Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Bulan Mei ini ialah bulan kabar kematian. Bagaimana tidak, bulan yang baru menapak separuhnya ini, setidaknya saya sudah mendapatkan kali ketiga kabar tentang kematian dari orang yang saya kenal baik. Rabu kemarin, seseorang kolega yang meski tidak begitu dekat, tapi saya mengenalnya dengan baik, ia sepulang dari mengantarkan anaknya ke terminal Giwangan mengalami kecelakaan tunggal. Meninggal. Ya, begitulah umur, tidak ada yang tahu.
Ada yang menarik dalam perbincangan dengan bapaknya almarhum ketika saya takziyah kemarin sore perihal sebelum kecelakaan tersebut terjadi. Ya, tidak sedikit warga Jawa meski jaman sudah sedigital ini masih mengait-ngaitkan perihal fenomena yang terjadi disekitar mereka denga pandangan spiritual Jawa. Contohnya, peritiwa kecelakaan yang merenggut nyawa kolega saya tersebut dikaitkan dengan hari bepergiannya ketika kecelakaan yang bertepatan dengan geblakan (hari kematian) orang tua, dalam hal ini ialah bertepatan dengan geblakan ibunya.
Sejatinya, dalam konteks di atas itu bukanlah suatu hal yang baru, dalam terminologi kebatinan Jawa, sering dikenal istilah sedulur papat limo pancer (empat saudara yang kelima sebagai titik pusat). Yang dimaksud sedulur papat ialah empat elemen dasar manusia yaitu tanah, air, api, & udara yang dalam bahasa Jawa dianggap: 'mayonggoseto, wakodiyat, rohilapi, makdunsarpin', sedangkan limo pancer ialah ruh yang merengkuh & menyatukan kelima unsur tersebut ke dalam wadag manusia.
Dalam paparan yang lebih luas lagi, berkaitan dengan konsep utama sedulur papat limo pancer ini senada dengan ungkapan jawa klasik. Bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkong. Kurang begitu familiar memang, tapi kalimat atau unen-unen Jawa ini sejatinya selaras & sarat akan makna yang mendalam. Kalimat tersebut secara eksplisit mengajak siapapun untuk kembali menengok jati diri atau sopo ingsun, sekaligus juga mempertanyakan dari-usulnya di global. Seperti yang kita tahu, dalam kosmologi Jawa, manusia berasal dari tirta sinduretno yang keluar ketika rendezvous antara lingga yoni, yangkemudian bersemayam di gua garba. Tirta sinduretno adalah lambang air mani atau sperma laki-laki.
Dalam budaya Jawa, bertemuanya lingga & yoni adalah proses magis yang penuh spiritualitas. Bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkong adalah simbol yang menerangkan dari-usul perspektif manusia Jawa. Secara harfiah, berarti homogen sambal dibungkus daun asam diberi lidi alu bengkong. Bothok bantheng bermakna sperma, godhong asem adalah kemaluan wanita, & alu bengkong adalah alat kelamin laki-laki.
Dalam makna yang lain, Bothok bantheng winungkus godhong asem kabitingan alu bengkong adalah jalan hidup manusia yang terbungkus sifat & perilaku. Bothok bantheng menyimbolkan eksistensi dzat, hidup manusia itu sendiri, godhong asem adalah simbol lain dari sifat-sifat manusia, sedangkan alu bengkong adalah tingkah laku. Dalam budaya Jawa, kelahiran manusia di bumi adalah anugerah Gusti yang patut disyukuri, karena insiden yang luar biasa.
Dalam kawruh kebatinan Jawa, manusia tidak hadir sendiri di muka bumi, melainkan berempat, seperti yang sudah saya cuplik sedikit di atas. Kita di bumi memiliki sedulur papat limo pancer yang adalah saudara empat kita, kelima diri kita sendiri. Sedulur papat limo pancer, adalah penghormatan kepada orang tua, khususnya ibu yang sudah melahirkan kita di muka bumi yang menawarkan afeksi tiada habis-habisnya.
Hitungan pasaran yang berjumlah lima berdasarkan kepercayaan Jawa, juga berdasar kepada filosofi sedulur papat lima pancer. Filosofi sedulur papat lima pancer mengandung pengertian bahwa badan manusia yang berupa raga, wadag, atau jasad, lahir dengan empat unsur atau roh atau enigma yang berasal dari tanah, air, api & udara. Empat itu masing-masing memiliki kiblat di empat mata arah angin. Dan yang kelima berpusat di tengah. Persamaan loka kiblat sedulur papat limo pancer dapat sampeyan simak kepada paparan di bawah ini.
Pasaran Legi bertempat di Timur. Satu loka dengan unsur udara, memancarkan aura putih.
Pasaran Paing bertempat di Selatan. Salah satu loka dengan unsur api, selalu memancarkan aura sinar merah.
Pasaran Pon. Bertempat di barat karena loka dengan unsur air, memancarkan sinar kuning.
Pasaran Wage. Bertempat di utara, satu loka dengan unsur tanah, selalu memancarkan sinar hitam.
Pasaran Kliwon. Bertempat di tengah, adalah loka sukma atau jiwa berada. Memancarkan sinar manca warna.
Dari paparan di atas, kemudian kita tilik dari penangalan Jawa melalui filosofi sedulur papat lima pancer, dapat diketahui betapa pentingnya pasaran Kliwon, karena berada di tengah atau pusat. Pusat adalah loka sukma yang memancarkan perbawa atau pengaruh kepada sedulur papat atau empat saudaranya. Satu genre keblat papat kalima pancer, dimulai dari arah timur berjalan sesuai alur perputaran jam & berakhir di tengah.
Aika dianalogikan, sedulur papat limo pancer seperti ibu yang sedang melahirkan anaknya. Ketika seseorang ibu hendak melahirkan kita, sebenarnya perasaan hati & badannya menahan kesakitan marmarti, melalui dada. Kemudian lahir jabang bayi dari rahimnya. Setelah itu kaluar ari-ari yang bersifat kuning, kemudian keluar darah yang bersifat merah & tali pusar yang bersifat hitam. Marmarti, ari-ari, darah & tali pusar inilah yang kemudian dikenal sebagai keempat saudara kita.
Menurut kepercayaan kebatinan Jawa, keempat elemen yang bersifat metafisik tersebut diyakini dapat mengungkapkan isyarat kepada wadag manusia yang berwujud firasat & menyelamatkan manusia seperti yang sering kita dengar dengan 'kekuatan bawah sadar manusia'. Kekuatan bawah sadar di sini kadang tidak sengaja terjadi, tetapi ada pula kekuatan seperti itu yang memang sengaja dimunculkan. Sebenarnya yang terjadi dalam kebatinan Jawa tentang kekuatan bawah sadar tersebut dapat dijelaskan. Ketajaman olah kebatinan dapat menjadikan manusia 'si pelaku' berkomunikasi dengan 'sedulur papat' sebagai akibatnya hubungan batin dengan 'sedulur papat' tadi dapat terjadi.
Kontak batin secara metafisik tersebut dapat mempertajam firasat & menawarkan kharisma bagi orang tersebut. Selain ketajaman batin & kharisma, orang yang mampu melakukan hubungan batin secara metafisik dengan 'sedulur papat' juga dapat meminta bantuan secara gaib. 'Sukmo luhur' sebagai inti dari semua elemen manusia juga ikut andil dalam terminologi kebatinan Jawa. 'Sukmo luhur' atau ruh manusia ialah unsur tertinggi dalam diri manusia.
Dalam khasanak kebatinan Jawa, ruh memiliki bahasa & dapat berbicara. Bahasa ruh dalam Kejawen dianggap dengan istilah 'sastro jendro'. Konon apabila seseorang mampu mengeluarkan bahasa ruh, ia dapat memerintah ruh orang lain dangan atau tanpa ia kehendaki. Hal tersebut terjadi misalnya ketika seseorang melakukan kejahatan dengan orang yang mampu berbicara menggunakan bahasa ruh, maka tanpa diperintah, ruh dari wadag yang berada dalam bahaya tadi memerintah ruh lawannya untuk lumpuh. Maka seketika itu ruh lawannya tadi akan memerintah wadag 'raga' untuk lumpuh. Kasus seperti itu hanya dapat disembuhkan oleh ruh yang memerintahkan tadi.
Agar sedulur papat selalu membantu kita menjalani kewajiban sebagai manusia, maka mereka haruslah kita rawat. Orang Jawa biasanya merawat mereka dengan bersih-bersih, membakar dupa atau kemenyan, ratus, serta memberi wangi-wangian.
Setiap mau makan, setiap mau tidur, mau duduk & berjalan. Sedang bekerja atau tidak, orang Jawa selalu menyebut nama empat sedulur mereka mereka. Dengan hasrat akan menjaga diri, jiwa & raga supaya senantiasa selamat. Dari lisan orang Jawa akan berucap kalimat berikut;
Marmarti kakang kawah adi ari-ari getih pusar, kadangingsun papat lima pancer, kadangingsun kang ora katon lan kang ora kerawatan, sarta kadangingsun kang metu saka margaina lan kang ora metu saka margaina, miwah kadangisun kang metu bareng sedina kabeh bapanta ana ing ngarep, ibunta ana ing wuri, ayo kepada ngetutna lakuku..
Menjelang tidur, juga ada etika untuk menyebut keempat saudara kita dengan kalimat: Ingsun arsa turu baureksanen sariraningsun sarajadarbekingsun kang ana ing wewengkoningsun kabeh. Adapun apabila ada pekerjaan cara menyebutnya: Padha rewangana ingsun, katekanna ing sakarsaningsun. Aika membuang kotoran sebutlah suruh menyempurnakan kotoran itu supaya sebagai suci sehat.
Akhirnya, suatu ketika apabila kita sudah hampir sampai kepada ajal, keempat saudara itu harus diruwat, supaya jangan sampai menimbulkan haru-biru yang mengganggu proses kematian kita. Cara meruwatnya ialah dengan doa batiniah demikian:
Ingsun angruwat kadangingsun papat lima pancer kang dumunung ana ing badaningsun dewe. Marmarti kakang kawah adi ari-ari getih pusar, kadangingsun papat lima pancer, kadangingsun kang ora katon lan kang ora kerawatan, sarta kadangingsun kang metu saka margaina lan kang ora metu saka margaina, miwah kadangingsun kang metu bareng sedina kabeh kepada sampurna-a nirmala waluya ing kahanan jati dening kawasaningsun.
Sebagai penutup tulisan ini, manusia intinya ialah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan makhluk lainnya, hanya saja sering kali manusia tidak mampu memaksimalkan dirinya untuk sebagai takdirnya. Sehingga yang terjadi manusia justru sebagai mahkluk yang berjalan hanya kepada tataran wadag saja.
Memahami manusia melalui sudut pandang mitologi Jawa, ternyata tidak hanya kepada aspek fisiologi, melainkan lebih dari itu. Dunia Jawa adalah bentangan mistisme & mitologi yang penuh kearifan luhur. Namun ironisnya, segala tradisi kebijaksanaan itu ketika ini makin terkikis & semakin hilang. Tugas kitalah untuk terus menggali esensi yang ada dalam simbol-simbol tradisi Jawa, kemudian mentransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sekian & semoga ada fungsinya. Nuwun. (Urd2210)
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat 13/05/2017