Ilustrasi
Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Bagi sebagian orang, bahwa hantu atau demit itu tidak ada. Namun tidak sedikit yang mempercayainya. Namun kepada membuatkan kali ini saya tidak hendak membincang pro kontra tersebut. Semua punya loka pengertian masing-masing setiap orang tentang hal-hal yang bersifat gaib.
Tulisan yang kisanak baca ini artinya pengalaman pribadi, lumayan lama. Tiga yang kemudian, ketika awal-awal menempati rumah ini, sebelumnya saya kontrakkan setahun buat seorang dokter yang sedang mengambil seorang ahli kepada UGM. Namun rangkaian waktu pendahulunya sudah cukup lama mulainya, nyaris empat tahun. Ketika saya mengecat ulang rumah ini sebelum kepada kontrak dokter tersebut.
Di pagi yang sepi kala itu saya sedang berdiri kepada depan rumah. Melepas lelah setelah mencuci kendaraan yang belepotan kotoran burung entah mulai kapan. Kebetulan bentangan kabel listrik melintas kepada atas. Saya tengok sepanjang blok yang hanya empat rumah masih saja sunyi. Hmm kendaraan Pak RW terlihat diparkir kepada luar rumah. Bukan sebab tak punya garasi, akan tetapi sebab garasinya sudah penuh. Sudah ada kendaraan beroda empat kepada garasinya.
"Assalamualaikum." Tiba-tiba terdengar orang memberi salam sumber arah belakangku. Seorang bapak bersama tinggi sekuping saya atau semeter 1/2 sentian menatapku sembari mengangguk & tersenyum. Saya terkesiap sejenak kemudian membalas, "Waalaikum salam." Kami bersalaman.
Sejurus kemudian saya ingat, bapak itu beberapa bulan kemudian pernah bertamu jua. Saat saya ngecat rumah. Maka sebelum beliau membeberkan maksud kedatangannya, meski bersama sedikit ragu saya mencoba menebak maksudnya, "Kalender?"
"Betul, Bapak!"
"Bukannya sudah?"
Memang, kali pertama bertemu dengannya ketika bulan kepada tahun 2013 mulai ada embernya, maksudnya selesainya bulan 8. Waktu itu saya membeli kalender 2014. Lha ini kok ditawari kalender lagi.
"O, ini kalender 2015, Bapak," jawabnya tangkas.
Hwalaaah. Semula saya mau menolak sebab masih awal-athun baru, akan tetapi tak hingga hati. Saya pikir kalender itu nanti mutlak terpakai jua. Maka saya belilah si kalender & saya simpan kepada atas lemari baju hingga tiba saatnya nanti. Saya gulung & dikareti. Karetnya satu saja. Kalau karetnya dua, nanti ada yang nuntut sambalnya, cabai lagi mahal! (emangnya nasi kucing?).
Hingga berbulan-bulan kemudian si kalender teronggok setia menunggu penugasan. Namun anehnya, menjelang pergantian tahun, si kalender justru raib entah ke mana. Barang-barang kepada atas lemari baju saya obrak-abrik tanpa saya temukan jejak si kalender. Pengkhianat, batinku. Ini sudah mau tahun baru, kok kalendernya malah nggak ketemu. Saya berusaha bersabar. Mungkin besok ketemu, harapku.
Sayangnya, hingga athun baru 2015 berjalan beberapa hari, kami tak punya kalender cetak terpasang kepada dinding. Ini bahaya. Padahal kami "memakai" sistem kalender. Salah hitung sedikit saja, anak saya yang paling mini mampu kehilangan titel kebungsuannya. Maka saya paksakan diri mengadakannya. Berbekal file unduhan, saya cetak sebuah kalender darurat kepada suatu siang ketika ditinggal belanja sendirian. Lega.
Selesai nge-print, azan dhuhur berkumandang. Saya ambil wudu & berniat salat dhuhur kepada ruang tengah, loka kami biasa salat. Saat itulah tiba-tiba saja hidungku mengendus bau aneh, mirip bau daun pandan. Kuendus kanan kiri, baunya tidak berubah intensitasnya; maka saya mendongak ke atas. Pandanganku menyapu langit-langit ruangan dengan tinggi dua 1/2 meteran hingga terpaku kepada aperture alias bukaan kepada keliru satu sudutnya.
Bukaan itu sekira dua jengkal sisinya, difungsikan buat memastikan cahaya matahari yang melewati genting kaca mampu ikut menerangi ruangan. Tapi ada yang aneh. Di sudut bukaan itu ada menyembul sesuatu berwarna putih berbelang rapat. Semula saya kira plungsungan kulit ular yang sudah dilepas. Wah, bikin ngeri wae. Bisa ketakutan nanti anak-anak & ibunya. Biar saya ambil saja. Maka saya ambil tongsis panjang yang biasa saya gunakan buat memasang lampu. Saya colak-colek, kok susah digerakkan, yaa? Seperti barang kaku saja.
Tiba-tiba.. Glundung! Benda itu menggelundung sumber plafon, akan tetapi tidak jatuh. Terlihat gulungan putih sebanyak jempol kaki kepada sana. Saya sentuh lagi pakai tongsis lampu supaya jatuh, malah menggelundung lagi & hilang sumber pandangan. Penasaran, saya seret meja ke bawahnya, kemudian saya naik & tanganku meraba-raba ke bukaan tadi. Slep! Saya mampu jua gulungan itu. Saya amati sebentar & buajigurrrr, ternyata kalender yang saya cari-cari.
Lho, siapa yang iseng meletakkan kalender kepada situ? Saya perhatikan jeda horizontal antara ruang salat & lemari baju memang hanya dua meteran. Tapi jikalau ulah usil anak-anak sepertinya mustahil, apalagi ibunya. Lalu siapa? Tengah saya melamunkan beberapa pertanyaan, tiba-tiba terdengar sesuatu kepada langit-langit. Grudug..Grudug.. Grudug..
Oo, mungkin spesies ratatouille yang melakukannya, begitulah saya memaknai bunyi itu sebagai jawaban atas pertanyaanku. Tapi jikalau memang tikus, bagaimana beliau mampu memanjat dinding dua 1/2 meteran, apalagi membawa gulungan kalender? Kalau memanjat lemari baju memang mungkin, ada sudut yang mampu dijadikan pijakan, tapi apa iya si tikus punya ilmu meringankan tubuh & bersalto kepada antara kabel lampu & kabel kipas angin yang terjulur ke langit-langit ruangan? Dan lagi, buat apa tikus mengoleksi kalender?
Tiba-tiba terdengar bunyi lagi sumber langit-langit kamar tengah tadi. Kali ini suaranya berbeda, Kelopak..Kelopak..Kelopak.. Suaranya mirip bunyi sandal jepit yang sedang dipakai berjalan sang mbak-mbak (biasanya bersama bemper belakang berukuran mantap). Sandalnya bukan diangkat, melainkan diseret, mungkin demi menjaga amplitudo osilasi goyangannya. Hasilnya, bagian belakang sandal bersama tumit pemakainya berkolaborasi membangun bunyi perkusi. Ini fakta, loh. Terus kenapa?
Keloplak..Keloplak..Keloplak.. Ea alaaaah, bunyi itu muncul lagi. "Opoan toh iki?" rutukku kesal.
Tapi bunyi itu muncul lagi. Keloplak..Keloplak..Keloplak..
"Haaaalh.. keloplak..keloplak, dasar koplak!" rutukku makin kesal.
Tiba-tiba terdengar jawaban sumber atas, "Yo ben"
Haaaissshh! Saya mundur, berlari ke ruang lain. Refleks saya nyalakan semua lampu yang saklarnya kebetulan saya lewati. Padahal siang hari.
Saya tenangkan diriku sebentar. Mungkin ada hal yang Tuhan ingin sampaikan padaku melalui kalender ini. Saya amati lagi kalender yang masih tergenggam itu. Karetnya sudah tak ada, tapi gulungan masih terbentuk mirip terdapat karetnya. Saya buka gulungannya, eh.. kembali lagi, saya buka lagi, kembali menggulung lagi. Ooh Gusti, ono opo toh iki? Padahal nggak aneh sih, sebenarnya. Saya buka kalendernya. Saya amati bagian depannya. Ada tertulis jelas kepada sana kata "Topo Lelono".
Wah, topo kan artinya bertapa. Jangan-jangan yang memindahkan kalender itu homogen demit yang sedang bertapa & risi lupa jadwal. Wah, mutlak asyik sekali jikalau itu Pai Su Chen si siluman ular putih yang cuantiikk. Ah, tapi nggak mungkin. Pai Su Chen sudah bertapa ratusan tahun, levelnya udah abad. Yang ini yang ambil kalenderku pastinya baru dalam hitungan bulan proses bertapanya.
Membayangkan sesuatu yang mengerikan, secepat kilat saya kembali ke ruang tengah. Setengah berteriak saya katakan, "Jangan menaruh diri jikalau masih tidak baik!"
Sempat saya dengar bunyi "plak", entah bunyi keloplak mirip tadi atau malah ngatain saya koplak, saya tak peduli. Saya bergegas ke ruang lain. Tongsis & meja masih kepada ruang salat. Saya bereskan nanti saja jikalau anak-anak & ibunya sudah kembali sumber belanja. Sementara, saya salat kepada depan tivi saja.
Ngeri, tapi peristiwa itu membuat saya paham mengapa Mamahnya Velin tetangga kami selalu tampak ketakutan jikalau bertamu. Pandangannya selalu menyapu sekeliling. Bahkan, kepada awal-awal saya tinggal kepada sini, tiap kali bertemu hampir selalu ditanya "nggak ada apa-apa, toh?" Ngerti aku saiki. Iku toh maksude. Tapi kini sudah amaaan. Bosen mungkin. Sementara hingga disini dulu kisanak. Lain kesempatan saya bagi pengalaman rahasia lagi. Nuwun.