web analytics
Mengintip Ritual Seks Para Bangsawan Dari Serat Centhini - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Jujur wajib kita mengakui, urusan seks selalu saja menjadi topik yang menarik buat diperbincangkan. Entah dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di angkrigan yang remang-remang itu, atau bahkan sedikit riuh diperbincangkan sang kaum perempuan disela-sela arisan RT.

Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit juga luas, merupakan bagian krusial dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri instingtif yang paling dasar. Maka tak heran kalau poly upaya dilakukan buat menilik, menganalisis, menyusun pedoman, atau mengungkapkannya lewat karya sastra sejak dahulu kala.

Beberapa manual kuno yang pernah ada, bisa kita sebut contohnya Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM 17 M). Atau Kamasutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke-1 6 M). Keduanya bukan melihat seks menjadi subjek penelitian medis dan ilmiah, melainkan sebuah pedoman seks.

Meski menjadi topik yang seksi buat di perbincangkan, kepada sisi yang lain kita terkadang gamang untuki menulisnya secara lugas, gamblang dan terbuka. Bisa jadi kita dituding tak memahami diri, atau sengaja menyebarluaskan pemahaman ihwal seks, yang sang sebagian masyarakat ditinjau menjadi sesuatu yang tabu.

Kenapa kita tidak belajar atau bercermin terhadap apa yang dilakukan para pemikir Jawa di masa kemudian, contohnya kepada Sri Mangkunegaran IV yang menggagas penulisan Serat Centhini, yang telah sejak jauh-jauh hari beropini bahwa duduk perkara seks bukanlah hanya duduk perkara di dalam kamar. Tetapi seks ialah duduk perkara kehidupan. Persoalan humanisme. Dengan memahami seks, kita akan menghargai kehidupan.

Serat Centhini atau juga dianggap Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan keliru satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, supaya tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan berdasarkan jenis lagunya.

Di zamannya, Serat Centhini termasuk dalam karya goresan pena yang berani dan mengungkap duduk perkara secara gamblang serta apa adanya. Menariknya lagi, penulis atau penggubahnya ialah seorang bangsawan yang terhormat di Pura Mangkunegaran, Solo.

Persoalan seks yang sangat eksklusif pun diungkap secara terbuka, dan tanpa basa-basi di dalam Serat Centhini. Hebatnya lagi, duduk perkara seks yang diungkap tak sebatas yang ada kepada kehidupan masyarakat mini atau rakyat jelata, tapi juga yang terjadi di lingkungan istana atau para bangsawan di keraton Jawa.

Misalnya dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan dengan gamblang soal ulah asmara yang berafiliasi dengan lokasi genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah atau mempercepat supaya lelaki tidak cepat ejakulasi.

Lalu dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.

Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam kasus seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini kita terima. Mereka juga mempunyai kebebasan yang sama dalam menunjukkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.

Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk soal rapikan krama dalam melakukan interaksi seksual antar suami-istri. Dalam berafiliasi, contohnya, wajib empan papan. Maksudnya, mengetahui situasi, wilayah, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan impian bareng.

Selain mendasarkan diri kepada rapikan krama berdasarkan budaya Jawa, rapikan krama ini juga mendasarkan diri kepada hadist Nabi Muhammad SAW. Misalnya, sebelum melakukan interaksi seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu. Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa lebih dahulu dengan mengucapkan syahadat.

Masayarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. Tentang hal ini berkaitan dengan kasus rasa perempuan, yang berafiliasi dengan organ genital seksualnya. Satu anggapan bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif kepada perempuan selalu berpindah-pindah wilayah, sesuai setinggi rendahnya orbit bulan, hal ini berdasar kepada kalender Jawa. Dengan mendasarkan kepada kalender seksual, pasangan bisa mencapai zenit kepuasan secara bareng-sama.

Dalam Serat Centhini (Pupuh Salisir) terungkap juga dengan jelas bahwa suami wajib memperhatikan istrinya sesuai ciri-ciri atau penampakan tubuhnya, sebelum melakukan interaksi badan.

Selain diungkap mengenai rapikan cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat Centhini II (Pupuh Asmaradana) diulas juga bentuk-bentuk serta pose interaksi seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan supaya pasangan bisa mencapai kepuasan bareng-sama. Hubungan seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki juga perempuan, namun juga menjadi bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks sekaligus menjadi wahana ibadah.

Dalam Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang bagaimana seharusnya posisi berafiliasi seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan penetrasi, contohnya, wajib tetap juga melihat tipe perempuan pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (mirip meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang); baita layar anjog rumambaka (mirip kapal layar turun ke tengah lautan), dan sebagainya.

Dalam masyarakat Jawa masa kemudian dikenal juga poly sekali resep jalu usada (pengobatan seksual) supaya lelaki jadi perkasa. Misalnya, buat mencegah supaya air mani tidak encer menjadi akibatnya bisa memperoleh keturunan, mirip dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula). Resepnya berupa merica sunti dan cabe wungkuk tujuh buah, garam lanang, arang kayu jati, gula aren seperempat. Semua bahan itu dipipis hingga lembut di tengah halaman kepada dikala siang hari. Sesudah itu dibuat mirip kapsul.

Jamu berbentuk mirip kapsul itu ditelan sambil membaca mantra, Sang tuhan senjata akas-akas, kurang baga luwih akase, kurang baga akukuh, ora ana patine.

Dalam Serat Centhini itu juga telah menunjukkan ihwal 'penyalahgunaan' seks, dari perselingkuhan atau skandal seks hingga ke prostitusi. Menyinggung soal pelacuran atau prostitusi, Serat Centhini pun mengungkapkannya secara lugas dan terbuka. Selain menunjukkan riwayat munculnya pelacuran di Jawa, juga diuraikan majemuk teknik bercinta para pelacur dalam melayani dan memuaskan lelaki pasangannya.

Teknik-teknik bercinta itu tentu dimaksudkan supaya para lelaki pasangannya merasa puas dan suka berafiliasi seks dengan perempuan yang menjajakan dirinya tersebut. Diuraikan juga, dengan teknik-teknik bercinta yang dikuasainya, perempuan yang berprofesi menjadi pelacur itu bisa melayani atau berafiliasi seks dengan lebih dari satu lelaki. Bahkan hingga beberapa lelaki.

Sejarah pelacuran di Yogyakarta juga diungkapkan di Serat Centhini tersebut. Mungkin kita tak percaya, jikalau di dekat lokasi makam raja-raja Mataram di Imogiri dulu pernah ada lokasi 'urusan ekonomi seks' atau wilayah perempuan-perempuan menyediakan dirinya buat jasa pelayanan seks. Rasanya, Sri Mangkunegaran IV yang menulis Serat Centhini tidak akan mungkin berbohong dan mengada-ada dengan menjelaskan bahwa di dekat makam-makam raja di Imogiri itu ada wilayah pelacuran.

Para pemikir atau intelektual Jawa di zamannya dulu memang telah menanam keyakinan bahwa seks merupakan keliru satu bagian dari budaya kehidupan manusia. Seks ialah sesuatu yang logis dan alamiah. Sejak dulu juga, para pemikir Jawa telah memandang dan beropini bahwa seks atau seni bercinta menjadi bagian dari harmoni kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

Karena itulah poly para pemikir atau intelektual Jawa di masa kemudian yang menulis 'majemuk pengetahuan dan duduk perkara' ihwal seks. Serat Centhini merupakan keliru satu di antaranya. Kemudian hibahpemahaman ihwal seks juga masih ada di dalam Serat Gatoloco dan Serat Dharmogandhul. Nuwun.

Leave a Reply