Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Aika Yunani memiliki legenda yang berpusat di Gunung Olimpus, tanah Jawa juga memiliki situs serupa yang dipercaya sebagai tempat persemayaman para ilahi: Pegunungan Dieng. Banyak misteri & kisah legenda yang berkembang di kawasan yang terkenal dengan budi daya kentangnya ini. Setelah kentang acapkali jadi permainan tengkulak, ada upaya mengembangkan tanaman pangan setempat bernama carika. Anak gimbal pun punya cerita tersendiri, bahkan ada yang ternyata sengaja dikomersialkan. Nah, daripada penasaran mari ikuti jelajah aku kali ini.
Tak seperti biasanya, tempat tinggal kediaman Pak AA Widjaja tampak sepi, Rabu tiga hari yang lalu. Padahal, di waktu-waktu tertentu, kakek berusia mejelang 70 tahun yang masih nampak muda ini selalu saja kedatangan tamu. Maklum, sebagai pemandu wisata yang terbilang kawakan seantero jagad Dieng, orang-orang yang punya maksud tertentu ke pegunungan yang berjuluk negeri atas awan ini acapkali menggunakan jasanya. Saya mengenal Pak AA ini sewaktu masih aktif di HTCI & kebetulan Pak AA Widjaja ini terbilang sesepuh. Pun dari beberapa kali ke Dieng aku memang selalu mampir ke kediamannya.
Bersama Pak AA Widjaja
Kebetulan sekali, malam itu ia berkesempatan libur karena tamu yang sedianya hadir menunda kedatangannya. Sang tamu bilang baru sabtu siang ini minta ditemani. Karena ingin tahu, aku pun minta izin ikut dalam "wisata spiritual" itu. "Saya harus minta izin orangnya dulu. Biasanya mereka nir mau ada orang lain & harus sendiri," ujar kakek yang berasal dari Bandung bercucu dua itu menolak dengan halus. Namun, andai kata mau besuk sampeyan aku antar. Ujarnya memperlihatkan diri. Wah, sebuah kehormatan bagi aku.
Kamis siangnya, bersama istri & seseorang kolega dari penginapan kami nyambang lagi kediamannnya. Kami pun bertolak ke tempat tujuan yang ternyata sepi. Hanya tampak Telaga Warna yang berwarna hijau dengan airnya yang tenang. Warna bagian atas danau ini bisa berubah-ubah karena airnya mengandung belerang. Tak jauh dari sana, terlihat pula Telaga Pengilon dengan kelir tak jauh berbeda, meski lebih jernih. Bahkan rona pelangi ada ketika matahari bersinar cerah & tak terhalang kabut sedikit pun.
Di area wisata seluas lebih-kurang dua hektare & kedalaman telaga 50 meter itu tak poly pengunjung. Saat kami berempat berada di sana, beberapa sejoli tampak melintas. Sepasang pemuda pun tengah bercumbu di gardu istirahat. Padahal, lokasi itu tak jauh dari tempat yang hendak kami dituju bersama Pak Widjaja yang kerap menjadi tujuan wisata spiritual: kompleks Gua Semar.
Posisinya persis di bukit kecil. Bukit ini dikelilingi Gua Sumur, Gua Jaran, & Gua Pengantin. Kecuali Gua Pengantin, tiga gua lainnya digembok. Semua bangunan tambahan, seperti joglo & gerbang gua, dicat rona hijau. "Gua Semar & Gua Sumur paling ramai. Mungkin orang-orang jodohnya di situ," kata Pak AA Widjaja memberi informasi.
Kisah Kehadiran Dua Presiden
Goa Semar
Di depan Gua Semar dirancang patung Semar. Menurut Pak AA, gua ini menjadi Keraton Begawan Semar, ilahi tertinggi & paling bijak di Dieng. Semar juga diartikan sebagai kesengsem marang sing samar, yang dalam bahasa Indonesia berarti cinta dalam yang gaib atau Tuhan. "Beliau menolong anak-cucu yang berbakti dalam orangtua," ujarnya.
Pak AA Widjaja pun menuturkan, gua itu telah lama dikunjungi orang untuk bersemadi. Setidaknya hal itu diketahuinya semenjak masa kanak-kanak dalam 1950-an. Secara fisik, kedalaman gua itu memang hanya 2-3 meter. Tapi poly orang percaya bahwa gua itu bisa membawa mereka tembus hingga ke daerah lain, seperti Pekalongan.
Ia juga mengisahkan, presiden pertama Indonesia, Soekarno, konon kerap "tiba" & menampakkan diri di sini. Cuma, berdasarkan dia, yang dapat mengetahuinya hanyalah mereka yang mempraktekkan laku spiritual. Malah ia juga percaya bahwa harta Bung Karno yang disapanya dengan sebutan "paduka" itu tersimpan di sana. "Ada, akan tetapi bukan aslinya. Itu dana revolusi untuk membentuk negara, dilarang dikuasai orang," katanya yakin. Saya hanya mesem untuk menyenangkan keyakianannya tersebut.
Tak cuma Bung Karno, Pak Harto ketika masih menyandang pangkat letnan kolonel pun dikabarkan acapkali bertandang ke sana, terutama di bulan Suro. Hebatnya lagi, belakangan ada orang yang mengaku melihat kedatangan mendiang presiden kedua itu ke gua yang sama. Tapi, berdasarkan Pak AA Widjaja, hari-hari belakangan nir ada lagi pejabat yang tiba ke situs itu untuk menunaikan laku spiritual.
Selama ini, memang poly tersebar kabar burung yang menyebut bermacam-macam laku spiritual yang dijalani Bung Karno. Wajar, karena memang sedari kecil ia telah digembleng dengan laku kebatinan Jawa. Tambahan lagi, ibundanya berdarah Bali. Kabar serupa menyelimuti sosok Pak Harto, yang diklaim-sebut getol bersemadi & sebagai orang Jawa amat mempercayai ilmu Kejawen.
Pak AA Widjaja pun mengungkap cerita leluhur Dieng seputar dua gua lainnya. Gua Pengantin dipercaya masyarakat sekitar sebagai perlambang kelanggengan pasangan hidup. Sedangkan Gua Jaran melambangkan kuda yang penuh nafsu milik Resi Kendaliseto, yang diyakini sebagai sosok pengendali nafsu. Terkisah pula dalam mitos ini bahwa kuda sang resi tiba-tiba hamil tanpa sebab. "Ini melambangkan, nafsu yang kotor harus dikendalikan sang nafsu yang putih," katanya.
Mitos Telaga & Pesugihan
Mitos tak hanya berkembang di seputar gua, melainkan juga dalam dua telaga yang ada di dataran tinggi ini. Perubahan rona dalam Telaga Warna, contohnya, diklaim-sebut melambangkan empat nafsu manusiawi: mutmainnah, sufiyah, amarah, & lawwamah. Dua nafsu pertama mencerminkan kebaikan, sedangkan dua lainnya keburukan. "Sing ala lan apik kudu manunggal (yang jelek & baik itu menyatu dalam diri manusia)," Kata AA Widjaja berfilsafat.
Adapun Telaga Pengilon diyakini sebagai lambang tempat mawas diri. Berbeda dibandingkan dengan Telaga Warna, kecantikan Telaga Pengilon terletak dalam kebeningan airnya. Sesuai dengan namanya, pengilon, yang berarti cermin, air di telaga ini sangat jernih sehingga bisa merefleksikan wajah para pengunjungnya.
Bumi Pertolo
Bahkan bukan hanya wajah, isi hati pengunjung juga konon terbaca lewat bayang-bayang di air telaga itu. Bila yang bercermin sosok yang baik, wajah yang terpantul dari bagian atas telaga akan tampak bersih & menarik. Sebaliknya, andai kata berhati dursila, wajahnya akan terlihat menakutkan ketika bercermin. Karena itu, sebagian warga menganggap telaga ini cukup bertuah.
Selain itu, di sebelah timur Telaga Warna ada satu kawasan berjuluk Pesanggrahan Bumi Pertolo. Untuk hingga ke sana, para pelancong harus mengitari telaga & jalan setapak di antara alang-alang. Sesampai di sana, suasananya tampak begitu asri, dipenuhi pohon rindang & poly bunga. Di situ ada satu kamar kayu berukuran sekitar 4 x 4 meter dengan pintu tergembok. Di belakangnya terdapat sebuah batu besar dengan sisa-sisa dupa.
Pak AA Widjaja juga menjelaskan bahwa situs ini kerap digunakan untuk pesugihan, dengan cara "menjual" anak. Gamblangnya, seseorang mengorbankan anak kesayangannya kepada makhluk gaib yang ada di situ demi memperoleh harta & kesuksesan. Pesanggrahan itu sendiri dibangun sang orang yang telah menandakan keampuhan pesugihan ini di sana. Tak sedikit pula yang membatalkan ritual lantaran belakangan merasa tak tega mengorbankan anaknya.
Misteri di Sumur Jalatunda
Di luar area telaga yang masuk wilayah Wonosobo, terdapat Kawah Sikidang. Kawah ini berada di wilayah Banjarnegara. Seperti namanya, kidang berarti kijang, sumber letupan uap panas dari dalam bumi di sekitar kawah ini berpindah-pindah layaknya lompatan kijang. Saat kami singgah ke lokasi ini kemarin, hujan & kabut tebal menutup kawah. Makna filosofisnya, berdasarkan Pak AA Widjaja, kijang memakan daun pupus. "Cita-cita boleh tinggi, akan tetapi yang mupus (menghapus) itu Tuhan, kita hanya bisa pasrah," katanya.
Menurut legenda masyarakat setempat, dari-muasal kawah itu bertautan dengan urusan asmara. Sahibul kisah, seseorang putri yang menggelar sayembara jodoh harus kecewa karena pangeran pemenang sayembara rupanya berkepala kijang. Untuk menghindari hal itu, sang putri minta dibuatkan lubang besar yang ternyata digunakan untuk mengubur pangeran. Walhasil, berkembang mitos, kawah ini terlarang bagi pasangan yang sedang dimabuk asmara.
Selain Sikidang, ada pula Kawah Sileri. Bukan hanya kalah populer, lokasi kawah ini berjarak sekitar tujuh kilometer dari area Dieng, dengan rute jalan tak terawat pula. Bila Kawah Sikidang berada di pegunungan, Sileri berada di posisi bawah & terlihat dari dataran yang lebih tinggi. Selain itu, Kawah Sileri dari kejauhan sekilas mirip telaga. Padahal, pemandangannya lebih bagus & kawahnya asli nir pindah-pindah.
Lalu, hanya terpaut lebih-kurang dua kilometer dari Kawah Sileri, terdapat lokasi berjuluk Sumur Jalatunda. Namanya tak ada kaitannya dengan sumur galian karena situs ini adalah cekungan alam menyerupai kawah yang tak aktif. Kedalamannya sekitar 30 meter & lebar bagian atas lebih-kurang 20 meter. Dinding "sumur" itu dipenuhi tanaman. Pos & tangga sumur ini juga dicat hijau. Di antara situs lain, sumur alam ini diklaim sebagai tempat pamungkas dalam melakukan semadi. "Kalau punya cita-cita, jangan ditunda-tunda," ucap Pak AA Widjaja tentang makna kawasan ini.
Tidak ada yang tahu cara turun ke dasar sumur. Walau demikian, warga setempat mengaku kerap melihat seseorang berpakaian serba-hitam di dekat air di dasar sumur. Air sumur ini juga dipercaya bertuah & dihargai Rp 500.000 per liter. Seperti situs lainnya di Dieng, ada mitos yang berkembang seputar sumur ini. Konon, siapa sanggup melempar batu hingga mengenai dinding seberang sumur, bakal terwujud permintaannya. Faktanya, batu yang dilempar memang selalu nyemplung ke dasar sumur sebelum hingga ke dinding seberang.
Jejak India di Candi Bima
Lepas dari misteri, mitos, & legenda yang menyelimuti keindahan karya alamnya, Dieng juga kaya dengan cerita karya manusia tempo dulu. Di situ ada sejumlah kompleks percandian yang tersebar di antara hijaunya lahan pertanian, yang kebanyakan ditanami kentang. Memang nir sebesar & semegah candi di daerah lain. Candi-candi ini berada di Dieng Kulon yang masuk wilayah Banjarnegara. Daerah ini dulu masuk wilayah kekuasaan Rakai Kayuwangi, yang memerintah Mataram Hindu semenjak tahun 856 hingga 890-an. Ia bergelar Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala.
Di kompleks percandian ini, yang tampak paling menonjol & yang pokok artinya kompleks Candi Arjuna. Ada empat bangunan lain di kompleks Candi Arjuna: Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, & Candi Sembadra. Sebagai candi Hindu, di sini ditemukan arca Trimurti, yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, & Dewa Siwa, seperti ditemukan di Candi Srikandi yang juga terdapat di kompleks percandian Dieng.
Secara umum, bangunan candi terdiri dari tiga bagian. Ada kaki candi yang melambangkan bhurloka atau dunia manusia. Sedangkan bagian tubuh candi menjadi simbol bhuwarloka, yakni dunia mereka yang disucikan. Bagian atas, yaitu atap candi, adalah perwujudan swarloka, yaitu dunia para ilahi. Masing-masing bagian memiliki komponen seperti dalam candi umumnya: ada pipi tangga, relung, kala-makara, menara sudut, & kemuncak.
Secara lebih khusus, model bangunan Candi Arjuna diklaim wimana. Purwarupa bentuk ini artinya tempat tinggal bambu. Candi-candi seperti ini poly ditemukan di India Selatan. Salah satu candi di kompleks ini, yakni Candi Semar, mencomot bentuk mandapa. Di candi India, jenis bangunan ini digunakan sebagai tempat upacara para peziarah.
Melintasi jalur setapak di tengah-tengah tegalan kentang, kami dipandu ke kompleks Candi Setyaki. Tampak seperti candi yang nir utuh tanpa puncak. Di sekitar candi terdapat batu-batu sisa candi berukuran kecil. Lalu, hingga di ujung lintasan, sedikit menanjak ke arah bukit, terdapat Candi Gatotkaca. Sedangkan satu candi lagi, Candi Dwarawati, jauh dari candi-candi yang lain & berada di ujung Kampung Dieng Kulon.
Candi Gatotkaca
Candi Bima berada sekitar satu kilometer dari Candi Gatotkaca. Dalam komposisi area wisata, candi ini seakan menjadi penyambut turis ketika menuju Kawah Sikidang. Seperti Candi Arjuna, Candi Bima dibangun dalam abad ke-7 hingga ke-8. Arsitektur India tampak begitu kental. Bentuk Candi Bima amat mirip dengan Candi Bhubaneswara di India. Model bangunannya mengadopsi bentuk sikhara, yakni berupa menara bertingkat.
Candi Bima kini sedang dipugar & tertutup bagi pengunjung. Dikelilingi pagar besi & dikunci, sekujur candi tampak ditopang kayu-kayu. Proses pemugaran ini diperkirakan hingga tiga bulan ke depan. Di antara candi-candi di Dieng, Candi Bima artinya satu-satunya candi yang memiliki kudu. Kudu berupa bentuk lengkung tapal kuda yang diisi wajah ilahi. Melambangkan face of glory & biasanya diletakkan di atap sera gapura candi. Kudu menjadi langgam khas candi-candi di Dieng. Sayangnya, poly kudu yang raib dicuri.
Arsitektur percandian di Dieng pun menaruh perkembangannya. Semakin lama bentuk candi, kian lepas dari pengaruh gaya India. Aika langgam India tampak begitu kuat dalam Candi Arjuna & Bima, candi-candi lain secara sedikit demi sedikit mulai berciri lokal. Ini terlihat dalam menara atap & relungnya. Ambil contoh relung Candi Srikandi yang mulai menonjol, meski atap menaranya masih terpisah. Tahap berikutnya Candi Puntadewa, masih di kawasan Arjuna, dengan relung jauh lebih menonjol. Perbedaan makin terlihat di Candi Dwarawati. Akhirnya bentuk lokal Candi Dieng tampak dalam Candi Gatotkaca: menara atapnya menyatu dengan struktur bangunan pokok.
Pernah Dijarah Maling
Informasi tentang Dieng dirangkai dari 22 prasasti berbahasa Jawa kuno. Dari catatan-catatan masa lampau itu, secara khusus Dieng diklaim sebagai sentra pemujaan Dewa Siwa. Posisi Dieng di wilayah dataran tinggi pun seakan klop dengan nama lain Siwa: Parwataraja alias penguasa gunung. Jadi, tak mengherankan bila komunitas pemuja Siwa, sekte Saiwa, memusatkan aktivitas religiusnya di Dieng. Lagi pula, berdasarkan Prasasti Wadihati bertarikh 891 Masehi, daerah di Dieng dijadikan sima, yakni wilayah yang dibebaskan dari pajak kerajaan. Sima di Dieng ini pun diperuntukkan bagi pertapaan sekte Saiwa.
Selain itu, secara harfiah, Dieng berasal dari dua kata: Di & hyang. Di dapat berarti tempat atau gunung, sedangkan hyang artinya ilahi. Dieng bisa dimaknai sebagai tempat bersemayam para ilahi. Apalagi, tradisi Jawa & Nusantara memang menganggap gunung & wilayah yang tinggi sebagai tempat suci.
Sebagai daerah candi & pertapaan pemuja Siwa, Dieng kaya arca ilahi pengatur kembalinya isi alam semesta ke alam keabadian itu. Berbagai perwujudan & pose arca Siwa ditemukan di area Dieng. Termasuk arca yang dianggap istimewa & ditemukan di candi Hindu lainnya, yaitu Siwa Trisirah atau Trimuka. Patung ini memberi paparan Siwa berkepala tiga sebagai bentuk lain Siwa Mahadewa. Pada wujud ini, Siwa mencakup unsur Trimurti lainnya.
Dengan posisinya itu, Dieng diibaratkan sebagai Kailasa, yakni kahyangan Dewa Siwa yang suci. Nama Kailasa kemudian diabadikan untuk Museum Dieng. Di situ tersimpan aneka macam kekayaan peninggalannya. Sampai kini, sisa-sisa situs diperkirakan masih ada. Sebab para petani setempat kerap menemukan artefak di ladang atau di dekat rumahnya.
Di depan kantor Balai Purbakala Cagar Budaya di samping museum, teronggok tiga bagian candi, mirip stupa dalam ukuran kecil. Menurut staf keamanan museum & kompleks Dieng, Subagyo, warga menyerahkan temuan itu yang terbaru. "Padahal, ketemunya telah lama, akan tetapi disimpan di tempat tinggal," kata lelaki berusia menjelang 70 tahun ini.
Ia menyebutkan, kompleks candi kini aman dari pencurian artefak. Aksi terakhir maling yang menjarah benda purbakala masih berlangsung tujuh hingga delapan tahun silam. Malah ada yang kepergok ketika hendak beraksi di Candi Bima dalam malam hari tahun 2004-2005.
Ketika itu, pagar kompleks candi dirusak. Arca Harihara & Kala raib. Kabar pencurian pun disebarkan dengan ancaman pidana. Selang beberapa hari, arca tersebut kembali, meski bukan di tempat aslinya. "Orangnya takut. Kalau ketahuan orangnya, ya, ditangkap," ujar staf keamanan yang bertugas di Dieng semenjak 1984 itu. Sejak itu, syukurlah, belum ada tindak kriminal lagi & di area candi kini dipasangi lampu untuk mencegah maling.
Dieng Tak Terpencil Lagi
Area Dieng mencakup wilayah seluas 97 hektare. Daerah seluas ini masuk dua wilayah kabupaten: Dieng Kulon seluas 54 hektare berada di wilayah Banjarnegara, sedangkan Dieng Wetan seluas 43 hektare masuk wilayah Wonosobo. Meski telah ditahbiskan menjadi kawasan wisata unggulan, untuk menuju lokasi suci para ilahi itu, bahkan di zaman terkini ini, para pelancong masih dihadapkan dalam perkara transportasi. Aika mau nyaman, pengunjung mesti menyiapkan kendaraan pribadi atau membayar jasa travel wisata.
Dari Wonosobo, kendaraan menuju Dieng terkesan alakadarnya: bus kecil satu pintu jurusan Wonosobo-Dieng. Bus-bus besar & bagus kabarnya nir sanggup mendaki rute ke Dieng yang memang menanjak. Alhasil, turis harus berbaur dengan warga Dieng yang umumnya mbok-mbok bakul yang membawa barang dagangan dari Wonosobo. Bahkan bus yang kami tumpangi sempat "dibajak" seseorang ibu yang membawa jajanan dalam jumlah poly. Para penumpang mesti digeser ke satu bagian karena bawaan ibu itu makan tempat.
Aika telah penuh, bus baru berangkat dari terminal kecil Sumberan di Wonosobo. Maklum, sopir tak mau rugi menempuh rute jauh dengan isian longgar. Dengan seribu perak, pelancong pun diantarkan menempuh jarak 30 kilometer hingga tujuan. Lalu, dalam perjalanan selama satu setengah hingga dua jam, bus melintasi jalan yang meliuk-liuk naik-turun, dengan panorama menakjubkan. Hamparan hijau diselingi kabut, bahkan dalam tengah hari. Tanaman kentang dibudidayakan di lereng-lereng. Di sana-sini tampak orang-orang berpakaian tebal atau mereka yang membungkus tubuh dengan sarung.
Walau demikian, Dieng kini tak seterpencil dugaan orang. Sepanjang jalan raya, tempat tinggal-tempat tinggal disulap menjadi home stay –begitulah yang tertulis di sana– bukan penginapan atawa losmen. Sebagian dengan neon terang & memajang fasilitas di terasnya, seperti televisi kabel. Lampu-lampu jalan bergaya terkini pun berbaris di pinggir jalan.
Ada sebuah masjid megah yang berdiri di kejauhan. Satu lagi masjid sejenis dalam proses pembangunan. Ojek makin poly. Satu-dua penginapan memasang hot spot. Puncaknya, satu hal yang meyakinkan bahwa Dieng memang telah berbeda dibandingkan dengan dua-tiga tahun silam, kini terlihat plang yang dihiasi rona merah-biru khas sebuah waralaba urusan ekonomi retail. Nuwun