Bangsawan nusantara saat menghadiri pelantikan Wilhelmina (koleksi tropen museum)
Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Sedianya tulisan lumayan panjang ini hendak saya posting pada kompasiana sebagai satu dari tanggapan dari tulisan seorang kompasioner yang mengangkat tema ihwal bangsawan & darah biru.
Darah biru, saya yakin istilah ini telah akrab diindera dengar kerabat perkerisan sekalian. Darah biru yang andai celoteh merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah frasa yang bermakna keturunan bangsawan (ningrat) adalah warisan feodalisme yang masih mengakar kuat dalam masyarakat khususnya Jawa. Saking mengagungkan warisan darahnya yang biru ini, tidak sedikit priyayi Jawa adalah tipikal pemilih yang tidak toleran. Mereka yang model begini, tidak sembarangan dalam menentukan pasangan, tentunya dari kalangan yang sama, demi menjaga kebiruan darahnya. Istilah semacam ini dalam tradisi kalangan terbatas Jawa disebut memakai mengukir darah biru.
Dahulu, istilah darah biru ini sempat menimbulkan kemideran & kesungkanan tersendiri bagi saya saat terdapat seorang teman disebut-sebut masih ber-darah biru. Setelah saya pikir-pikir hal ini bermula dari kebiasaan bapak yang sering mengajak saya dolan ke tempat tinggal pensiunan wedana. Dari penuturan bapak, pak wedana ini adalah orang trah atau masih darah biru yang doa & omongannya ngijabahi (makbul). Bahkan pada satu dari anaknya yang usianya dibawah saya, bapak menganjurkan saya untuk mencium tangannya. Saya manut saja, apalagi dalam bepergian pulang bapak selalu bercerita andai celoteh mencium sama mereka akan kedunungan rizki & ketularan pinter.
Meski sebenarnya sering dolannya bapak ke tempat tinggal pak wedana tadi tak terdapat sangkut paut ngabdi atau semacamnya, semua tak lebih dari urusan perjuangan semata. Ketika itu bapak adalah juragan kayu sedang pak wedana adalah pemesannya, entah untuk bikin tempat tinggal sendiri atau dijual kembali. Seingat saya sekitar tahun 80-an awal.
Walah kok nglatur kemana-mana, seiring berjalannya waktu doktrin yang tertanam ini kemudian menimbulkan keminderan & kesungkanan saat bergaul sama mereka. Darah biru itulah maksud saya. Dalam perkembangannya, terutama pada Jogja ini justru saya banyak berinteraksi sama yang darah biru ini senyatanya tidak selalu cerdas & sholeh mirip penuturan bapak saya. Seringkali saya mendapati seseorang yang disematkan mempunyai trah darah biru itu banyak tak sinkron memakai statusnya. Laku & ujaranya jauh dari ke-darah biruanya itu. Lho ini tidak satu dua orang saja yang saya jumpai hingga sebagai statemen saya barusan. Banyak.
Semenjak dari situlah doktrin yang ditanamkan bapak secara tidak langsung berangsur bergeser, bahwa seorang yang ber-darah biru bukan agunan sebagai pribadi hebat, mirip pensiunan pak wedana tersebut. Lagi-lagi hal ini akan pupus andai celoteh kita kembalikan pada sebutan manusia yang tempatnya salah & lupa. Sudah selesai tidak terdapat bahasan lagi. Namun demikian saya mohon maaf andai celoteh kebetulan kerabat perkerisan adalah berdarah biru. Sekali lagi mohon maaf.
Baik kita lanjutkan bahasan ihwal sisik melik hingga timbulnya istilah darah biru & bangsawan ini.
Asal usul ini bermula dari bangsa Visigoth suatu suku asal Jerman yang memerintah suatu kerajaan pada dataran Eropa, tapatnya Spanyol. Kerajaan yang tidak kentara apa namanya tersebut konon sangat masyur & makmur. Raja & seluruh rakyatnya gemah ripah loh jinawi. Raja & segenap kerabatnya hayati dalam gelimang kemewahan & kuliner yang berlimpah.
Jika raja & kerabatnya cukup ongkang-ongkang kaki pada lingkungan istana yang mereka bangun, hal ini bertolak belakang memakai rakyatnya. Mereka harus bermandi peluh untuk mengelola tanah garapan dari tanah ulayat kerajaan memakai bagi output. Pendek celoteh, raja & kerabatnya cukup mengutip atau memungut sewa dari tanah yang digarap oleh rakyatnya.
Nah, karena terpapar mentari & bergulat memakai lumpur, konon kulit penggarap ini lambat laun kian kusam & dekil. Kulitnya berangsur sebagai kecoklatan. Hal ini bertolak belakang memakai raja & kerabatnya, kulit mereka semakin memucat & putih. Nah, dari istilah ini kemudian muncul manakala mereka membaur terdapat disparitas yang kontras. Orang yang hayati dalam lingkungan istana karena kulitnya sangat sporadis terpapar mentari hingga urat pembuluh darahnya yang membiru nampak tembus pandang.
Berbilang waktu kemudian, setiap keturunan raja & kerabatnya disebutkan keturuan darah biru atau kaum bangsawan. Barangkali dari sanalah istilah darah biru bermula, kemudian menyebar ke negeri-negeri yang jauh, termasuk ke negeri ini. Keturunan raja-raja pada seluruh negeri ini, baik Jawa juga keturunan raja-raja Sunda, Bugis, Melayu, atau pun yang lainnya tak sporadis menyebut diri sendiri masih mempunyai ikatan ningrat atau keturunan bangsawan yang barangkali hayati tak berkekurangan. Kemudian istilah ningrat ini menetaskan istilah darah biru, yang secara tak langsung membentuk simbol & penanda kebangsawanan, kehormatan & kekuasaan.
Namun berbeda halnya memakai keturunan raja-raja Mataram, yang identik memakai kerajaan Hindu Bali. Di Bali, tidak hanya keturunan raja saja yang menerima istilah darah biru, tapi juga yang disebut Tri Wangsa yaitu para kaum brahmana, ksatria & waisya. Kaum ini identik memakai kelimpahan harta benda pada masanya & menerima posisi tertinggi pada masyarakat.
Sederhananya simpulan dari narasi pada atas, sebutan darah biru itu dikarenakan adanya kontak darah antara raja-raja dulu hingga ke keturunan kesekian yang masih hayati pada masa kini, & masih adanya jalinan kekeluargaan yang kental memakai orang-orang yang dulu terpandang & berpengaruh pada peradaban masyarakat. Meskipun toh sejatinya pernyataan kaum ningrat atau bangsawan sebagai pemilik tunggal 'darah biru' hanyalah pernyataan politik untuk menguatkan posisi. Warisan feodalisme yang tidak terdapat mobilitas oleh para pujangga terdahulu untuk meluruskannya.
Seperti halnya, konsep mengukir darah biru yang telah saya singguh pada awal pembuka tulisan ini. Hal semacam ini lazim hanya diketahui oleh kalangan tertentu & bersifat rahasia. Konsep spiritual leluhur Jawa ini dikenal memakai istilahya ngukir trahing kusuma/trahing aluhur yang artinya mengukir keturunan orang bangsawan/kaum yang tinggi derajatnya. Pemaknaan paling sederhana dalam konsepsi ini adalah menawarkan menawarkan sikap pribadi & konsep yang dirahasiakan, hanya patut diketahui oleh orang terpilih pada seputar raja.
Secara tidak langsung, sifat pemilih tersebut menawarkan adanya pembedaan derajat atau trah/garis keturunan. Kata trah itu sendiri berasal dari katarah (Jawa) yang artinya darah, sebagai gotrah (famili, sanak saudara sedarah) & trah memakai arti garis keturunan.
Kemudian, warisan feodalisme ini ihwal konsep trah ini berlaku umum memakai estimasi bahwa 'raja sebagai keturunan tuhan' harus dijaga & dipertahankan kemurnian darahnya agar tidak terkontaminasi oleh darah keturunan non tuhan (rakyat biasa).
Anggapan mirip ini sebenarnya dimaksudkan untuk mempertahankan kehormatan & politik (kekuasaan) kunci pemerintahan. Eksklusivisme itu akhirnya menumbuhkan rasa & sikap kesombongan. Hingga istilah ini akhirnya mengandung konotasi keluhuran prestise yang berbeda memakai rakyat biasa.
Kaum ningrat atau bangsawan adalah berwarna biru simbol keluhuran sebagaimana rona langit biru yang berbeda memakai darah rakyat biasa 'sudra papa' yang tetap berwarna merah. Dari sinilah kemudian istilah darah biru dikenal.
Dalam pandangan mereka yang berdarah biru ini, satu dari hal yang paling berarti adalah mendapatkan keturunan. Karena itu selain mendapatkan pasangan yang sama-sama dari darah biru. Cara memperoleh anaknya pun harus disiapkan memakai sebaik-baiknya agar kemurnian darah biru tetap terjaga. Sehingga kualitas tabiat si anak juga menawarkan bahwa beliau dari golongan darah biru.
Dan parahnya idiom ini diterapkan jua untuk memberi sebutan bagi para pendeta (pandhita), kaum kiai masjid keraton sebagai kaum suci memakai darah putih. Mereka ini dipercaya sebagai kaum suci, tak berdosa. Berkat laku yang dijalankannya memeroleh peringkat iman & takwa yang unggul sehingga mereka juga disebut kaum putihan.
Kembali pada penyataan pada atas, bahwa sejatinya kaum bangsawan sebagai pemilik tunggal 'darah biru' hanyalah pernyataan politik untuk menguatkan posisi. Tidak lebih dari itu. Dan akhirnya, dipenghujung tulisan ini telah saatnya angapan-estimasi diatas mesti dikembalikan pada hal yang semestinya, bahwa pengertian darah biru sebenenarnya kualitas manusia unggul (berbudi luhur, jujur, toleran, pekerja keras, murah hati, & banyak sifat lain yang bisa disebut) yang berlaku bagi siapa saja. Tanpa pandang bulu, karena semua orang yang berkemampuan tinggi melebihi kemampuan manusia lain yang dalam bahasa Jawa disebut mempunyai Rah Adi (darah yang cantik).
Tidak terdapat perkara yang tidak terdapat jalan keluarnya, karena begitulah galibnya aturan yang berlaku pada alam semesta ini. Pun halnya warisan feodal estimasi darah biru yang lebih unggul dari rakyat jelata mirip kita ini. Setidaknya kita mulai dari diri sendiri dulu untuk tidak membeda-bedakan orang hanya karena status sosialnya. Memang, harus terdapat yang diatas & dibawah. Karena tanpa itu orang-orang tidak bisa mencari kerja, tidak bisa melangsungkan hidupnya. Tapi bukan berarti harus mengagungkan darah biru apalagi merendahkan darah merah, yang kenyatannya darah adalah warnanya merah. Karena dimata Gusti Allah semua manusia sama drajatnya. Tidak terdapat yang berbeda. Sementara sekian dulu, hingga jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
Yogyakarta, 16117