Dunia Keris Selamat datang kadang kinasih perkerisan. Wayangan lagi kisanak. Masih inget keterangan bebera waktu yang lalu, yang tentang makar dan menyeret beberapa nama tokoh itu lho. Mulai berdasarkan tokoh politik, aktivis, bunda rumah tangga, hingga artis kawakan yang punya sebuah republik (cinta). Nah, malam ini aku mengambil tema tersebut, Makar atau Kudetanya Ontoseno.
Namun sebelumnya, sampeyan taka akan menemukan tokoh ini kepada versi Mahabarata orisinal. Karena tokoh Ontoseno hanya ada di kisah carangan (sempalan) versi Jawa. Pun hanya ada di Jogja. Pada wayang Solo (Surakarta), nama Ontoseno maupun ada, tapi Ontoseno di sini merupakan nama lain berdasarkan tokoh Ontorejo.
Sedang di Jogja, Ontoseno dan Ontorejo merupakan karakter yang tidak sinkron, walaupun keduanya sepertinya sama-sama diciptakan menjadi sosok pencari makna kehidupan sejati, tapi nuansa dan tingkah laku ke 2 tokoh ini tidak sinkron.
Ontoseno merupakan anak bungsu Bimo atau Wrekudoro, ke 2 Pandawa. Lahir berdasarkan rahim Dewi Urangayu, putri semata wayang Sang Hyang Baruna atau Batara Mintuna. Jalinan kisah itu membuat Ontoseno menjadi sosok yang unik. Dia merupakan bangsa manusia, lahir berdasarkan keturunan adonan bangsa Samodra dan bangsa Dewa. Ontoseno kulitnya bersisik udang yang kesaktian kulitnya kebal berdasarkan senjata apapun, selain sanggup terbang, ia maupun ahli menyelam dalam air dan sanggup amblas ke bumi.
Di dalam pakeliran wayang Jawa, sosok Ontoseno menyimpan rahasia tersendiri, entah lantaran pengejawantahan karakter Ontoseno sendiri yang samar, ataupun sengaja dibentuk demikian, tidak ada yang memahami. Tapi konon kabarnya memang sosok karakter Ontoseno ini dimunculkan menjadi penggambaran akan sebuah kepribadian sufi. Orang menghubung-hubungkan akan kemunculan tokoh Ontoseno ini dengan semisal figur nyleneh Syeh Siti Jenar ataupun sosok sakral Abdul Qadir Jaelani. Tapi aku nir akan membahas itu. Jero kisanak (dalem), takut klelep.
Siang itu, awan menyelimuti langit Astina dan kepada ketika yang sama Adipati Karno baru saja hingga di balairung kerajaan. Tanpa wajib melewati protokoler yang rumit, mirip kita hendak menemui bupati, Adipati Karno langsung saja nyelonong masuk. Kedatangan Adipati Karno langsung disambut oleh Ontoseno yang di depan, sementara yang lainnya mirip Ontorejo, Gatutkoco, Pancowolo dan Abimanyu, berdiri di belakangnya.
Gimana Pakde Karno, kok sampeyan sendiri yang datang, apa boleh kami ini duduk di Singgasana tahta Raja Astina, cuman sebentar kok? tanya Ontoseno langsung.
Adipati Karno tersenyum dan memahami maksud Ontoseno sesungguhnya. Sebetulnya beliau sangat bahagia dengan keponakan-keponakan Pandawa ini. Namun lantaran terikat sumpah dan janji terhadap Raja Duryudana yang mengharuskan beliau wajib berpura-pura kejam terhadap pihak Pandawa, ia tetap saja memasang muka masam.
Gini lho cah indah, aku di utus Prabu Duryudana, Pakde mu, supaya untuk kasus itu dirembug sama-sama dengan para sesepuh Pandawa. Jadi usahakan kalian pergi saja dulu, untuk minta ijin bapakmu semua para Pandawa, kilah Adipati Karno.
Sementara dibelakang Adipati Karno, barisan Kurawa yang dipimpin Dursasana dan Aswatama sudah nggak tabah untuk mites para putra Pandawa.
Ontoseno akhirnya maklum, sambungnya, Wong cuman nyoba duduk saja kok, nggak boleh, kok malah suruh pergi saja dan minta ijin segala. Aku ndak mau, aku mau ketemu sendiri sama Pakde Duryudana, tadi pungkasnya boleh kok.
Dursasana sudah nggak tabah, makanya beliau langsung ke depan dan berkata, Le, bocah indah, kursi raja itu bukan untuk dolanan dakon. Jadi ndak bisa buat sumber-asalan.
Jawab Ontoseno, Justru itu, Paklek, aku sudah memenuhi prosedur lengkap, dan minta ijin langsung ke Pakde Duryudana. Dan bukan untuk main-main kok, untuk mencari memahami siapa yang kuat untuk duduk di dampar kursi raja di antara kami ini.
Dursasana mau ngomong lagi, namun keburu di timpali oleh Aswatama dengan istilah-istilah dan tindakan. Kalau nggak nurut, nih rasakan! Sambil ditendangnya Ontoseno.
Akhirnya terjadilah perang tanding yang nir seimbang. Apalagi Kurawa mainnya keroyokan. Namun lantaran masih dilindungi oleh Tuhan dunia wayang, usang-kelamaan pihak Pandawa bisa mengalahkan utusan Duryudana. Para Kurawa lari tunggang langkang, tinggal gelanggang colong playu.
Ontoseno dan para sepupunya, kemudian masuk mencari raja Duryudana. Namun ternyata nir dijumpainya. Sepertinya sudah ada bocoran kekalahan para Kurawa ke pihak raja Duryudana. Untungnya mereka ketemu Patih Sengkuni yang belum sempat lari lantaran lagi ngemasin kotaknya yang berisi uang akibat upeti dan korupsi yang akan di bawanya lari maupun.
Wah kebetulan nih, ada Eyang Patih Sengkuni, jadi bisa ada penunjuk jalan. Ayo siapa yang kuat duduk di kursi raja, berarti dialah yang berhak jadi raja, istilah Ontoseno.
Satu persatu para putra Pandawa mencoba termasuk Ontoseno sendiri. Ternyata ada yang jatuh setelah duduk, malah ada yang terlempar jua. Hanya Abimanyu yang kuat dan bertahan usang duduk di dampar tahta singgasana raja.
Oo, jadi dimas Abimanyu dan keturunannya yang kuat jadi raja kelak. Yo wis kita ndak boleh rebutan dan iri hati. Lha sementara ini kan raja Astina pergi, daripada kosong atau komplang usahakan dimas Abimanyu sementara tetap jadi raja. Apalagi ada Eyang Sengkuni, jadi bisa diajarin. Tapi awas, jika eyang Sengkuni macem-macem tidak kirim ke Nusakambangan lho!
Demikianlah berdasarkan semula cuman iseng-iseng dan nyoba untuk duduk di dampar raja, malah keblabasan untuk jadi raja sementara, sembari nunggu kepulangan raja Duryudana. Tidak ada niatan para putra Pandawa untuk menduduki tahta Astina selamanya. Untuk tetap mengamankan Astina, raja Abimanyu menjalankan pemerintahannya dengan lebih bijaksana, lantaran Eyang Sengkuni pun ndak berani macem-macem, takut di kirim ke Nusakambangan oleh Ontoseno.
Syahdan Para Pandawa kedatangan Prabu Duryudana bareng para Kurawa untuk meminta suaka politik dan minta kontribusi. Kebetulan jua di situ hadir penasehat Pandawa yaitu Prabu Sri Kresna.
Waduh, Dek Yudistira, siapa lagi yang hendak aku mintai tolong, jika nggak saudara sendiri ya para Pandawa. Apalagi ini ulah Ontoseno sak kadang sudah keblabasen kayak teroris aja, istilah Duryudana sembari menambah-nambahin ceritanya terhadap kelakuan para putra Pandawa.
Bagaimana ini Kang Prabu Kresna, insiden ini sangat memalukan. Saya malu anak aku Pancowolo, kok ya ikut-ikutan, Prabu Puntadewa menyesal maupun mendengar keterlibatan anaknya.
Akhirnya para Pandawa mempersilahkan para Kurawa untuk tinggal di Indrapasta menjadi tamu kerajaan. Mereka diminta menunggu keterangan dan para Pandawa beserta Prabu Kresna berangkat langsung ke Astina.
Sesampainya di Astina, para Pandawa terharu maupun terhadap kenekatan para putranya. Mereka disambut sendiri oleh Abimanyu dan Ontoseno dan putra Pandawa lainnya.
Ontosena berkata, Kami ini niatnya nggak kudeta lho Pak de, Wong mau nguji siapa sih di antara kami yang kelak kuat jadi pewaris tahta raja. Dan ternyata putra Paklek Arjuna, dimas Abimanyu yang kuat. Nah kebetulan Pakde-pakde Kurawa kepada pergi, ya sekalian kita amanken kerajaan Astina.
Prabu Kresna yang menjawab, Ngono-yo ngono, ning mbok yaho kita ini di ajak rembugan. Yo wes sekarang sudah puas semua to kalian. Ayo kepada pergi dan minta maaf sama Pakde mu Duryudana sana.
Demikianlah, akhirnya para putra Pandawa bisa bahagia lantaran memahami siapa kelak yang kuat jadi raja. Sehingga mereka nir perlu iri hati, toh masih banyak jabatan di luar raja yang sanggup di embannya, yang krusial merupakan membawa kerajaan Astina yang tho tho thi thi tenteram kertho raharjo gemah ripah loh jinawi. Nuwun