web analytics
Piwulang Sumeleh dari Ungkapan Mati Sakjroning Urip - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Wong Jawa nggone semu, sinamun ing samudana, sesadone ingadu elok. Bagi sampeyan yang kebetulan orang Jawa saya yakin memahami artinya kalimat bahasa Jawa pembuka tulisan ini. Tapi bagi yang kebetulan bukan orang Jawa, tak usah berkecil hati, saya akan artikan kalimat di atas.

Wong Jawa nggone semu (orang jawa cenderung semu atau terselubung), sinamun ing samudana (ditutup istilah-istilah tersamar), sesadone ingadu elok (masalah apa pun di hadapi dengan muka elok). Kalimat di atas, dalam pemaknaan yang lebih luas adalah cara berpikir & bersikapnya orang Jawa tidak selalu terbuka atau cenderung bersifat simbolik. Penuh sanepa, kiasan, & perlambangan, atau lebih bersifat sinamudana (disamarkan).

Khasanah Jawa, khususnya dalam ajarannya, ada ungkapan tewas sakjroning urip, tewas sakdurunge tewas (tewas dalam hidup, tewas sebelum tewas). Bisa jadi bagi kita yang awam & segala sesuatu dimaknai sempit, ungkapan di atas akan menimbulkan satu pertanyaan mendasar, maksudnya apa? Bukankah istilah-istilah itu kontradiksi? Mati ya tewas, begitu pula kehidupan bukanlah kematian & kematian bukanlah kehidupan!

Begini kisanak, memahami ungkapan-ungkapan Jawa terkadang tak simpel, bahkan terkesan istilah-katanya samar & tersembunyi. Harus diingat bahwa mayapada Jawa kebanyakan mayapada simbol, mayapada perlambang. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari banyak seremonial tata cara yang mendeskripsikan mayapada simbol tersebut. Entah apa yang menjadi latar belakang lahirnya simbol-simbol dalam mayapada Jawa, barangkali karena apa yang terucap, gerak hidup adalah doa.

Doa dalam budaya Jawa bukan sebatas menengadahkan tangan & diamini sang orang lain, melainkan lebih mengacu kepada tingkah laris yang diamini sang semesta. Sehingga ada perkataan semisal numusi, kwalat, yen ono wali lewat. keyakinan-keyakinan ini kemudian berubah menjadi menjadi kehati-hatian dalam kehidupan sehari, sehingga perlu disamarkan.

Kembali ke topik ungkapan tewas sak durunge tewas. Ungkapan ini bukanlah ajaran yang menyuruh tewas sebelum waktunya alias bunuh diri. Ungkapan tersebut lebih terkesan buat mengajak mengendalikan diri atau nafsu manusia, bukan membunuhnya. Karena tak mungkin manusia dapat membunuh atau melenyapkannya, nafsu juga hibah Tuhan yang sepantasnya dijaga, dikendalikan andai saja tidak mau manusia terjerambab kungkungannya.

Mati dalam ungkapan ini berarti meniadakan yang ada, menganggap & tidak menyampaikan eksistesi apapun kepada sesuatu. Mati berarti juga memindahkan, bergerak dari satu alam ke alam yang lain. Alam yang baru ini tentunya tidak sama dengan alam sebelumnya, konsentarsi terhadap sesuatu pun berubah.

Tidak perlu sungkan buat kita mengakuinya, kematian masih saja menjadi hal yang menakutkan bagi kebanyakan manusia. Sebab kematian berarti terlepasnya interaksi jasmaniah seseorang dengan familinya, kekasih atau manusia tercinta lainnya. Bika kematian tiba apalah arti kekayaan, puncak karier, pasangan yang rupawan, jabatan, teman-teman yang setiap hari bergumul dengan almarhum. Semua tak ada artinya. Mati berarti hidup sendiri, dengan alamnya sendiri, tak ada orang yang mau menemani di antara himpitan bumi.

Meski ucapan setia yang berbusa-busa akan menemani sampai tewas, itu hanyalah ucapan belaka. Bika sudah tewas berarti ucapan itupun sirna. Isyak tangis hanya berlaku satu, dua atau saat terkenang saja setelah itu tertawa orang-orang yang ditinggalkan itu pun akan terpecah & membahana dalam dunianya sendiri sedangkan si mayit tetap sunyi & sepi. Sehingga Nabi SAW berasabda andai saja kematian telah menghampiri seseorang maka putus semua amal manusia kecuali tiga perkara yakni ilmu yang dia abdikan kepada kehidupan, anak yang berbakti serta pemberian yang bermanfaat.

Belajar tewas berarti belajar memahami inna lillahi wa inna ilayhi rojiun. Di sini kematian menjadi mempunyai maksud penghilangan keberadaan diri dalam kesinambungan awal & akhir. Penghalang dari Allah buat kembali ke Allah adalah keberadaan (kekinian) diri kita yang menyembunyikan nafsu keiblisan. Orientasi jangka panjang (menuju Allah) dalam kematian sama artinya dengan orientasi kepada asal muasal yang secara bahasa dapat berwujud bertemunya keunggulan kompetitif dengan asal muasalnya, yaitu keunggulan komparatif. Dengan istilah lain, belajar tewas adalah menyelami makna sangkan paraning dumadi. Menghayati dari mana, kemana & akan menjadi apa kita terlahir di mayapada ini.

Dengan mengingat tewas setidaknya akan menggerakkan manusia buat bertindak yang berguna bagi kehidupan sesamanya, baik itu dirinya, lingkungan manusia maupun lingkungan alamnya sehingga memantapkan hubungannya dengan yang Maha Manon. Allah menjadi titik awal & akhir tujuannya, dari Dia manusia berasal, dengan izin-Nya pula kita menjalani kehidupan ini, baik suka maupun dukanya. Kemudian hanya kepada Allah pulalah kita kembali, baik dalam keadaan berhasil atau gagal dalam mengemban titah-Nya.

Kematian seharusnya bukan menjadi pembunuh semangat, malah sebaliknya, kamatian menjadi obor semangat yang tiada habis nyalanya. Sebab kematian datangnya tiada yang memahami, meski makhluk itu dekat dengan Tuhan, seperti malaikat. Mati tetap menjadi misteri. Karena kemisteriusannya inilah tewas sudah barang tentunya suatu bentuk motivasi yang perdeo & lebih bermakna. Mati tidak wajib menunggu manusia tua, sakit atau dalam kekacuan seperti perang.

Kematian tak mengenal umur, siapa dia, bagaimana syarat manusianya. Bika telah tiba waktunya tak peduli apakah tua, remaja, anak-anak, bayi yang baru lahir, dalam keadaan santai, sehat, berpesta, cumbu rayu dengan sang kekasih maka kematian tetap berlaku. Dengan mengingat kematian yang tak mengenal anda siapa & bagimana keadaan anda menjadi pecambuk seseorang buat melakukan perbuatan yang migunaning tumrap liyan, sehingga dapat memayu hayuning bawono, menyenangkan seluruh makhluk entah itu terwujud sekarang atau setelah dia sendiri tak dapat melihat hasilnya lagi.

Memikirkan tewas justru akan menyebabkan kita produktif. Ketika kita berpikir sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, maka justru akan tertanam dalam diri kita sifat bersantai-santai, sebab kita berpikir toh saya masih hidup sekian tahun lagi. Berbeda dengan orang yang berpikir, bagaimana kalau dalam waktu dekat saya tewas. Tentu dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya sedikit pun buat diisi dengan kebaikan, supaya dalam waktu yang dekat ia dapat mengumpulkan bekal tewas yang nisbi buat menghadap Allah.

Orang-orang yang sadar akan dekatnya kematian akan berpikir jauh lebih realistis & masuk nalar. Apa yang terbaik ia lakukan sekarang, ia lakukan. Tidak ada lagi waktu buat menahan-nunda. Mengenai hasilnya sepenuhnya ia serahkan kepada Allah, sehingga ia selalu lapang menghadapi segala yang terjadi. Apa yang dikehendaki Allah terjadi pasti terjadi, & apa yang tidak Ia kehendaki terjadi maka tidak akan terjadi. Karena itulah hatinya akan bersandar penuh kepada Allah atau dalam bahasa jawa diklaim sumeleh. Nuwun.

Bumi Para Nata, Ngayogyokarto Hadingingrat, 07/06/2017

NB : Bukan dihentikan disalin. Monggo kerso, tapi alangkah bijak andai saja sampeyan sekedar mencantumkan sumbernya. Sekedar mencantumkan sumber tulisan tidak lantas mencerminkan kita bodoh toh!

Leave a Reply