web analytics
Kampung Batik Laweyan Saksi Diam Intrik, Suksesi dan Pengkhianatan Kekuasaan - DUNIA KERIS

Src="https:/2.p.bospt.om/lFpiI25/WRA543I/AAAAAIE/OAqaZsk8O6KcpXLGzu7QMQLcBs100/ag.jg" lt"ia"stle"b > <pada ls=MsNoml> >/pada>> div cllas""MoNNomll"
s AAkraaaa SSllaaa dttnngk daag  iinsiih akkaaassa eebnnaanny aay iidkk ini  eeneeiiaaknnuulnn aan  eelhhddkeethhuu bnnaa rann.. aaajjsstuu inii,, eeccrrttattnttn ool  aar  uddtt padaag  anggllinnna.. Sll ynn tdda  eelll ddnntkk  eena erraatnn
srr llwrr ttuu u bdaaaa aww..sp>iv group="soorml" a></
ppnn>/div>  divv clss=="ssNNomml>> span>>Krnn sjaiina,, aai bnyykk iiss ennaarkk aann mmmuua  aay  eell erriiaat nn eppeooaa eennaanbmmipprr ntt ann  eeraaaakseejm erraaannnn daii aannhh attakkuiii..  eerii eenkk eyyu eehddppa oot  olloo aaggssnaattissaa eembaa kssnggssmm annaasjjauuh citt.. Ha  hll agg eemmddinmmnjjddkka  ayaa eeppetii eenmmkaa assaa aallusekaalggss ass dppnn,jjsstuu keiiaa aau  arrii appugg allaaa,  ommpii.. iiahh iiaa angg eemme  emmhh nau caappaal  emmaaaaiiaaa..sa>/div> i casMsom">span<r/>i
MNoal>
n>Mak autk mu,skatk uk sya u brceit tetngpejaan ay e saa eralna mneusr
sa as sla ag elh erua.Mengnngkejyan euaaa an elau eniska egna inrk,petauga skssi, enkhanta, emestun ahan eeleorn ka kkasa. ug eit ertadribagna ta ag enajk eta ktayn mnimtiyaunu mmknanya</pn>/iv div classs=="sooorraa"> snsa>/div dv
s>pada cas=MsNoml"<span>KKapnngLLaeeaa,, eeittllhh rrnn leebhggappnngmmnnybuutyy.. auunssleennkaappna daaaa sbbnttaan  allaanyynngmmruuppaaa stt wllyya eccmmtaann ikkoaa Soo ammppugg niissdaa  ammaa eejjdi snnrrakkrraiiann atiikdii wiaaaahSSloo.. eagaaikkmmpnn knn ynn padat, tempat tinggal-tempat tinggal pada sini dibangun sangat berdekatan. Selain sebagai salah satu sentra industri batik, kawasan Laweyan juga terdapat tempat tinggal-tempat tinggal akbar berarsitektur indah menggunakan tembok tinggi yang mengelilinginya. Hanya dipisah oleh spasi tak lebih dari 3 meter. Pintu-pintu tempat tinggal dirancang berhadap-hadapan.

Setiap tempat tinggal sempurna punya pintu. Apakah pemilihan pintu menyiratkan pesan tertentu kepada orang yang melintas atau akan bertamu pada depannya? Apakah pintu menyimpan guratan sejarah tempat tinggal tersebut? Ataukah justru tidak bermakna apa-apa? Pertanyaan ini tiba-tiba menyeruak ketika saya menyusuri lorong-lorong sempit pada kampung Laweyan.

Pertama kali memasuki kawasan ini saya menangkap kesan kampung yang angkuh. Banyak pintu-pintu yang tertutup. Pintu-pintu tempat tinggal juga dirancang cukup kokoh untuk mencegah pencuri masuk. Meski begitu, masih ada yang masih memberi celah-celah berjeruji supaya tamu atau tetangga masih bisa mengintip aktivitas pada dalam tempat tinggal, & sebaliknya.

Saat mencari referensi pada internet, saya baru tahu ternyata tempat tinggal-tempat tinggal penduduk Laweyan saling berafiliasi pribadi melalui pintu-pintu tembus yang dikenal sebagai pintu butulan. Baik itu pada permukaan atau pada bawah tanah. Mungkin itu sebabnya, tidak semua pintu yang ada pada kampung ini terbuka karena mereka memiliki pintu-pintu alternatif yang tidak diketahui oleh masayarakat awam. Barangkali, pintu-pintu itu sengaja dirancang untuk memberi batasan antara ruang privat & ruang publik. Inilah jawaban pertanyaan pertanyaan saya pada atas mengenai setiap tempat tinggal mempunyai pintu.

Kampung Laweyan yang sudah ada sejak tahun 1500 Masehi ini juga menorehkan kejayaan kaum perempuan dalam bidang perjuangan, tapi juga menyandang stigma negatif berwujud predikat "perempuan bahu Laweyan". Entah ada korelasinya atau bukan, namun andai celoteh kerabat perkerisan berminat membacanya pada perkerisan ini saya sudah membagikan tulisan mengenai perempuan bahu laweyan, Ciri & Mitos Wanita Bahu Laweyan.

Kampung Laweyan ini menjadi saksi ketika beberapa trah Majapahit tak puas menggunakan kekuasaan yang diambil alih orang-orang pesisir. Dengan pengaruh Syeh Siti Jenar & penggalangan kekuatan Majapahit lama, penumbangan kekuasaan Demak terus menerus disusun. Pengaruh ajaran Syeh Siti Jenar yang menekankan pada tasawuf mendapat loka bagi kelompok pedalaman, bagi para bangsawan yang menolak untuk menyingkir ke Bali & menerima Islam menggunakan paham akulturisme, sebuah penerusan keluhuran budaya-budaya yang telah berkembang.

Salah satu kelompok tersebut ialah kelompok Ki Ageng Ngenis, Putera Ki Ageng Selo. Ki Ageng Ngenis membangun wilayah perdikan (bebas pajak) pada pedalaman lembah Solo. Kampung ini kemudian menjadi loka perpindahan dari orang-orang sungai Nusupan atau Bengawan Semanggi (kelak dikenal sebagai Bengawan Solo). Orang-orang dari Sungai Nusupan ini bertradisi dagang & membuat batik, dari kampung Laweyan inilah kemudian dikembangkan tradisi membatik yang lebih rumit & sophisticated ketimbang tradisi batik pada masa Majapahit atau yang berkembang pada Demak dimana pola-pola batik pesisir lebih sederhana. Selengkapnya baca Mengenal Ki Ageng Ngenis Sang Perintis Kesultanan Mataram

Lama laun Kampung Laweyan berkembang menjadi pusat industri batik sejak jaman kerajaan Mataram. Ada perkembangan yang menarik pada sini. Meski budaya patriarki masih sangat lebih banyak didominasi pada saat itu, tapi penguasa yang sebenarnya pada kampung Laweyan ialah kaum perempuan yang dikenal sebagai Mbok Mase. Kaum perempuan pada Laweyan terbiasa bekerja keras sejak kecil, hemat & telaten. Istilah Jawanya, "Gemi, Nastiti, Ngati-ati" (mengelola uang menggunakan ketat, teliti & sangat berhati-hati). Dengan etos kerja ini, perlahan-lahan mereka menguasai perekonomian kampung Laweyan.

Kaum laki-laki pada kampung Laweyan dikenal sebagai Mas Nganten. Kaum laki-laki ini dibebaskan berbuat apa saja pada luar perjuangan batik asal tidak istri lebih dari satu, foya-foya, & tidak menyakiti hati Mbok Mase. Secara praktis, perjuangan batik ini menjadi cara bagi Mbok Mase supaya terhindar dari penindasan kaum lelaki. Dengan menguasai perjuangan batik, Mbok Mase memiliki posisi tawar yang bertenaga ketika berhadapan menggunakan lelaki. Kelompok Mbok Mase juga bersikap oposan terhadap kaum priyayi (bangsawan) istana saat itu.

Meski raja Mataram Islam pertama berasal dari kampung ini, tapi kelompok Mbok Mase ini bersikap oposan menggunakan kaum bangsawan yang suka foya-foya, gila hormat & juga beristri lebih dari satu. Para bangsawan ini bisa menikmati hidup enak karena faktor keturunan, sedangkan Mbok Mase mendapat posisi yang bertenaga karena kerja keras.

Untuk menyaingi kaum priyayi yang mereka benci itu, para Mbok Mase juga membangun tempat tinggal-tempat tinggal akbar & menjulang tinggi mirip keraton. Para juragan batik ini juga membangun lorong atau jalan rahasia pada dalam tempat tinggal mereka menuju tempat tinggal juragan batik lainnya pada Laweyan. Jalan-jalan rahasia ini dimanfaatkan untuk ketika mereka akan mengadakan pertemuan rahasia menggunakan sesama saudagar batik untuk membahas kondisi sosial politik ketika itu.

Dari loka pusat batik inilah pula pernah berkumpulnya Ki Ageng Pemanahan, putera sulung Ki Ageng Ngenis & beberapa kawannya Ki Juru Martani & Ki Panjawi. Mereka mendapat kawan dari pertapaan gunung Lawu yang bernama Mas Karebet atau dikenal Joko Tingkir. Keempat orang ini pada usianya menjelang 30-an tahun menaklukkan wilayah Bengawan Semanggi & menjadikan pusat perdagangan penting. Setelah penaklukan Bengawan Semanggi, Mas Karebet ingin masuk ke Istana. Selengkapnya baca Ki Ageng Pamanahan : Perjanjian Belum Selesai

Puncak resistensi kaum Mbok Mase terjadi sekitar itu 1740-1750. Kala itu laskar etnis Tionghoa mengobrak-abrik keraton karena marah terhadap inkonsistensi Pakubowono II dalam melawan Belanda. Pakubowono II melarikan diri ke sebuah goa pada tepi Sungai Laweyan, Solo. Raja meminta bantuan pinjaman puluhan kuda dari para saudagar batik Laweyan, tapi ditolak oleh para Mbok Mase.

Politik Kebo Ndanu, dimana ada amuk kerbau pada Keraton Demak disusun oleh Ki Juru Martani yang cerdas, Ki Panjawi mencari rumput kemudian pada aji-aji supaya kerbau itu mengamuk pada Keraton, dari amukan kerbau inilah 'Senja kekuasaan Demak bermula'. Karebet yang berhasil menjinakkan kerbau diangkat menjadi lurahe prajurit, barangkali setingkat kolonel saat ini pada Demak & menguasai spenihnya pasukan darat Demak. Hingga kemudian Karebet diambil menantu oleh sultan Demak yang berkuasa saat itu, Sultan Trenggono. Di kampung Laweyan inilah taktik tersebut dimatangkan.

Setelah Sultan Trenggono wafat, kemudian digantikan anak tertuanya Sunan Prawoto. Sementara Karebet ketika itu menjabat adipati Pajang. Ketika Aryo Penangsang menuntut tahta Demak, & menolak naiknya Sunan Prawoto menjadi sultan Demak. Setelah diberi tahu oleh Sunan Kudus andai celoteh ayahnya Pangeran Sekar Sedo Lepen yang tewas karena pada bunuh salah seorang pengawalnya sendiri yang ternyata ialah suruhan Sunan Prawoto. Maka, kemudian menggunakan cara yang sama, Aryo Penangsang mengutus orang kepercayaannya untuk menghabisi Sunan Prawoto. Tewaslah Prawoto diujung keris menggunakan menggunakan menggunakan istri sekaligus orang suruhan Penangsang tersebut. Demak kosong kekuasaan. Status quo.

Untuk lebih lengkapnya kerabat perkerisan bisa baca pada Aryo Penangsang : Ksatria yang Dihitamkan Sejarah & Dibalik Mitos Kutukan Aryo Penangsang

Dalam status quo tersebut dewan wali yang beranggotakan walisongo terjadi silang pendapat, sebagian memilih Penangsang sebagai pewaris primer tahta Demak & Karebet sang adipati Pajang. Karebet tahu diri, yang dalam hal ini hanya sebagai menantu dia akan kalah voting dalam Penangsang yang masih matangkan oleh dewan wali.

Di salah satu wisma pada Kampung Laweyan inilah saksi ketika Karebet rembukan intrik politik menggunakan penasehat politiknya, yakni: Ki Panjawi, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan & anak bujangnya yang masih belia kala itu Danang Sutowijoyo.

Diputuskan dalam rembugan itu ialah menggunakan memancing Aryo Penangsang yang berdarah panas itu keluar dari keraton Jipang Panolan & diarahkan ke dalam sungai Bengawan Sore (sebuah kanal buatan untuk pertahanan disekeliling keraton Jipang). Karena dari mitosnya kesaktian keris Setan Kober & jimat Aryo Penangsang memiliki kelemahan pada sungai, ini sama menggunakan ayahnya yakni pangeran Sekar Sedo Lepen yang tewas pada bunuh pada tepi sungai oleh orang suruhan Sunan Prawoto setelah terselesaikan sholat Jumat.

Di Bengawan Sore Danang Sutowijoyo memancing Aryo Penangsang menggunakan memantati & mengata-ngatai pengecut. Tak ayal, Aryo Penangsang yang saktinya tidak tertandingi kala itu lalu meloncat ke kuda hitam beringas Gagak Rimang, walau sudah dihalangi oleh Ki Patih Mentahun & adiknya Pangeran Aryo Mataram. Di tengah-tengan kali Bengawan Sore itulah perut sebelah kanan Penangsang tertusuk tombak Kyai Plered Danang Sutowijoyo, & ususnya terburai. Barangkali lupa, Penangsang mengalungkan ususnya itu ke tepi keras & terus mengejar Sutowijoyo, ketika Keris Setan Kober dicabut & berteriak "Mampuslah kau bocah ingusan!!" ususnya terpotong & Penangsang pribadi mati.

Tewasnya Penangsang ini juga mengawali suksesi Karebet mentahbiskan diri sebagai sultan Pajang penerus Demak setelah mendapat restu dari Kalinyamat. Pertemuan pada Kampung laweyan ini pula yang menjadi saksi perpindahan pusat keraton Jawa yang berpusat pada Pesisir ke Pedalaman & mengangkat Danang Sutowijoyo sebagai anak angkat. Selengkapnya baca mengenai Ratu Kalinyamat : Antara Lingkar Kekuasaan & Dendam.

Kematian Penangsang ini juga yang dikemudian hari menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram dimana Danang Sutowijoyo menjadi penguasanya, pada usia yang belum genap 24 tahun. Danang Sutowijoyo yang dikemudian hari bergelar Raden Sabrang Lor ing Pasar, karena sang bapak Ki Agen Pemanahan mampu membangun pasar yang ramai menggunakan mendatangkan budak-budak terampil yang sampai sekarang masih ada jejaknya & dikenal sebagai 'orang kalang'. Kelak orang kalang ialah pengusaha-pengusaha kaya pada Kotagede bahkan kekayaannya melebih para bangsawan Yogyakarta. Selengkapnya bisa kerabat perkerisan baca Orang Kalang : Mitos Manusia Berekor.

Menjelang umur 30 tahun, Ki Ageng Pemanahan mengajak anaknya menemui Sultan Hadiwijoyo pada Laweyan & bicara soal gelar penguasa Perdikan. Kemudian Sultan menyampaikan gelar 'Panembahan Senopati'. Diharapkan Danang Sutowijoyo menjadi Panglima Pajang yang primer untuk menaklukkan Brang Wetan dimana Surabaya ialah incaran primer Sultan Hadiwijoyo. Tapi pertemuan itu tak lama kemudian ternoda menggunakan kejadian asmara Raden Pabelan kerabat dekat Panembahan Senopati menggunakan sekar kedaton Pajang putri sang sultan, yang kemudian Raden Pabelan dibunuh oleh prajurit kaputren Pajang yang akhirnya membuat marah pihak Mataram. Pembunuhan Pabelan yang ditombak mati pada Laweyan & mayatnya dilarung pada sungai membuat Panembahan Senopati murka. Selengkapnya baca Romansa Jawa : Tragedi Cinta Raden Pabelan

Panembahan Senopati setelah mendapatkan dukungan beberapa bupati pesisir yang dikontrol oleh penguasa perdikan Pati Ki Juru Martani balik menantang Sultan Hadiwijoyo. Tantangan ini dijawab menggunakan Sultan Hadiwijoyo menggunakan mengirimkan ribuan pasukan ke Kotagede melewati jalan Prambanan, berbarengan menggunakan itu pada dekat candi Prambanan gunung merapi meletus. Namun Panembahan Senopati sudah menyusup ke Laweyan & sungkem kepada Sultan yang terjatuh dari gajah, tak lama setelah sungkeman tersebut Sultan Hadiwijoyo mangkat. Selengkapnya baca Biografi Jaka Tingkir & Pajang & Misteri Keruntuhannya.

Setelah Mataram memapankan kekuasaan, wilayah Laweyan tetap memiliki arti penting. Kekuasaan Kotagede amat bergantung menggunakan jalur sungai. Suplai pada utara didapat dari Solo dimana Bengawan Solo menjadi pusat perdagangan paling penting pada Jawa pedalaman untuk mengalirkan barang-barang kebutuhan masyarakat. Setelah Sultan Agung meninggal, anaknya yang bernama Amangkurat terlalu banyak memainkan intrik yang tak perlu & menyebabkan kerajaan mendapatkan musuh dimana-mana. Selengkapanya baca Amangkurat I : Diktator Pertama Tanah Jawa

Konflik Amangkurat ini kemudian memutuskan Keraton dipindahkan ke Plered, keraton baru dirancang menggunakan batu merah & amat kokoh. Tapi pada Plered ini juga kemudian Amangkurat I semakin meragukan semua orang, ia menculik satu persatu penggede keraton, orang-orang tua keraton & dibantai lalu menggantinya yang lebih muda.

Di Laweyan, Amangkurat mengumpulkan kelompok pedagang, para panglima perang & pemimpin administratif Jawa lalu memutuskan 'sentralisasi Jawa' intervensi Mataram benar-benar diwujudkan menggunakan menutup bandar-bandar pesisir, menghantam Banten, mencabut persekutuan menggunakan Cirebon yang kemudian berbuntut dipermalukannya Amangkurat oleh Banten & tidak mampunya Amangkurat menguasai Brang Wetan (Surabaya) yang merupakan amanat penting Bapaknya, Sultan Agung Anyokrokusumo. Selengkapnya baca Sejarah Pemberontakan Trunojoyo

Pada masa pemerintahan Amangkurat III, Laweyan dikenal masyarakat sebagai loka dihukumnya Raden Sukro, Putera Raden Arya Sinduredjo, patih Amangkurat. Raden Sukro ada main seks menggunakan salah seorang selir Amangkurat yang juga merupakan anak Pangeran Puger, kelak Pangeran Puger menghantam Amangkurat Mas & menjadi Raja menggunakan gelar Pakubuwono I. Melawannya Pangeran Puger ini tak lepas dari dipermalukannya puterinya pada depan awam pada Jalan Laweyan.

Pada masa Pangeran Diponegoro, Jalan Laweyan sempat menjadi permufakatan diam-diam antara Pakubuwono VI menggunakan utusan Diponegoro & diputuskan supaya Solo juga membantu Yogya melawan Belanda. Keputusan ini kemudian dilanjutkan ke sebuah desa yang dinamakan Alas Krendowahono pada utara Solo. Pertemuan Alas Krendowahono menjadi dasar persekutuan saling pengertian antara Solo & Yogya dalam 'Perang Jawa'. Bantuan Solo ini kemudian diwujudkan dalam bantuan kelompok ulama garis keras yang dipimpin Kyai Modjo. Selengkapnya baca Perang Jawa : Diponegoro, Ratu Adil yang Kalah Perang

Persekutuan diam-diam ini kemudian dibongkar oleh agen intel Belanda & melaporkannya ke Semarang, atas perintah Gubernur Jenderal Batavia, Pakubuwono IV ditangkap lalu dibuang ke Ceylon. Penggede Belanda saat itu menyebut dokumen penangkapan sebagai 'Dokumen Laweyan'. Namun Belanda tidak bertindak gegabah, karena mereka tak ingin menambah musuh, Keraton Solo didiamkan. Pada suatu saat Pangeran Diponegoro, menyusup ke Keraton Surakarta & bicara penting soal pasukan Madura. Ditengah pembicaraan tiba-tiba tiba Residen Surakarta, Pangeran Diponegoro sembunyi, lalu melarikan diri, kereta yang ditinggalkannya dikuburkan pada belakang istal Istana Surakarta. Perang Jawa : Sejarah Singkat Kyai Modjo

Pakubuwono VI ialah keturunan Ki Juru Martani & memiliki nama kecil Raden Mas Sapardan, menganggap wilayah Laweyan ialah wilayah penting karena Ki Juru Martani kerap mengambil keputusan pada wilayah itu, pada tahun 1830 ketika perang Diponegoro usai, Jenderal Van Den Bosch pada salah satu tempat tinggal dinasnya pada Jalan Laweyan meminta Pakubuwono VI menyerahkan kekuasaan Surakarta pada sekitar wilayah Banyumas, Jepara, & Madiun. Tapi Pakubuwono VI menolak, penggede Belanda itupun menyodorkan bukti-bukti persekutuan Pakubuwono menggunakan Diponegoro, kemudian Pakubuwono VI ditangkap Belanda & dibuang ke Ambon, ditengah laut Pakubuwono ditembak mati, kelak Jenderal Pangeran Djatikusumo salah seorang penggede Angkatan Darat Republik anak dari Pakubuwono X mengumumkan tengkorak Pakubuwono VI ada lobang pada kepalanya tembusan peluru jungle riffle.

Pada awal abad 20-an Jalan Laweyan juga menjadi saksi bentrok antara orang-orang Mangkunegaran menggunakan pedagang Cina hasil politik diskriminasi Belanda. Orang-orang Cina mendirikan perkumpulan yang kemudian menjadi berkembang semacam perkumpulan politik yang sehaluan menggunakan Nasionalis Cina yang pada pimpin oleh Dr. Sun Yat Sen yang sedang mapan pada daratan Cina. Dr. Perkumpulan ini kerap bentrok menggunakan saudagar-saudagar Laweyan, untuk menandingi Perkumpulan Cina ini seorang Saudagar Laweyan, bernama Hadji Samanhudi mempelopori berdirinya Sarekat Dagang Islam, atau dikenal SDI sebagai cikal bakal Sarekat Islam dimana kemudian muncul macan podium yang paling berpengaruh atas nasionalisme Indonesia : HOS Tjokroaminoto.

Kemudian, pada 29 Desember 1929, Bung Karno berpidato ke Solo menggunakan menumpang taksi Cherovlet yang dikendarai Arif anak gang Cikini, mengajak Maskoen, Gatot Mangkuprodjo & Mang Ojib. Bung Karno pidato pada sebuah gedung bioskop dimana terdapat pertemuan Permufakatan Politik Indonesia, Setelah pidato pada Solo Bung Karno menggunakan Inggit, Gatot Mangkupradja makan pada sebuah warung sate kambing pada Laweyan, kemudian mereka ke Yogyakarta ke tempat tinggal Raden Mas Mashudi pada Jalan Tugu Kidul. Saat mau beristirahat sekompi polisi Belanda mengetuk pintu tempat tinggal Mashudi & memerintahkan Bung Karno keluar.

Tuduhannya ialah pidato pada Solo mengandung unsur subversif, rombongan Sukarno disuruh berganti sandang pada halaman & dibawah todongan senjata pada bawa ke Stasiun Tugu lalu menggunakan kereta khusus tanpa jendela dibawa ke Bandung. Dan diadili kemudian lahirlah pokok pemikiran Sukarno yang terkenal berupa analisa sejarah perkembangan masyarakat yang diperbudak kapitalis & modal asing bernama "Indonesia Menggugat".

Pada saat pertarungan keras antara kubu Sjahrir menggunakan Tan Malaka & berujung pada kejadian Paras, Boyolali. Jalan Laweyan amat penting. Di Jalan Laweyan pula terdapat beberapa pertemuan kelompok tentara anti kebijakan ReRa Hatta & kemudian melahirkan 'perang Srambatan' antara Pasukan Siliwangi yang pro Hatta-Nasution menggunakan pasukan Solo yang anti ReRa, perang Srambatan ini juga berkembang menjadi Madiun Affair. Ketika itu Solo dikenal sebagai sarang oposisi terhadap pasukan Pemerintah yang bercokol pada Yogyakarta atas perlindungan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kelompok oposisi menolak andai celoteh laskar-laskar rakyat dilucuti, sementara banyak laskar-laskar rakyat juga binaan Amir Sjarifuddien, eks menteri pertahanan pada era sebelumnya.

Setelah Madiun Affair 1948 terjadi, penangkapan pasukan komunis dilakukan pasukan Kala Hitam, Siliwangi pimpinan Mayor Kemal Idris beberapa pemimpin muda Komunis berhasil sembunyi termasuk DN Aidit yang bersembunyi pada salah satu tempat tinggal Laweyan. Setelah KMB 1949 sebuah perjanjian memperpendek perang ditandatangani, Aidit sempat tak jarang muncul pada Laweyan kemudian ke Kranggan Yogyakarta lalu menurunkan gesekan jati lambang PKI & membawanya ke Jalan Kramat. Di kemudian hari DN Aidit yang kala itu baru berusia 31 tahun berhasil mengantarkan PKI sebagai Partai terbesar nomor empat pada Indonesia. Kenangan Aidit terhadap Jalan Laweyan & beberapa wilayah Solo ia bacakan juga ketika berhadapan menggunakan Jaksa Dali Mutiara pada pengadilan verifikasi kejadian Madiun 1949 yang coba diangkat pihak Masyumi beberapa tahun kemudian.

Hingga tahun 70-an, masih banyak Mbok Mase pada Laweyan. Namun semenjak rezim Orde Baru berkuasa, maka batik tulis ini mulai tergeser oleh industri batik cap yang biayanya jauh lebih murah & efisien. Tidak jauh dari kampung Laweyan, berdiri pabrik tekstil yang mampu membuat kain bermotif batik secara massal. Di pinggiran kota Solo yang lain juga muncul pabrik tekstil raksasa yang dimiliki oleh salah satu menteri Orde Baru yang senang "meminta petunjuk bapak Presiden.'

Tak ayal pamor batik Laweyan meredup pamor. Banyak industri batik kemudian tutup. Kaum laki-laki & perempuan Kampung Laweyan pun beralih menjadi buruh pabrik. Kini yang tersisa ialah sebagian tempat tinggal-tempat tinggal akbar menggunakan tembok menjulang & stigma jelek. Ya, nama Laweyan juga bersinggungan menggunakan mitos yang memojokkan perempuan yaitu "perempuan bahu laweyan."

Predikat ini dilekatkan pada perempuan yang mempunyai tompel atau titik hitam sebesar uang logam pada bahu kirinya. Masyarakat Jawa percaya bahwa perempuan ini kebal terhadap berbagai ilmu hitam. Perempuan bahu laweyan sosok yang digambarkan pribadi pendiam namun andai celoteh ia melakukan hubungan intim menggunakan suaminya, maka suaminya itu sempurna mati secara mengenaskan. Apakah mitos ini sengaja diciptakan & dihembuskan oleh bangsawan kraton yang membenci perempuan Laweyan? Wes embuh.

Akhir celoteh, demikain cerita segaris jalan yang bernama Laweyan & kampung Laweyan, dimana banyak tersimpan saksi sejarah penting berdirinya negeri ini. Semoga menambah wawasan buat kita sekalian. Nuwun.

Bumi Para Nata, Ngayogyokarto 100117

Leave a Reply