Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Masih tentang sosok kontroversial, Syekh Siti Jenar serta sekaligus menyambung dua tulisan sebelumnya, Siti Jenar : Guru Mistik Sejati Penggoyang Kemapanan Demak serta Siti Jenar : Guru Mistik Sejati serta Saripati Ajarannya. Pada tulisan ketiga ini akan saya sarikan tentang pengakuan Siti Jenar bahwasanya dia bukanlah Tuhan seperti yang acapkali kita dengar serta baca dari berbagai tulisan selama ini.
Sebelum saya ajak kisanak membincang pengakuan sosok fenomenal karena kekontroversialnya ini, terlebih dahulu saya akan mengajukan pertanyaan sederhana untuk sampeyan semua. Pertanyaan ini sederhana, apa yang terlintas dalam benak sampeyan waktu mendengar nama Syekh Siti Jenar?
Saya tidak mengatakan seluruhnya, tapi pada umumnya waktu mendengar atau menjawab pertanyaan di atas, biasanya pikiran kita langsung tertuju pada sosok seorang wali yang mempunyai kepribadian aneh, serta tentu saja lengkap dengan kontroversialnya. Benar demikian?
Ya, harus kita akui, selama ini cerita tentang sosok satu ini penuh kesimpangsiuran yang bahkan sekedar namanya saja adalah sebuah nama yang penuh misteri serta serba gelap. Oleh karena itu pandangan orang-orang Jawa mengenai tokoh Syekh Siti Jenar bercampur antara mitos serta kisah konkret. Keanehan serta kekontroversialannya ini tidak lepas dari ajaran keagamaan yang disampaikan ke warga yang tergolong menyimpang dari pakem yang terdapat pada waktu itu.
Manunggaling kawula-gusti, adalah ajaran yang selalu disematkan pada seorang Siti Jenar. Sampai sekarang ini ajaran ini selalu dipandang sebagai ajaran bahwa makhluk bisa bersatu dengan Tuhan. Dengan kata lain tiada dua antara Tuhan serta manusia. Tidak ayal jika dahulu terdapat sebuah film tentang Syekh Siti Jenar yang menceritakan bagaimana lika-liku perjalanan Sang Syekh sampai menemui ajalnya. Bermula saat Sang Syekh tidak mau menghadap Raja Demak serta menghadiri sidang wali.
Atas putusan raja serta dewan wali diutuslah beberapa orang yang meminta Sang Syekh datang, saat para utusan uluk salam serta menanyakan keberadaan Sang Syekh, dijawab oleh Sang Syekh bahwa dia tidak terdapat yang terdapat adalah Allah, kemudian para utusan pulang berkata bahwa mereka ingin bertemu Allah, maka jawab Sang Syekh bahwa Allah tidak terdapat, yang terdapat adalah Sang Syekh. Akibatnya Sang Syekh harus mendapatkan hukuman pancung oleh dewan wali serta raja Demak, serta yang menyedihkan jenasah Sang Syekh yang berubah jadi anjing.
Inilah cerita keeksistensian Siti Jenar yang selama ini kita terima serta setujui begitu saja. Bahkan tidak hanya kalangan warga umum saja yang mendapatkan cerita itu, melainkan dari kalangan akedemis pun seolah manut, bahkan membumbui lebih ngeri lagi.
Pertanyaan kita, apakah benar Siti Jenar menyebut dirinya sebagai Allah? Apa maksud dari ajaran manunggaling kawula-gusti? Benarkah dia mati dipancung oleh dewan wali serta mayatnya berubah jadi anjing? Siapakah sebenarnya Sang Syaikh itu, benarkah dia wujud dari cacing merah yang terkena sabda sang wali sehingga berubah menjadi manusia? Apakah ilmu yang diperolehnya hanya dari nguping tatkala wali ngudar kaweruh pada muridnya?
Ajaran manunggaling kawula-gusti yang dituturkan Siti Jenar, hakikatnya bukanlah seperti yang dipahami warga pada waktu itu serta sekarang ini. Siti Jenar mengakui memang pernah mengatakan Ingsun Sejating Gusti Allah. Kata-katanya inilah yang kemudian disalahpahami oleh warga. Khalayak ramai menuduh Syekh Siti Jenar sudah mengaku Tuhan.
Syekh Siti Jenar menginsafi bahwa anggapan warga terhadapnya sepenuhnya salah. Meskipun demikian, dia mengaki bahwa warga tidak sepenuhnya benar dalam memahami konsep manunggaling kawula gusti-nya. Menurutnya, sejatinya konsep manunggaling kawula gustisedikit banyakserupa dengan konsep insan kamil (manusia purna) yang digagas Ibnu Arabi. Kemiripannya terletak pada kemenyatuan manusia dengan Tuhan.
Meski memiliki kemiripan dengan konsep insan kamil akan tetapi sebetulnya terdapat perbedaan konsep dengan ajaran manunggaling kawula-gusti. Menurut Siti Jenar, pada dasarnya Tuhan sudah menaruh hadiah yang sama kepada setiap manusia. Setiap manusia adalah bagian dari Tuhan. Ibarat air di samudera luas, manusia adalah molekul air yang terdapat di dalamnya. Molekul-molekul air ini adalah bagian dari air samudera tersebut. artinya, manusia sudah teranugerahi sebagai cermin Tuhan.
Dalam berdakwah, Siti Jenar memang enggan memunculkan istilah-istilah baru ataupun istilah bahasa asing. Ia lebih suka menggunakan bahasa rakyat agar mudah dipahami. Lagi pula, menurutnya, tidak terdapat kata yang cocok untuk menyebutkan proses tajalli (manefestasi Tuhan) seperti gagasan Ibnu Arabi tadi. Oleh karena itu, dia pun menggunakan istilah yang popular saat itu, yaitu manunggaling kawula-gusti. Menurutnya, manunggaling kawula-gusti bukan angan kosong yang tidak bisa dicapai. Ia menegaskan bahwa siapa pun bisa mencapainya, asalkan memiliki kesungguhan tekad serta konsistensi.
Kata kunci untuk menggapai manunggaling kawula-gusti adalah kesadaran. Kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari Tuhan, yang harus senantiasa memancarkan sifat-sifat Tuhan. Yang paling mendasar adalah kesadaran hati. Sebab, hati adalah adalah jembatan untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadist, barangsiapa yang kenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.
Syekh Siti Jenar menyebutkan dasar ucapannya ingsun sejating Gusti Allah intinya adalah manusia adalah bagian dari Tuhan. Selain itu, dia juga menegaskan bahwa kata ingsun dalam kalimat itu tidak harus diartikan sebagai aku (manusia), akan tetapi bisa juga diartikan sebagai ing sun (artinya: di dalam hati).
Pengakuan-pengakuan yang lain, sebagai bentuk penerangan terhadap cerita yang berkembang saat ini, semisal, dia mengakui bahwa bukan berasal dari cacing tanah yang kemudian mengalami tranformasi ke wujud manusia akibat sabda seorang wali. Ia benar-benar manusia seperti kebanyakan yang lain, punya ayah-bunda, memiliki istri serta anak. Pengakuan yang lain adalah dia meninggal global bukan karena dihukum pancung oleh dewan wali serta pihak kerajaan. Meninggalnya akibat penusukan yang dilakukan oleh sirkulasi keras pimpinan Syaikh Jafar dari Yaman.
Aliran ini semenjak dahulu terdapat di wilayah Demak serta sekitarnya, rencana dakwahnya adalah pemurnian Islam (puritanisme). Mereka akan menyerang siapa pun yang mereka anggap sudah menodai kemurnian ajaran Islam (tentu menurut klaim serta penilain mereka sendiri), termasuk para Walisanga serta Syekh Siti Jenar. Tatkala Syekh Siti Jenar mengajari ilmu di Langgar-nya para kelompok sirkulasi keras ini menyerang serta menusuk dari belakang. Jadi kematiannya bukan akibat adanya desakan dengan pihak dewan wali melainkan agresi dari sirkulasi keras.
Jadi, sebenarnya tidak terdapat desakan antara para wali dengan Syekh Siti Jenar sebagaimana anggapan yang masyhur selama ini. Kalaupun terdapat perbedaan di antara kedua belah pihak itu hanya pada tataran konsep penyampaian ajaran saja. Para wali menghendaki penyampaian ajaran dilakukan secara bertahap sedangkan Syekh Siti Jenar menganggap bahwa semua mempunyai hak yang sama. Harus diakui, para wali sedikit kuatir akan adanya kekeliruan pemahaman para santri dalam memaknai ajarannya. Oleh karena itu, para wali acapkali hadir dalam pengajian yang dilakukan Syekh Siti Jenar. Nuwun.
Diolah dari berbagai sumber
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat, 08062017