Pada tulisan lanjutan jelajah napak tilas wali di Cirebon ini saya akan membawa kerabat perkerisan Dolan kesalah satu peninggalan Walisongo, Sunan Gunung Jati di kota Cirebon.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa (dikenal juga sebagai Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon) ialah sebuah masjid yg terletak di dalam kompleks Keraton Kesepuhan, Cirebon, Jawa barat.
Pada catatan sejarah masjid ini ialah masjid tertua di Cirebon yg dibangun lebih kurang tahun 1480 M atau semasa dengan Wali Songo menyebarkan kepercayaan islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari kata "Sang" yg bermakna keagungan, "Cipta" yg berarti dibangun, dan "Rasa" yg berarti digunakan. Cerita legenda yg berkembang seputaran sejarah berdirinya masjid ini ialah kisah pembangunannya yg hanya memakan waktu semalam. Sunguh sangat menakjubkan. Hampir semua warga Cirebon mengenal kisah ini dan tertuang jua dalam buku sejarah Babad Tanah Cirebon.Sunan Kalijaga yg menjadi arsiteknya memimpin pembangunan masjid sejak maghrib hingga subuh datang. Cerita ihwal Wali Songo tidak lepas dari satu walinya yg paling berpengaruh, yaitu Sunan Kalijaga, yg juga memiliki jejak di Cirebon. Petilasan Sunan Kalijaga terletak di Barat Sungai Sipadu, di Jalan Pramuka, Desa Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Daerah ini juga dikenal sebagai Taman Kera, lantaran timbul ratusan simpanse yg hidup di blog ziarah sekaligus taman perlindungan ini. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Beliau ialah putra adipati Tuban yg bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi rakyat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon.
Menurut cerita, lantaran kebetulan penulis sendiri ialah orang Tuban, Jawa Timur, sebelum menjadi Walisongo, Raden Said ialah seorang perampok yg selalu merogoh hasil bumi di gudang penyimpanan Hasil Bumi. Dan hasil rampokan itu akan dia bagikan kepada orang-orang yg miskin. Suatu hari, Saat Raden Said berada di hutan, dia melihat seseorang kakek tua yg bertongkat. Orang itu ialah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dipandang misalnya tongkat emas, dia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan dia bagikan kepada orang yg miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang nir membenarkan cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah nir akan mendapatkan amal yg jelek. Lalu, Sunan Bonang membuktikan pohon aren emas dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka ambillah buah aren emas yg ditunjukkan sang Sunan Bonang. Karena itu, Raden Said ingin menjadi siswa Sunan Bonang.
Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu menyuruh Raden Said buat bersemedi sembari menjaga tongkatnya yg ditancapkan ke tepi sungai. Raden Said nir boleh beranjak dari tempat tadi sebelum Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tadi. Karena itu,dia menjadi tertidur dalam waktu usang. Karena lamanya dia tertidur, tanpa disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya.
Tiga tahun kemudian, Sunan Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena dia telah menjaga tongkatnya yg ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga. Kalijaga lalu diberi busana baru dan diberi pelajaran kepercayaan sang Sunan Bonang. Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, beliau punya pola yg sama dengan mentor sekaligus teman dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga menentukan kesenian dan kebudayaan sebagai wahana buat berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa rakyat akan menjauh jikalau diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara sedikit demi sedikit: mengikuti sembari memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jikalau Islam sudah dipahami, dengan sendirinya tata cara usang hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Beliau menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni bunyi suluk sebagai wahana dakwah.
Beberapa lagu suluk ciptaannya yg populer ialah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Beliaulah menggagas baju takwa, seremoni sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap sentra kota berupa kraton, alun-alun dengan 2 beringin serta masjid diyakini jua dikonsep sang Sunan Kalijaga. Kosep misalnya ini hampir dapat kita temui di seluruh Kabupaten/Kota se-Jawa.Metode dakwah tadi sangat efektif. Sebagian akbar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya ialah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.
Kembali ihwal cerita legenda pembangunan masjid Sang Cipta Rasa ini yg hanya semalam dan terkesan mustahil? Saya rasa nir juga. Jika melihat sejarahnya, yg pertama dibangun ialah bangunan utamanya dengan tiang-tiang akbar yg disetel dengan pasak, tanpa paku. Mungkin sebelum masjid ini didirikan, tiang-tiang utama sudah distel dulu yg kemudian disambung-sambung dengan pasak. Kalau istilah sekarang ini namanya bangunan knock down. Logikanya sangat mungk memang dibangun dalam semalam.Nah, keliru satu tiang yg terkenal di masjid ini disebut Saka Tatal, di sudut selatan teras masjid yg orisinil. Bisa dibilang ini ialah karakteristik spesial Sunan Kalijaga dalam menciptakan masjidnya misalnya peninggalan beliau di Masjid Agung Demak. Beliau menyambung potongan-potongan tiang dan mengikatnya dengan lempeng besi menjadi satu tiang baru. Saka Tatal mengandung filosofi persatuan bangsa.
Dalam riwayatnya, pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan lebih kurang lima ratus orang yg didatangkan dari Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit yg menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, buat membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid tadi.
Arsitektur kekhasan masjid ini antara lain terletak pada atapnya yg nir memiliki kemuncak atap sebagaimana yg lazim ditemui pada atap masjid-masjid di Pulau Jawa. Masjid ini terdiri dari 2 ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama masih timbul sembilan pintu. Jumlah ini melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dipandang pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yg memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon.
Pada bagian mihrab masjid, masih timbul ukiran berbentuk bunga teratai yg dibuat sang Sunan Kalijaga. Selain itu, di bagian mihrab juga masih timbul tiga buah ubin bertanda khusus yg melambangkan tiga ajaran pokok kepercayaan, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Konon, ubin tadi dipasang tertentu sang Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga pada awal berdirinya masjid.
Di beranda samping kanan (utara) masjid, masih timbul sumur zam zam atau Banyu Cis Sang Cipta Rasa yg ramai dikunjungi orang, terutama pada bulan Ramadhan. Selain diyakini berkhasiat buat mengobati berbagai penyakit, sumur yg terdiri dari 2 kolam ini juga dapat digunakan buat menguji kejujuran seseorang.
Satu lagi keunikan masjid ini ialah tradisi Adzan Pitu atau Adzan Tujuh pada Salat Jumat. Adzan Salat Jumat di masjid ini dilantunkan sang tujuh orang sekaligus.Konon, dahulunya masjid ini memiliki memolo atau kemuncak atap. Namun, ketika azan pitu (tujuh) salat Subuh digelar buat mengusir Aji Menjangan Wulung, kubah tadi pindah keMasjid Agung Banten yg hingga sekarang masih memiliki 2 kubah. Karena cerita tadi, hingga sekarang setiap salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa digelar Azan Pitu. Yakni, azan yg dilakukan secara bersamaan sang tujuh orang Muazin berseragam serba.
Sayangnya, kini keadaan masjid yg pernah menjadi sentra penyebaran kepercayaan Islam di Jawa Barat ini kurang terawat. Padahal dulu, waktu akan tewas, Sunan Gunung Jati berpesan pada rakyat Cirebon, Ingsun titip tajug lan fakir miskin (Saya titip surau ini dan fakir miskin). Namun demikian, tetaplah masjid ini sangat patut kita singgahi ketika ke Cirebon. Akhir kata, sekian dulu, mohon dimaklumi jikalau timbul keliru penulisan. Semua lantaran ketidaktahuan saya semata. Sampai jumpa. Wassalam.