web analytics
Kisah Misteri dalam Situs Panjer Tempat Moksanya Gajah Mada dalam Kebumen - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Pada Jelajah kali ini saya akan ajak kisanak untuk singgah ke Kebumen. Lha memange ono opo pada Kebumen? Pokoke apik wes. Kebetulan 3 hari yang kemudian saya sempat menyinggahinya sepulang nganter kerangka kubah pada Majenang, Cilacap.

Semua berawal dari mahasiswa yang pernah bekerja paruh waktu pada bengkel saya, kebetulan dia ini berasal dari Kebumen. Nah, pada suatu waktu dia cerita tentang rahasia pada satu bangunan tua bekas pabrik. Kalau tidak galat Sari Nabati nama pabrik tersebut. Jika galat mohon pada koreksi.

Patokannya, pokoknya deket dengan stasiun Kebumen, pada utaranya persis. Awalnya saya kebingungan, lokasinya yang mana soalnya pada sana banyak gedung-gedung tua yang tak terurus. Arealnya sangat luas & sebagian besar kondisinya sangat memprihatinkan & dibiarkan mangkrak, beberapa gedung telah hancur & tak beratap serta tumbuh rumput yang sangat rimbun setinggi setengahnya dari gedung tersebut.

Menurut beberapa gosip yang saya peroleh, gedung tua ini adalah milik Perusahaan Daerah Jawa Tengah & masih dijaga oleh beberapa karyawan saja. Pabrik minyak kelapa tersebut berhenti beroperasi sekitar tahun 1986 & gedung yang masih ada & layak pakai seperti rumah dinas disewakan kepada masyarakat yang memerlukannya. Sebagian gedung yang lain dialihfungsikan menjadi tempat lapangan bulutangkis & disewakan kepada beberapa perkumpulan atau klub bulutangkis yang ada pada Kebumen. Nah, gedung yang dipakai untuk latihan bulu tangkis inilah lokasi yang menyimpan banyak rahasia.

Menjelang maghrib saya tiba pada lokasi tersebut. Masih banyak anak-anak & orang tua yang menunggui latihan. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kepada pengurusnya, sampai kami (saya dengan teman) disarankan untuk menunggu bubaran latihan yang sekitar pukul 19.00 malam. Sambil menunggu, kami sempat diantar ke lokasi yang penuh rahasia tersebut. Saya sempat kaget, lha wong tempatnya ternyata tumpukan kursi-kursi. Tapi memang benar, meski riuh, nuansa mistis sangat terasa.

Lantas, apa misterisnya? Sik toh, sabar disik. Tulisan ini panjang anak muda, alangkah baiknya andai saja belum ada kopi, hambok bikin dulu.

Sembari nunggu bubaran tadi, entah berapa batang udut habis dalam obrolan yang langsung mencair tersebut. Tenyata, tumpukan kursi-kursi rongsong yang sarat rahasia tersebut adalah petilasan moksanya Gajah Mada. Makdeg! Informasi ini baru saya dengar. Sayangnya, bapak yang keseharian menjaga & merawat gedung ini tidak banyak memberi gosip. Oh ya kisanak, hampir lupa, lokasi ini tepatnya ada pada Kelurahan Pajer, Kecamatan Kebumen, Kab. Kebumen, Jawa Tengah.

Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hanya menyisakan kami & dua orang yang mejaga gedung tersebut. Beberapa lampu pada matikan. Obrolan makin gayeng sesudah galat satu dari penjaga membawa kopi yang dibeli pada depan.

Nah, berbarengan dengan kedatangan kopi itulah kami pada kejutkan oleh suara Gong yang menggema. Tak ayal insiden tersebut membuat kami kaget. Tapi tidak dengan dua penjaga tersebut. Sepertinya mereka telah terbiasa dengan suara tersebut. Kami (saya & teman) saling berpandangan. Hal ini berbeda dengan cerita mahasiswa yang membuat saya penasaran & menyempatkan ke tempat ini. Ceritanya, pada tempat ini banyak penampakan. Bahkan pada siang bolong.

Belum sempat saya menanyakan lebih jauh tentang suara gong misterus tersebut pada penjaga gedung ini, terdengar kembali suara gong yang dibersamai dengan lampu yang berkedip. Dua kali malah. Ternyata, suara tersebut berasal dari tumpukan kursi-kursi rongsok yang sempat kami lihat sebelumnya. Dari tempat kami ngobrol, hanya beberapa meter. Istimewa!

Meski sampai kami berpamitan untuk beranjak dari tempat tersebut untuk melanjutkan perjalanan pulang kami tidak mendapati penampakan. Tapi insiden tadi, meski hanya suara bunyi gong relatif sebagai oleh-oleh yang berarti. Dan yang tak kalah berharganya adalah gosip bahwa suara gong misterius itu berasal dari satu situs yang diyakini sebagai tempat moksanya Gajah Mada yang berasal-usulnya yang misterius itu.

Penasaran? Ngomong-ngomong kopinya telah ada belum, kan tadi wes tak bilang kalau tulisan ini panjang. Owalah wes sejak tadi toh. Baik mari kita membincangnya kisanak. Tulisan yang kisanak baca sesudah paragraf ini adalah rangkaian tulisan dari berbagai sumber. Namun yang lebih menonjol adalah sumber tulisan dari sdr Ravie Ananda yang tentu saja saya edit ulang gaya bahasanya tanpa mengurangi esensi tulisan.

Merujuk dari literasi dari sdr. Ravie & misal gosip ini benar adanya, relatif disayangkan andai saja petilasan tersebut hanya menjadi tempat tumpukan kursi-kursi bekas. Panjer, kini hanya memang sebuah wilayah sekelas kelurahan/desa. Tapi siapa sangka, ternyata desa ini menyimpan sejarah panjang pergulatan sejarah pada negeri ini.

Diyakini beberapa raja & tokoh besar nusantara pun memakai tempat ini sebagai pengungsian, penyepian, basis pertahanan militer bahkan pamoksan mereka, konon Gajah Mada moksa pada tempat ini.

Di perkerisan ini, ada beberapa tulisan tentang Gajah Mada, termasuk teranyar tulisan yang sampeyan baca ini. Dan memang, tokoh yang diyakini sebagai pemersatu Nusatara yang pada temuan terakhir sampai Autralia ini menyimpan sejuta rahasia, baik kelahiran ataupun kematiannya.

Belakangan banyak bermunculan klaim terhadap lokasi kelahiran dari Gajah Mada, akan tetapi mengenai Pamokshannya (tempat bertapanya sampai hilang dengan raganya seperti tradisi tokoh- tokoh besar Jawa jaman dahulu ) tidak pernah atau belum diketahui sampai kini.

Meski terkini, tepatnya pada Wakatobi, Sulawesi Tenggara mengklaim sebagai tempat lahir sekaligus tempat moksanya Gajah Mada, selengkapnya kisanak bisa baca Asal-Usul Gajah Mada versi Wakatobi namun pada Panjer ini ternyata sejak Mataram Islam telah lebih dulu diyakini sebagai moksanya Gajah Mada. Selain pada atas juga ada klaim Benarkah Gajah Mada Berasal dari Modo, Lamongan?

Situs tersebut kemudian dihilangkan bersama kompleks makam kuno yang ada pada sana oleh Belanda dengan mengubahnya menjadi pabrik minyak kelapa Sari Nabati. Hal ini senasib dengan situs kerajaan Kediri yang kemudian diubah Belanda menjadi pabrik gula Mamenang Kediri.

Ada satu tempat lagi yang diyakini sebagai tempat moksanya Gajah Mada selain pada atas, yakni pada air terjun Madakaripura. Klaim ini berdasar pada pemahaman terhadap Gajah Mada yang dipersamakan dengan Patih Tunggul Manik (patih Majapahit sebelum Gajah Mada).

Panjer Era Mataram Islam
Mataram Islam adalah Kerajaan Mataram periode ke dua yang pada mulanya merupakan sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Alas Mentaok, wujud pemberian  dari Hadiwijaya, Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan atas jasanya dalam membunuh Arya Penangsang yang merupakan saingan besar Hadiwijaya dalam perebutan tahta Demak. Selengkapnya tentang sejarah ini bisa kisanak baca Dibalik Mitos Kutukan Aryo Penangsang & Aryo Penangsang : Ksatria yang Di Hitamkan Sejarah

Ki Ageng Pemanahan kemudian membabat hutan lebat tersebut & menjadikannya sebuah desa yang diberinya nama Mataram. Alas Mentaok itu sendiri sebenarnya adalah bekas kerajaan Mataram Kuno yang runtuh sekitar tahun 929 yang kemudian tidak terurus & akhirnya dipenuhi oleh pepohonan lebat sampai menjadi sebuah hutan.

Alas Mentaok mulai dibabat oleh Pemanahan & Juru Martani sekitar tahun 1556. Pemanahan memimpin desa Mataram sampai Ia wafat pada tahun 1584 & dimakamkan pada Kotagede. Sepeninggal Pemanahan, sebagai pengganti dipilihlah putranya yang bernama Sutawijaya atau Panembahan Senopati (raja Mataram Islam pertama, dimakamkan pada Kotagede). Sejarah lengkapnya tentang babat alas Mentaok ini bisa sampeyan baca lebih jauh pada Ki Ageng Pemanahan : Perjanjian Belum Selesai?

Panembahan Senopati memerintah tahun 1587 1601. Ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Jolang yang kemudian bergegelar Sultan Agung Hanyakrawati (wafat tahun 1613 dimakamkan pada Kotagede). Sultan Agung Hanyakrawati digantikan putranya yang bernama Raden Mas Rangsang yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma (memerintah tahun 1613 1646 ). Sultan Agung Hanyakrakusuma digantikan oleh Putranya yang bernama Sultan Amangkurat Agung (Amangkurat I memerintah pada tahun 1646 1677).

Baca juga, Intrik Wangsa Mataram : Ketika Dendam Sultan Agung Berujung Penaklukan Giri Kedaton
Dalam Kidung Kejayaan Mataram Bait 04 (terjemahan Bahasa Indonesia) disebutkan secara tersirat mengenai keberadaan Panjer.

Demikianlah maka pada suatu hari yang penuh berkat berangkatlah rombongan Ki Gedhe ke Alas Mataram, pada situ ada pada antaranya: Nyi Ageng Ngenis, Nyi Gedhe Pemanahan, Ki Juru Mertani, Sutawijaya, Putri Kalinyamat, & pengikut dari Sesela.
Ketika itu adalah hari Kamis Pon, tanggal Tiga Rabiulakir, yaitu pada tahun Jemawal yang penuh mengandung makna. Setibanya pada Pengging rombongan berhenti selama dua minggu. Sementara Ki Gedhe bertirakat pada makam Ki Ageng Pengging.
Lalu meneruskan perjalanan sampai ke tepi sungai Opak. Dimana rombongan dijamu oleh Ki Gedhe Karang Lo. Setelah itu berjalan lagi demi memenuhi panggilan takdir, sampai tiba pada suatu tempat, pada sana mendirikan Kota Gedhe

Ki Gede Karang Lo yang dimaksud dalam bait pada atas adalah pemimpin daerah Karang Lo (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Karanggayam). Ini artinya sebelum berdirinya kerajaan Mataram Islam pun, Karang Lo yang dahulunya merupakan bagian wilayah dari Kadipaten Panjer telah dikenal & diperhitungkan dalam ranah pemerintahan kerajaan pada waktu itu (Demak & Pajang).

Dalam sitem pemerintahan Mataram telah mengenal sistem pembagian wilayah sesuai jauh-dekat & tinggi-rendahnya suatu tempat, sehingga pada saat itu mulai berlaku terapan mengenai pembagian wilayah kerajaan yakni:

Negara Agung
Kuta Negara
Manca Negara
Daerah Brang / Sabrang Wetan
Daerah Brang / Sabrang Kulon

Masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah masa keemasan Mataram. Ia memerintah dengan bijaksana, adil & penuh wibawa, sehingga rakyat pada masa itu merasakan ketentraman & kemakmuran. Menurut catatan perjalanan Rijklof Van Goens (Ia mengunjungi Mataram lima kali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma) disebutkan bahwa:

Mataram pada bawah Sultan Agung bagaikan sebuah Imperium Jawa yang besar dengan rajanya yang berwibawa. Istana kerajaan yang besar dijaga prajurit yang bertenaga, kereta telah ramai, rumah penduduk jumlahnya banyak & teratur rapi, pasarnya hidup, penduduknya hidup makmur & tenteram. Kraton juga punya penjara, tempat orang-orang dursila pelanggar hukum & tawanan untuk orang Belanda yang kalah perang pada Jepara. Pada masa Sultan Agung inilah dikenal secara resmi adanya sebuah daerah lumbung pangan (padi) pada Panjer dengan bupatinya bernama Ki Suwarno.

Panjer termasuk dalam katagori daerah Mancanegara Bang / Brang / Sabrang Kulon. Jauh sebelum nama Kebumen itu ada, tepatnya pada daerah Karang Lo / wilayah Panjer Gunung (kini masuk dalam wilayah kecamatan Karanggayam), telah terdapat penguasa kademangan pada bawah Mataram (masa pemerintahan Panembahan Senopati sekitar tahun 1587). Di daerah tersebut, cucu Panembahan Senopati yang bernama Ki Maduseno (putra dari Ratu Pembayun galat satu putri Panembahan Senopati dengan Ki Ageng Mangir VI) dibesarkan. Selengkapnya tentang Pembayun & Mangir bisa sampeyan baca pada Sejarah Ki Ageng Mangir : Antara Cinta & Kehormatan & Pro Kontra Sejarah Ki Ageng Mangir

Ki Maduseno menikah dengan Dewi Majati & kemudian berputra Ki Bagus Badranala (Bodronolo, makam pada desa Karangkembang; dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung). Ki Badranala adalah murid Sunan Geseng dari Gunung Geyong (Sadang Kebumen). Ia mempunyai kiprah yang besar dalam membantu perjuangan Mataram melawan Batavia pada masa pemerintahan Sultan Agung. Ki Badranala yang mempunyai jiwa nasionalis tinggi, membantu Sultan Agung dengan menyediakan lokasi untuk lumbung & persediaan pangan dengan cara membelinya dari rakyat desa. Baca juga Legenda Sunan Geseng & Jati Kluwih & Riwayat Hidup Sunan Geseng atau Ki Cokrojoyo

Pada tahun 1627 M prajurit Mataram pada bawah pimpinan Ki Suwarno mencari daerah lumbung padi untuk kepentingan logistik. Pasukan Mataram berdatangan ke lumbung padi milik Ki Badranala & selanjutnya daerah tersebut secara resmi dijadikan Kabupaten Panjer pada bawah kekuasaan Mataram. Sebagai Bupati Panjer, diangkatlah Ki Suwarno, dimana tugasnya mengurusi semua kepentingan logistik bagi prajurit Mataram. Karier militer Ki Badranala sendiri dimulai dengan menjadi prajurit pengawal pangan & selanjutnya dia diangkat menjadi Senopati dalam penyerangan ke Batavia.

Sejarah nasional menyebutkan bahwa kekalahan Sultan Agung disebabkan oleh dibakarnya lumbung-lumbung padi Mataram oleh Belanda, dimana lumbung terbesar pada saat itu adalah lumbung yang berada pada Panjer (lokasi tersebut berada pada dalam kompleks daerah yang kini menjadi Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati yang mempunyai luas sekitar 4 Ha).

Peristiwa ini terjadi pada penyerangan Mataram yang ke 3 & sekaligus menjadi peperangan terakhir Sultan Agung. Ia wafat pada awal tahun 1645 & dimakamkan pada Imogiri. Selanjutnya, pada masa Sultan Amangkurat I, Panjer berubah menjadi sebuah desa yang tidak sesibuk waktu masih dijadikan pusat lumbung padi Mataram pada masa Sultan Agung. Pada sejarah penyerbuan Sultan Agung ke Batavia ini kemudian menyisakan sejarah terbunuhnya JP Coen, gubernur jenderal VOC yang dibunuh oleh anak keturunan Pembayun & Mangir. Selengkapnya bisa kisanak baca lebih lanjut pada Raden Ayu Utari Sandi : Sang Martir dari Wangsa Dinasti Mataram

Pembagian Wilayah Panjer
Panjer masa kemudian dibagi dalam dua wilayah yaitu Panjer Roma (Panjer Lembah) & Panjer Gunung. Ki Badranala diangkat menjadi Ki Gedhe Panjer Roma I atas jasanya menangkal serangan Belanda yang mendarat pada pantai Petanahan. Putra tertua Ki Badranala yang bernama Ki Kertasuta bertugas sebagai Demang pada wilayah Panjer Gunung, sedangkan adiknya yang bernama Ki Hastrasuta membantu ayahnya (Ki Badranala) pada Panjer Roma.

Ki Kertasuta kemudian diangkat menjadi Patih Bupati Panjer, Ki Suwarno. Ia dinikahkan dengan adik ipar Ki Suwarno & berputra Ki Kertadipa. Ki Badranala menyerahkan jabatan Ki Gedhe Panjer Roma kepada anaknya (Ki Hastrasuta) yang kemudian bergelar Ki Gedhe Panjer Roma II. Panjer Roma II inilah yang kemudian berjasa membagikan tanah kepada Pangeran Bumidirja / Ki Bumi (paman Amangkurat I yang mengungsi ke Panjer alasannya adalah tidak sepaham dengan Amangkurat I). Tanah tersebut terletak pada sebelah Timur Sungai Luk Ula dengan panjang lebih kurang 3 Pal ke arah Selatan & lebar 1/2 Pal ke arah Timur. Selengkapnya tentang Amangkurat monggo kalau berkenan untuk membacanya pada Amangkurat I : Sang Diktator dari Tanah Jawa

Pangeran Bumidirja kemudian membuka tanah (trukah) pemberian  yang masih berupa hutan tersebut & menjadikannya desa. Desa inilah yang kemudian bernama Trukahan (berasal dari kata dasar Trukah yang berarti memulai). Seiring berjalannya waktu nama desa Trukahan kini hanya menjadi nama padukuhan saja (sekarang masuk dalam wilayah kelurahan Kebumen). Riwayat desa Trukahan yang kemudian berubah menjadi Kelurahan Kebumen pun kini nyaris hilang, meskipun Balai Desa / Kelurahan Kebumen sampai kini berada pada daerah tersebut.

Berikut dibawah ini adalah kutipan dari Babad Kebumen yang menyebutkan;

Kanjeng Pangeran Bumidirdja murinani sanget sedanipun Pangeran Pekik, sirna kasabaranipun nggalih, punapadene mboten kekilapan bilih Negari Mataram badhe kadhatengan bebendu. Puntonipun nggalih, Kanjeng Pangeran Bumidirdja sumedya lolos saking praja sarta nglugas raga nilar kaluhuran, kawibawan tuwin kamulyan.

Tindakipun Sang Pangeran sekaliyan garwa, kaderekaken abdi tetiga ingkang kinasih. Gancaring cariyos tindakipun wau sampun dumugi tanah Panjer ing sacelaking lepen Luk Ula. Ing ngriku pasitenipun sae lan waradin, toyanipun tumumpang nanging taksih wujud wana tarabatan.

Wana tarabatan sacelaking lepen Luk Ula wau lajeng kabukak kadadosaken pasabinan lan pategilan sarta pakawisan ingkang badhe dipun degi padaleman..

Kanjeng Pangeran Bumidirdja lajeng dhedhepok wonten ing ngriku sarta karsa mbucal asma lan sesebutanipun, lajeng gantos nama Kyai Bumi..

Sarehning ingkang cikal bakal ing ngriku nama Kyai Bumi, mila ing ngriku lajeng kanamakaken dhusun Kabumen, lami-lami mingsed mungel Kebumen.

Dhusun Kebumen tutrukanipun Kyai Bumi wau ujuripun mangidul urut sapinggiring lepen Luk Ula udakawis sampun wonten 3 pal, dene alangipun mangetan udakawis wonten 1/2 pal.

Dalam Babad Kebumen memang tidak terdapat cerita mengenai desa Trukahan, akan tetapi andai saja dilihat dari segi Logika Historis yang dimaksud dengan Desa / Dhusun Kabumian adalah Trukahan. Hal ini dapat ditelusuri sesuai Logika Historis antara lain sebagai berikut:

Pertama, wilayah & nama Trukahan sejak pra kemerdekaan sampai kini masih tetap ada, dimana Balai Desa / Kelurahan Kebumen & Kecamatan Kebumen berada dalam wilayah tersebut (sedangkan Pendopo Kabupaten masuk dalam wilayah Kutosari).

Kedua, Makam / Petilasan Ki Singa Patra yang sebetulnya merupakan Pamokshan, sebagai situs yang sampai kini masih terawat & diziarahi baik oleh warga setempat maupun dari luar Kebumen (meskipun belum diperhatikan oleh pemerintah baik Kelurahan maupun Kabupaten) adalah makam tertua yang ada pada kompleks pemakaman Desa Kebumen.

Singa Patra adalah sosok tokoh yang nyaris hilang riwayatnya, meskipun namanya jauh lebih dikenal oleh warga Kelurahan Kebumen sejak jaman dahulu kala & diyakini sebagai tokoh yang menjadi cikal bakal Desa Trukahan masa lampau (bukan Ki Bumi). Tokoh ini hidup lebih awal dibandingkan masa kedatangan Badranala, alasannya adalah Badranala yang hidup pada masa Sultan Agung adalah pendatang pada desa Panjer (Lembah / Roma).

Badranala sendiri berasal dari daerah Karang Lo (yang dahulu masuk dalam wilayah Panjer Gunung). Sebagai seorang pendatang yang kemudian berdiam pada Panjer Roma, Badranala memperistri Endang Patra Sari. Endang adalah sebutan kehormatan bagi perempuan bangsawan. Hal ini bisa kita lihat pada situs pemakaman Ki Badranala pada desa Karangkembang dimana terdapat beberapa makam yang memakai Klan / Marga Patra, dimulai dari istri Badranala sendiri, sampai beberapa keturunannya.

Tiga, hilangnya babad Trukahan & riwayat Ki Singa Patra dimungkinkan adanya kepentingan politik penguasa waktu itu. Terlebih riwayat Babad Kebumen baru diterbitkan pada tahun 1953 pada Praja Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat oleh R. Soemodidjojo (KP. Harya Cakraningrat / Kanjeng Raden Harya Hadipati Danureja ingkang kaping VI, Pepatih Dalem ing Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat), yang notabene bukan warga orisinal bahkan mungkin tidak pernah sama sekali tinggal pada Panjer ataupun Trukahan / Kebumen. Dengan kata lain, warga Kelurahan Kebumen baru mengenal sosok Bumidirdja semenjak diterbitkannya riwayat Babad Kebumen yang kini lebih populer sesudah adanya media Internet.

Empat, kurun waktu Mataram Sultan Agung jelas lebih tua daripada Bumidirja. Sedangkan Ki Badranala yang kemudian bermukim pada Panjer saat itu telah memperistri perempuan dari Klan Patra.

Lima, menurut Sejarah Kebumen dalam Kerangka Sejarah Nasional yang ditulis oleh Dadiyono Yudoprayitno (mantan bupati Kebumen) disebutkan bahwa Pangeran Bumidirdja membuka tanah hasil pemberian Ki Gedhe Panjer Roma II / Ki Hastrosuto anak Ki Badranala). Riwayat ini pun tidak disebutkan dalam Babad Kebumen.

Riwayat yang lebih terkenal sampai saat ini adalah riwayat yang ditulis oleh R. Soemodidjojo yang notabene bukan warga orisinal & bahkan mungkin belum pernah tinggal pada Kebumen, dimana diceritakan bahwa Kebumen berasal dari kata Ki Bumi yang merupakan nama samaran dari Pangeran Bumidirja yang kemudian trukah pada tepi sungai Luk Ula, sehingga kemudian tempat tersebut dinamakan Kebumian.

Enam, Pasar Kebumen, pada awalnya berada pada wilayah Trukahan, tepatnya pada daerah yang kini menjadi tempat kerja Kecamatan Kebumen sampai kemudian pindah ke daerah yang kini menjadi pasar Tumenggungan. Maka daerah pada sekitar bekas pasar lama tersebut sampai sekarang masih bernama Pasar Pari & Pasar Rabuk, alasannya adalah memang lokasi pasar lama telah memakai sistem pengelompokan.

Tujuh, Adanya pendatang sesudah dibukanya tanah / trukah seperti yang disebutkan dalam Babad Kebumen yang kemudian bermukim, juga bisa diperkirakan mendiami daerah yang kini bernama Dukuh. Hal ini dimungkinkan dengan sebutan nama Dukuh yang telah ada sejak lama.

Asal Mula Nama Tumenggung Kalapaking
Datangnya Pangeran Bumidirdja pada Panjer, menimbulkan kekhawatiran Ki Gedhe Panjer Roma II & Tumenggung Wangsanegara Panjer Gunung alasannya adalah Pangeran Bumidirdja saat itu dinyatakan sebagai buronan Kerajaan. Akhirnya Ki Gedhe Panjer Roma II & Tumenggung Wangsanegara menetapkan untuk meninggalkan Panjer & tinggallah Ki Kertawangsa yang dipaksa untuk tetap tinggal & taat pada Mataram.

Ia (Ki Kertawangsa) diserahi dua kekuasaan Panjer & kemudian bergelar Ki Gedhe panjer Roma III. Dua Kekuasaan Panjer (Panjer Roma & Panjer Gunung) membuktikan bahwa Panjer saat itu sebagai sebuah wilayah berskala luas sehingga dikategorikan dalam daerah Mancanegara Brang Kulon.

Pada pertengahan tahun 1677 Trunojoyo berhasil menduduki istana Mataram pada Plered yang waktu itu diperintah oleh Amangkurat I. Sebelum Plered dikuasai oleh Trunojoyo, Amangkurat I & putranya yang bernama Raden Mas Rahmat berhasil melarikan diri ke arah barat. Dalam pelarian tersebut, Amangkurat I jatuh sakit. Ia kemudian singgah pada yang pada waktu itu diperintah oleh Ki Gedhe Panjer III. Baca juga Sejarah Lengkap Pemberontakan Trunojoyo & Trunojoyo : Sang Pembebas Madura yang Berakhir pada Ujung Keris Kyai Balabar

Amangkurat I diobati oleh Ki Gedhe Panjer III dengan air Kelapa Tua (Aking) alasannya adalah pada waktu itu sangat sulit mencari kelapa muda. Setelah diobati oleh Ki Gedhe Panjer III, kesehatan Amangkurat I berangsur membaik. Ia kemudian menganugerahi gelar kepada Ki Gedhe Panjer III dengan pangkat Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking I, sebagai jabatan Adipati Panjer I (1677-1710).

Tumenggung Kalapaking I digantikan oleh putranya & bergelar Tumenggung Kalapaking II (1710-1751), dilanjutkan oleh Tumenggung Kalapaking III (1751-1790) & Tumenggung Kalapaking IV (1790-1833). Setelah merasa pulih, Amangkurat I melanjutkan perjalannya menuju ke barat, akan tetapi sakitnya ternyata kambuh kembali & akhirnya dia wafat pada desa Wanayasa (Kabupaten Banyumas) tepatnya pada tanggal 13 Juli 1677.

Menurut Babad Tanah Jawi, kematian Amangurat I dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Raden Mas Rahmat (putranya sendiri yang menyertainya dalam pelarian). Sesuai dengan wasiatnya, dia kemudian dimakamkan pada daerah Tegal Arum (Tegal) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Tegal Wangi.

Sementara itu tampuk kepemimpinan Panjer periode Kolopaking hanya berlangsung sampai Kalapaking IV dikarenakan adanya suksesi pada Panjer pada waktu itu antara Kalapaking IV & Arungbinang IV yang berakhir dengan pembagian wilayah dimana Trah Kalapaking mendapat bagian pada Karanganyar & Banyumas, sedangkan Arungbinang tetap pada Panjer.

Suksesi inilah yang mengakibatkan kematian Kalapaking IV sesudah peristiwa penyerbuan Kotaraja Panjer oleh Belanda yang bekerjasama dengan Arungbinang IV alasannya adalah Kalapaking IV mendukung Pangeran Diponegoro yang sebelumnya sempat menyusun kekuatan pasukan pada daerah tersebut.

Sejak pemerintahan Arungbinang IV inilah Panjer Roma & Panjer Gunung digabung menjadi satu dengan nama Kebumen. Untuk memantapkan kedudukan sesudah kemenangannya atas peristiwa pembagian wilayah, Arungbinang IV mendirikan Pendopo Kabupaten baru yang kini menjadi Pendopo & Rumah Dinas Bupati Kebumen lengkap dengan alun-alunnya.

Adapun Pendopo Kabupaten lama / Kabupaten Panjer kemungkinan berada pada lokasi Pabrik Minyak Sari Nabati Panjer, dengan memperhatikan rapikan kota yang masih ada & luas wilayah Pabrik yang mencapai sekitar 4 Ha, serta adanya pohon-pohon beringin tua yang dalam sistem Macapat digunakan sebagai simbol suatu pusat pemerintahan kota jaman kerajaan.

Begitu juga dengan Tugu Lawet yang pada awalnya merupakan tempat berdirinya sebuah Pohon Beringin Kurung (yang kemudian ditebang & dijadikan Tugu Lawet), dimana pada sebelah utaranya adalah Kamar Bola (gedung olahraga, pertunjukan & dansa bagi orang Belanda) serta lokasi pasar Kebumen lama yang pada awalnya berada pada wilayah Trukahan.

Hal ini semakin menguatkan bahwa pusat pemerintahan Kabupaten Panjer / Kebumen tempo dulu adalah pada desa Panjer & Trukahan. Hal ini sesuai juga dengan kurun waktu berdirinya Masjid Agung Kauman Kebumen yang didirikan oleh KH. Imanadi pada masa pemerintahan Arungbinang IV (sesudah masa Diponegoro) yang membuktikan bahwa berdirinya Pendopo Kabupaten Kebumen & Masjid Agung Kauman pada wilayah Kutosari merupakan pindahan dari pusat kota lama pada Panjer.

Panjer dalam Kilasan Sejarah Perang Jawa (Diponegoro)
Pada tulisan sebelumnya, ada tulisan berseri tentang Perang Jawa yang kisanak tentunya juga tahu siapa yang mencetuskannya. Perang Jawa yang dicetuskan Diponegoro ini tidak kurang dari 6 judul tulisan. Selengkapnya bisa sampeyan baca pada Perang Jawa : Menempuh Jalan Takdir [1], Perang Jawa : Sejengkal Tanah & Kehormatan [2], Perang Jawa : Kehormatan, Darah, & Air Mata [3], Perang Jawa : Kisah Perselingkuhan Diponegoro [4], Perang Jawa : Diponegoro, Ratu Adil yang Kalah Perang [5], & Perang Jawa : Pecahnya Kongsi Dua Sekondan [6].

Pecahnya perang Diponegoro pada tanggal 20 juli 1825 meluas sampai ke wilayah Kedu, Bagelen, Banyumas, Tegal, & Pekalongan. Pada tanggal 21 Juli 1826 datanglah utusan Diponegoro ke Kotaraja Kabupaten Panjer (lokasi Kotaraja tersebut kini berada pada kompleks eks pabrik minyak kelapa Sari Nabati Panjer, sedangkan lokasi Kodim 0709 Kebumen dahulunya dinamakan Kebun Raja atau Taman Raja alasannya adalah disitulah taman/kebun Kabupaten Panjer berada). Utusan Diponogoro tersebut bernama senopati Sura Mataram & Ki Kertodrono (Adipati Sigaluh Karanggayam).

Kedatangan mereka pada Panjer Roma disambut oleh Tumenggung Kalapaking IV, Senopati Somawijaya & Banaspati Brata Jayamenggala (dihukum gantung oleh Belanda pada tengah alun-alun Kebumen alasannya adalah mendukung Diponegoro). Bersamaan dengan utusan tersebut, datang juga tamu dari Kradenan yaitu Ki Cakranegara. Mereka kemudian mengadakan perundingan dengan keputusan untuk membantu perjuangan Diponegoro yang sedang melawan Belanda. Adipati Panjer Roma (Kalapaking IV) bertugas menyediakan logistik pangan, & persenjataan untuk para prajurit Panjer Roma yang dipimpin oleh senopati Gamawijaya.

Pada tanggal 19 November 1826 terjadi perang besar pada Purworejo antara Belanda melawan Diponegoro yang pada saat itu dibantu oleh prajurit Banyumas. Dalam perang tersebut Diponegoro jatuh sakit sehingga pasukan Banyumas mundur & bersembunyi pada benteng Sokawarna. Diponegoro sendiri dikabarkan bersembunyi pada sebuah gua selama beberapa hari sampai pulih.

Setelah sembuh dari sakitnya, Diponegoro segera berangkat ke Kotaraja Panjer untuk menyusun strategi & kekuatan bersama Tumenggung Kalapaking IV. pada sana pulalah dia selama 3 hari bersemadhi pada kompleks makam kuno & Pamokshan Gajah Mada yang dari dahulu telah menjadi galat satu tempat semadi para tokoh-tokoh Mataram (Lokasi tempat pertemuan & peristirahatan sementara Pangeran Diponegoro itu kini menjadi taman kanak-kanak PMK Sari Nabati. Di tempat itu juga lah kuda tunggangannya beristirahat, sementara Diponegoro bersemadhi pada Pamokshan Gajah Mada yang kini terbengkalai, bahkan dijadikan gudang kursi-kursi rongsokan).

Keberadaan Diponegoro pada Kotaraja Panjer ternyata tercium juga oleh Belanda. Ia berhasil meloloskan diri dari Kotaraja Panjer sebelum daerah tersebut diserbu oleh Belanda yang bekerjasama dengan Adipati Arungbinang IV. Penyerbuan terhadap Kotaraja Panjer itu sendiri dilakukan secara besar-besaran dari 3 penjuru (dari arah timur, selatan, & barat) yang mengakibatkan tewasnya Tumenggung Kalapaking IV implikasi terluka relatif parah dalam pertempuran tersebut.

Seiring berjalannya waktu & berkuasanya Belanda pada Indonesia, Panjer juga tidak luput dari kekuasaan Belanda. Panjer tetap dijadikan basis pemerintahan oleh Pemerintah Belanda alasannya adalah lokasinya yang sangat strategis (meskipun sejarah masa kemudian itu telah hilang). Hal ini dapat kita lihat dari sisi genetik historisnya dimana Panjer sampai saat ini adalah suatu desa / kelurahan yang lengkap dengan fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh Belanda jauh sebelum kemerdekaan, seperti ;

Stasiun Kereta Api, Rumah Sakit (dahulu dikenal dengan nama Sendeng; berasal dari kata Zending yang berarti politik penyebaran agama Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara pertolongan kesehatan), Gedung Pertunjukan, Pertahanan Militer, Perumahan Belanda yang lebih dikenal dengan nama Kongsen (berasal dari kata Kongsi), Taman Kanak-Kanak yang dahulunya merupakan tempat pendidikan & bermain bagi anak-anak para Pejabat Belanda yang tinggal pada wilayah tersebut, serta Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati.

Akhirnya, tulisan panjang ini haruslah tetap ada ujungnya. Sampailah kita pada penghujung tulisan ini. Sebelumnya saya akan kutip terlebih dahulu ungkapan bijak, Bangsa Yang Besar adalah bangsa yang mengenal kepribadiannya serta selalu mengingat & menghargai jasa para pendahulunya dengan mengenal & menjaga sebaik mungkin sejarahnya, serta melestarikan budaya warisannya.

Ya, bangsa yang besar selalu menyimpan rahasia kejayaannya dalam pekuburan tulang naga (baca kebudayaan adalah kuburan rahasia kejayaan para leluhur). Meski kebenaran yang hakiki tidak akan pernah bisa dipastikan, menjaga sejarah, kesenian & budaya adalah wujud dari cinta tanah air & bangsa.

Seperti yang telah saya narasikan pada atas, Situs Panjer kuno yang senasib dengan situs kerajaan Kediri milik Prabu Jayabaya tersebut (kedua situs kerajaan tersebut dihapus jejaknya oleh VOC dengan diubah menjadi Pabrik : Pabrik Gula Mamenang untuk Situs Kediri & Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati untuk Situs Panjer) sangat memungkinkan untuk dikembangkan dengan menjadikan puing-puing Pabrik Sari Nabati menjadi tempat wisata sejarah & spiritual layaknya Benteng Vander Wijk Gombong. Sekian dulu kisanak, terima kasih telah membaca sampai akhir tulisan ini, terima kasih juga pada sdr. Ravie yang tulisannya menjadi sumber utama tulisan ini. maturnuwun & sampai jumpa pada tulisan selanjutnya.

Leave a Reply