Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Membicarakan Baduy tentu menyangkut dalam keliru satu provinsi paling barat dalam pulau Jawa ini, Banten. Banten setidaknya yang aku memahami adalah sebuah provinsi yang masih berusia belia dalam republik ini. Terletak dalam ujung barat pulau Jawa, berbatasan langsung dengan ibukota negeri ini, Jakarta. Kebanyakan orang menduga Banten itu masuknya Jawa Barat, Banten itu Kota, Banten itu debus, Banten itu Jawara, serta bahkan muncul yang bilang Banten itu korupsi. Mungkin pernyataan yang terakhir itu memang sahih adanya. Setidaknya beberapa yang lalu banyak pemberitaan tentang ini. Namun ironisnya Banten dengan Baduy- nya terlupakan.
Pada goresan pena kali ini aku akan mengajak kerabat perkerisan buat sambang (menengok) keliru satu ikon Banten namun terlupakan, Baduy tersebut.
Salak anjing dari kejauhan mengagetkan kami yang tengah beristirahat dalam tempat tinggal Jaro (Lurah) Daina. Malam itu, buat ketiga kalinya dalam pertengahan September kemarin, aku dalam temani seorang kolega dari Pandeglang, Banten, pulang berkesempatan ke Kanekes. Kami menentukan bermalam dalam tempat tinggal sang Jaro karena nir mungkin membelah hutan dalam waktu malam buat sampai dalam perkampungan Baduy Dalam. Apalagi, hujan yang sedari sore turun membuat jalan setapak licin serta berbahaya.
Sebenarnya, malam itu kami akan langsungmenuju ke perkampungan Baduy Dalam. Namun karena nir memabwa senter serta juga habis diguyur hujan lebat, terpaksa kami urungkan niat tersebut. Pertimbangannya sederhana saja, karena terlalu beresiko menerabas hutan dalam keadaan jalanan setapak licin serta becek.
Sambil menunggu kantuk, kami mengobrol dengan Jaro dengan ditemani rokok kretek, kopi panas, serta sekantong biskuit. Namun, lelaki yang selalu mengenakan busana spesial Baduy ini tampak enggan menjawab ketika ditanya hal-hal yang lebih detil. Termasuk Hutan Larangan. Dia tampak mengelak dengan menjawab sekenanya.
Beliau juga menjamin bahwa nir pernah muncul kriminalitas dalam daerah Baduy. Tidak muncul satupun rakyat baduy yang masuk penjara. Namun kami dipesankan juga buat menghargai serta menghormati istiadat setempat. Mendengar hal itu, sebenarnya hati aku membuat malu. Mereka yang nir pernah menuntut apa apa dari negara ini, sangat mencintai tempat kediamannya. Tidak misalnya kita yang dalam luar yang konon katanya diisi orang orang yang katanya cerdas, pintar, namun selalu banyak menuntut serta tentunya banyak yang tak bermoral.
Tak terasa malam sudah jauh. Di luar senyap berbalut dingin. Hanya sekali waktu salak anjing membelah sepi, sebab hujan yang tadinya deras sudah surut, tinggal menyisakan gerimis. Dingin angin malam menelusup lewat celah-celah dinding bambu, membuat kami lelap sampai subuh tiba.
Dari literantur yang aku baca sebenarnya kata Baduy ini merujuk ke gunung Baduy atau sungai Baduy, namun orang orang (pengunjung) acapkali menyebutnya daerah Baduy atau orang Baduy. Padahal penduduk Baduy sendiri lebih menyukai dianggap menjadi Urang Kanekes yang artinya orang Kanekes. Kanekes sendiri adalah nama wilayah mereka.
Penduduk Kanekes sebenarnya adalah subetnis Sunda. Sunda sendiri terbagi dua yaitu Priangan serta Wiwitan. Dan penduduk yang mendiami gunung Baduy ini adalah etnis Wiwitan. Dan dari mereka, sub etnis Wiwitan lebih tua dibanding dengan Priangan. Etnis Priangan adalah orang orang bersuku sunda yang saat ini banyak bermukim dalam Bandung serta sekitarnya.
Setelah selesai sarapan, kami pun berkemas buat segera berjalan. Awalnya kami permisi dulu ke ketua desa setempat yaitu Bapak Jaro Dainah. Beliau mengucapkan selamat datang serta terima kasih atas kunjungan kami. Beliau juga membicarakan bahwa beliau mungkin adalah ketua desa dengan penduduk terbanyak lebih kurang 10 ribuan (total penduduk baduy luar serta baduy dalam).
Pagi harinya, pasti pukul 06 pagi kami meninggalkan tempat tinggal Jaro sesudah memberi uang alakadarnya kepada isteri Jaro, karena Jaro Daina sendiri sejak subuh pergi ke ladang.
Setelah selesai berpamitan dengan istri Pak Jaro serta menyampaikan uang alakadarnya, kamipun berangkat menuju desa Cibeo keliru satu kampung dalam Baduy dalam. Awalnya kami melalui banyak perkampungan. Dari satu kampung ke kampung lain. Begitu seterusnya. Dan setiap kampung selalu muncul pembatas jembatan bambu serta ini masih dalam Baduy luar.
Dan akhirnya kami akan menyeberangi sebuah jembatan bambu yang lumayan panjang. Ini menjadi pembatas antara baduy luar serta baduy dalam. Salah satu ketentuan nir tertulis adalah yang boleh memasuki kawasan baduy dalam adalah ras orisinal orang Indonesia (ras Australoid kalau nir keliru). Jadi ras mongoloid misalnya saudara kita orang Indonesia yang bersuku Tionghoa dihentikan memasuki kawasan tersebut, apalagi bule demikian penuturan Mang Idong guide yang tak sengaja bertemu dalam perjalanan. Aturan yang penting dalam Baduy dalam juga adalah nir diperkenankan buat mengambil foto saat berada dalam perkampungan Baduy Dalam. Dan sebaiknya handphone dimatikan saja, toh frekuwensi juga nir muncul.
Puluhan artikel tentang Baduy sampai menarik minat aku mengunjungi buat kali pertama ke suku mandiribukan terasing serta terbelakangini memberi banyak kejutan.
Alih-alih mencicipi suasana hening, tenang, sunyi misalnya laporan kisah-kisah perjalanan, aku justru cenderung jengah serta merasa bersalah. "Wah, banyak banget orang sih…" Gumam Cleo ini mungkin jadi citra pas. Rupanya muncul puluhan tamu yang baru turun dari Baduy dalam serta sebagian mereka istirahat dalam sepanjang jembatan ini.
Untuk melintasi melintasi 40an meter jembatan bambu ini muncul seorang Baduy Dalam sambil memikul yang akan terjadi kebun, dia wajib menyeruak kerumunan tamu yang tak lagi menghargai anggaran setempat. Teu meunang (dihentikan) ribut. Suku Baduy tak lagi jadi tuan tempat tinggal, bahkan dalam kampungnya sendiri.
Kemudian perjalanan kami lanjutkan pulang serta saatnya memasukkan kamera karena sudah memasuki wilayah Baduy Dalam. Cukup banyak perbukitan yang menanjak wajib kami lewati. Saya sendiri nir menyangka akan secapek itu. Pada bukit terakhir inilah yang sangat berat. Saya kira kemiringannya lebih dari 45 derajat. Pada bukit terakhir ini dalam samping sangat tegak juga sangat licin kontur tanahnya. Tidak terhitung sampai berapa kali kami berhenti serta boleh dikatakan hampir pingsan. Hebatnya Mang Idong orang orisinal Baduy ini tampaknya nir muncul rasa letih. mungkin memang sudah biasa. Dan mereka nir memakai alas kaki didasarkan dengan anggaran istiadat mereka.
Akhirnya selepas mendaki bukit yang luar biasa ini kami singgah sebentar dalam saung Mang Idong yang kebetulan muncul dalam puncak bukit terakhir ini. Di saung ini sudah menunggu istri serta keempat anak-anaknya. Selanjutnya kami langsung menuju tempat tinggal Mang Idong dalam kampung Baduy Dalam. Selanjutnya sesudah beristirahat sebentar kami mandi dalam sungai tanpa sabun atau apapun yang berbau peradaban. Dan aturannya memang saat kita dalam Baduy Dalam, baik sabun, odol, sampo, atau produk alat mandi yang selama ini kita pakai dihentikan keras. Tidak diperkenankan.
Setelah selesai mandi kami dalam temani mang Idong serta anak bungsunya duduk-duduk dalam lapangan terbuka dalam tengah kampung tersebut, semacam alun-alun. Terlihat dalam kejauhan muncul beberapa tempat tinggal serta paling ujung adalah tempat tinggal dinas Puun atau tetua istiadat serta nir boleh didekati. Dan dibelakang kami adalah balai, tempat musyawarah misalnya penuturan Mang Idong.
Tidak seberapa usang, akhirnya terdengar suara istri Mang Idong menmanggil bahwa makan malam sudah siap. Kami pun makan malam permanen dengan gaya Baduy dalam atas daun pisang. Setelah makan, kami mengobrol dengan Jaro Daina (bukan Jaro Daina yang dalam Kanekes, galau) yang tugasnya semacam juru bicara Puun yang menceritakan tentang riwayat Baduy, yang kebetulan bertandang ke tempat tinggal Mang Idong. Jaro Daina yang dalam baduy dalam ini semacam ketua pemerintahan, atau perdana menteri lah kira-kira.
Bapak tersebut menceritakan dari muasal Baduy (yang sudah disinggung dalam awal cerita), namun sampai saat ini permanen belum diketahui awal sekali bermulanya sub etnis Sunda Wiwitan. Bapak tersebut juga bercerita tentang beliau sudah acapkali ikut kejuaraan bermain angklung mewakili kabupaten atau sekedar bermain angklung dalam pertunjukan. Beliau bercerita tentang agama mereka Sunda wiwitan yang dalam Indonesia dimasukkan menjadi peredaran kepercayaan.
Mengenai hal ini, aku pribadi sebenarnya sudah protes dalam dalam hati aku kepada bangsa Indonesia. Kenapa peredaran peredaran kepercayaan yang orisinal Indonesia nir dipercaya menjadi agama dalam negaranya sendiri. Bahkan agama yang diakui dalam Indonesia, adalah agama import, dibawa dari luar negeri. Mirip misalnya Ugamo Malim yang adalah peredaran kepercayaan orang Batak sebelum masuknya agama. Aliran peredaran kepercayaan ini sudah muncul sebelum Indonesia muncul. Tetapi mereka dipinggirkan sang negaranya sendiri (berpikir secara kebangsaan). Itulah pendapat aku, dapat sahih dapat juga nir. Karena keburu malam bapak Jaro ini berjanji akan menemui kami pagi harinya. Selanjutnya kami beranjak tidur.
Pagi-pagi sekali aku bangun serta berkeliling kampung. Bersambung.
Baduy Momment