Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Dalam literasi sejarah yang ditunjang dengan penelitian arkeologis, tatar Sunda telah dihunioleh warga Sunda secara sosial sejak lama, bahkan sebelum Tarikh Masehi.
Hal ini diperkuat oleh adanya aneka macam situs tinggalnya, sebut saja diantaranya situs purbakala di Ciampea (Bogor), Klapa Dua (Jakarta), dataran tinggi Bandung dan Cangkuang (Garut). Beberapa situs yang saya sebutkan barusan cukup memberi bukti dan informasi bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok warga yang mempunyai sistem kepercayaan, organisasi sosial, sistem mata pencaharian, pola pemukiman, dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan warga manusia betapapun sederhananya.
Era sejarah di tatar Sunda baru dimulai pada pertengahan abad V Masehi seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat pada batu dengan memakai Bahasa Sansekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-prasasti yang ditemukan di wilayah Bogor, Bekasi dan Pandeglang tersebut dibentuk pada jaman kerajaan Tarumanagara dengan salah seorang rajanya bernama Purnawarman dan ibukotanya terletak di wilayah Bekasi sekarang.
Kemudian, Sriwijaya di Sumatera, India dan Cina merupakan negeri luar yang menjalin interaksi dengan kerajaan Tarumanagara, tetapi kebudayaan Hindu dari India yang mayoritas dan berpengaruh di sini. Sunda menjadi nama kerajaan baru muncul pada abad VII menjadi lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanagara. Pusat kerajaannya berada di sekitar Bogor sekarang.
Sebelum berdiri menjadi kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bagian dari Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669), menikah dengan Dwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari, ia mempunyai 2 anak, yang keduanya perempuan.
Dwi Manasih, putri sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah Linggawarman mangkat, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Galuh yang mandiri.
Sedangkan dari pihak Tarumanagara sendiri, Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara. Tarusbawa selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di wilayah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar.
Kurang lebih merupakan Kotamadya Bogor waktu ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Tarusbawa dinobatkan menjadi raja Sunda pada 669 Masehi. Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (seorang rahib Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci kepercayaan Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad XVI), yang waktu ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas kerajaan Sunda di sebelah timur merupakan Ci Pamali (sungai Pamali, sekarang disebut menjadi kali Brebes) dan Ci Serayu (yang waktu ini disebut kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Dalam tradisi lisan dan naskah sehabis abad XVII, Pakuan biasa disebut untuk nama ibukota, sedangkan Pajajaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan ini hidup kira-kira 6 abad, lantaran runtuhnya sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa kejayaan yang antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, interaksi dengan mayapada luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik.
Dikenal ada 2 raja termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala Wastukancana dan Sri Baduga Maharaja). Ibukotanya pernah berada di Kawali, Galuh. Pada masa pemerintahan Prabu Maharaja (1350-1352) terjadi perseteruan dengan Majapahit, lantaran dilema pernikahan puteri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521) dan puteranya, Prabu Surawisesa, (1521-1535) terjalin interaksi kerjasama ekonomi dan keamanan antara kerajaan Pajajaran dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka.
Kerajaan Kembar
Putera Tarusbawa yang terbesar, Rakeyan Sundasambawa, mangkat waktu masih muda, meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, yang kemudian mempunyai putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya merupakan Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya merupakan Bratasenawa / Sena / Sanna, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa.
Sena merupakan cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 ). Sena di tahun 716 dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya merupakan saudara satu ibu, tapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta bantuan kepada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus kerajaan Galuh yang legal, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa mangkat (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh manunggal kembali.
Tahun 732 Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh ke puteranya, Tamperan / Rakeyan Panaraban. Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Dewi Sudiwara, yaitu Rakeyan Panangkaran / Rakai Panangkaran.
Rahyang Tamperan / Rakeyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada 2 puteranya: Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh serta Sang Banga (Hariang Banga) di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Dewi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera, bernama Rakeyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabu Hulukujang.
Karena anaknya perempuan, Rakeyan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakeyan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi (dari Galuh, putera Sang Mansiri), yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakeyan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakeyan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakeyan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya waktu saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), mangkat mayapada. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakeyan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakeyan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan. Hanya saja, lantaran tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakeyan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakeyan Kamuninggading (913). Rakeyan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh adiknya, Rakeyan Jayagiri (916).
Rakeyan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakeyan Watuagung, tahun 942.
Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakeyan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakeyan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakeyan Jayagiri (973-989).
Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka puteranya, Rakeyan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu Dwasanghyang (1012-1019). Dari Dwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati merupakan menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Erlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada putranya, Prabu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakeyan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadewata (1311-1333).
Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadwata menurunkan kekuasaannya ke menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisesa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur di Bubat (baca Perang Bubat : Romantisme dan Kekuasaan). Karena waktu kejadian di Bubat, putranya — Niskalawastukancana — masih kecil, kekuasaan Sunda ad interim dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora (1357-1371).
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan bawahan di wilayah sebelah barat Citarum (wilayah berasal Sunda). Prabu Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai waktu ayahnya masih berkuasa di wilayah timur.
Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera Ningratkancana (Prabu Dewaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di wilayah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadewata (yang bergelar Sri Baduga Maharaja). Sapeninggal Jayadewata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawissa (1521-1535), kemudian Prabu Dwatabuanawissa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551), Prabu Nilakndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579).
Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, kerajaan Sunda lainnya, di tahun 1579, yang mengalibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sebelum Kerajaan Pajajaran runtuh Prabu Surya Kancana memerintahkan ke empat patihnya untuk membawa mahkota kerajaan beserta anggota kerajaan ke Sumedang Larang yang sama- sama merupakan keturunan Kerajaan Sunda untuk meneruskan pemerintahan.
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Geusan Ulun Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan jaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan.
Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung yang berlokasi di Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur, memberitahuakn ke Agungan Yang Maha Kuasa) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII.
Prabu Guru Aji Putih mempunyai putra yang bernama Prabu Tajimalela dan kemudian pada masa jaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal; Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap menjadi pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Beliau punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh lantaran itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jikalau kalah harus menjadi raja.
Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung lantaran sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri.
Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja ad interim yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan pera keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai 2 orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran.
Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling mangkat kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia mangkat menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Santri, julukan Pangeran Santri lantaran asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya kepercayaan Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad XVI, mulailah corak kepercayaan Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta mengembangkan ajaran Islam di wilayah tersebut.
Pangeran Santri merupakan cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan mengembangkan kepercayaan Islam di aneka macam penjuru wilayah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya menjadi ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis).
Kerajaan Sumedang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, kepercayaan, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya lantaran diserang oleh kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka mengembangkan Agama Islam. Oleh lantaran penyerangan itu Kerajaan Pajajaran musnah.
Pada waktu-waktu kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari proteksi yang disebut Kandaga Lante.
Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun 2 dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun si Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu kesultanan Banten yang merasa terhina dan tidak mendapatkan dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun menjadi pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten.
Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram. Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, lantaran selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).
Raja-raja Kerajaan Sunda dari Salaka Nagara s/d Sumedang Larang
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangeran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
Periode Salaka Nagara dan Taruma Nagara (Dewawarman – Linggawarman, 150 – 669)
Dewawarman I – VIII, 150 – 362
Jayasingawarman, 358-382
Dharmayawarman, 382-395
Purnawarman, 395-434
Wisnuwarman, 434-455
Indrawarman, 455-515
Candrawarman, 515-535
Suryawarman, 535-561
Kertawarman, 561-628
Sudhawarman, 628-639
Hariwangsawarman, 639-640
Nagajayawarman, 640-666
Linggawarman, 666-669
Periode Kerajaan Galuh – Pakuan – Pajajaran – Sumedang Larang
Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 – 723)
Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 – 732)
Tamperan Barmawijaya (732 – 739)
Rakeyan Banga (739 – 766)
Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 – 783)
Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 – 795)
Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 – 819)
Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 – 891)
Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 – 895)
Windusakti Prabu Dwageng (895 – 913)
Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 – 916)
Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 – 942)
Atmayadarma Hariwangsa (942 – 954)
Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 – 964)
Munding Ganawirya (964 – 973)
Rakeyan Wulung Gadung (973 – 989)
Brajawissa (989 – 1012)
Dwa Sanghyang (1012 – 1019)
Sanghyang Ageng (1019 – 1030)
Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 – 1042)
Darmaraja (Sang Moktng Winduraja, 1042 – 1065)
Langlangbumi (Sang Moktng Kerta, 1065 – 1155)
Rakeyan Jayagiri Prabu Mnakluhur (1155 – 1157)
Darmakusuma (Sang Moktng Winduraja, 1157 – 1175)
Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 – 1297)
Ragasuci (Sang Moktng Taman, 1297 – 1303)
Citraganda (Sang Moktng Tanjung, 1303 – 1311)
Prabu Linggadwata (1311-1333)
Prabu Ajiguna Linggawissa (1333-1340)
Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
Prabu Maharaja Linggabuanawissa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
Prabu Bunisora (1357-1371)
Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
Prabu Susuktunggal (1475-1482)
Prabu Jayadwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
Prabu Surawissa (1521-1535)
Prabu Dwatabuanawissa (1535-1543)
Prabu Sakti (1543-1551)
Prabu Nilakndra (1551-1567)
Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
Referensi :
Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java, From Taruma Nagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, tahun 2007.
Saleh Danasasmita, Sajarah Bogor, Tahun 2000
Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.
Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Mashi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
Yosph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.