Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Blusukan, ungkap ini seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari presiden Jokowi. Blusukan adalah ungkap yang dikenal dalam bahasa Jawa dialek Solo.
Sebenarnya, budaya blusukan yang dilakukan para penggede ini bukanlah fenomena yang baru. Jauh sebelum adanya negeri yang bernama Indonesia, raja-raja Jawa sudah melakukan blusukan. Laku ini sama seterkenalnya bareng laku pepe yang dilakukan rakyat buat meminta perhatian raja yang dilakukan di alun-alun. Nah, blusukan adalah laku para raja buat melihat syarat rakyatnya.
Dalam konsep kepemimpinan Jawa penyatuan antara roh kepemimpinan bareng virtual rakyat itu wajib mengalir dalam satu irama kerja seseorang raja. Sayangnya, tidak seluruh raja (penguasa) bisa menyatukan irama tadi. Sebut saja kepemimpinan ala Amangkurat (1646-1677) yang selama kepemimpinannya meneror rakyat & terjadi 'pagebluk'.
Dalam lintasan sejarah, raja Majapahit, Hayam Wuruk adalah pelopor laku blusukan ini. Bahkan buat bertemu bareng para bupati & adipatinya dia rela melakukan perjalanan panjang dalam waktu berbulan bulan hingga jauh ke Blambangan. Mengenai perjalanan panjang itu, memang muncul yang berkata adalah pelesir belaka, namun muncul pula yang berkata kunjungan kerja atau studi banding-lah kira-kira.
Tapi yang jelas, blusukan Hayam Wuruk hingga ke ujung pulau Jawa tadi bukanlah menjadi tim sukses adipati tertentu. Lha wong tinggal tunjuk jari, setiap kepala yang terarah telunjukknya bisa duduk menjadi jabatan apa saja yang dititahkanya.
Sebenarnya muncul poly nama raja (penguasa) Jawa terdahulu yang melakukan ritus blusukan ini, sebut saja diantaranya, Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I. Belum terlampau jauh dari masa sekarang muncul Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang seringkali menyamar menyambangi rakyatnya. Dari sultan Jogja paling kharismatis inilah kemudian muncul ungkap populer Tahta Untuk Rakyat.
Selain tiga nama yang aku sebutkan di atas, muncul satu nama lagi yang tidak bisa dipisahkan dari laku blusukan, yakni Paku Buwono V. Raja Surakarta Hadiningrat, loka dimana ungkap blusukan ini berasal. Bahkan sangat mungkin, laku blusukan pemimpin Surakarta pada masa lampau ini kemudian dinapaktilasi presiden Jokowi, presiden kita saat ini.
Cukup menarik buat kita simak kisah blusukan PB V yang tertuang dalam kitab Pakoeboewono V karya Soemosapoetro yang terbit 1956. Syahdan, Sunan Pakubuwono V (memerintah Surakarta 1820-823) gundah gulana. Sunan masygul, bukan alasannya adalah krisis agama penyebabnya, tapi sedihnya alasannya adalah kerajaan mengalami krisis pangan alias paceklik.
Sudah tak terhitung sidang kabinet ala kerajaan Surakarta digelar, baik terbatas maupun mengikutsertakan para para demang. Tim pakar & para pakar dilibatkan buat menyusun rencana & melaksanakan aktivitas, tapi sejauh itu hasilnya masih nihil. Akhirnya, bareng cara sendiri bareng menyebar teleksandi sunan memperoleh keterangan muncul pejabat diwilayahnya yang menggunting dalam lipatan, menimbun pangan disaat krisis terjadi. Bisa ditebak, kenaikan harga pangan yang mencekik rakyat.
Berangkat dari keprihatinannya tadi, kemudian sang Sunan dalam laku prihatinnya konon dia memperoleh intiuisi (wisik) gaib yang pada pada dasarnya berkata bahwa kerajaan akan tenteram jikalau diberi tumbal tangan & kaki orang yang menderita rona belang pada kulitnya atau dalam khasanah Jawa dianggap sebagai "wong pancal anjung."
Untuk mengkonfirmasi keterangan pelanggaran pejabat di wilayahnya sekaligus berharap segera memperoleh petunjuk ihwal intuisi gaib itu, Sunan bertekad akan blusukan, "anjajah desa milang kori", berkeliling daerah bareng cara menyamar sebagai rakyat jelata (incognito). Sunan ingin mengambarkan sendiri laku nggunting dalam lipatan yang dilakukan bawahannya.
Singkat cerita, akhirnya perjalanan sunan hingga di Keduwang, Gunung Kidul, yang kala itu secara administratif merupakan daerah Surakarta. Raja Surakarta ini tertegun manakala dia melihat bareng kepala sendiri rakyatnya sedang ngantri membeli beras di rumah pimpinan daerah itu, Demang Keduwang. Rupa-rupanya sang demang adalah pejabat yang kaya raya, berjejer lumbung berasnya, akan namun pelit & tega menjual beras kepada rakyatnya sendiri bareng harga mahal. Ngelus dodo!
Tapi anehnya lagi, sempurna balik gapura rumah demang Keduwang tadi, sunan mendapati seseorang perempuan sepuh menghamparkan tikar pandannya. Rupa-rupanya, perempuan sepuh yang biasa dipanggil Mbok Minto ini sedang menghasilkan kuliner gratis buat dibagikan kepada anak-anak warga yang sedang ngantri beras terebut.
Malamnya, sunan berkunjung ke rumah demang Keduwang. Nah, saat bertatap muka bareng sang demang, sunan sangat terkejut alasannya adalah menyaksikan tuan rumah kulitnya belang-belang pada tangan & kakinya sehingga dapat dianggap Wong Pancal Panggung. Tapi meski terkejut, sunan yang sedang menyamar itu segera mengatasi perasaannya.
"Sopo kowe?"
"Dalem (aku), Ngabdurahman, ndoro Demang."
"Arep ngopo kowe? tanya Ki Demang bareng ketus.
"Maafkan aku ndoro Demang, sudilah kiranya tuan menolong aku. Saya datang dari jauh. Saya akan membeli beras barang seliter saja."
Bukannya ramah, demang Keduwang tadi justru marah & memaki-maki Sunan. "Kurang ajar, koplak kowe. Tak pernah dengar info ya? Aku hanya melayani pembeli dalam jumlah akbar. Lha ngopo seliter kuwi, koyo wong ngemis wae. Minggat kono!"
Sedikit didorong-dorong oleh Ki Demang buat segera angkat kaki dari pendoponya, kemudian raja Surakarta yang nyamar tadi menyimpang geramnya sambil berlalu, pergi. Belum begitu jauh dari loka kerja sekaligus rumah demang Keduwang, sunan terperanjat alasannya adalah muncul yang memanggilnya. Rupa-rupanya simbok yang ngladeni anak-anak warga saat ngantri beras siang tadi, Mbok Minto.
Kisanak, jangan pergi dulu! Hambok mampir dulu ke sini. Ini muncul kuliner ala kadarnya, kalau kisanak kerso (mau). Semakin bertambah ketertegunan sang sunan terhadap budi baik perempuan sepuh satu ini.
Monggo pinarak, makanlah seadanya nggih.
Kisanak tentu lapar toh dari perjalanan jauh. Tidak usah sungkan, monggo!
Sunan kemudian menghampiri perempuan tua itu & bersedia menikmati kuliner yang disajikan.
"Kalau boleh tau, siapa andika?"
Saya, Ki Ngabdurrahman, Mbok! Wong Solo. Jauh-jauh kesini mau beli beras. Maklum Mbok, di kotapraja mahal & sulit. Tapi ya itu tadi Mbok, ndoro Demang tidak berkenan aku membeli berasnya. Karena hanya sedikit.
Sudahlah. Memang wataknya begitu ndoro Demang, kisanak. Dia kikir & pelit. Siang tadi lihat toh, saat ngantri beras itu. Sebagai demang, dia tidak memikirkan rakyatnya. Ee.. malah menimbun beras. Giliran paceklik, dia tega menjual bareng harga tinggi kepada rakyatnya. Begitulah wataknya. Padahal dia adalah punggawa kerajaan Surakarta toh. Andai saja Ingkang Sinuhan (sebutan kehormatan buat Sunan) memahami akan hal ini, tentu akan menegurnya."
Mbok Minto terus menerus cerita ihwal gaya kepempinan Ki Demang & taraf kesulitan hayati yang dihadapi warga lebih kurang tanpa sama sekali menyadari bahwa yang diajak berbicara adalah sesembahannya, raja Surakarta sendiri.
Sampun dalu Mbok. Maturnuwun atas perjamuan njenengan ini. Saya mohon diri hendak mencari beras ditempat lain. ujar sunan pamit. Namun, tanpa diketahui oleh perempuan baik hati tadi, diam-diam sunan meninggalkan sekian keping uang di bawah piring bekas makannya.
"Njiih, ingkang ngati-ngati kisanak.
"Saya terkesan bareng kebaikan njenengan Mbok. Seminggu selesainya ini datanglah ke rumahku di Surakarta. Aika njenenengan berjalan ke dalam kota kemudian ketemu lapangan luas & muncul bangunan akbar itulah rumahku. Tanya orang yang engkau jumpai absolut mengenalku & mengantarmu ke rumahku."
"Wah bahagia sekali. Baiklah kisanak, semoga tenaga Mbok yang tua ini kuat kesana. Kalau simbok kesana tolong diantar melihat keraton njiih, siapa tau simbok bisa bertemu bareng Sinuwun Pakubuwono.
Pasti, Mbok. Saya pamit njiih!.
Sesudah sang sunan pergi, Mbok Minto mengemasi hidangan yang disajikannya tadi. Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati keping-keping uang yang dari ukuran jaman itu sangat akbar jumlahnya.
Anugerah yang tidak disangka-sangkanya ini hingga membuatnya menjerit. Jeritan itu memancing perhatian warga, termasuk Ki Demang yang ikutan menghampiri rumahnya. Begitu memahami muncul uang di situ, secepat-cepatnya Ki Demang menyitanya tanpa menyisakan sedikitpun buat Mbok Minto. Berangkat dari insiden inilah, Mbok Minto yang sudah sepuh tadi bertekad akan mengunjungi Ki Ngabdurrahman di Surakarta. Ia sudah beranggapan bahwa orang yang dijamunya tadi bukanlah orang asal-asalan.
Kemudian, Mbok Minto benar-benar berkunjung ke Surakarta. Sesuai bareng petunjuk yang diberikan Ki Nabdurahman sepekan yang kemudian, maka sampailah dia di halaman lapangan yang luas & dilihatnya rumah akbar di kejauhan. Itulah Alun-Alun Kidul & yang dilihatnya adalah atap keraton. Karena baru seumur hidupnya ke kotapraja, taku bingung & keliru alamat, maka dia kemudian memberanikan diri bertanya kepada prajurit yang sedang berjaga.
Kang, panjenengan sumerap daleme Ki Ngabdurrahman? Sepertinya kok yang aku saksikan ini sama persis ciri-cirinya yang pernah dia sampaikan padaku.
Seorang prajurit menghampiri perempuan sepuh ini malah bertanya balik.
"Apakah njenengan yang bernama Mbok Minto dari Gunung Kidul?"
Leres (benar), itu nama aku. Kok njenengan tau? Mendengar jawaban Mbok Minto ini, tiba-tiba saja prajurit tadi membungkuk bareng penuh hormat seraya berkata,"Benar Mbok, ini adalah rumah Ki Ngabdurahman yang njenengan kenal. Monggo Mbok, panjenengan sudah dinantikan di rumahnya."
Mbok Minto sedikit bimbang, namun dia tetap saja mengikuti prajurit tadi. Bagaimana bisa orang yang baru dikenalnya memahami identitasnya? Bagaimana pula, prajurit nataparaja bisa begitu hormat padanya? Perempuan sepun ini sama sekali tidak memahami bahwa sesudah kunjungan ke Gunung Kidul itu Sunan Pakubuwono V membeberkan kepada punggawa kerajaan sikap & tindakan Demang Keduwang. Bahkan dia pula berpesan supaya setiap prajurit jaga bila muncul sewaktu-waktu muncul perempuan tua yang menanyakan Ki Ngabdurrahman supaya pribadi dihadapkannya. Tanpa muncul protokoler, atau laku pepe yang lazim kala itu.
Sampailah Mbok Minto di Bangsal Prabasuyaksa & dia melihat Sunan Pakubuwono yang belum mengenakan busana kebesaran raja duduk seakan menanti kedatangannya.
"Wah Mbok Minto akhirnya datang. Sugeng rawuh Mbok."
"Njih, Ki Ngabdurahman. Dulu, aku kira njenengan bakul beras. Ee tak tahunya rumah njenengan gedong & begini akbar. Di mana-mana dijaga oleh pembantumu." Sunan Pakubuwono tersenyum penuh arti.
"Kenalkan Mbok, ini isteriku. Dan anak laki-laki mini itu namanya Sapardan. Sebentar lagi aku akan meminta supaya Sunan Pakubowono ke loka ini & bertemu njenengan. Bukankah njenengan sangat ingin menemuinya toh?"
"Ah, Kisanak. Jadi isin aku. Ya, aku akan menunggu di sini."
"Njenengan kan dari perjalanan jauh, absolut lelah. Sebentar lagi pembantuku akan menyediakan kuliner. Beristirahatlah sambil menunggu kedatangan Kanjeng Sunan."
"Njiih, Ki, aku manut. Terimakasih."
Sunan Pakubuwono, permaisuri, & anaknya kemudian pergi memasuki halaman dalam keraton. Selanjutnya, bareng penuh hormat, Mbok Minto dihampiri serombangan abdi dalem yang mengaku diminta Ki Ngabdurahman buat menjamunya. Belum hilang ketertegunan Mbok Minto, dia sudah diminta berjalan ke arah bangunan luas & sudah tersedia poly kuliner mewah. Yang dituju adalah Bangsal Handrawina, loka Sunan menjamu tamu vital.
Sesudah makan, Mbok Minto kemudian diajak ke bangunan lain yang dilihatnya kesemuanya perempuan. Itu adalah Bangsal Keputren. Di loka ini, perempuan sepuh ini diminta mandi kemudian diberi busana yang rupawan & aneka macam perhiasan. Betul-betul pelayanan VVIP ungkap jama sekarang yang menghasilkan Mbok Minto tidak habis mengerti & belum menyadarkan dirinya bahwa dia berada di lingkungan keraton. Tiba-tiba dia melihat laki-laki & perempuan berpakaian resmi kenegaraan berjalan menghampirinya.
"Masih ingat aku Mbok?" sapa si laki-laki itu. Mbok Minto terpana. Wajah itu adalah wajah Ki Ngabdurahman, rakyat jelata yang dulu pernah dia tolong di Kademangan Keduwang. Tetapi mengapa dia begitu berwibawa & nampaknya berpakaian kebesaran seseorang raja.
"Maafkan aku Mbok. Aku adalah Ki Ngabdurahman. Aku sebenarnya Sunan Pakubowono V & ini permaisuriku, Kanjeng Ratu Kencono. Duduklah Mbok!"
Mbok Minto bagai disambar rudrapati, alasannya adalah yang dihadapinya adalah junjungannya, raja Surakarta yang dia tidak pernah ketemu & memastikan kalau dirinya mustahil bertemu bareng bangsawan itu. Sunan Pakubuwono kemudian memerintahkan Mbok Minto sementara waktu tinggal di keraton. Segala kebutuhannya dilayani & oleh abdi dalem dia diantar keliling kota dengan kereta kerajaan.
Tapi rupa-rupanya, kemewahan tidak menjamin seseorang menjadi betah & kerasan. Mbok Minto ingin kembali ke Kademangan Keduwang. Meski bareng berah hati, sang sunan pun mengijinkannya sambil memberi bekal hayati yang poly kala itu. Sebagai penghormatan, perjalanan Mbok Minto kembali ke kampung halaman diantar prajurit kerajaan. Hal ini tentu saja menghasilkan tetangganya menjadi terkejut termasuk Ki Demang.
Lazimnya orang jaman dahulu ketika dari berpergian, poly tetangga yang berkumpul buat sekedar mendengar cerita. Bahkan siapa memahami dapat kecipratan oleh-oleh dari kota yang tidak mereka jumpai di kademangan.
Setelah seluruh berkumpul Mbok minto menceritakan seluruh insiden yang dialaminya, termasuk kedatangan Ki Ngabdurahman tempo hari yang sesungguhnya adalah Sunan yang sedang menyamar. Betapa terkejutnya Ki Demang mendengar hal itu. Bukankah Ki Ngabdurahman adalah orang yang mendatangu runahnya di malam hari & hendak membeli beras namun dia maki-maki & usir secara kasar. Bagaimana nasibnya selanjutnya?
Bisa ditebak, insiden eksodus sunan olehnya (demang) membuatnya kalut hingga berujung sakit. Sampai akhirnya dia meninggal global, bertepatan bareng rombangan punggawa Surakarta yang diperintah buat menghadapkan Ki Demang kepada Sunan Pakubowono. Sebagai bukti bahwa mereka sudah hingga di kademangan, mereka membawa jenazah itu ke hadapan Sunan di Surakarta. Atas perintah Sunan, kaki & tangan insan Pancal Panggung itu dipotong & ditanam di suatu loka di lingkungan kerajaan sebagai tumbal mirip intuisi gaib yang diterima raja.
Jenazah Ki Demang kemudian dikembalikan ke keluarganya buat dimakamkan. Sunan sendiri bertitah tidak layak seseorang pemimpin bersuka ria & menumpuk kekayaan di atas penderitaan rakyat mini. Nasib Ki Demang itu menjadi pelajaran bagi siapapun aparatur kerajaan supaya tidak bermain-main bareng kewajibannya. Sesudah insiden itu, kerajaan Surakarta kembali tenteram & krisis pangan berangsur-angsur hilang. Nuwun.
Disarikan secara bebas dari kitab Pakoeboewono V