Dunia Keris – Aku akan mandi keramas dengan sampoan darah Dursasana,ungkap Drupadi dengan suara terpatah-patah dan menghunjam ulu hati.
Aku merasa terhina dengan perlakuannya. Sebagai perempuan aku merasa dilecehkan dan direndahkan, sambung perempuan berwajah anggun berlesung pipit ini.
Dewi Drupadi, perempuan lembut dan penyabar itu, akhirnya dapat marah maupun, bahkan sempat berucap sumpah. Sambil menangis tersedu-sedu menunda jengkel dan memalukan, Drupadi mengurai sumpahnya di hadapan sang bunda, Dewi Gandawati.
Sabar anakku, sabar, sela Gandawati ikut prihatin.
Tidak, bunda. Sumpah itu tidak akan kucabut selamanya. Aku tidak akan dengan sanggul sebelum dendamku terlunasi. Tingkah Dursasana sudah amat keterlaluan. Dia patut diberi pelajaran. Ibu memahami, mengusik sanggulku berarti menginjak-injak martabatku menjadi permaisuri. Mengindak-injak martabatku sama artinya mengoyak-oyak martabat Kakang Prabu Puntadewa, penguasa Astina.
Ya ya, bunda dapat memahami perasaanmu. Tapi, tolong, redakan amarahmu. Ibu jadi heran, baru kali ini kamu dapat berang seperti ini. Padahal sebelumnya kau dikenal perempuan super lembut, penyabar dan sabar dalam menghadapi poly sekali macam cobaan. Kenapa sekarang
Aku bukan malaikat, Bu. Bukan malaikat.
Suasana mendadak tegang. Ruang tertentu Gandawati seolah ikut meradang. Memang, Drupadi sedang dirundung malang. Batinnya gersang dan butuh guyuran air hujan yang menyejukkan. Kepada Gandawatilah dia menumpahkan keluhan, dengan impian sang bunda dapat memberi solusi terhadap dilema yang sedang membelitnya.
Berkali-kali Drupadi menjadi sasaran fitnah keji. Pada masa-masa awal menjadi permaisuri Prabu Puntadewa, dia pernah dituduh berselingkuh dengan salah seorang pengawal raja. Entah siapa yang pertama kali menghembuskan hawa busuk itu sehingga tersiar ke seantero Astina dan sekitarnya. Gaung fitnah belum reda, timbul guncangan baru. Prabu Puntadewa dituduh membela dan melindungi para koruptor dan politisi busuk. Mereka konon dibiarkan berlenggang kangkung dengan konduite tercelanya tanpa secuil pun tersentuh eksekusi.
Sebagai pemimpin, Prabu Puntadewa dianggap tak punya ketegasan dalam memberantas kejahatan. Istri mana yang tidak cemas bila suaminya diutik-utik tanpa dasar dan pijakan aturan yang kuat? Drupadi wajib rela menelan ludah pahit menghadapi lawan-lawan politik suaminya.
Tak hanya cukup hingga di sini. Wilayah prival Drupadi pun ikut jadi sasaran tembak. Suatu waktu Drupadi sedang jalan-jalan kalem di lebih kurang taman keraton. Mendadak seorang pria kekar mengikutinya sumber arah belakang. Tangannya memegang sebuah galah bambu kecil. Tanpa permisi, galah tadi ditonjokkan ke arah sanggul yang melekat di bagian belakang kepala Drupadi. Benda berwujud gulungan rambut mangkat itu pun terjatuh dan menggelinding masuk selokan. Drupadi kaget bukan kepalang dan menoleh ke arah belakang. Tampak Dursasana sedang terbahak-bahak merayakan kemenangannya. Laki-laki jahil itu meninggalkan taman sembari terus mengumbar tawa.
Siapa yang tak marah diperlakukan seperti itu?
Ibu memahami kau amat tersinggung, dan memang pantas tersinggung.
Makanya aku bersumpah tidak akan mengenakan sanggul lagi sebelum bajingan tengik itu mangkat. Dan bila dia betul-betul mangkat, aku akan mengambil darahnya buat mandi keramas!
Kenapa wajib begitu anakku. Apakah tidak ada cara lain buat melampiaskan kemarahan?
Tidak, Ibu. Budi dibalas budi. Pelecehan wajib dibalas pelecehan. Ini baru adil. Ibu memahami, sanggul itu letaknya di kepala bagian belakang. Itu lambang kehormatan dan kewibawaan seseorang. Maka siapapun yang berani ganggu kehormatan dan kewibawaan wajib mendapat eksekusi yang setimpal, biar memahami rasa.
Sudah-sudah, redakan amarahmu, Nak. Ayolah tidur, hari sudah malam. Drupadi dibimbing ibunya masuk kamar. Inilah malam pertama dia pisah tidur dengan suaminya. Untuk mendinginkan hati, sementara Drupadi menyingkir sumber istana dan mencari keteduhan di tempat tinggal ibunya.
***
DI tempat tinggal sang bunda, Drupadi menghabiskan hari-harinya dengan membaca koran, mendengarkan musik, nonton televisi, dan sekali-sekali melakukan senam kebugaran. Ia seperti hidup dalam penjara keterasingan.
Untuk sebentar meninggalkan seluruh kesibukan di istana yang penuh dengan hawa panas. Sementara waktu Drupadi menghindari tampil di muka awam karena risi kalau ada pria yang berbuat iseng seperti Dursasana. Apalagi setelah dia tetapkan tidak dengan sanggul, penampilannya tambah menarik. Rambutnya terurai hitam memanjang, tak kalah apiknya dengan rambut milik miss univers. Tak seorang lelaki pun dapat membantah kecantikannya. Drupadi menyadari itu semua.
Sebagai istri raja, dia tak ingin berkhianat dan jatuh ke lembah baksiat. Ia ingin masa-masa pengasingannya berjalan safety dan jauh sumber godaan. Ia ingin hidupnya lebih bermakna, dapat mengabdi pada suami dan membantu usaha sang raja dalam menciptakan negeri Astina. Namun begitu, sumpahnya tetap berlaku. Drupadi tak mungkin menarik lagi ucapannya yang sudah keluar lewat bibir indahnya. Ia tetap akan memburu darah Dursasana menjadi pelajaran buat semua orang.
Semua paham, Dursasana merupakan gembong sekaligus pecundang yang menjadi biang kerok kekisruhan di Astina. Ia senantiasa berkolaborasi dengan kelompok Sengkuni buat menciptakan kekacauan dan ketidaknyamanan publik. Dursasana sengaja memancing kemarahan pihak Pandawa agar terjadi perang Baratayuda. Drupadi amat geram. Ia sedang menanti waktu paling sempurna buat menunjukan sumpahnya. Ia berharap, Dursasana cepat gugur agar rakyat Astina dapat balik hidup tenang tanpa dikecam ketakutan yang menyengsarakan.
Apapun alasannya, peperangan terjadi karena adanya dua kekuatan baik-tidak baik, dursila dan tidak dursila, hitam dan putih. Antara keduanya selalu terjadi tarik ulur dan saling mengulur.
***
Melalui Breaking News sumber stasiun televisi plat merah, Drupadi memperoleh warta: Dursasana tewas di tangan Werkudara. Ia terperanjat dan mengikuti pemberitaan itu dengan penuh perhatian. Mulutnya menganga seakan tak percaya. Hatinya bergemuruh. Berita sore itu menyebutkan, Dursasana perang tanding melawan Werkudara. Pertikaian terjadi di Kurusetra dan dapat disaksikan sumber poly sekali kawasan.
Bahkan sejumlah kamerawan televisi berhasil merekam adegan perseteruan dua tokoh wayang pilih tanding itu. Keduanya saling cakar dan melancarkan pukulan telak. Tampak di layar kaca berukuran 52inci: kepulan asap tebal diikuti kilatan cahaya merah dan biru. Terdengar juga suara gemuruh mirip badai yang menerjang samudera, diikuti hantaman petir menyambar-nyambar udara hampa.
Dursasana dan Werkudara saling melepaskan pukulan. Saling terjang. Leher Dursasana kena cekikan tangan Werkudara dengan kuku-kukunya yang runcing dan tajam. Beberapa waktu kemudian gantian Dursasana menyemburkan api sumber mulutnya. Namun bukan Werkudara namanya kalau tak dapat berkelit dan agresi lawan. Malah, sembari mengejek, wayang kekar ini memutar-mutar tubuhnya mirip angin puting beliung.
Ayo kerahkan seluruh dayamu, Dursasana! Serang aku! tantang Werkudara. Dursasana marah akbar. Ia pun mengeluarkan ajian andalan Cemeti Api alias pecut geni. Pecut itu diputar-putar kemudian dilecutkan ke arah Werkudara. Serangan itu hanya dihadapi dengan senyum sinis. Werkudara memahami kelemahan senjata itu.
Yang namanya api, betapapun panasnya, pasti kalah dengan air, bisiknya dalam hati, sembari menyiapkan agresi balik.
Ayo hajar aku sepuasmu, Dur!teriak Werkudara.
Dursasana makin jengkel. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantera naga api. Seketika itu juga pecut geni berubah menjadi naga raksasa. Binatang jadi-jadian itu melesat ke udara dan mengejar Werkudara. Dengan beringas naga raksasa itu menyemburkan api ke arah Werkudara. Merasa terpojok, Werkudara mengeluarkan ajian gajah raksasa.
Gajah raksasa, keluarlah. Bawa air sebanyak-banyaknya, dan guyurlah naga api itu pinta Werkudara dengan suara lantang dan menggema. Seketika itu juga timbul gajah raksasa sumber balik awan. Perutnya penuh dengan air, kemudian disemprotkan ke arah naga raksasa. Naga itu mengerang-erang kesakitan dan akhirnya melayang terjerembab ke bumi. Bersamaan itu juga Werkudara memanfaatkan kelengahan lawan dan mencengkeram tubuh Dursasana kemudian menancapkan kuku Pancanaka ke lehernya. Darah segar muncrat sumber leher Dursasana. Tokoh dursila dan kurang ajar itu pun tewas mengenaskan.
Menyaksikan adegan menegangkan itu, Drupadi tersenyum lega. Ia merasa dendam dan sakit hatinya terlampiaskan. Hari itu maupun Drupadi segera menemui Werkudara buat mengambil darah Dursasana yang tersisa di kuku Werkudara. Drupadi menunjukan sumpahnya, mengeramas rambutnya dengan darah Dursasana. Perang Baratayuda berakhir. Astina balik safety. Drupadi pun balik ke istana menemui suaminya, Prabu Puntadewa. Pertemuan keduanya amat mengharukan. Sekian. (Urd2210)
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayoyokarto Hadiningrat, 11/05/2017