Dunia Keris Selamat malam kadang kinasih perkerisan, beberapa minggu dari tulisan terakhir saya tidak posting apapun. Pada kesempatan ini saya ingin mengajak kerabat perkerisan menjelajah mitos-mitos di Yogyakarta dan sekitarnya. Untuk yang pertama saya pada jelajah Yogyakarta ini saya ingin mengajak kerabat sekalian untuk menguak misteri dan mitos juga sejarah Tamansari. Seperti yang kita ketahui dalam sejarah kerajaan Jawa terutama di lebih kurang propinsi Yogyakarta (jogja) tak dapat dilepaskan dari yang bernama kerajaan mataram islam, yang saat ini lebih dikenal dengan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Nah, bercerita tentang Jogja maka tak dapat dipisahkan dari keberadaan penciptaan arsitektur yang sangat bagus di lebih kurang keraton Jogja, selain bangunan Keraton sendiri juga ada bangunan yang menarik, masyarakat biasa menyebutnya dengan Tamansari.
Tamansari merupakan sebuah komplek sistematis yang lebih banyak menonjolkan artistik pada bagian kolam dan air. Hal yang sama ketika kerabat perkerisan berjalan di lebih kurang Sumur Gemuling (Gumuling) dimana nilai artistik pada bagunan tersebut lebih banyak menunjukan sisi kesejukan air.
Tamansari kemudian banyak disebut sebagai Istana Air (water castle) yang alasannya adalah nilai arsitektur dan keunikan pada lekukan bangunan dan air yang terisi dikolam kolam. Dalam sejarahnya Istana Air Tamansari atau Tamansari ini dipergunakan oleh Raja Mataram (Jogja) untuk melakukan mandi pada bulan-bulan tertentu. Ada sedikit kemistikan yang terjadi di lebih kurang area kolam ini. Syahdan, ketika Raja hendak masuk ke Istana Air Tamansari maka disambut dengan musik gamelan yang dilagukan dari bangunan-bangunan kecil di kanan dan kiri yang ada di depan Istana Air Tamansari. Lalu ada upacara tertentu untuk menyambut Raja dan orang-orang yang hendak masuk ke Istana Air Tamansari.
Istana Air Tamansari ini dibangun ketika pada tahun1758-1769 oleh Raja Mataram (Jogja) yang bernama Sultan Hamengku buwono I. Walaupun kondisinya berbeda dengan ketika Istana Air Tamansari ini dibentuk, namun kondisinya masih tetap terjaga dan masih nampak sebagian akbar yang dapat menjadi simbol keunikan dan artistik dari bangunan tersebut. Bangunan-bangunan yang masih tersisa misalnya Sumur Gemuling (Gumuling), Gedhong Gapura Hageng ( Hageng = akbar) didekat pintu masuk, Umbul Pasiraman (yang sekarang ada kolam-kolam ketika pertama masuk), Gedhong Gapura Panggung ( Kolam yang terdapat bangunan kembar di sisi kanan dan kiri berekatan dengan kolam), dan beberapa bangunan yang hendak menuju ke Sumur Gemuling yang sekarang menjadi tempat bagi masyarakat jogjakarta. Dulu, antara Istana Air Tamansari dan Sumur Gemuling merupakan taman-taman yang indah dan sejuk, namun sekarang hanya tersisa taman kecil yang berada di paling belakang Istana Air Tamansari.
Walaupun tak seindah dan sesejuk ketika zaman dulu Istana ini dibentuk, namun keunikan dan artistik dari bentuk bangunan Tamansari dapat menyenangkan untuk dinikmati. Cuaca yang panas tidak menjadi persoalan, apalagi ketika melihat kolam-kolam air yang menyegarkan dan menyejukan seolah memanggil untuk segera berendam. Namun alasannya adalah memang Istana Air Tamansari ini merupakan bangunan cagar budaya, tidak lagi diperbolehkan untuk para pengunjung nyegur dan berendam. Istana Air Tamansari sangat pas untuk dijadikan alternatif tambahan ketika ingin menyusuri Jogja untuk melihat keindahan dan keunikan Jawa dizamannya hingga sekarang.
Seperti yang sudah saya narasikan di atasLebih dari dua abad silam, Tamansari ini merupakan obyek yang penuh keindahan dan rahasia, berdiri sebagai lambang kejayaan Raja Mataram. Memang bukan orisinal arsitektur Jawa atau Nusantara. Namun keindahan ciptaan bangsa Potugis itu tetap bermakna dan menjadi simbol keajaiban budaya manusia.
Lebih dari dua ratus tahun silam, Tamansari yang berarti taman yang indah ialah sebuah tempat rekreasi dan kolam pemandian atau disebut pula pesanggrahan bagi Sultan Yogyakarta beserta seluruh kerabat istana.
Mengutip dari Babad Mangkubumi, Tamansari ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi pada tahun 1683 (silsilah kerajaan Mataram) berdasarkan almanak tahun Jawa atau tahun 1757 Masehi. Taman ini berdiri, tepat bersamaan dengan berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (sejarah kerajaan Mataram).
Pesanggrahan Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Hamengku Buwono sekian lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan. Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat dipergunakan untuk menenteramkan hati, istirahat, dan berekreasi. Meskipun demikian, Tamansari ini juga dipersiapkan sebagai sarana/ benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Di samping itu, bangunan ini juga digunakan untuk sarana ibadah. Oleh karenanya Pesanggrahan Tamansari juga dilengkapi dengan masjid, tepatnya di bangunan Sumur Gumuling.
Kompleks Taman Sari yang menempati lokasi seluas lebih dari 12 hektare berarsitektur dan relief perpaduan antara gaya arsitektur Hindu, Budha, Islam, Eropa, dan Cina itu selesai dibangun pada tahun 1765 Masehi. Untuk memberi makna pada setiap bangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono I waktu itu memberi nama masing-masing bangunan yakni Keraton Pulo Kenanga, Masjid Taman Sari dan Pulo Penambung yang terapung di atas air, kolam pemandian dan gedung tempat tidur Sri Sultan dan Permaisuri.
Pembangunan Tamansari yang lekat dengan arsitektur Portugis ini ditangkap oleh telinga penduduk orisinal Yogyakarta dan diterjemahkan ke dalam berbagai versi cerita. Versi pertama menyebutkan, seorang bangsa asing terdampar di Mancingan daerah di pantai selatan Yogyakarta. Masyarakat di daerah tersebut menduga bahwa orang tersebut termasuk sebangsa jin atau penghuni hutan.
Masyarakat menganggapnya demikian, alasannya adalah orang tersebut menggunakan bahasa yang tidak dimengerti. Akhirnya orang asing itu dihadapkan kepada Sultan Hamengku Buwono II yang saat itu masih memerintah.
Sultan akhirnya mengambil orang asing tersebut sebagai abdinya. Beberapa lama kemudian, orang itu dapat berbahasa Jawa dan mengaku sebagai orang Portugis yang kemudian menjadi abdi yang mengepalai pembuatan bangunan.
Sultan pun memerintahkannya untuk membuat benteng. Rupanya Sultan merasa puas dengan hasil kerja orang Portugis tersebut, dan kemudian menganugrahinya sebagai demang. Maka orang asing itu mendapat nama Demang Portugis atau Demang Tegis.Dari sinilah, beliau diperintahkan untuk membangun Pesanggrahan Tamansari.
Versi lainnya, diceritakan bahwa pada suatu ketika bupati Madiun yang waktu itu bernama Raden Rangga PrawiraoSentiko, memohon supaya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak daerah yang wajib dibayarkan dua kali dalam setahun.
Bupati Madiun hanya menyanggupi bila ada permintaan-permintaan khusus Sultan HB I untuk kelengkapan hiasan dan kemegahan kraton. Sultan pun mengabulkan permohonan itu. Bupati Madiun itu lantas diperintah untuk membuat gamelan Sekaten sebagai pelengkap dari gamelan Sekaten yang berasal dari Surakarta.
Semula gamelan tersebut berjumlah satu pasang, tetapi oleh alasannya adalah palihan nagari (1755) gamelan itu dibagi dua. Satu untuk Kasultanan Yogyakarta dan satu lagi untuk Kasunanan Surakarta. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwono I juga memerintahkan kepada Bupati Madiun untuk dibuatkan jempana tandu sebagai kendaraan mempelai putri Sultan HB I.
Pada tahun 1684 Raden Rangga Prawira Sentiko diperintahkan untuk membuat batu bata dan kelengkapannya sebagai persiapan untuk membangun pertamanan yang indah sebagai sarana untuk menenteramkan hati Sultan Hamengku Buwono I. Sultan menghendaki hal demikian alasannya adalah baru saja menyelesaikan tugas berat (perang) yang berlangsung relatif lama. Keluarnya perintah Sultan Hamengku Buwono ditandai dengan sengkalan memet yang berbunyi Catur Naga Rasa Tunggal (1684).
Pembuatan pesanggrahan itu dikepalai Raden Tumenggung Mangundipuraodan dipimpin oleh K.P.H. Notokusumo, yang kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku Alam I yang merupakan putra Sri Sultan dari istri selir yang bernama Bendara Raden Ayu Srenggara.
Pembuatan tempat peraduan dan bangunan urung-urung (gorong-gorong) yang menuju keraton yang sering juga disebut Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687 dan ditandai dengan candra sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan (1687).Sedangkan pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok diselesaikan pada tahun 1691.
Pesanggrahan Taman Sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).
Dalam versi ini, Raden Rangga Prawiro Sentiko tak mampu menyelesaikan pembuatan bangunan pesanggrahan Tamansari alasannya adalah biayanya lebih akbar dibandingkan dengan pembayaran pajak setahun dua kali. Oleh karenanya beliau kembali memohon untuk berhenti dan permohonan itu dikabulkan. Sultan kemudian memerintahkan K.P.H. Notokusumo untuk menyelesaikan bangunan itu atas biaya Sultan sendiri.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 1812 beberapa bangunan hancur imbas serangan Inggris dan tahun 1867 terjadi gempa bumi yang juga menghancurkan beberapa bangunan di kompleks Tamansari. Namun saat ini keagungan masa lampau itu sirna oleh menjamurnya rumah-rumah penduduk di sekitarnya, kompleks Tamansari sesungguhnya menjadi tak terang.
Bangunan itu, memiliki nama masing-masing sesuai dengan fungsi atau kegunaan, sekedar menambahkan dari yang sudah saya narasikan di atas, mirip Gapura Agung ialah pintu masuk menuju kompleks Tamansari yang dilengkapi dengan empat gedung kembar yang berfungsi sebagai pos penjagaan dan disebut pecaosan serta ada tempat ganti pakaian abdi dalem yang sehabis menjalankan tugas penjagaan yang disebut paseban.
Kolam pemandian terletak di sebelah selatan masjid membujur dari utara ke selatan terdiri dari kolam pemandian yang disebut Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar, Umbul Panguras.
Umbul Panguras ialah kolam pemandian khusus bagi Sri Sultan, sedangkan Umbul Pamuncar ialah kolam pemandian yang disediakan bagi permaisuri, dan Umbul Kawitan untuk putra-putrinya Raja.
Bangunan lain Gedung Cemeti, Taman Ledoksari merupakan tempat peraduan dan tempat yang sangat pribadi untuk raja. Dalam sebuah rumor, menyebutkan, Tamansari memiliki terowongan yang ujungnya tembus ke pantai selatan yang disebut Parangkusumo dan berfungsi sebagai sarana persiapan penyelamatan seandainya terjadi peperangan.
Satu bangunan yang menyiratkan perpaduan arsitektur Portugis dan Jawa ialah Sumur Gumuling, Bentuknya menyerupai gedung teater melingkar dan tepat di tengah bangunan, terdapat telaga buatan (Segaran) terdapat puing bangunan akbar dan luas.
Di salah satu sisinya terdapat tangga setapak yang gelap menjuju lorong bawah tanah Tamansari yaitu Sumur Gumuling. Di ujung lorong terus menuju atrium (bilik) bulat yang terbuka bagian atasnya. Di tengah dasar atrium ada kolam kecil mirip sumur. Ruang kecil di sisi barat dari kedua galeri ini dipakai sebagai masjid. Jika dilihat dari keunikan struktur bangunan ada kemungkinan tempat itu didesain sebagai tempat meditasi dan pengasingan diri. Atau meditasi sang raja.
Selain itu berdasarkan mitos, terowongan tersebut juga berfungsi sebagai jalan pertemuan antara Sultan dengan Penguasa Laut Selatan yaitu Nyai Roro Kidul. Di tempat tinggal raja, dulunya disediakan ruang membatik, ruangan pementasan tari Bedoyo dan Srimpi, dengan atap terbuka sehingga Raja dan kerabatnya dapat menikmati pemandangan kota dan sekitarnya. Sekian dulu jelajah kita kali ini dan seandainya kerabat perkerisan bertanya-tanya silahkan mengujinginya. Maturnuwun…