web analytics
Kisah Haji Hasan Guru Ngaji si Pembawa Bedug dalam Ekspedisi Cheng Ho - DUNIA KERIS

Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Bedug, aku konfiden hampir seluruh kita memahami mengenai tetabuhan satu ini. Tapi aku rasa tidak seluruh memahami mengenai sejarah & berasal usul tambur besar yang sebagai penanda awal sebelum azan ini. Bahkan, dulu keberadaannya pun pernah diperdebatkan. Namun dalam kesempatan ini aku tidak hendak membincang mengenai perdebatan tersebut, ilmu aku tidak cukup buat membahas itu.

Membincang mengenai bedug, dari literasi yang sempat aku baca, nenek moyang kita sejatinya sudah mengenalnya semenjak jaman prasejarah, lebih tepatnya jaman logam. Ketika itu nenek moyang kita sudah mengenal yang namanya nekara & moko, keduanya didesain dari perunggu. Bentuk 2 tetabuhan ini mirip dandang. Nekara & moko ini banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, & Kepulauan Kei. Fungsinya buat program keagamaan, maskawin, & upacara minta hujan.

Sementara adanya bedug yang muncul di masjid-masjid mirip kini ini keberadaannya tak lepas dari budaya Tiongkok. Lebih tepatnya ketika Nusantara disinggahi Armada Tiongkok pada masa dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Mahmud Shamsuddin Cheng Ho. Maka tak mengherankan andai istilah kemudian bedug tersebut dikaitkan memakai jasa pembawanya, yakni Cheng Ho bagi umat Islam Nusantara diabad 15 Masehi.

Nah, pada tulisan Jejak Pecinan ini aku akan ajak kisanak buat menelisik lebih jauh tapak tilas kejadian tersebut. Tulisan ini lumayan panjang, alangkah baiknya sampeyan persiapkan dulu ubo rampenya, mirip kopi misalnya, atau teh barangkali, izin lebih gayeng. Tapi, suka-suka sampeyan saja, cuma virtual aku sampeyan menyelesaikan bacanya hingga istilah nuwun. Sebagai penanda selesainya tulisan ini.

Baik, kini kita mulai dari menyisir jejak sang laksamanana yang di yakini sebagai pembawa tambur besar ini. Cheng Ho atau Mahmud Sham ed-Din Cheng Ho ini kelahiran tahun 1371 di Kunming, Yunnan, wilayah barat daya Tiongkok. Embahnya (eyangnya), dari catatan Tartar adalah Sayyid Ejjal Shams ed-Din (1211 1279) adalah adalah ahlul bait dari keturunan keponakan yang sekaligus anak menantu Rasulullah SAW, yakni Ali bin Abi Talib. Khalifah Ar-Rashyidin (pemimpin pertama agama Islam) yang keempat & terachir setelah Nabi Muhammad wafat.

Kafilah famili Shams ed-Din ini dipimpin oleh kakek (Shams ed-Din Omar al-Bukhari) & buyutnya (Kamal ed-Din) membawa pasukannya menyerah & kemudian menggabungkan diri kepada Mongol Tartar sewaktu Genghis Khan menyerbu & menumpas Khwarizmi Shah. Kemudian, kafilah famili ini dibawa dari Khwaresmi (kini Bukhara, Uzbekistan) sebagai tahanan perang oleh Genghis Khan ke Yanjing (kini Beijing, Tiongkok).

Sayyid Ejjal mulai masuk dalam pemerintahan & menjabat sebagai bendahara kerajaan Tartar pada tahun 1259. Kemudian di usia tuanya ia dikirim ke Yunnan buat menjabat gubernur di Yachi dibekas Kerajaan Dali yang baru dicakup oleh Tartar Kublai Khan pada tahun 1274. Nah, sewaktu di Yunnan inilah Sayyid Ejjal meng-Islamisasi sekurang-kurangnya sejuta penduduk bekas Kerajaan Dali tersebut yang kebanyakannya adalah Tionghoa keturunan Semu (dari suku bangsa Sogdiana & Gujarati) yang berniaga teh & sutra melalui Jalur Selatan.

Jabatan gubernur tersebut kemudian menurun hingga Melik Tekin (Haji Ma), ayahnya Mahmud Shams ed-Din Cheng Ho. Melik Tekin atau Haji Ma ini adalah orang terahir pembela residu Tartar Pangeran Basalawarmi sebelum kemudian dimusnahkan oleh pasukan Ming. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1381 ini yang membuahkan Mahmud (Cheng Ho) yang terlahir di Yunnan itu sebagai tawanan perang & dijadikan kasim pengabdi istana Ming di Nanjing. Ketika itu, Mahmud Shams ed-Din Cheng Ho baru berusia 10 tahun.

Sebelum Sayyid Ejjal, dianugerahi gelar Raja Dian-yang (Dian adalah nama mini Yunnan & yang berarti utara) gubernur Yachi (Kunming, Yunnan) oleh kaisar Kublai Khan, ia pernah menjabat kepala wilayah di Changan (kini Xian). Dalam darma sebagai kepala wilayah (bupati) selama bertahun-tahun di Changan ini, ia berjasa besar atas perkembangan ajaran Islam sekaligus melestarikan masjid tua setempat yang didirikan ditahun 705, yaitu Masjid Gang Kaji Besar.

Changan atau Xian kini adalah keliru satu kota tua yang semenjak 2.000 tahun kemudian sudah sebagai ibukota Dinasti Han. Dari Xian inilah gerbang Jalur Perniagaan Karavan Unta yang dikemudian hari dikenal sebagai Jalur Sutra diabad kedua Masehi yang terkenal itu.
Xian mencapai zenit kemakmurannya sewaktu sebagai ibukota Dinasti Tang pada abad ketujuh Masehi. Changan ketika itu adalah daerah metropolitan yang terbesar di global memakai populasi penduduk sekitar sekitar satu juta orang. Dengan jumlah populasi yang sedemikian besar kala itu, Xian adalah magnet bagi para peniaga dari aneka macam penjuru global, termasuk di dalamnya ratusan ribu pedagang Semu yang datang dari Barat melalui Jalur Sutra waktu itu.

Di kota metropolitan Xian ini juga didirikan 2 pasar perdagangan. Pasar Timur disebelah timur Istana Tang memperdagangkan teh, sutra, keramik & lain-lain sebagai produk dalam negeri buat diekspor. Sementara Pasar Barat disebelah barat Istana Tang adalah pemukiman saudagar mancanegara memakai barang-barang impor mereka. Di Pasar Barat inilah banyak berdiri masjid-masjid. Sekarang ini, hanya tersisa 7 masjid yang 2 di antaranya adalah Masjid Agung Xian yang kesohor itu & Masjid Gang Kaji Besar yang sudah aku singgung di atas.

Sekarang kita bergerak menuju arah dari inti tulisan ini, yakni tambur besar dari Tiongkok yang kemudian sebagai bedug yang muncul di masjid-masjid ketika ini. Seperti yang sedikit aku singgung di awal tulisan ini, bedug memang bukan inovasi atau kreasi Tionghoa. Pada jaman prasejarah, bangsa kita sudah memakai tetabuhan ini, meski dalam bentuk yang tidak selaras. Sekedar buat kita catat di sini, eksistensi tambur besar sudah dipakai dalam kebudayaan Mesopotamia (Iraq) sekitar 6.000 tahun kemudian.

Pada awalnya, bedug ini dalam budaya Mesopotamia adalah sebagai indera tabuh pembangkit semangat serdadu sekaligus sebagai penanda perintah penyerbuan diwaktu perang, yang kemudian dalam perkembangannya juga sebagai indera musik. Sementara masuknya bedug ke Tiongkok sendiri lebih muda 1.500 tahun kemudian, atau dalam bahasa lain sekitar 4.500 tahun yang kemudian.
Perkembangannya hampir sama, semula bedug di Tiongkok adalah bagian krusial dari indera perang, mirip halnya di Mesopatamia. Dalam perkembangannya, bedug di Tiongkok ini kemudian sebagai penanda waktu di vihara setelah masuknya ajaran Buddhis pada masa Dinasti Han, 2000 tahun yang kemudian. Sejak itu, bedug sebagai budaya Tionghoa yang membunyikan genta pada dini hari & memukul bedug pada mahgrib.

Pada narasi di atas, sedikit sudah aku singgung mengenai Pasar Timur & Pasar Barat yang membelah Xian, pada masa dinasti Tang berkuasa. Sejak jaman itu juga sudah dibangun gardu pemberi menunjukan waktu kota didepan Istana Tang yang terletak tenga kota Xian. Penandanya adalah bunyi genta pada dini hari & suara bedug buat menjelang petang. Ratusan tahun kemudian, ketika dinasti Tang runtuh sebab serbuan Tartar pada abad ke 12 kota Xian ini mengalamai kerusakan total.

Meskipun kemudian kota Changan atau Xian yang rusak total itu kembali dibangun oleh Sayyid Ejjal Shams ed-Din sewaktu menjabat gubernur di sana pada abad ke 13, akan akan tetapi gardu tersebut luput dari pembangunannya kembali. Setelah 13 tahun berdirinya dinasti Ming di abad ke 14, tepatnya pada tahun 1380, di tengah kota kota Xian bekas blog istana Tang tersebut dibangun kembali Gardu Tambur Besar baru buat pemberi menunjukan waktu kota yang masih muncul hingga kini. Pada tahun 1412, Cheng Ho sengaja ke kota Xian ini buat menapaktilasi jejak leluhurnya kemudian menjadikan Tambur Besar Xian tersebut sebagai prototipe bedug di masjid Nusantara.

Berkaitan memakai awal mula datangnya bedug bersama Armada Cheng Ho ini bermula setelah kaisar Ming, Yongle berhasil mengkudeta keponakannya sendiri pada tahun 1402. Kaisar Yongle inilah yang kemudian memerintahkan pembentukan armada militer raksasa buat memerangi residu Mongol Tartar yang ketika itu bangkit kembali sebagai kekuatan Timur di India. Sekaligus juga buat memburu kaisar Jian-wen & pengikutnya yang disinyalir melarikan diri ke Hormuz. Kaisar Jian-wen ini berhasil meloloskan diri ketika terjadi kudeta berdarah oleh pamannnya sendiri tersebut, yakni kaisar Yongle tadi.

Armada Ming ini dipercayakan kepada 3 orang laksamana Sarbon yang kemudian di-siniasi-kan memakai nama Sam Po (Cheng Ho, Ong Khing Hong, & Ho Sian) sebagai duta besar Ming. Sam Po ini di pimpin oleh Sam Po Cheng Ho sebagai wali kaisar unntuk memimpinnya. Di kemudian Armada Penjelajah Lautan Asing Ming ini pada biasanya kita mengenalnya sebagai Armada Cheng Ho.

Setelah armada besar tersebut terbentuk pada tahun 1402, Cheng Ho diutus membawa armadanya ke Jepang buat memerangi perompak Ronin yang kala itu merongrong pesisir Tiongkok. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1403 Cheng Ho berlayar menuju Siam (Thailand) sebagai pelayaran permulaan sebelum Pelayaran Perdana ke Lautan Barat (Lautan Hindia dibaratnya Kerajaan Lambri, Aceh) pada lepas 11 Juli 1405. Armada besar ini kemudian dibubarkan pada tahun 1434 setahun setelah Cheng Ho meninggal global.

Dari 1402-1434 holistik pelayaran Armada Ming tersebut sebesar 11 kali, antara lain 9 kali dipimpin Cheng Ho disertai 2 Sam Po lainnya, & 2 kali dipimpin oleh Sam Po lain tanpa Cheng Ho. Masih banyak pelayaran rombongan detasemen yang belum terperinci perinciannya mirip yang pernah menuju Luzon, Brunei, Mecca, Mogadishu & lain-lain, mungkin juga muncul yang menyasar hingga di Australia, Eropa Barat maupun suatu loka disebelah timur Benua Amerika, sebelum Columbus. Selengkapnya dapat sampeyan baca di Sejarah Lengkap Perjalanan 28 Tahun Admiral Cheng Ho.

Sejak Cheng Ho diberi kuasa penuh buat berlayar ke Hormuz, setidaknya tercatat 3 kali pelayaran & paling jauh hanya baru mencapai Sri Lanka. Sekembalinya dari pelayaran terakhirnya tersebut (1409-1411), sebab hasilnya tidak memuaskan hati kaisar ia kemudian diperintahkan buat mempersiapkan pelayaran lanjutan, memakai armada yang lebih besar lagi. Dalam rentang waktu 2 tahun mempersiapkan armadanya, Cheng Ho juga mencari pakar kebudayaan Timur Tengah & mahir bahasa Arab sebagai pandu pelayaran ke 4 tersebut. Cheng Ho menemukan pakar budaya Timur Tengah tersebut di Xian setelah gagal mencarinya dimana-mana.

Kota Xian ini bagi Cheng Ho bukanlah kota yang asing. Ada ikatan emosional tersendiri melalui leluhurnya yang pernah sebagai penguasa di kota tua ini. Maka tak mengherankan kemudian di kota Xian ini, ketika Cheng Ho tak mengumpulkan warga muslim di Masjid Agung Xian pada tahun 1412 buat mencari pakar budaya Timur Tengah tidak banyak mengalami kesulitan yang berarti. Singkat cerita, orang yang terpilih tersebut adalah Kyai Haji Hasan, seorang pengajar agama dari Masjid Gang Besar yang pernah dilestarikan oleh eyangnya, Sayyid Ejjal.

Hasan yang ternyata mahir aneka bahasa selain Arab, ia pernah tinggal di Sri Langka & juga sudah naik haji mirip ayah & kakek Cheng Ho sendiri. Berhari-hari Cheng Ho mendapat pencerahan Islam darinya, sebagai akibatnya dalam waktu singkat dapat mengenalnya secara mendalam. Cheng Ho selain sangat cerdas & luas pengetahuannya, ia juga terkenal sangat tegas serta berbudi luhur. Karena tingkat kecerdasan & ketegasan di atas homogen-homogen tersebut hingga mengantarkan karirnya sebagai penasehat primer kaisar Yongle & sekaligus sebagai duta berkuasa penuh menuju Hormuz pada tahun 1413.

Disebutkan ketika armada besar Cheng Ho ini melintasi Selat Malaka, menyadari nilai strategis Malaka dalam kemudian lintas perniagaan Jalur Sutra Maritim, Hasan menganjurkan Cheng Ho sauh jangkar & membangun benteng buat kepentingan istirahat ditengah bepergian. Dikemudian hari Selat Malaka ini disinggahi armada Portugis & menjajah Nusantara beberapa waktu lamanya. Benteng bekas pendaratan Cheng Ho ini situsnya masih dapat kita saksikan hingga kini.

Sewaktu mencapai kerajaan Kotte (Colombo, Sri Langka), Hasan yang memang fasih berbahasa Tamil diutus buat menghadap Raja Parapramabahu VI. Tergiur oleh kemegahan & barang-barang berharga yang dibawa Armada Besar Cheng Ho ini, patih kerajaan Kotte, yakni Alagakkonara secara membisu-membisu tanpa sepengetahuan rajanya menggerakkan pasukannya hendak merampok kapal-kapal yang sedang bersandar di pelabuhan.

Untungnya, Hasan mencium gelagat ini kemudian ia & pasukannya menyamar sebagai pedagang Arab memasuki kota kemudian menyulutkan api membakar kota dibelakang musuh. Dengan mengepung dari depan & belakang akhirnya Hasan berhasil menangkap Patih Alagakkonara kemudian di bawa ke Nanjing. Patih ini tidak sempat mendapatkan eksekusi meninggal sebab ia mendapat pengampunan dari kaisar Yongle, kemudian dipulangkan kembali ke kerajaan Kotte.

Bertelekan pada kisah di atas, ternyata Haji Hasan memegang peranan krusial dalam pelayaran tersebut. Selain bertindak sebagai imam shalat & syiar Islam di sepanjang pelayaran yang di awaki tak kurang dari 27.600 orang yang terdiri dari awak kapal & serdadu yang didalamnya dominan adalah muslim. Haji Hasan juga adalah pakar strategi perang. Haji Hasan dalam pelayaran Armada Cheng Ho ini sangat berjasa dalam mengatasi bahaya dalam pelayaran dalam rentang waktu hampir setahun, tepatnya adalah 11 bulan, terhitung dari Nopember 1413 hingga Agustus 1415.

Dalam bepergian balik dari Hormuz menuju benteng peristirahatan di Malaka, armada besar ini dihantam badai dahsyat di perairan selat Malaka. Badai dahsyat tersebut hampir saja menenggelamkan ribuan kapal-kapal tersebut, ditengah kegentingan & kekalutan tersebut, Haji Hasan memimpin kumandang takbir. Konon, setelah gema takbir yang berkumandang tersebut tak usang kemduian badai tersebut mereda. Laut kembali tenang & seluruh armada mendapat keselamatan sebab itu. Allahu Akhbar!

Bika merujuk pada kisah di atas, terlintas dalam benak aku, apakah Cheng Ho yang memimpin armadanya tersebut yang memperkenalkan kebudayaan pukul bedug di masjid, mirip yang acapkali kita dengar atau kita lakukan itu? tampaknya masih perlu buat dikaji lebih lanjut mengenai kemungkinannya.

Mahmud Shams ed-Din Cheng Ho yang sudah sebagai kasim semenjak usia 10 tahun, meskipun dirinya keturunan Muslim akan tetapi ia dibesarkan dalam lingkungan istana Ming. Seperti yang kita memahami, Tiongkok budayanya cenderung kepada Buddhisme & Taoisme, maka dalam hidupnya berkejauhan memakai ajaran Islam & tidak pernah naik Haji.
Sewaktu armada besar Cheng Ho ini tiba di Nusantara, juru tulisnya mencatat sudah banyak umat Islam bermukim di Palembang, Gresik, Malaka & Lambri. Bika kita merujuk pada hal ini, sukar dianggap bahwa Cheng Ho pernah akan berpengaruh dalam pembawaan maupun penyebaran Islam di Nusantara.

Kebiasaan kita, tepatnya para sejarawan cenderung tulisannya selama ini menjunjung tinggi kebesaran Cheng Ho seorang, akan akan tetapi pada sisi lain mirip sengaja mengesampingkan jasa tokoh-tokoh yang sejatinya sangat berjasa yang menyertainya. Seperti Haji Hasan, seorang pengajar agama dari Masjid Gang Kaji Besar Xian yang kita bahas ini. Haji Hasan ini adalah & penegak istiadat Islam disepanjang pelayaran ke 4 Armada Cheng Ho.
Bahkan dapat jadi, justru Haji Hasan-lah yang sesungguhnya pembawa bedug dipukul memanggil shalat jemaah Muslim maupun buka puasa dalam Armada yang kemudian masuk kedalam masjid, & berperan penyebar dini Islam yang tiba di Nusantara pada tahun 1414.

Pasca pelayaran ke 4 tersebut, atas jasa besarnya dalam memperkembangkan interaksi diplomatik & perekonomian disepanjang pelayaran tersebut, kaisar Yongle sedianya hendak melimpahi Haji Hasan memakai segala kemuliaan. Namun seluruh itu ditolaknya memakai halus, hanya satu permohonannya ketika itu, ia memohon supaya kaisar ikut membantu menjaga & merenovasi Masjid Gang Kaji Besar yang selama ini sudah banyak rusaknya. Kaisar memujudkan harapannya memakai mengeluarkan dana besar & memerintahkan Cheng Ho secara langsung buat melaksanakan proyek pembaharuan & ekstensi Masjid, hasilnya mirip yang masih kita saksikan hingga hari ini.

Tidak banyak peninggalan catatan mengenai Haji Hasan diluar Kampung Muslim Xian, sebab Hasan hanya sekali saja menyertai Cheng Ho, yakni pelayaran ke 4 itu. Sekembalinya dari pelayaran yang ikut mewarnai budaya Muslim Nusantara ini, Haji Hasan meneruskan aktifitasnya mirip semula, sebagai pengajar ngaji (agama) di Majid Gang Kaji. Hanya Cheng Ho menegakkan sebuah batu prasasti dwi-bahasa Mandarin & Arab yang mencatat jasa Hasan di Masjid di Gang Kaji Besar (Da-xue-xi Xiang), Kampung Muslim Xian. Sekian dulu & hingga jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.

Referensi :

Tulisan ini dihimpun dari aneka macam asal, keliru satu asal utamanya dari terjemahan milis komunitas Kampung Muslim Xian.

Leave a Reply