Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Tak kurang dari 200 ribu lebih, jumlah orang Indonesia bergelar Haji atau Hajjah bertambah setiap tahunnya, khususnya Indonesia.Dengan berbagai alasan, gelar Haji dicantumkan depan nama orang. Umumnya hanya didasarkan kepada kebiasaan. Sebagian lagi ada yg menganggap untuk penghormatan bagi bagi yg pernah beribadah haji.
Padahal andai saja ditelisik lebih jauh, gelar haji sesungguhnya merupakan warisan penjajah sebagai upaya menyempitkan ruang dakwah ummat Islam di Indonesia. Tradisi tersebut baru muncul beberapa abad setelah wafatnya Rasulullah SAW. Gelar tersebut konon hanya dipakai oleh bangsa melayu di Asia tenggara.
Dalam catatan sejarah, bantuan gratisgelar haji dimulai kepada tahun 654 H. Bermula dari terjadinya konfrontasi kalangan tertentu di kota Makkah yg mengancam keamanan tanah kudus. Akibat kekacauan tersebut, kontak kota Makkah dengan global luar terputus, bahkan ibadah haji kepada ketika itu tidak bisa dilaksanakan, baik oleh penduduk setempat maupun orang luar. Baru setahun kemudian perangkat lunak haji bisa dilakukan setelah keadaan mulai kondusif.
Namun bagi jamaah asal luar Makkah wajib tetap berhati-hati. Mereka mempersiapkan mental & membawa senjata untuk berjaga-jaga seperti mau perang. Sekembalinya dari ibadah haji mereka disambut dengan upacara kebesaran bagaikan menyambut pahlawan pulang dari medan perang. Diiringi indera musik tambur & seruling, mereka disambut dengan teriakan Ya Hajj, Ya Hajj. Sejak itulah setiap orang yg pulang haji diberi gelar Haji.
Di Indonesia gelar Haji pula terkait dengan suasana masa penjajahan. Pemerintahan kolonial ketika itu sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah. Segala sesuatu yg berhubungan dengan penyebaran agama wajib mendapatkan rekomendasi dari pemerintah kolonial Belanda alasannya dikhawatirkan mampu menimbulkan rasa persaudaraan & persatuan di kalangan rakyat pribumi, lalu muncul pemberontakan. Kecurigaan pihak Belanda ditimbulkan poly tokoh yg sepulang naik Haji berhasil membawa perubahan & mendirikan perkumpulan, contohnya KH. A Dahkan (Muhammadiyah), Hasyim Asyari (Nadhlatul Ulama), Samanhudi (Sarekat Dagang Islam), & HOS Cokroaminoto (Sarekat Islam).
Salah satu upaya Belanda mengawasi aktivitas ulama-ulama Indonesia artinya dengan mengharuskan penambahan gelar Haji bagi orang yg telah menunaikan ibadah haji. Pemakaian gelar H memudahkan pemerintah kolonial untuk memburu orang tersebut andai saja terjadi pemberontakan. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan P. Onrust & P. Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang primer jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan sandang ala penduduk Arab yg dikenal sebagai oleh VOC sebagai busana Muhammad & sorban. Dalam gelombang propaganda anti VOC kepada 1670-an di Banten, poly orang meninggalkan sandang adat Jawa kemudian menggantinya dengan menggunakan sandang Arab.
Sejak tahun 1911, pemerintah Hindia Belanda mengkarantina penduduk pribumi yg ingin pergi haji maupun setelah pulang haji di Pulau Cipir & Pulau Onrust, mereka mencatat dengan lebih jelasnya nama-nama & maupun asal wilayah jamaah Haji. Begitu terjadi pemberontakan di wilayah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda dengan gampang menemukan warga pribumi, alasannya di depan nama mereka telah tercantum gelar Haji.
Dalam sejarah Nusantara pra-Islam, Haji atau Aji pula merupakan gelar untuk penguasa, setara dengan raja, akan tetapi posisinya di bawah Maharaja. Gelar ini ditemukan dalam Bahasa Melayu Kuno, Sunda, & Jawa kuno, & ditemukan dalam beberapa prasasti.
Dalam konteks kekinian, gelar Haji bergeser menjadi atribut/simbol status sosial. Tidak semua orang yg pernah berhaji menganggap krusial pencantuman gelar, bahkan ada mengaku risih andai saja dirinya dipanggil Pak Kaji atau Bu Kaji.
Terlepas dari problem di atas, yg diperlukan bersama artinya kemabruran haji sehingga mampu berimbas positif bagi pelakunya maupun orang lain. Keistimewaan berhaji terletak kepada kemabrurannya. Lantas, apa yg dimaksud haji mabrur itu?"Memberi makan & menebar salam." Begitulah bunyi sabda Nabi.
Ada yg menarik di sabda rasulullah SAW di atas, mengapa Nabi tidak menyebut ciri mabrur dengan, contohnya, lebih rajin shalatnya atau lebih khusyu zikirnya; ukuran-ukuran yg sangat individu & subyektif. Melainkan justru Nabi menyebut dengan menggunakan ukuran-ukuran sosial, yakni memberi makan & menebar salam.
Shalat, puasa, zikir & sejenisnya artinya bagian tak terpisahkan dari sistem keimanan & keislaman seseorang. Itu sesuatu yg inheren! Nabi justru ingin mengarahkan kemabruran kepada sesuatu di luar diri kita & berorientasi sosial kemasyarakatan. "Memberi makan" tidak saja dalam pengertian harfiah menyediakan kuliner kepada orang lain, tetapi mempunyai makna yg lebih luas, yaitu menyejahterakan.
Seseorang mampu dikatakan sejahtera hidupnya andai saja dia mampu memenuhi kebutuhan makanannya. Artinya, haji mabrur artinya haji yg kepulangannya ke Tanah Air mempunyai komitmen tinggi kepada kesejahteraan warga, yaitu dengan memperlihatkan kepedulian & perilaku ikut merasakan terhadap penderitaan orang-orang kurang lebih.
Sementara itu, "menebar salam" bermakna kepada ketertiban, ketenteraman & kedamaian sosial. Dalam hadis tersebut disebutkan "menebar", bukan "mengucapkan". Artinya, haji mabrur artinya haji yg kepulangannya ke Tanah Air mampu membawa ketertiban, ketenteraman & kedamaian lingkungan. Karena "as-salaam" itu sendiri maknanya artinya kedamaian, maka surga dikenal sebagai pula "Daarus-Salaam" (Kampung Damai). "As-Salaam" pula merupakan salah satu Nama Suci Allah. Dengan kata lain, haji mabrur artinya perilaku getol memberi & santun.
Jika contohnya, sekembalinya dari Tanah Suci seseorang haji malah memperlihatkan perilaku acuh, tak peduli, anti-sosial, & bahkan kehadirannya menyebabkan keresahan warga, maka kemabrurannya dipertanyakan. Jadi, kehadiran haji mabrur sungguh sangat dinantikan warga. Ia ibarat anggota warga baru yg siap menebar kebaikan. Kata mabrur itu sendiri berasal dari bahasa Arab yg artinya mendapatkan kebaikan. Seperti halnya "birrul-waalidain" (birr = mabrur) bermakna berbuat baik kepada orang tua. Dengan demikian, haji mabrur artinya haji yg mendapatkan kebaikan.
Bayangkan tiap tahun, bangsa Indonesia setidaknya selalu kedatangan kurang lebih 200an ribu haji, maka alangkah indahnya andai saja mereka semua benar-benar menjadi mabrur seperti yg diperlukan Rasul itu. Semoga. Nuwun.
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogyokarto Hadiningrat 08/05/2017