Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Kata adalah asal mula. Semuanya berasal menurut sebuah kata, bahkan penciptaan makhluk dalam alam raya ini berasal menurut kata. Sekali lagi, semuanya berasal menurut sebuah kata, termasuk hal baik dan hal buruk.
Kata adalah konsep dan konsep mendorong buat terjadinya aksi. Seperti filsafat Hegel yang melakukan tinjauan kritis terhadap eksistensi suatu hal; ide atau matter yang dahulu? Konsep atau aksi dahulu? Kata atau evaluasi dahulu?
Narasi pembuka dalam atas sangat relevan dengan apa yang akan kita bincang malam ini, Serat Darmogandul. Seperti yang kita ketahui, Serat Darmogandul adakah keliru satu karya sastra Jawa Klasik yang hingga hari ini masih menjadi bahan perbincangan atau bahkan perdebatan.
Pada suatu hari, Darmogandul, seseorang anak didik, bertanya kepada gurunya, Kiai Kalamwadi, tentang awal mula warga Jawa meninggalkan Agama Budha dan beralih memeluk agama Islam."
Kalimat dalam atas mengawali sebuah karya kontroversi, yang tak diketahui penulisnya, Serat Darmogandul. Kekontroversian Serat Darmogandul yaitu berkisar kepada isinya yang menceritakan mengenai keruntuhan Majapahit yang diakibatkan pencaplokan Demak. Invasi yang dilakukan oleh seseorang anak, Raden Fatah, terhadap orang tuanya, Bhre Kertabumi.
Melalui percakapan yang disenandungkan, Kiai Kalamwadi lantas berkisah tentang kehancuran Majapahit karena serangan Demak, yang dipimpin Raden Patah, putra kandung Prabu Brawijaya yang berkuasa, atas prakarsa para sunan. Serangan tersebut dilatarbelakangi oleh asa para sunan buat mengubah pemerintahan Majapahit yang mereka anggap kafir dengan pemerintahan Islam.
Hanya Syekh Siti Jnar yang menolak agenda itu, sehingga ia dijatuhi hukuman tewas. Sejak waktu itu, kitab-kitab agama Budha dibakar nyaris tanpa sisa dan, karena hegemoni penguasa baru, warga Jawa Budha berbondong-bondong memeluk agama Islam. Yang menolak masuk Islam kemudian mengasingkan diri ke hutan, pegunungan, dan Pulau Bali.
Kekontroversian Serat Darmogandul, sebenarnya, telah terlihat dalam ketidakjelasan siapa penulis sebenarnya (hal wajar mengingat penuturnya sendiri ialah Kalamwadi yang berarti penutur rahasia). Satu yang pasti, Serat ini pertama kali diterbitkan oleh Redaksi Almanak H. Bunning, Yogyakarta, dalam tahun 1920. Kemudian disusul dengan penerbitan Serat Darmogandul versi prosa (gancaran) oleh T.B. Sadu Budi, Solo, dalam tahun 1959. Kesemuanya merujuk kepada sumber induk yang disimpan oleh K.R.T Tandhanagara, seseorang bangsawan Surakarta.
Semenjak terbit pertama kali dalam bahasa Jawa, Darmagandul telah menuai kontroversi dan polemik tak berkesudahan dalam Tanah Air selama seratus tahun. Kitab ini bagai pisau bermata dua: dicintai kaum Kejawen dan Islam Abangan sekaligus dibenci kaum Islam Radikal.
Timbul kecurigaan, bahwa naskah ini ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873), seseorang pujangga keraton Surakarta yang hidup sejaman dengan Sunan Pakubuwana VI dan Pakubuwana VII. Salah satu karyanya, yaitu "Wirid Hidayat Jati", yang dikemudian hari dijadikan pegangan bagi sebagian akbar penghayat Kejawen.
Namun klaim ini diragukan, sebab Ranggawarsito senantiasa mencantumkan "Sandhi Asma" (kalimat-kalimat yang menyiratkan namanya) dalam setiap karya-karyanya. Sedangkan dalam "Dharmogandul", ternyata tidak ditemukan "Sandi Asma" seperti halnya dalam karya-karyanya yang lain.
Terlebih ada bukti yang menyatakan bahwa Ranggawarsito sendiri adalah seseorang santri. Mustahil seseorang santri menuliskan hal-hal berbau porno dalam dalam karyanya, seperti Hajar Aswad yang menjadi simbol *maaf vagina perempuan.
Sehingga, hingga goresan pena ini kerabat perkerisan baca, jati diri penulis Serat Dharmogandul masih menjadi kontroversi dan perdebatan, meski ada klaim yang menyatakan bahwa Serat itu adalah karya Ranggawarsito menjadi wujud resistensi budaya warga terhadap Islam, seperti halnya "Serat Centini". Namun, belakangan ada kecurigaan bahwa penulisnya tak lain ialah K.R.T. Tandhanegara sendiri.
Melihat bahwa rentang waktu penulisan "Serat Darmogandul" yang terpisah jarak yang demikian jauh dengan Walisongo (yang acapkali-acapkali dikenal menjadi menjadi "penghasut" anak buat menyerang bapaknya), tak pelak Serat ini dinilai tidak kredibel dalam mengungkap berita-berita sejarah, meski didukung oleh dokumen yang ditemukan dalam Kronik Kelenteng Sam Po Kong, Semarang.
Namun, tetap saja Serat Darmogandul memiliki isi yang bertentangan dengan data-data historis. Salah satunya adalah kepergian Prabu Brawijaya V menuju Bali, sehabis Majapahit hancur dalam tahun 1478, dengan tujuan hendak berlindung ke kerajaan Klungkung. Padahal, kerajaan Klungkung baru berdiri dalam tahun 1710 M, dengan raja Dewa Agung Jambe. Terlepas menurut seluruh hal dalam atas, sejarah dalam belahan global manapun, bahwa sejarah memiliki dua versi, yaitu versi pecundang dan versi pemenang. Sehingga kita harus objektif dalam menilai sejarah. Nuwun.