal penjara Belanda. Maka dimulailah episode perburuan paling mencekam sepanjang sejarah Indonesia modern.
Tan Malaka dihadapkan situas hidup-mati, temannya Soebakat ditembak mati di Singapura, ia sendiri dikejar dimana-mana. Penolong Tan Malaka yang paling utama justru media massa. Di Manila nama Tan Malaka sebagai headline surat warta, pemerintahan Manila mendesak supaya Tan Malaka dibebaskan asal buruan perwakilan Amerika Serikat di wilayah Manila. Lalu Tan Malaka melarikan diri ke Hongkong disana Tan Malaka berhasil ditangkap kemudian media massa Hongkong, media Inggris bersimpati pada Tan Malaka dan mengirimkan surat ke pemerintahan London untuk membebaskan Tan Malaka. Kesal dengan situasi formal yang diserang Media akhirnya Polisi Belanda dan Inggris ingin menghabisi Tan Malaka diluar jalur hukum, keputusan inilah yang kemudian sebagai efek terbesar gangguan jiwa Tan Malaka yang terlalu paranoid. Setiap pagi palu kematian sudah di depan matanya, dan kita sendiri tidak mungkin membayangkan mampu hidup dengan situasi kepribadian seperti itu.
Tan Malaka banyak mengalami kisah hidup yang naik turun, ia terjebak pada perang Shanghai-Jepang, ia terjebak pada perang Dunia dan akhirnya ia balik ke Jawa. Baliknya Tan Malaka ke Jawa ini mirip perjalanan Lenin asal Bern ke Moskow dengan kereta barah yang kerap diingat dalam sejarah sebagai 'perjalanan revolusi' Tan Malaka balik asal Singapura ke Jawa dengan hanya perahu mini ditengah badai, taruhannya adalah kematian. Tan Malaka menghadapi itu demi sebuah pembebasan, pembebasan bangsanya.
Tan Malaka sampai di Djakarta tanpa memiliki apa-apa, namun ia punya kemampuan berpikir, ia pintar sebagai guru, ia seseorang poliglot, mampu banyak bahasa ia mengajar bahasa Inggris, Belanda kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia mengontrak rumah separuh kandang kambing di bilangan Rawajati, Kalibata (belakang pabrik sepatu bata) ia sering merenung di danau dekat Rawajati (sekarang danau pemakaman Kalibata) disana ia merenung tentang hakikat pembebasan. Ia menulis Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Ia merinci hakikat gerak alam, ia mengarahkan seluruh situasi pada soal-soal rasional ia menghantam tahayul dan tanpa referensi apapun ia sudah mencantumkan segala ingatannya di kepala pada dasarnya ia bukan saja seseorang jenius, otaknya fotografis.
Suatu saat Tan Malaka membaca buku di perpustakaan nasional (sekarang Musium Gadjah). Profesor Purbacaraka berteriak di depan ruang baca "Apakah ada yang mampu sebagai penerjemah bagi pekerjaan saya" Tan Malaka menunjukkan tangannya. Ia bekerja sebagai penerjemah asal bahasa Belanda ke Bahasa Inggris untuk pekerjaan Prof. Purbacakaraka, pakar bahasa Jawa Kuno pertama di Indonesia.
Dari Purbacaraka, Tan Malaka direkomendasikan ke Bayah, Banten disana Tan Malaka berkarier sangat cepat ia sebagai kepala di wilayah tambang batubara Bayah, ia sebagai penolong banyak Romusha yang tersiksa. Ia membangun sistem masyarakat disana, dan yang terpenting ia membangun jaringan. Jaringan inilah yang kemudian sebagai senjata bagi dirinya untuk menyusun perjuangannya. Suatu saat datanglah Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka yang dikenal di Bayah dengan nama Ilyas Husein berdebat dengan Bung Karno disana, dan Bung Karno tidak tau siapa itu Ilyas Husein sebenarnya, dalam perdebatan itu Bung Karno dikalahkan oleh Tan Malaka. Dan pertanyaan yang gagal dijawab oleh Bung Karno asal Tan Malaka : "Apakah sebuah kemerdekaan akan menjamin kemenangan terakhir?" Bila Bung Karno berpikir kemenangan awal, maka Tan Malaka berpikir kemenangan akhir. Dan bagi Tan Malaka kemenangan akhir itu adalah 'Beralihnya secara total hak Indonesia ke tangan rakyat Indonesia bukan ke tangan elite atau tangan yang separuh terjajah' kemenangan akhir itu adalah 'Revolusi Sosial'.
Kemerdekaan Indonesia berkumandang. Nama Tan Malaka melegenda, penulis cerita Matu Mona seseorang wartawan asal Medan menuliskan beberapa buku yang teramat laris 'Patjar Merah'. Nama Tan Malaka melegenda. Para pemuda yang sebagai agen-agen revolusi kemerdekaan mulai tidak puas dengan Bung Karno, Bung Karno memenangkan hati rakyat bukan hati Pemuda. Kaum Radikal bertarung di jalan-jalan. Dibawah kepemimpinan Pandu Kartawiguna, Maruto, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sidik Kertapati dan banyak juga preman-preman Jakarta macam Nurali, Haji Amat Geblek dan Sjafei . Jakarta berlumur darah. Kaum pemuda Radikal dimarahi Bung Karno supaya jangan maen kokang senjata, tapi pemuda malah menertawai Bung Karno. Disini kaum muda menemui idola baru, dan idola itu adalah Tan Malaka. Diam-diam Tan Malaka datang ke Djakarta ke rumah sahabatnya Achmad Soebardjo, disana Tan Malaka juga ditengarai menjalin cinta dengan Jo Paramitha Soebardjo – kemenakan Achmad Soebardjo-. Jaringan Banten adalah titik awal Tan Malaka bergerak : Jalur Achmad Soebardjo-Tjeq Mamad.
Bila Bung Karno mencari jalur resmi, maka Tan Malaka memilih jalur perang abadi. Bagi Bung Karno semua hal adalah gertak dan diplomasi tapi bagi Tan Malaka semua soal adalah perang betulan. Dan sepanjang masa revolusi ini Tan Malaka serta Sukarno seperti dua matahari kembar yang meledak di banyak tempat. Revolusi Sosial di Solo, Penculikan Perdana Menteri Sjahrir, Penangkapan Jenderal Dharsono, Perang Srambatan sampai pada konflik Amir-Sjahrir di Madiun dimana Tan Malaka dipakai Hatta untuk hantam Amir di Solo. Tapi sekali lagi Tan Malaka tetaplah pejuang yang selalu ditinggal sendirian. Ia ditinggal PKI, ia ditinggal Sukarno, ia ditinggal Sjahrir dan terakhir ia sendirian kemudian ditembak mati oleh pasukan Djawa Timur.
Tan Malaka pemimpi yang kesepian, hidup dalam kesepian dan penulis cerita yang sunyi.