web analytics
Kerajaan Panjalu Ciamis Silsilah serta Borosngora versi Sejarah Cianjur [4] - DUNIA KERIS

Batara Tesnajati.Batara Tesnajati merupakan tokoh pendiri Kabataraan Gunung Sawal, dia mempunyai seorang putera bernama Batara Layah. Petilasan Batara Tesnajati terdapat di Karantenan Gunung Sawal.

Batara Layah.Batara Layah menggantikan ayahnya sebagai Batara di Karantenan Gunung Sawal Panjalu, dia mempunyai seorang putera bernama Batara Karimun Putih. Batara Karimun Putih Ia menggantikan ayahnya menjadi Batara di Gunung Sawal Panjalu, dia mempunyai seorang putera bernama Prabu Sanghyang Rangga Sakti. Petilasan Batara Karimun Putih terletak di Pasir Kaputihan, Gunung Sawal.

Prabu Sanghyang Rangga Gumilang

Sanghyang Rangga Gumilang naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, dia dikenal juga sebagai Sanghyang Rangga Sakti dan kepada masa pemerintahaanya terbentuklah suatu pemerintahan yang berpusat di Dayeuhluhur Maparah setelah berakhirnya masa Kabataraan di Karantenan Gunung Sawal Panjalu. Sanghyang Rangga Gumilang menikahi seorang puteri Galuh bernama Ratu Permanadewi dan mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Lembu Sampulur. Petilasan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang terletak di Cipanjalu.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur I

Sanghyang Lembu Sampulur I naik tahta sebagai Raja Panjalu, dia mempunyai seorang putera bernama Sanghyang Cakradewa. Prabu Sanghyang Cakradewa Sanghyang Cakradewa memperisteri seorang puteri Galuh bernama Ratu Sari Kidang Pananjung dan mempunyai enam orang anak. Petilasan Prabu Sanghyang Cakradewa terdapat di Cipanjalu.

Menurut kisah dalam Babad Panjalu, Prabu Sanghyang Cakradewa merupakan seorang raja yang adil dan bijaksana, di bawah pimpinannya Panjalu menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan disegani. Suatu ketika sang raja membicarakan keinginannya di hari tua nanti buat meninggalkan singgasana dan menjadi Resi atau petapa (lengser kaprabon ngadeg pendita). Untuk itu sang prabu mengangkat putera tertuanya Sanghyang Lembu Sampulur II menjadi putera mahkota, sedangkan putera keduanya yaitu Sanghyang Borosngora dipersiapkan buat menjadi patih dan senapati kerajaan (panglima perang).

Oleh lantaran itu Sanghyang Borosngora pergi berkelana, berguru kepada para brahmana, petapa,resi, guru dan wiku sakti di seluruh penjuru tanah Jawa buat mendapatkan banyak sekali ilmu kesaktian dan ilmu olah perang. Beberapa tahun kemudian sang pangeran pergi dari pengembaraannya dan disambut menggunakan upacara penyambutan yang sangat meriah di kaprabon Dayeuhluhur, Prabu Sanghyang Cakradewa sangat terharu menyambut kedatangan puteranya yang sudah pergi sekian lama tadi.

Dalam suatu acara, sang prabu meminta kepada Sanghyang Borosngora buat mengatraksikan kehebatannya dalam olah perang menggunakan bermain adu pedang melawan kakaknya yaitu Sanghyang Lembu Sampulur II dihadapan para pejabat istana dan para hadirin. Ketika kedua pangeran itu tengah mengadu kehebatan ilmu pedang itu, tak sengaja kain yang menutupi betis Sanghyang Borosngora tersingkap dan tampaklah sebentuk rajah (tattoo) yang mengindikasikan pemiliknya menganut ilmu kesaktian peredaran hitam.

Prabu Sanghyang Cakradewa sangat kecewa mendapati fenomena tadi, lantaran ilmu itu tidak didasarkan  menggunakan Anggon-anggon Kapanjaluan (falsafah hidup orang Panjalu) yaitu mangan kerana halal, pake kerana kudus, tekad-ucap-lampah sabhenere dan Panjalu tunggul rahayu, tangkal waluya. Sang Prabu segera memerintahkan Sanghyang Borosngora buat membuang ilmu terlarang itu dan segera mencari "Ilmu Sajati" yaitu ilmu yang menuntun kepada jalan keselamatan.

Sebagai indikator apakah Sanghyang Borosngora sudah menguasai ilmu sajati atau belum, maka sang prabu membekalinya sebuah gayung batok kelapa yang dasarnya diberi lubang-lubang sehingga tidak dapat menampung cidukan air. Apabila sang pangeran sudah menguasai ilmu sajati, maka dia dapat menciduk air menggunakan gayung berlubang-lubang tadi. Untuk kedua kalinya Sanghyang Borosngora pergi meninggalkan kaprabon, dan kali ini dia berjalan tak tentu arah lantaran tidak tahu kemana wajib mencari ilmu yang dimaksudkan oleh ayahnya itu.

Letih berjalan tak tentu arah akhirnya dia duduk bersemadi, mengheningkan cipta, memohon kepada Sanghyang Tunggal supaya diberikan petunjuk buat mendapatkan Ilmu Sajati. Sekian lama bersemadi akhirnya dia mendapat petunjuk bahwa pemilik ilmu yang dicarinya itu ada di seberang lautan, yaitu di tanah kudus Mekkah, Jazirah Arab. Dengan ilmu kesaktiannya Sanghyang Borosngora tiba di Mekkah dalam sekejap mata.

Di Mekkah itu Sanghyang Borosngora bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya supaya dapat bertemu menggunakan seseorang yang mewarisi Ilmu Sajati yang dimaksud. Orang-orang yang tidak mengerti maksud sang pangeran menunjukkan supaya dia menemui seorang pria yang tinggal dalam sebuah tenda di gurun pasir. Sanghyang Borosngora bergegas menuju tenda yang dimaksud dan ketika dia membuka tabir tenda itu dilihatnya seorang pria tua yang sedang menulis menggunakan pena. Karena terkejut menggunakan kedatangan tamunya, pena yang ada di tangan pria tua itu terjatuh menancap di tanah berpasir.

Lelaki misterius itu menegur sang pangeran dikarenakan sudah datang tanpa mengucapkan salam sehingga mengejutkannya dan mengakibatkan pena yang dipegangnya jatuh tertancap di pasir, padahal sesungguhnya lelaki itu hanya berpura-pura terkejut lantaran ingin memberi pelajaran kepada pemuda pendatang yang terlihat jumawa lantaran kesaktian yang dimilikinya itu.

Setelah bertanya apa keperluannya datang ke tendanya, lelaki itu hanya meminta Sanghyang Borosngora supaya mengambilkan penanya yang tertancap di pasir. Sang pangeran segera memenuhi permintaan pria itu, namun terjadi kejanggalan, pena yang menancap di tanah itu seperti sudah menyatu menggunakan bumi sehingga walaupun segenap kekuatannya sudah dikerahkan, namum pena itu tak bergeming barang sedikitpun.

Sanghyang Borosngora segera menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya bukanlah orang sembarangan. Sebagai seorang kesatria dia mengakui kehebatan pria itu dan memohon ampun atas kelancangan sikapnya tadi. Sang pangeran juga memohon kesediaan pria misterius itu mengajarinya ilmu yang sangat mengagumkannya ini. Lelaki yang kemudian diketahui merupakan Sayidina Ali bin Abi Thalib R.A. ini hanya meminta Sanghyang Borosngora mengucapkan kalimat syahadat seperti yang dicontohkannya dan sungguh ajaib, pena yang menancap di tanah itu dapat dicabut menggunakan gampang olehnya.

Setelah tragedi itu Sanghyang Borosngora menetap beberapa lama di Mekkah buat menimba Ilmu Sajati kepada Baginda Ali R.A. yang ternyata merupakan Dien Al Islam (agama Islam). Di akhir masa pendidikannya Sanghyang Borosngora diberi wasiat oleh Baginda Ali supaya melaksanakan syiar Islam di tanah asalnya. Sanghyang Borosngora yang kini bernama Syeikh Haji Abdul Iman ini kemudian diberi cinderamata berupa Pedang, Cis (tombak bermata dua atau dwisula), dan pakaian kebesaran.

Sebelum pergi Syeikh Haji Abdul Iman juga menciduk air zam-zam menggunakan gayung berlubang hibahayahnya dan ternyata air zam-zam itu tidak menetes yang berarti dia sudah berhasil menguasai ilmu sajati menggunakan sempurna. Ringkas cerita Sanghyang Borosngora kembali ke kaprabon dan disambut menggunakan suka cita oleh sang prabu beserta seluruh kerabatnya.

Sanghyang Borosngora juga membicarakan syiar Islam kepada seluruh kerabat istana. Sang Prabu yang sudah uzur menolak menggunakan halus ajakan puteranya itu dan memilih hidup sebagai pendeta sebagaimana kehendaknya dahulu dan menyerahkan singgasana kepada putera mahkota Sanghyang Lembu Sampulur II. Air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora dijadikan cikal bakal air Situ Lengkong yang sebelumnya merupakan sebuah lembah yang mengelilingi bukit bernama Pasir Jambu. Gayung berlubang hibahayahnya dilemparkan ke Gunung Sawal dan kemudian menjadi sejenis tumbuhan paku yang bentuknya seperti gayung.

Sanghyang Borosngora melanjutkan syiar Islamnya menggunakan mengembara ke arah barat melewati daerah-daerah yang kini bernama Tasikmalaya, Garut, Bandung, Cianjur dan Sukabumi. Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II tidak lama memerintah di Kerajaan Panjalu, dia kemudian hijrah ke daerah Cimalaka di kaki Gunung Tampomas, Sumedang dan mendirikan kerajaan baru di sana. Sanghyang Borosngora yang menempati urutan kedua sebagai pewaris tahta Panjalu meneruskan kepemimpinan kakaknya itu dan menjadikan Panjalu sebagai kerajaan Islam yang sebelumnya bercorak Hindu.

Sebagai media syiar Islam, Sanghyang Borosngora mempelopori tradisi upacara tata cara Nyangku yang diadakan setiap Bulan Maulud (Rabiul Awal), yaitu sebuah prosesi ritual penyucian pusaka-pusaka yang diterimanya dari Baginda Ali R.A. yang setelah disucikan kemudian dikirabkan dihadapan perpaduan rakyatnya. Acara yang menarik perhatian khalayak ramai ini dipergunakan buat memperkenalkan masyarakat menggunakan agama Islam dan mengenang tragedi masuk Islamnya Sanghyang Borosngora.

Prabu Sanghyang Lembu Sampulur II

Sanghyang Lembu Sampulur II naik tahta menggantikan Prabu Sanghyang Cakradewa, akan namun dia kemudian menyerahkan singgasana kerajaan kepada adiknya yaitu Sanghyang Borosngora, sedangkan dia sendiri hijrah dan mendirikan kerajaan baru di Cimalaka Gunung Tampomas (Sumedang).

Prabu Sanghyang Borosngora

Sanghyang Borosngora naik tahta Panjalu menggantikan posisi kakaknya, dia kemudian membangun keraton baru di Nusa Larang. Adiknya yang bernama Sanghyang Panji Barani diangkat menjadi Patih Panjalu. Di dalam Babad Panjalu tokoh Prabu Sanghyang Borosngora ini dikenal sebagai penyebar Agama Islam dan Raja Panjalu pertama yang menganut Islam, benda-benda pusaka peninggalannya masih tersimpan di Pasucian Bumi Alit dan dikirabkan kepada setiap bulan Maulud setelah terlebih dulu disucikan dalam rangkaian prosesi acara tata cara Nyangku.

Sanghyang Borosngora mempunyai dua orang putera yaitu: 1) Rahyang Kuning, dan 2) Rahyang Kancana. Prabu Sanghyang Borosngora juga didamping oleh Guru Aji Kampuhjaya dan Bunisakti, dua orang ulama kerajaan yang juga merupakan senapati-senapati pilih tanding. Petilasan Prabu Sanghyang Borosngora terdapat di Jampang Manggung (Sukabumi), sedangkan petilasan Sanghyang Panji Barani terdapat di Cibarani (Banten).

Sanghyang Borosngora dan Hyang Bunisora Suradipati

Hyang Bunisora Suradipati merupakan adik Maharaja Sunda yang bernama Maharaja Linggabuana. Sang Maharaja terkenal sebagai Prabu Wangi yang gugur sebagai pahlawan di palagan Bubat melawan tentara Majapahit kepada tahun 1357. Ketika tragedi memilukan itu terjadi puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana baru berusia 9 tahun, buat itu Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya itu atas tahta Kawali.

Hyang Bunisora juga dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru di Jampang lantaran menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni di Jampang (Sukabumi). Nama Hyang Bunisora yang mirip menggunakan Sanghyang Borosngora dan gelarnya sebagai Batara Guru di Jampang menyiratkan adanya keterkaitan antara kedua tokoh ini, meskipun belum dapat dipastikan apakah kedua tokoh ini merupakan orang yang sama. Jika ternyata kedua tokoh ini merupakan orang yang sama, pastinya akan membuka galat satu lbr yang tersembunyi dari Sejarah Sunda.

Hyang Bunisora atau Mangkubumi Suradipati menikah menggunakan Dewi Laksmiwati dan menurunkan empat anak. Hyang Bunisora dikabarkan dimakamkan di Geger Omas, diperkirakan lokasi Geger Omas kini merupakan Desa Ciomas (Panjalu Ciamis), di desa tadi terdapat website makam yang dikenal sebagai makam Dalem Penghulu Gusti dan Dalem Mangkubumi.

Sanghyang Borosngora dan Baginda Ali RA

Legenda rendezvous antara Sanghyang Borosngora menggunakan Baginda Ali R.A. ini sampai kini masih kontroversial mengingat keduanya hidup di zaman yang tidak sinkron. Sayidina Ali hidup kepada abad ke-7 M (tahun 600-an) sedangkan kepada periode masa itu di tatar Sunda tengah berdiri Kerajaan Tarumanagara dan nama Panjalu belum dianggap-sebut dalam sejarah. Nama Panjalu (Kabuyutan Sawal) mulai dianggap-sebut ketika Sanjaya (723-732) hendak merebut Galuh dari tangan Purbasora, ketika itu Sanjaya mendapat kontribusi pasukan khusus dari Rabuyut Sawal (Panjalu) yang merupakan sahabat ayahnya, Sena (709-716).

Sementara itu andai saja dirunut melalui catatan silsilah Panjalu sampai keturunannya kini, maka Sanghyang Borosngora diperkirakan hidup kepada tahun 1400-an atau paling tidak sezaman menggunakan Sunan Gunung Jati Cirebon (1448-1568). Namun demikian, bukti-bukti cinderamata dari Sayidina Ali R.A. yang berupa pedang, tongkat dan pakaian kebesaran masih dapat dipandang dan tersimpan di Pasucian Bumi Alit. Kabarnya pedang hibahBaginda Ali itu pernah diteliti oleh para ahli dan hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam dan besi yang membuat pedang itu bukan berasal dari jenis bahan pembuatan senjata yang biasa dipakai para Empu dan Pandai Besi di Nusantara.

Sanghyang Borosngora, Walangsungsang dan Kian Santang

Kisah masuk Islamnya Sanghyang Borosngora yang diislamkan oleh Sayidina Ali R.A. ini mirip menggunakan kisah Kian Santang. Kian Santang merupakan putera Prabu Siliwangi dari isteri keduanya yang bernama Nyai Subang Larang binti Ki Gedeng Tapa yang beragama Islam. Dari isteri keduanya ini Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putera-puteri yaitu Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Rara Santang, dan Kian Santang (Raja Sangara).

Walangsungsang dan Rara Santang menuntut ilmu agama Islam mulai dari Pasai, Makkah, sampai ke Mesir; bahkan Rara Santang kemudian dinikahi oleh penguasa Mesir Syarif Abdullah atau Sultan Maulana Mahmud dan berputera Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Setelah naik haji Pangeran Cakrabuana berganti nama menjadi Syeikh Abdullah Iman, sedangkan Rara Santang setelah menikah berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Sementara itu, tidak sinkron menggunakan kedua kakaknya; Kian Santang dikisahkan memeluk Islam setelah bertemu menggunakan Baginda Ali kemudian kembali ke tanah air buat membicarakan syiar Islam kepada sang ayah: Prabu Siliwangi.

Prabu Siliwangi yang tidak bersedia memeluk Islam kemudian menghilang beserta seluruh pengikutnya di Leuweung Sancang (hutan Sancang di daerah Garut kini). Kian Santang yang juga berganti nama menjadi Syeikh Mansyur, melanjutkan syiar Islamnya dan kemudian dikenal sebagai Sunan Rahmat Suci atau Sunan Godog yang petilasannya terdapat di Garut.

Sanghyang Borosngora versi Sejarah Cianjur

Menurut versi Sejarah Cianjur, Sanghyang Borosngora dikenal sebagai Prabu Jampang Manggung. Nama aslinya merupakan Pangeran Sanghyang Borosngora, dia putera kedua Adipati Singacala (Panjalu) yang bernama Prabu Cakradewa. Prabu Cakradewa sendiri merupakan putera Sedang Larang, Sedang Larang merupakan putera Ratu Prapa Selawati. Sanghyang Borosngora merupakan putera Prabu Cakradewa dari permaisuri yang bernama Ratu Sari Permanadewi. Ratu Sari Permanadewi merupakan putera keenam dari Adipati Wanaperi Sang Aria Kikis, jadi Sanghyang Borosngora merupakan saudara misan Dalem Cikundul.

Sanghyang Borosngora mempunyai empat orang saudara dan kepada usia 14 tahun dia diperintah sang ayah buat berziarah ke tanah kudus Mekkah. Pada bulan Safar 1101 H Sanghyang Borosngora berangkat ke Mekkah yang lama perjalanannya merupakan 6 tahun. Sepulang dari tanah kudus, Sanghyang Borosngora mendapat julukan Syeikh Haji Sampulur Sauma Dipa Ulama. Tiba di kampung halamannya Kerajaan Singacala, sang ayah ternyata sudah meninggal dunia. Borosngora kemudian berniat menurunkan ilmunya dan membicarakan ajaran Islam kepada rakyat Pajajaran Girang dan Pajajaran Tengah, lantaran itu Borosngora mengembara ke nagari Sancang dan tanah Jampang.

Pada hitungan windu pertama, Sanghyang Borosngora melakukan bepergian kunjungan ke tanah leluhurnya di Karantenan Gunung Sawal, nagari Sancang, Parakan Tilu, Kandangwesi, Gunung Wayang, Gunung Kendan (Galuh Wiwitan), Dayeuhkolot (Sagalaherang), nagari Wanayasa Rajamantri, Bayabang (menemui Kyai Nagasasra), Paringgalaya (kini sudah terbenam oleh Waduk Jatiluhur) dan kemudian kembali ke Gunung Wayang.

Pada windu kedua dia berangkat ke Jampang Wetan, Gunung Patuha, Gunung Pucung Pugur, Pasir Bentang, Gunung Masigit, Pager Ruyung, Pagelarang, Jampang Tengah, Curug Supit, Cihonje, Teluk Ratu, Gunung Sunda, Cipanegah, Cicatih kemudian mengunjungi Salaka Domas di Sela Kancana, Cipanengah, Cimandiri. Windu ketiga Sanghyang Borosngora pergi ke Jampang Tengah mendirikan padepokan di Hulu Sungai Cikaso, Taman Mayang Sari (kuta jero), Jampang Kulon. Di tempat ini dia dikenal menggunakan nama Haji Soleh dan Haji Mulya. Setelah itu dia kembali ke Cipanengah, Gunung Rompang, di tempat ini dia dikenal sebagai Syeikh Haji Dalem Sepuh.

Sanghyang Borosngora menikahi seorang gadis yatim, cucu angkat Kanjeng Kiai Cinta Linuwih di Gunung Wayang. Gadis yatim ini merupakan turunan eksklusif Senapati Amuk Murugul Sura Wijaya, Mantri Agung Mareja, wakil Sri Maharaja Pajajaran buat daerah Cirebon Girang dan Tengah. Padaa windu ketiga, dia memiliki dua orang putra yaitu Hariang Sancang Kuning dan Pangeran Hariang Kancana. Sanghyang Borosngora hidup sampai usia lanjut, dia wafat setelah dari Gunung Rompang dan dimakamkan di suatu tempat di tepi Sungai Cileuleuy, Kp Langkob, Desa Ciambar, Kecamatan Nagrak, Sukabumi.

Putra cikalnya yaitu Hariang Sancang Kuning melakukan napak tilas bepergian mendiang ayahnya ke Pajajaran Girang dan Tengah, kemudian ke Singacala (Panjalu). Ia wafat dan dimakamkan di Cibungur, selatan Panjalu. Salah seorang keturunannya yang terkenal merupakan Raden Alit atau Haji Prawata Sari yang gigih menentang penjajah Belanda. Ia dikenal sebagai pemberontak yang sangat ditakuti berjuluk "Karaman Jawa". Sedangkan adik Sancang Kuning yakni Pangeran Hariang Kancana menjadi Adipati Singacala kemudian hijrah ke Panjalu, setelah wafat dia dimakamkan di Giri Wanakusumah, Situ Panjalu.

Pertemuan para raja di Gunung Rompang Pada suatu masa beberapa orang raja dan adipati dari bekas tempat Pajajaran tengah dan Pajajaran girang yang meliputi daerah Cianjur, Sukabumi dan sekitarnya berkumpul di zenit gunung yang biasa dipakai sebagai lokasi musyawarah oleh para raja dan adipati yaitu di Gunung Rompang (dalam bhs. Sunda celoteh rompang menunjukan keadaan senjata pedang, golok atau pisau yang sudah retak bergerigi lantaran terlalu tak jarang dipakai). Dinamai Gunung Rompang lantaran kepada masa akhir berdirinya kerajaan Sunda Pajajaran setelah melewati perang selama 50 tahun, senjata para prajurit Pajajaran sudah menjadi rompang lantaran dipakai bertempur terus-menerus. Lokasi ini dikenal juga sebagai "Karamat Pasamoan", adapun tokoh-tokoh yang hadir kepada rendezvous itu merupakan :

Syeikh Dalem Haji Sepuh Sang Prabu Jampang Manggung yang berasal dari negeri Singacala (Panjalu) bawahan Galuh, di tanah Pajampangan dia dikenal menggunakan banyak sekali julukan yaitu sebagai Syeikh Haji Mulya, Syeikh Haji Sholeh, dan Syeikh Aulia Mantili.
Kanjeng Aria Wira Tanu Cikundul atau Pangeran Jaya Lalana, bergelar Raden Ngabehi Jaya Sasana, Pangeran Panji Nata Kusumah.
Raden Sanghyang Panaitan atau Raden Widaya bergelar Pangerang Rangga Sinom di Sedang, Kanjeng Adipati Sukawayana.
Raden Adipati Lumaju Gede Nyilih Nagara di Cimapag.
Kanjeng Kyai Aria Wangsa Merta dari Tarekolot, Cikartanagara.
Kanjeng Dalem Nala Merta dari Cipamingkis.
Pangeran Hyang Jaya Loka dari Cidamar.
Pangeran Hyang Jatuna dari Kadipaten Kandang Wesi.
Pangeran Hyang Krutu Wana dari Parakan Tiga.
Pangeran Hyang Manda Agung dari Sancang.

Tujuan rendezvous para raja ini merupakan buat membahas keinginan para raja dan adipati buat menjalin kerjasama yang lebih erat terutama dalam urusan ekonomi menangkal agresi musuh dari luar. Untuk itu diperlukan adanya seorang pemimpin yang andal, pemimpin yang memegang tangkai, yang dianggap sebagai Raja Gagang (Raja pemegang tangkai).

Prabu Jampang Manggung mengusulkan supaya Aria Wira Tanu Dalem Cikundul yang ditunjuk sebagai Raja Gagang, dan usul ini diterima oleh semua tokoh yang hadir. Akhirnya, setelah menjalankan Salat Jum'ah yang bertepatan menggunakan bulan purnama Rabiul Awal 1076 H atau 2 September 1655 berdiri negeri Cianjur yang merupakan negeri merdeka dan berdaulat, tidak tunduk kepada Kompeni, Mataram maupun Banten, hanya tunduk kepada Allah SWT. Negeri ini dipimpin oleh Aria Wira Tanu, Dalem Cikundul sebagai Raja Gagang.

Bersambung….

Leave a Reply