Dunia Keris Malamnya, kami menginap dalam Pondok Pendaki, yang dijaga sang Pak Hambali, orisinal Surabaya serta telah sejak lama bekerja merawat pondok pendaki dalam Ranu Pani. Suasana begitu hangat serta gayeng. Kami banyak ngobrol malam itu, mulai dari hal-hal yang berbau rahasia serta sejarah. Terutama dalam Ranu Kumbolo.
Jujur, aku kagum sama bapak setengah baya ini yang mengabdikan diri dalam Semeru serta pendaki secara nir tertentu. Dari Pak Hambali ini pula kami mendapatkan banyak fakta berrharga mengenai jalur pendakian Semeru. Tulisan sebelumnya bisa kisanak baca dalam Catatan Jelajah Semeru : Penuntasan Perjalanan yang tertunda
Saya masih jangan lupa sekalai Pak hambali menasehati kami mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang pantang dilakukan, karena kami berempat belum mengetahui jalur menuju puncak Mahameru. Namun muncul satu satu nasehat yang hingga saat ini begitu membekas dalam benak aku, berangkat bareng, pulang bareng, hilang juga harus bareng. Jangan tinggalkan teman dalam belakang. Tak terasa, waktu semakin larut serta kami semua pun berlalu dalam lelap. Semoga energi esok pagi kembali serta membangkitkan tenaga kami.
Pagi pukul 06.00 jarum panjangnya belum begitu jauh berkiprah dari arah nomor 12 kami berpamitan dalam Pak Hambali serta menitipkan motor dalam Pondok Pendaki ini. Kami segera turun menuju pos lapor untuk memperoleh perizinan pendakian.
Kebetulan aku paling tua dalam tim mini ini ketiban sampur untuk menyerahkan persyaratan yang diharapkan. Adapun persyaratan khusus untuk mendaki gunung Semeru merupakan sebagai berikut: Fotokopi KTP/KTM/SIM atau bukti diri diri lainnya (diutamakan KTP) sebanyak 2 lembar. Fotokopi Surat Keterangan Sehat (dibawa juga yang orisinal) sebanyak 2 lembar. Membayar porto administrasi pendakian, mencakup karcis masuk taman nasional, asuransi, materai 6.000 (bawa sendiri dari tempat tinggal), surat biar menggunakan tarif bervariasi, tergantung dari golongan awam, pelajar, juga mancanegara.
Trek awal merupakan beraspal, serta mulai berganti menggunakan jalur tanah, bercampur pasir serta debu saat berbelok kanan melewati gerbang pendakian. Ikuti saja jalur yang ditetapkan, waktu menemui percabangan antara jalur yang menanjak menggunakan jalur yang menurun, pilih yang menanjak (ke kiri melipir bukit), karena bila ke kanan akan menuju lahan pertanian rakyat.
Dari dimulainya jalur setapak, agak menanjak landai, agak menguji mental serta menguras tenaga, namun syukurlah kami masih sanggup berjalan tanpa henti serta hingga dalam Pos I kurang lebih pukul 09.15 WIB, setelah melewati loka Landengan Dowo. Cukup beristirahat 5 menit, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju Watu Rejeng, yang kami tempuh selama hampir 1 jam perjalanan.
Kami kembali beristirahat selama hampir 10 menit dalam sini, kemudian melanjutkan kembali perjalanan menuju Pos III, yang sebelumnya melewati jembatan kayu serta trek yang agak menanjak selepas jembatan tersebut. Jangka waktu istirahat yang serupa kami lakukan sesampainya dalam Pos III yang telah ambruk atapnya, karena setelahnya akan dijumpai jalur trek yang curam serta lumayan menyiksa. Kami membutuhkan waktu 15 menit untuk melewatinya. Selanjutnya jalur agak landai naik turun, spesial Gunung Semeru.
Tengah hari kami hingga dalam Pos IV, yang mana kami telah bisa melihat menggunakan kentara Ranu Kumbolo dari sini. Begitu cantik serta jernih, loka camp terlihat sepi. Kemungkinan kami merupakan pendaki pertama yang mendirikan tenda dalam siang hari ini. Akhirnya, 30 menit kemudian kami hingga dalam Ranu Kumbolo. Waktu telah menampakan pukul 12.45 WIB, artinya telah 4,5 jam kami berjalan serta kami bersyukur karena berdasarkan target yang direncanakan.
Segera kami membuka tenda, serta menentukan mendirikannya dalam teras pondok pendaki, karena nir adanya cover flysheet dalam tenda kami. Kami khawatir tenda kami akan ngguling (roboh) waktu dihempas angin dalam malam hari. Selain itu juga, toh saat itu masih sepi sekali, sebagai akibatnya kami leluasa mendirikan tenda. Menu makan siang itu merupakan nasi mie goreng, sangat agak mengisi perut kami berempat yang telah keroncongan meminta makan.
Tak lama setelah kami membuka kompor, beberapa pendaki nampak mulai berdatangan dalam Ranu Kumbolo, misalnya biasa, salam hangat serta salam sapa mengiringi kami semua. Begitu hangat meskipun sebelumnya nir pernah bertemu. Inilah yang spesial dalam pendakian gunung, begitu berartinya persahabatan, serta saling menghargai perbedaan.
Kebetulan yang muslim hanya aku serta sepupu aku selepas mendirikan tenda aku serta adik sepupu aku segera menunaikan sholat Duhur serta Ashar (dijama' qashar), serta berusaha beraklimatisasi (beradaptasi menggunakan cuaca kurang lebih). Kami menentukan menunggu waktu masuk magrib sekalian sholat, sebagai akibatnya bisa beristirahat setelahnya.
Mumpung masih dalam Ranu Kumbolo aku akan cerita sedikit tentang mitos yang muncul dalam danau berketinggian 2.400 mdpl ini. Ranu Kumbolo merupakan tepian nirwana, begitulah istilah ungkapan yang disematkan banyak orang untuk danau ini. Keindahan alam Ranu Kumbolo, mensugesti setiap mata pendaki Gunung Semeru. Sudah niscaya, spot telaga yang satu ini, akan selalu dijadikan basecamp mereka sebelum kembali melanjutkan pendakian. Ranu kumbolo merupakan nirwana bagi para pendaki. Setidaknya, bisa terlihat dari kontur telaga yang punya luas 14 Ha dalam lereng Semeru ini. Airnya yang andai istilah dipandang dari atas bukit, berwarna biru bercampur kehijauan.
Saat matahari terbit, pendaran sinarnya menembus celah dua buah bukit yang kemudian berjatuhan dalam segala sudut telaga nan eksotis ini. Pantulan sinar matahari hangat, berbaur udara dingin spesial pegunungan, merupakan sensasi tersendiri saat pagi hari. Sisa-sisa embun masih membasahi setiap hijauan yang tumbuh subur dalam sepanjang tatapan mata. Begitu juga menggunakan kabut yang masih berada dalam titik sejajar menggunakan para pendaki yang sedang bermukim dalam tepiannya. Sebuah pemandangan pagi hari yang spektakuler.
Bicara tentang Gunung Semeru, tak lengkap bila tak berbicara mitologi gunung itu sendiri. Sebelumnya telah aku tulis dalam perkerisan ini Gunung Semeru : Dibalik Legenda Gonjang-Ganjingnya Pulau Jawa, namun demikian sedikit akan aku cuplik dalam sini.
Dahulu kala, Semeru merupakan bagian dari Gunung Meru, dalam Jambudwipa atau India. Saat itu, para dewa bergotong royong memindahkan sebagian puncak Gunung Meru ke Pulau Jawadwipa. Mereka beranggapan bahwa posisi Pulau Jawadwipa tidaklah stabil; terombang-ambing sang lautan. Saat memindahkan puncak Gunung Meru itulah, beberapa bagiannya tercecer hingga membuat deretan gunung dalam Jawa Barat, Tengah, hingga Timur. Bagian yang paling akbar, jatuh serta membuat Gunung Semeru. Lalu, puncak Mahameru dihempaskan sang para dewa serta terbentuklah Gunung Pawitra atau Penanggungan.
Menarik disimak, dari sekian gunung, muncul satu gunung yang dianggap sebagai replika Gunung Semeru. Nama gunung itu, yaitu Gunung Penanggungan (1659 mdpl). Antara keduanya, terdapat kemiripan, yaitu dalam bentuk kerucut puncaknya. Kedua gunung itu juga dianggap kudus sang umat Hindu-Budha. Sejumlah situs antik misalnya candi, yang terletak dalam kurang lebih Gunung Penanggungan, muncul yang dibangun menggunakan arah hadap khusus ke Gunung Penanggungan.
Seperti Candi Jawi, yang dibangun sang Raja Singasari terakhir, yaitu Prabu Kertanegara. Selain itu, dalam lereng Penanggungan, banyak bertebaran candi yang dibangun sebagai loka penyembahan serta pemujaan. Ada pula artefak, batu prasasti, altar pemujaan, punden berundak, serta ribuan pecahan gerabah dari aneka macam bentuk. Ranu kumbolo, dalam satu sisi, merupakan sebuah tantangan. Sebab untuk mencapainya, butuh kesiapan fisik serta mental prima. Sisi lain, Ranu Kumbolo, juga bukan tanpa muncul kisah bersejarah. Kisah bersejarah tersebut mulai terbentuk ratusan tahun lampau serta bertautan menggunakan pendakian kala itu.
Pada zaman dahulu kala, muncul seorang raja dari Kerajaan Kadiri, bernama Prabu Kameswara. Dia memerintah kurang lebih tahun 1180-1190-an, menggunakan bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa.
Suatu hari, dia melakukan perjalanan kudus atau yang diklaim menggunakan Tirthrayata menuju Gunung Semeru. Jalur yang ditempuh, melalui Pasrujambe (nama sebuah kecamatan dalam Lumajang); sebuah jalur pendakian antik serta berbeda menggunakan sekarang yang dimulai dari Ranu Pane. Bukan tanpa tujuan Prabu Kameswara melakukan pendakian ke Semeru.
Gunung yang berada dalam Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini, memang termasuk gunung yang disucikan. Begitu pula air yang terdapat dalam Ranu Kumbolo, mewujud sebagai air kudus. Puncaknya yang bernama Mahameru, merupakan loka para dewa bersemayam.
Prabu Kameswara mendaki Semeru untuk bersemedi; mendekatkan diri dalam Sang Hyang Pencipta alam semesta. Untuk menandai kedatangannya ke Semeru, Prabu Kameswara mengabadikannya ke dalam sebuah prasasti. Namanya Prasasti Ranu Kumbolo. Prasasti ini berada dalam tepian danaunya. Ada sebuah tulisan dalam batu prasasti tersebut, yaitu Ling Deva Mpu Kameswara Tirthayatra.
Menurut sejarawan M.M. Sukarto Atmojo, tulisan yang berbahasa Jawa antik tersebut, dapat diartikan bahwa waktu itu, Prabu Kameswara pernah melakukan kunjungan kudus menggunakan mendaki Gunung Semeru. Angka tahun prasasti, masih berdasarkan sang sejarawan, berkisar dalam 1182 M.
Melalui Prasasti Ranu Kumbolo, kita bisa mengerti, sejak ratusan tahun kemudian, nenek moyang kita juga pendaki gunung. Apa yang mereka lakukan, merupakan bagian dari perjalanan spiritual menuju kesempurnaan diri. Suatu perilaku agung yang kemudian diperkuat menggunakan torehan prasasti atau yang sejenisnya, untuk mengenang misi perjalanan mereka. Dan, prasasti yang mereka tinggalkan, telah sebagai benda peninggalan yang sangat berarti bagi generasi kekinian. Terutama untuk menyingkap keadaan dalam masa itu.
Sambil menunggu waktu mahgrib, sebagai akibatnya bisa beristirahat setelahnya. Karena perut masih kenyang menggunakan asupan siang tadi, kami menentukan tidur terlebih dahulu serta mungkin bangun dalam tengah malam untuk masak makan malam. Benar juga, cuaca yang dingin menghasilkan perut terasa cepat lapar serta kami pun terbangun pukul 21.30 malam, serta keliru satu dari rekan kami telah bangun duluan, sedang mengolah nasi. Porsi nasi yang kami masak lebih banyak dari kemarin, sebagai akibatnya kami makan begitu lahapnya hingga nyaris tak tersisa.
Kopi hangat sebagai epilog hidangan kami malam ini, sebelum kemudian lanjut tidur kembali dalam dalam tenda berselimutkan hangatnya sleeping bag. Tak sabar cita rasanya menunggu pagi esok, karena kami akan melanjutkan perjalanan menuju Kalimati, bagian krusial dari perjalanan kami kali ini.
Dinginnya luar biasa malam itu, hingga aku memutuskan membalsam kaki aku yang menggigil kedinginan. Saya sarankan, jangan sampeyan lakukan hal ini. Keputusan membalsam kaki untuk menghangatkan ternyata keliru akbar! Balsamnya jadi sangat dingin, bukannya hangat malah tambah kedinginan. Bahkan aku memasang dua pasang kaos kaki tebal sekaligus, tetap saja nir ngefek. Kaki tetap kedinginan.
Sempat tertidur, tatapi jam 00.00 an aku terbangun karena kedinginan. Gendeng, prediksi aku waktu itu mungkin kurang lebih 4 derajat celcius. Minum air mineral, serasa minum air es tertentu dari kulkas. Dan dingin pun merasuk nir hanya hingga tulang. Tapi sumsum tertentu.
Sekedar untuk menghangat tangan yang telah kebas kebas kedinginan, mangkat rasa. Saya menyalakan parafin. Menyentuhkan tangan dalam api tak banyak membantu, karena saking dinginnya. Tak hingga satu jam stok lilin abis kebakar. Badan tak kunjung menghangat, padahal saat itu suasana telah sepi. Semua makhluk telah tertidur pulas dalam kandangnya masing-masing.
Masih menggunakan kedinginan, aku mencari-cari, siapa tahu terdapat yang punya api. Ternyata, dalam keliru satu runtuhan bangunan, muncul sekelompok pendaki yang mengobrol dalam depan api unggun. Pada situasi misalnya ini, pikiran sungkan memang harus dibuang jauh-jauh. Langsung aku aku bergabung menggunakan mereka. Hangat, tapi punggung masih kedinginan.
Kurang menggigit kiranya malam-malam nir berbincang tentang hal mistis. Selain sejarah yang telah aku narasikan dalam atas. Ada banyak cerita mistis dalam Ranu Kumbolo ini. Dulu, pernah satu rombongan waktu bermalam dalam Ranu Kumbolo, dalam teror sang makhluk tak kasat mata berwujud kuntilanak.
Tahun 1998, waktunya sama hampir bersamaan menggunakan kerusuhan Mei, dalam Ranu Kumbolo terjadi insiden kebakaran hutan hebat. Tapi anehnya, hanya loka Ranu Kumbolo yang nir terkena. Danau ini akhirnya dipakai untuk loka penyelamatan. Semua pendaki yang mendaki dalam gunung Semeru turun menuju ke air, sementara sekitarnya penuh asap serta api. Kalau dipandang dari atas katanya, bentuk kebakaran itu mirip cincin. Hanya loka danau saja yang nir kebakaran. Tidak diketahui apa penyebab kebakaran itu, yang kentara Ranu Kumbolo yang menyelamatkan orang-orang dari imbas kebakaran hutan tersebut.
Yang tak kalah menariknya lagi cerita mistis dalam Ranu Kumbolo ini merupakan kisah sepasang pengantin yang bernazar kalau telah menikah maka mereka akan mandi dalam Ranu Kumbolo. Nazar itu akhirnya dilakukan, berdua saja. Pada saat mandi, pengantin wanita itu karam. Pengantin laki-laki itu kalap, serta diceritakan katanya seakan muncul yang menarik dari dalam.
Setelah insiden itu, tim SAR serta Pasukan Katak menelusuri seluruh danau tetapi nir menemukan jasadnya. Mereka menyerah. Seminggu kemudian, wanita itu ditemukan dalam keadaan terapung mengenaskan. Sampai sekarang nir muncul yang tahu berapa kedalaman Ranu Kumbolo yang sebenarnya. Maka, mandi disini pun dilarang kecuali nekat.
Apapaun itu, pastinya Ranu Kumbolo memang bukan danau biasa, dalam masa kemudian pernah sebagai jejak Raja Kameswara dari Kerajaan Kediri dalam melakukan perjalanan mencari air kudus. Para pendaki kini bisa menyaksikan jejak purbakala berangka tahun 1182 masehi itu. Di pinggir danau terdapat sebuah batu prasasti yang hingga kini dikeramatkan orang.
Pada tulisan selanjutnya kita akan teruskan dari Ranu Kumbolo menuju Kalimati..
Bersambung….