Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Pernah satu ketika dalam bepergian asal Rembang menuju Bandung sang seseorang sahabat seperjalanan, ucapnya dia gundah. Antara percaya serta nir percaya tapi leih dekat memakai nir percayanya. Kurang lebihnya pertanyaannya misalnya ini, Apakah, hantu, genderuwo, memedi, kuntilanak itu ada atau hanya imbas imbas asal ketakutan kita sendiri?
Menjawab ada contohnya, kita dihadapkan pada realitasnya kita sulit untuk membuktikannya. Menjawab nir ada yang namanya hatu maupun kita dihadapkan pada satu keraguan, terlebih kita pernah melihat kenyataan penampakan tersebut, entah sengaja atau nir. Sederhanaya, andai saja menganggap bahwasanya hantu nir ada, kenapa sebagian akbar kita takut akan gelap. Terlebih pada satu tempat yang baru.
Masih tentang bepergian, andai saja sampeyan kebetulan orang Banjar atau Ciamis aku konfiden sampeyan tahu tempat Pamarican. Salah satu kota kecamatan di Ciamis akan tetapi aksesnya lebih dekat memakai kota Banjar yang hanya 15 kilometer. Namun jangan salah, 15 kilometer disini jalannya gelap serta berliku di tengah himpitan bukit-bukit perkebunan karet yang berjejer di kanan kirinya.
Rumah-rumah penduduk pun relatif masih jarang serta antara satu kampung memakai kampung lainnya saling berjauhan. Belum lagi beragam mitos mistis yang beredar di masyarakat, disertai memakai banyaknya kasus penghilangan nyawa yang dilakukan para perampok, mungkin menjadi alasan tersendiri bagi para pekerja sopir angkot untuk nir berani melakukan jalan di malam hari.
Satu ketika, bulan Desember 2015 tahun yang kemudian setelah beberapa hari di Pamarican aku dikejutkan sang sang telepon asal adik aku yang mengabarkan bahwa ummi koma lagi setelah beberapa hari sadar yang di satu dari rumah sakit di Surabaya. Setelah ngabari seseorang kolega dekat di Jogja untuk mencarikan tiket ke Surabaya pada penerbangan pertama, sayangnya sheet penuh ketika itu adanya pada pukul 9 pagi. Kemudian aku putuskan untuk istirahat serta pukul 01 dini hari baru berangkat ke Jogja memakai anggapan selambat-lambatnya pukul 07 pagi sudah hingga rumah.
Resiko, sebab zenit-puncaknya malam nir satupun aku berpapasan memakai tunggangan satupun. Mau kencengpun maupun percuma, jalanan banyak berlobang disana-sini, terlebih di depan SMU Pamarican serta menjelang masuk desa Binangun. Dari sinilah inti cerita ini dimulai, serta satu dari yang mengganggu merupakan perasaan selamat datang pada sesuatu yang mendera. Kepekaan yang tidak jarang aku alami, meski ini bukan yang pertama kalinya. Bika sudah misalnya ini, aku sudah hafal sahih. Sesuatu mulai mengikuti bahkan sudah berada di dalam tunggangan beroda empat. Beberapa makhluk tidak kasat mata, aku merasakan hal itu. Pembawaan alamiah sejak mini ketika ada kehadiran makhluk lain disekitarkau.
Kian lama, bawaan tunggangan beroda empat semakin berat, entah berapa ekor yang ikut menumpang di mobilku. Untungnya, pengalaman merupakan guru yang baik. Meski mereka nir atau belum menampakkan diri aku sapa mereka jangan terlalu banyak yang ikut numpang, tunggangan beroda empat aku berat bawanya. Untuk memecah kesunyian serta puter lagu sekenanya, serta konyolnya lagu yang aku puter lagu langgam Jawa, lingsir wengi. Meski demikian aku nir berusaha untuk melewatkan lagu tersebut serta mengarah lagu yang lain.
Hingga pada satu turunan yang kanan kirinya kebun karet serta jalannya rusak parah, di kembalikaca selintas aku lihat wanita berdiri serta melambaikan tangannya padaku! Kuntilanak, tampaknya bukan, yang sudah-sudah penampilan kuntilanak bukan misalnya itu. Wanita ini berkebaya selayaknya wanita Sunda tempo dulu pada jaman kolonial Belanda.
Sejurus memakai itulah, aku merasa dituntun untuk masuk pada suatu tempat yang asing. Perasaanku sepersekian detik sempat blank, sahih-sahih kosong. Saya berusaha mempertahankan kesadaranku, tampaknya terlambat. Saya nir tahu aku berada di mana, meski masih dalam mengendarai tunggangan? Tempat yang asing, bukan jalan Pamarican-Banjar yang aku akrabi selama ini.
Pikiran aku nyaris sepenuhnya dibawa masuk ke halusinasi, suasana ketika itu terasa sebagai ruang yang sangat aneh antara bumi serta suatu tempat layaknya sebuah hunian yang penuh loji-loji Belanda. Saya merasa di suatu mayapada yang hampa, sahih-sahih hampa, misalnya melintasi sebuah hunian yang ramai pada siang hari pada jaman tempo dulu. Saya berusaha untuk tetap sadar, tangan kiriku memengang tuas persenleng sedang tangan kanan megang stir. Hingga aku sadar sepenuhnya ketika tunggangan beroda empat bergetar hebat sebab melintasi lobang yang tampaknya nir mengecewakan dalam.
Tapi syukurlah, ketika itu jalan masih jelas terbentuk jalan meski beberapa detik menghilang sekejap serta berganti pada suasana terang atau remang senja lebih tepatnya. Sadar-sadar aku sudah hingga di pertigaan jalan utama Banjar-Pangandaran deket memakai jembatan di atas rel kereta api itu. Kejadian misalnya ini merupakan ulangan peristiwa yang pertama beberapa tahun sebelumnya. Akhir kata, sekian dulu tulisan kali ini serta hingga jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.