Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Bererapa waktu yang lalu, kita digemparkan dengan info LGBT. Benar. Hampir dimana-mana ada demo yang mengutuk perilaku tadi. Tulisan yang sampeyan baca ini bukan tentang mendukung atau menolak lho ya. Sekedar mencoba mencari tau perilaku tadi jauh sebelum jaman sedigital ini.
Bicara tentang perilaku LGBT, dalam hal ini khususnya praktek homoseksual sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Sejak jaman dahulu sudah ada. Wacana-wacana homoseksual di Jawa sudah ada semenjak abad 19. Setidaknya perilaku ini tercatat dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa abad ke-19, ternyata ditemukan cerita-cerita mengenai adegan seks antar lelaki. Kitab yang ditulis para pujangga kraton di masa Sunan Pakubuwono IV ini memuat adegan homoseksual secara gamblang.
Dalam salah satu bagian di Serat Centhini dibicarakan tentang bagaimana praktek homoseksualitas dilakukan oleh para tokoh cerita tadi. Misalnya dalam kisah perjalanan Mas Cebolang. Ada satu adegan dalam buku panjang itu bagaimana Adipati Wirasaba melakukan interaksi seksual dengan Mas Cebolang alias Mas Ngali, seorang putra pertapa yang tengah mengembara di abad ke-17.
Mas Cebolang digambarkan sebagai pemuda yang cantik, satuhu lamun binagus/lir lanyapan munggeng kelir/amung pasemone wadon (pemuda yang rupawan/bagaikan tokoh dalam wayang/dengan raut muka kewanita-wanitaan). Centhini menyebut interaksi seks itu dengan istilah jambu & jinambu. Sang adipati pada akhirnya dikisahkan sebagai pihak yang kesakitan, tepatnya pada anus.
Homoseksualitas tidak hanya dikenal dalam wacana kesusastraan Jawa, namun pula terdapat dalam praktek kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini bisa kita lihat di Ponorogo, Jawa Timur dalam sebuah tradisi interaksi warok-gemblak. Keberadaan warok & gemblak di Ponorogo tidak dapat dilepaskan dari kesenian rakyat yang disebut Reog yang sudah menjadi trademark Kabupaten Ponorogo. Kesenian ini diduga peninggalan tradisi kerajaan Hindu Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1045 sampai tahun 1222 Masehi. Karena itu pentas Reog tidak pernah lepas dari pakem cerita peperangan antara kerajaan Bantar Angin & Kediri.
Warok merupakan tokoh utama dalam pertunjukan reog. Warok dalam reog diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang menguasai ilmu kesaktian (ngelmu) dalam pengertian kejawen, atau menguasai kepandaian beladiri & kesaktian. Ia pula sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal atau punggawa raja Klana Sewandana (bagi warok muda) atau sesepuh & pengajar (bagi warok tua).
Dalam pentas-pentas reog, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis & jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, & berjalan dengan bantuan tongkat.
Kisah keberadaan warok tidak dapat dilepaskan dari legenda Warok Suromenggolo yang masyhur pada masa kerajaan Majapahit. Warok Suromenggolo, yang diperkirakan hidup pada permulaan kerajaan Majapahit mengawali kisah mistis itu. Warok itu memiliki pusaka berupa kolor sakti yang dapat dipergunakan buat membunuh lawan. Selain itu ia pula memiliki pusaka yang lain, luyung bang, yang dapat dipergunakan buat menghidupkan orang mati.
Dikisahkan, putri Warok Suromenggolo bernama Cempluk jatuh cinta pada Subroto, putra penguasa Trenggalek. Akan tetapi ternyata Subroto pula dicintai oleh putri seorang warok lain, Warok Surogentho yang bernama Suminten. Singkat cerita kedua warok tadi akhirnya berperang tanding demi membela anak-anak mereka. Akhir permasalahan tadi dimenangkan oleh Warok Suromenggolo, sehabis ia berhasil membunuh Surogentho dengan cara menyabetkan kolor saktinya.
Kisah kolor sakti Suromenggolo sudah melahirkan legenda kedigdayaan warok yang jadi kebanggaan masyarakat Ponorogo. Oleh sebab itu istilah Warok kemudian dipergunakan sebagai sebutan bagi orang yang dianggap sakti, ampuh & memiliki kelebihan fisik juga supranatural. Warok dicitrakan sebagai orang kuat yang disegani. Keberadaan warok kemudian menjadi tokoh sentral dalam kesenian reog, & menjadi pemimpin sebuah kelompok reog yang beranggotakan 20-30 orang.
Peranan warok ternyata tidak hanya di dalam pentas reog & lingkup kelompok kesenian reog tadi, namun pula memiliki peranan dalam kehidupan sosial masyarakat Ponorogo. Warok pula dianggap sebagai tokoh, sesepuh, & pemimpin di masyarakat. Oleh sebab itu peranan warok tidak berbeda jauh dengan peranan tokoh masyarakat lain seperti kepala desa, pengajar, kyai atau tokoh masyarakat lainnya.
Dalam kesenian reog, selain warok sebagai tokoh sentral, pula dikenal keberadaan tokoh pembarong yaitu orang yang membawa barongan serta gemblak atau remaja laki-laki berparas tampan yang menjadi pendamping warok. Relasi antara warok & gemblak tersebutlah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk relasi homoseksual yang sudah melembaga dalam tradisi reog Ponorogo.
Keberadaan gemblak dalam kelompok pertunjukan reog ialah sebagai peraga jaranan atau penari jathil, & selalu diperankan oleh laki-laki remaja berparas tampan yang berusia antara 10 sampai 17 tahun. Persyaratan utama buat menjadi penari jathil (gemblak) haruslah laki-laki karena seorang warok sesuai dengan ajaran perguruannya sangat dilarang kesengsem atau jatuh cinta dengan perempuan. Bika mereka jatuh cinta pada perempuan maka kekebalannya akan hilang, kulit menjadi empuk, tulang menjadi rapuh & perut menjadi seperti gedebog pisang.
Keberadaan & eksistensi relasi warok-gemblak tadi cenderung dapat diterima oleh masyarakat lokal karena sudah menjadi bagian dari tradisi setempat, & sang warok meskipun diketahui memiliki interaksi gemblak tetap menjadi tokoh yang dihormati & disegani oleh para anggota kelompoknya juga oleh masyarakat di sekitarnya.
Munculnya relasi warok-gemblak tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemunculan warok itu sendiri, & bagaimana seseorang wajib memenuhi beberapa persyaratan buat dapat ditahbiskan sebagai seorang warok. Di dalam kesenian reog ada dua macam warok, yaitu warok tua (sesepuh) & warok muda.
Warok tua dianggap sebagai pengayom & pemimpin kelompok reog, serta berperanan sebagai pengajar yang akan mewariskan ilmunya kepada beberapa warok muda yang ada dalam kelompok tadi. Sementara warok muda merupakan warok yang masih dalam proses menuntut ilmu kanuragan dari gurunya, yaitu warok tua.
Untuk menjadi warok muda, ada beberapa prasyarat yang wajib dipenuhi. Salah satu syaratnya ialah tubuh wajib bersih karena akan diisi dengan kekuatan & kesaktian. Oleh sebab itu calon warok wajib bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar & haus, pula tidak bersentuhan dengan perempuan. Jadi andai saja seorang warok sudah memiliki istri, maka sehabis ia menetapkan buat menjadi warok sang istri tidak boleh lagi digauli secara seksual.
Setelah persyaratan diatas terpenuhi, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan & ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tadi, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Persyaratan persyaratan di atas pula wajib tetap dijalankan selama seseorang masih menjadi warok. Bika ada yang dilanggar, maka kesaktian sang warok akan hilang dengan sendirinya.
Dari segala persyaratan yang wajib dijalani oleh para warok itulah kemudian ada apa yang disebut dengan gemblakan. Gemblakan merupakan suatu upaya para warok buat menyalurkan hasrat & emosi seksualitasnya kepada sesama jenis, karena secara terperinci warok dilarang berhubungan seksual dengan perempuan. Oleh sebab itu kemudian warok memiliki gemblak, yaitu anak laki-laki usia 12 17 tahun berparas tampan & terawat yang dipeliharanya sebagai klangenan.
Seorang gemblak memiliki peranan dalam pertunjukan reog, yaitu sebagai penari jathilan atau jaranan yang didandani menyerupai perempuan. Namun selain peranan dalam pentas pertunjukan, peranan seorang gemblak pula akan berlanjut dalam kehidupan pribadi sang warok yang menjadi pengasuhnya.
Untuk mendapatkan seorang gemblak, warok wajib melakukan pinangan sebagaimana halnya tradisi dalam perkawinan masyarakat Jawa buat meminang istri. Seorang gemblak dipilih oleh warok menurut ketampanan & kebersihannya. Biasanya, sang warok meminang gemblak dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina & sebidang tanah. Setelah dipinang, gemblak yang artinya anak laki-laki pilihan akan dipenuhi segala kebutuhannya, & diperlakukan seperti seorang istri selain istrinya yang orisinal.
Kesediaan seseorang buat menjadi gemblak atau menyerahkan anaknya menjadi gemblak sebenarnya lebih didasari oleh motivasi ekonomi. Gemblak kebanyakan berasal dari kalangan keluarga yang kurang mampu, karena keluarga yang kurang mampu berharap mendapatkan penggantian materi atas kerelaaannya menyerahkan anak laki-lakinya sebagai gemblak kepada warok. Selain buat kepentingan ekonomi keluarga, kesediaan menyerahkan anak menjadi gemblak pula sebagai upaya memberikan agunan kehidupan & kesejahteraan bagi anak tadi karena segala keperluan hidupnya ditanggung oleh sang warok.
Dalam kehidupan warok, gemblak kemudian ikut tinggal di rumah warok. Gemblak selain menemani tidur warok pula bertugas buat membersihkan rumah, menyiapkan makanan & minuman, atau memelihara hewan peliharaan sang warok. Bika sang warok bepergian, gemblak umumnya selalu diajak serta karena dengan membawa gemblak & diketahui banyak orang, hal tadi merupakan sebuah kebanggaan bagi warok. Saling mengasihi, menyayangi & berusaha menyenangkan ialah ciri khas dari relasi khusus antara warok dengan gemblaknya.
Kepemilikan seorang warok atas gemblak selain buat menjaga kesaktian & buat kepentingan pentas reog, pula memiliki fungsi sebagai simbol status sosial. Semakin banyak gemblak yang dimiliki maka meningkat pula status sosial atau martabat & wibawa yang dimiliki oleh seorang warok. Oleh sebab itu seorang warok yang senior & populer dapat memiliki gemblak sampai 5 6 orang.
Seorang gemblak secara alami seiring dengan proses menuju dewasa akan melepaskan diri sebagai seorang gemblak. Namun dapat pula terjadi seorang warok karena merasa sudah bosan dengan gemblakannya kemudian menetapkan buat mengembalikan gemblak kepada keluarganya meskipun masih berusia remaja. Setelah selesainya interaksi dengan gemblak tadi, warok pula umumnya kemudian memberikan modal sebagai bekal kehidupan gemblaknya misalnya dengan memberikan seekor sapi.
Fenomena interaksi warok-gemblak memang merupakan fenomena yang unik di dalam masyarakat Jawa. Meskipun hanya spesifik berada di daerah Jawa Timur, lebih khusus lagi di Kabupaten Ponorogo & tidak dapat mencerminkan satu kebudayaan dominan Jawa, namun setidaknya keberadaan fenomena warok -gemblak menampakan bahwa permasalahan seksualitas merupakan fenomena yang universal. Begitu pula keragaman bentuk & relasi seksualitas merupakan fenomena yang dapat terjadi dimana saja, bahkan pula sangat mungkin ada di lingkungan kita sendiri.
Fenomena interaksi warok-gemblak meskipun tidak sesemarak pada masa-masa sampai pertengahan abad ke-20, masih dapat bertahan dalam tradisi masyarakat Ponorogo & dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peranan warok yang relatif menonjol dalam kehidupan sosial masyarakat setempat.
Keberadaan warok sebagai orang yang dianggap memiliki kelebihan, kesaktian & daya supranatural sudah membentuk seorang warok menjadi sosok teladan & kharismatis. Adapun relasi homoseksualitas yang dijalani warok, dalam kacamata masyarakat dianggap sebagai konsekuensi yang wajib dijalani buat mempertahankan kesaktian & kelebihan warok, bukan semata-mata demi pelampiasan nafsu seksual.
Dinamika bentuk relasi warok & gemblak saat ini pula sudah banyak mengalami transformasi. Bika pada masa lalu interaksi tadi banyak terjadi buat kepentingan seksualitas fisikal, maka pada saat ini interaksi-interaksi yang masih bertahan lebih banyak didasari kepentingan psikis tanpa melibatkan relasi seksual secara fisik, misalnya sekedar menemani mengobrol atau menemani saat makan.
Sebagai catatan terakhir, jika kita memahami fenomena warok-gemblak sebagai fenomena homoseksualitas, maka homoseksualitas yang terjadi dalam relasi tadi merupakan homoseksualitas yang dikonstruksikan oleh konteks sosial-budaya yang ada, bukan semata-mata dorongan genetis ataupun psikis buat menjadi homoseksual, karena pada kenyataannya banyak warok yang sebelumnya sudah menikah dengan perempuan.
Preferensi warok & gemblak buat menjadi homoseksual bukanlah semata karena orientasi seksual mereka mengarah pada orientasi homoseksual, namun lebih dikarenakan adanya orientasi kebutuhan sosial & rasional buat menyiasati pantangan berhubungan dengan perempuan, ataupun demi kepentingan ekonomi bagi gemblak. Sekian