Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Salah satu tema utama di perkerisan ini ialah perihal spiritual. Namun aku miris atas asumsi sebagian kita dengan kata satu ini. Dalam beberapa lembaga diskusi komunitas spiritual yang aku ikuti ternyata sebagian akbar menginteprstasikan kata spiritual ini secara serampangan. Ya, sebagian akbar mengidentikkan kata spiritual itu sebagai klenik. Secara pribadi aku tidak setuju dengan tarikan arti itu, alasannya adalah jalan pemaknaan yang melenceng dari jalur etimologis.
Klenik, menurut aku merupakan kata sifat, dampak dari rangkaian kerja yang diklaim glenak-glenik. Seperangkat metode orang Jawa buat mengajarkan pengetahuan tertentu dengan syarat-syarat kompatibilitas penerima ilmu dan situasi lingkungan. Seorang yang hendak belajar ilmu kehidupan mesti berangkat dari kondisi yang siap, lahir serta batin, lalu dibawa pada keadaan ruang yang privat, tenang juga mendukung konsep pengajaran yang memakai seminimal mungkin hubungan suara bervolume tinggi.
Perilaku yang serba pelan dan hati-hati tersebutlah yang kemudian dinamai glenak-glenik. Bahwa seseorang guru tidak boleh sembarangan menaruh asupan pengetahuan, dalam lingkungan yang sembarangan, dan pada situasi peserta didik yang belum dipastikan kesiapan mental dan kapasitas intelektual, merupakan dasar berpikirnya. Segala langkah pengajaran mesti diperhatikan dengan hitungan cermat, termasuk tentang loka dimana pengetahuan itu diberikan. Tak boleh ada penyimpangan-penyimpangan yang bisa mengganggu proses transfer ilmu pengetahuan dari guru kepada peserta didik.
Tidak semuanya bisa cocok dan layak secara kemampuan buat mendapatkan sebuah pengetahuan. Begitu kejam rasanya, jikalau gebyah uyah podo asine (memukul rata) daya terima pikiran tiap orang. Karena kapasitas intelektual manusia tidak selaras-beda, bergantung kepada pengalaman masing-masing. Setiap orang berjalan pada pola hidupnya sendiri-sendiri. Segala yang ditemuinya ialah bahan asupan yang menghuni ruang-ruang pengetahuan dalam otak serta kesadarannya. Maka semakin bermacam-macam jejaring interaksinya, kian kompleks juga calon pustaka yang berdiam di kamar intelektualitasnya. Pengalaman ialah referensi terdekat buat mengambil bahan-bahan analisa terhadap kebaruan yang ditemui. Ruang kendali buat mencari jalan-jalan keluar, ketika dikepung paradoks.
Maka dalam penyampaian ilmu pengetahuan, pada konteks tradisi Jawa, mesti dilakukan tidak dengan gegabah. Fokus pada sang penerima dan jangan hingga apa diajarkan lewat tutur dan laris tersebut, diketahui oleh orang yang belum tentu bisa menerimanya. Barangkali ini wujud eksklusifitas atas sebuah metode pendidikan. Tapi, sisi baiknya justru lebih banyak. Tidak akan terjadi kesalahpahaman penerimaan. Ajaran-ajaran yang diberikan tidak bocor kepada siapapun yang belum terdeteksi keluasan ruang berpikirnya. Sebab kekeliruan target, akan melahirkan tanggapan-tanggapan yang galat, keluar dari logika keilmuan yang dimiliki guru.
Oleh alasannya adalah itulah, orang Jawa mengistilahkannya dengan Glenak-glenik. Keluaran dari metode itu diklaim klenik. Sifat yang dikenakan pada sebuah aktifitas pembelajaran. Kumpulan upaya para guru menjaga peredaran penyampaian ilmu pengetahuan kedalam ruang pikiran dan batin peserta didik-siswanya. Argumentasi kesesuaian ilmu yang diajarkan dengan daya tampung peserta didik itu juga didasari atas filosofi, bahwa "ngelmu kalakone soko laris", ilmu bisa diwujudkan dari perilaku. Maka sebuah ajaran tidak diposisikan hanya sebagai apa yang layak diketahui saja, namun juga menuntut buat diaplikasikan, dilakukan demi kemanfaatan atas kehidupan. Inilah yang kemudian mengejar syarat, adanya kesiapan lahir dan batin peserta didik sebelum mengkaji sesuatu.
Pertimbangan-pertimbangan bahwa setiap peserta didik itu tidak selaras daya serapnya menjadi bahan utama buat menentukan jalan terbaik dan materi pengetahuan yang berdasarkan porsi penerima. Agar tidak ada pemaksaan jalan pikiran dan sang peserta didik menjalani proses pemahaman ilmu dengan nyaman. Hingga sekarang, aku masih percaya, bahwa kekejaman terberat ialah aksi-aksi pemerkosaan cara berpikir. Dengan mengurung seseorang pada pemahaman-pemahaman yang tak memberinya kesempatan buat menimbang secara bisa berdiri diatas kaki sendiri.
Istilah berikutnya yang meresahkan aku ialah beredar luasnya pengartian kata spiritual sebagai pemahanan yang serba tak terjangkau. Besinggunggan kepada wacana-wacana luar nalar yang isinya sebatas dugaan-dugaan tanpa ukuran terang. Padahal tidak seperti itu sepenuhnya. Benar, bahwa apa yang dipercakapkan dalam ranah tersebut ialah kenyataan tak kasat mata namun bukan berarti tak bisa dipikirkan lalu disambungkan dengan sistem logika.
Kita bicara jiwa, perasaan, kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan atau asa ialah judul-judul mini dalam ruang spiritual. Deretan percakapan tentang dampak dari kinerja spirit. Secara etimologis, kata spirit berasal dari bahasa Proto-Indo-eropa, (s)peis yang artinya hembusan, berhembus. Kemudian oleh khasanah Latin diserap sebagai salah satu kosakatanya, dengan ejaan spiritus, yang dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai soul, breath ; animating or penting principle in man and animals.
Dahan-dahan muasal kata tersebut bisa dijadikan acuan bahwa penggunaan kata spiritual sudah tak lagi patuh terhadap moyangnya. Akhirnya banyak yang menempatkan kata itu bertengger diawang-awang, dihubung-hubungan dengan sinisme tahayyul dan semacamnya. Kategorisasi antara spiritual dan material rupanya telah mengunci mati sehingga nampak terpisah sama sekali. Padahal, wacana material spiritual, tak ubahnya seperti perbincangan tentang mana kuantitas dan mana kualitas. Pembagian ruang yang bisa ditakar oleh software rasio manusia hingga layak diterap secara konvensional, dan yang berada pada kawasan personal, sangat relatif terjemahannya, bermacam-macam ejawantahnya, lebih bersifat privat, meskipun berkemungkinan disebar dalam ruang komunal dengan sejumlah konsensus yang harus mengiringi.
Kuantitas menyasar segala obyek yang bisa diwujudkan dalam simbol-simbol terbentuk dan terukur, sedang kualitas ialah bobot yang berada dalam kenyataan. Selalu begitu, segalanya hadir berpasangan, ada wadah, terdapat juga isi. Ada tubuh, lalu berdiam juga jiwa, ruh, atau apapun penyebutannya, yang merujuk pada entitas konten maya yang berdiam dalam tubuh makhluk hidup. Diantara belantara kenyataan berpasangan, tentu akan terdeteksi juga, sesuatu yang ganjil. Tugas ilmu pengetahuan ialah mencari perimbangannya. Anomali bukan buat dihindari, namun digali.
Dunia ialah wahana yang berisi kompleksitas faktor kehidupan, juga dinamika. Lalu kategorisasi dirancang buat memudahkan pengenalan atas keriuhan itu. Ada yang sudah bisa dijelaskan dalam jangkauan logika dan rasionalitas generik dan ada juga yang belum. Batas antara rahasia dengan kenyataan, dipilah oleh kesadaran akan pengetahuan. Kemampuan buat menjelaskan sebuah kenyataan dalam kerangka konvensi bahasa dan logika yang dipahami orang banyak. Sehingga terkuaklah hal yang masih tertutup kabut ketidaktahuan itu.
Era 1950-an, aku yakin, orang tak akan menduga bahwa seseorang dibelahan mayapada utara bisa bersua dengan kawannya di pilah bumi selatan lewat sekeping benda yang diklaim monitor. Internet ialah teknologi yang teramat mustahil bila dikelola oleh pikiran dimasa itu. Saya bersimulasi, andai saja pada waktu tersebut ada orang yang membuat semacam prediksi perkembangan teknologi, lalu beliau mereka-reka tentang kemungkinan terwujudnya penghadiran representasi dua orang berjarak, lewat media tertentu, tanpa harus bertemu fisik langsung, tentu akan diklaim orang gila. Barangkali dicerca sebagai penyebar pikiran ngawur, juru tahayul, manusia kurang kerjaan dan yang senada dengan itu.
Sama dengan anggapan sejumlah orang, yang berkembang dalam masa modern ini, ketika menilik teknologi di masa yang lalu. Kecenderungan buat sinis dan meremehkan sepatutnya dikikis. Kemampuan-kemampuan khusus yang dimasa lampau kerap diistilahkan dengan kanuragan olah tubuh dan batin, tidak lagi di letakkan dalam gudang rongsokan. Selayaknya, kita semuanya bisa membuat ruang buat kenyataan yang lekat dengan tradisi nusantara itu dalam bilah Ilmu yang belum bisa ditransformasikan dengan bahasa komunikasi terkini. Boleh saja tidak melekatkan julukan ilmiah kepadanya, namun tak elok juga bila terlanjur menutup pintu terhadap upaya rasionalisasi dengan cara berpikir jaman sekarang.
Dalam tradisi keilmuan barat, tersebutlah serombongan teori yang belum lolos uji liputan buat menghuni wacana resmi keilmiahan. Namanya teori konspirasi. Pembicaraan tentang insiden dan obyek yang belum masuk dalam bagan rasionalitas sekolahan. Kalau di Jawa, barangkali bisa disepadankan dengan paham Othak-Athik-Gathuk. Perbedaannya, di dalam tradisi barat, teori konspirasi ditempatkan pada sekotak kategori yang punya posisi, akrab diklaim pseudo science.
Apapun makna kata pseudo science tersebut, aku melihatnya sebagai upaya merawat kemungkinan. Bahwa perjalanan hidup kedepan, kita tidak sungguh tahu apa yang dibutuhkan. Maka hal-hal yang bersifat ngambang dan belum terklarifikasi ruang lingkupnya, disimpan pada sebuah laci, buat kemudian dibuka bila ada kebutuhan datang. Hidup bukan sesuatu yang final, pun segala sesuatu yang berkeliaran didalamnya. Menjaga kemungkinan-kemungkinan ialah bentuk kesigapan, buat tetap terjaga, dan tidak gampang kaget terhadap segala yang belum terketahui.
Barangkali alasannya adalah kebiasaan yang mengitari kehidupan kita saat-saat ini ialah mencari kepastian-kepastian, lalu lelah dengan kemungkinan-kemungkinan. Padahal apapun yang diklaim kepastian ialah dampak dari penelusuran atas posibilitas yang telaten, hingga dikemudian hari distempel oleh tata konvensi sebagai sesuatu yang pasti.
Sistem pendidikan modern, terutama di Indonesia, tak lagi menyediakan kesempatan buat menatap khasanah yang sebenarnya sangat kaya di Nusantara itu. Hal-hal yang lekat dengan kebudayaan masyarakat tradisional, pengetahuan-pengetahuan turun menurun yang dekat dengan konsentrasi ranah spiritual. Sedikitnya bisnis-bisnis membongkar sekian rahasia yang menempel pada pengetahuan kebudayaan masyarakat dimasa lampau, membuat kita sekarang menjadi asing terhadapnya. Keadaan semakin miris, alasannya adalah justru rahasia itu berdekatan dengan kehidupan keseharian. Keengganan buat mencari tahu, lalu melakukan konversi atas cara berpikir masa lalu dengan pemahaman masa kini itulah yang menjadi problem.
Setiap jaman memiliki mistar logikanya masing-masing. Peradaban ialah keberhasilan membongkar mitos serta mistik menjadi wacana logis. Mengumpulkan butir-butir rahasia buat dikupas dan diolah menjadi sajian bagi kemanfaatan hidup bersama. Ilmu pengetahuan merupakan tanduk buat menyeruak apa yang belum diketahui menjadi terterangkan. Ikhtiar buat menjawab pertanyaan manusia paling fundamental Kenapa kita disini? apa kegunaannya? dan hendak mengarah kemana tujuan kehidupan?. Cecaran tanya itu tentu saja menuju muara pokok tentang bisnis-bisnis menusia memahami prosedur dan tujuan penciptaan, mengenal Tuhannya. Bisa jadi begitu. Nuwun. (Urd2210)
Yogyakarta 22/4/2107