Dunia Keris Selamat tiba kerabat perkerisan. Gajah Mada. Siapa yg tak kenal tokoh satu ini. Bahkan bisa dikatakan hampir semua orang mengenal nama tokoh pemersatu nusantara dalam satu panji Majapahit. Benar? Kalau tidak kenal yaa kebangeten tenan.
Sejarah nasional mencatat bagaimana Mahapatih Kerajaan Majapahit yg diperkirakan lahir dalam tahun 1290 (Encarta Encylopedia) itu mempunyai kemampuan seni manajemen di medan perang serta kecerdasan berpikir buat kemaslahatan kehidupan masyarakat yg luas di masanya. Tapi, dimana tempat wafat & makamnya, sampai waktu ini belum terdapat keterangan yg absolut.
Banyak klaim dari beberapa daerah yg menyatakan bahwa Gajah Mada berasal dari daerah tadi. Sebut saja satu di ataranya berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Selengkapnya kisanak bisa baca di Benarkah Gajah Mada Berasal dari Lamongan?
Tak kalah menarik, dari klaim orang Lamongan di atas, ternayata Gajah Mada terdapat klaim juga dari Wakatobi. Klaim ini bukan tanpa alasan, poly peninggalan sejarah yg berkait erat dengan sosok yg namanya kini tak pernah mati menjadi nama jalan protokol di hampir semua kota di Indonesia, kecuali Bandung atau Jawa Barat secara awam. Lho ini fakta. Penasarab penyebabnya, monggo baca di Perang Bubat : Romantisme & Kekuasaan & Dyah Pitaloka : Korban Ambisi Gajah Mada
Sampai mana tadi, Wakatobi ya. Tahu kan Wakatobi itu di mana? Wakatobi itu berada di pulau Buton provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam catatan sejarah, Wakatobi pernah menjadi tempat pilihan konservasi yg safety dari sejumlah bangsawan kerajaan ternama di Nusantara.
Bahkan dalam penelusuran terakhir yg dilakukan pemerintah daerah setempat ditemukan petunjuk dari sejumlah catatan & bukti arkeolog, Pulau Wangiwangi yg dulunya masuk wilayah Buton & kini menjadi Kabupaten Wakatobi justru tempat lahir & moksanya Gajah Mada, Mahapatih Kerjaaan Majapahit. Penasaran, ayo kita menelisiknya.
Dari sejumlah catatan yg telah dihimpun Forkom Kabali, kurang lebih akhir tahun 1236 Masehi sebuah kapal layar Popanguna memakai simbol bendera Buncaha strep-strep warna Kuning Hitam merapat di Kamaru, wilayah pesisir arah utara timur laut Pulau Buton. Kapal tadi memuat bangsawan bernama Simalaui & Sibaana (bersaudara) dikawal seorang sakti mandraguna bernama Sijawangkati bersama puluhan pengawalnya, yg diperkirakan berasal dari Bumbu, negeri melayu Pariaman. Jawangkati seorang muslim yg konon seorang sakti mandraguna, ahli kanuragan & ahli aneka macam ilmu kebathinan.
Kedatangan mereka ke Pulau Buton diperkirakan lantaran terjadi pergolakan yg memaksa buat meninggalkan tempat asalnya. Terbukti, setelah mereka membentuk pemukiman di Kamaru, juga membangun sebuah konservasi yg sampai kini dikenal dengan sebutan Benteng Wonco. Sijawangkati pun kemudian memohon diri buat membentuk pemukiman tersendiri di Wasuembu serta membentuk Benteng Koncu di Wabula. Jarak kurang lebih 48 km arah selatan Kamaru.
Syahdan, beberapa waktu kemudian tiba lagi 2 butir kapal yg diburitannya ditandai dengan kibaran bendera Davialo berwarna Merah Putih di Teluk Kalumpa, tak jauh dari tempat pendaratan Simalaui, Sibaana, & Sijawangkati & rombongannya. Sijawangkati & Sitamanajo menyambut kedatangan mereka. Ternyata, kedua kapal tadi membawa Raden Sibahtera, Raden Jatubun & Lailan Mangrani yg kesemuanya merupakan anak dari raja Majapahit, Raden Wijaya. Setiap kapal memuat kurang lebih 40 orang pengikut.
Singkat cerita, kehadiran para pendatang tadi, selain berupaya menjalin keakraban dengan warga di kurang lebih Pulau Buton, juga di antara pendatang saling menguatkan persahabatan. Raden Sibahtera yg diangkat menjadi Raja Buton mempermaisurikan Wa Kaa Kaa. Sedangkan Sijawangkati menyunting Lailan Mangrani (putri Raden Wijaya). Dari perkawinan Sijawangkati dengan Lailan Mangrani berakibat keturunan 2 anak pria & 1 wanita. Anak tertua lelaki itulah yg kemudian diberi nama Gajah Mada.
Sejak mini Gajah Mada telah membagikan kecerdasan & kesaktian. Ayahnya, Sijawangkati yg diklaim-sebut keturunan wali di negeri Melayu populer mempunyai ilmu-ilmu kesaktian telah berupaya menurunkan ilmunya kepada Gajah Mada sejak berusia 7 tahun. Ketika berumur kurang lebih 15 tahun, Gajah Mada kemudian dibawa oleh ibunya (Lailan Mangrani) menemui kakeknya Raden Wijaya di Pulau Jawa.
Tatkala kerajaan Majapahit dipimpin Jayanegara (1309 – 1328 M) — anak Raden Wijaya dari perkawinan dengan Dara Petak dari Jambi, Sumatera, Gajah Mada pun tampil berperan membantu melawan pemberontakan yg terdapat dari lingkungan kerajaan sendiri. Dia memimpin pasukan Bhayangkara bertugas menjaga keamanan raja & keluarganya.
Dahsyatnya Pemberontakan Kuti (1319 M) yg dipelopori keliru seorang pejabat Kerajaan Majapahit, sampai memaksa Jayanagara, berikut istri Raden Wijaya & putrinya Tribhuwanattunggadewi, Gayatri, Wiyat, & Pradnya Paramita mengungsi ke Bedander. Akan tetapi berkat kecerdikan & kepiawaian Gajah Mada, pemberontakan bisa diredam. Raja & keluarganya pun safety buat kembali bertahta ke istana.
Setelah insiden tadi, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Menteri Wilayah (Patih) Majapahit, membawahi Daha & Jenggala. Kepercayaan kepada Gajah Mada yg diberi gelar Pu Mada diperluas dengan wewenang sampai Jenggala – Kediri yg mencakup Wurawan & Madura. Setelah Mahapatih Majapahit Arya Tadah purna tugas tahun 1329 M, kedudukannya digantikan oleh Gajah Mada.
Dari catatan yg dihimpun Forkom Kabali , terdapat yg menyebut Gajah Mada wafat 1364 hasil penghianatan Hayam Wuruk. Namun data lain yg dihimpun dengan sejumlah fakta pendukung, setelah Gajah Mada membaca gelagat pihak berkuasa di Kerajaan Majapahit tak lagi menyampaikan kepercayaan kepadanya, ia bersama sejumlah pengikut setianya melakukan pelayaran kembali ke tempat kelahirannya di wilayah kepulauan Wangiwangi, Buton.
Perjalanan kembali bersama rombongannya tadi diperkirakan terjadi kurang lebih abad XIV, mendarat kembali di wilayah kepulauan Wangiwangi. Di pesisir pantai antara pelabuhan Sempo Liya & Pulau Simpora masih terdapat Batu Parasasti yg dinamakan Batu Mada. Mahapatih Gajah Mada yg populer menjadi insan mempunyai poly kesaktian tadi kemudian menentukan sebuah goa di wilayah Togo Mo'ori menjadi tempat tapa brata.
Di dalam gowa di daratan Pulau Karang Wangiwangi yg kontiniu ke laut lepas inilah diperkirakan Gajah Mada yg mengenggam cakram senjata andalannya lantas moksa (menghilang) dalam semedi. Sedangkan puluhan pengikutnya menentukan sebuah gua di Batauga, Pulau Buton menjadi tempat semedi. Goa itu sampai sekarang masih dinamai menjadi Goa Mada di Kampung Mada Desa Masiri, Batauga.
Selain ihwal perjalanan hidup Gajah Mada, kini Forkom Kabali yg memokuskan diri di bidang pelestarian nilai-nilai tradisi, sejarah & budaya Keraton Liya di Kabupaten Wakatobi, juga telah menghimpun data bila Mahisa Cempaka (cucu dari pasangan Ken Arok & Ken Dedes) merupakan Raja Liya (1259 – 1260).
Gundukan batu yg ditinggikan (Ditondoi) yg terdapat di depan Masjid 'Al Mubaraq' Keraton Liya artinya makam Mahisa Cempaka yg pernah bersama Rangga Wuni memimipin pemerintahan di Singosari di Pulau Jawa. Di bawah gundukan batu Ditindoi yg di sekelilingnya ditumbuhi poly Pohon Cempaka (Kemboja) yg telah berusia kurang lebih 800 tahun, diperkirakan masih terdapat kurang lebih 5 anggota dinasti Ken Arok, selain Mahisa Cempaka yg dimakamkan disitu.
Model penguburan satu liang terdiri atas beberapa anggota famili, sampai waktu ini masih terus terjadi di wilayah Liya, Wangiwangi. Fakta ini, tentu saja, kebenarannya akan menyampaikan perbedaan makna baru terhadap ilustrasi kontak & dinamika pergerakan masyarakat kerajaan-kerajaan Nusantara di masa kemudian. Batapa masyarakat dari Pulau Jawa sejak masa silam dengan wahana transportasi tradisional telah bisa menjalin kontak dengan warga di Kepulauan Wakatobi yg terhampar di Laut Banda, di arah tenggara Pulau Sulawesi.
Selain itu, sinkron himpunan warta & sejumlah bukti arkeolog, jauh sebelum dibangun Masjid 'Al-Mubaraq' Keraton Liya (1546 M), telah terdapat sebuah masjid di wilayah Liya Togo dikenal dengan nama Masjid Togo Lamantanari. Masjid itu diperkirakan dibangun tahun 1238 M oleh 8 orang Persia dipimpin Haji Muhammad yg terhempas gelombang ke Pulau Wangiwangi setelah kapalnya remuk melabrak karang dalam pelayaran menuju Filipina.
Tentu saja, bila klaim ini betul itu artinya merupakan masjid tertua di Indonesia, telah terdapat sebelum agama Islam masuk ke Aceh dalam abad XIII. Walaupun masjid telah tiada, sampai hari ini, dalam waktu waktu shalat dhuhur & masuk waktu shalat ashar setiap hari masih selalu terdengar bunyi kumandang azan dari kurang lebih lokasi masjid tua ini. Kumandang azan yg sama sampai waktu ini masih selalu terdengar dari kurang lebih makam H.Muhammad yg terletak di kurang lebih permandian Kohondao Liya Togo, Desa Woru, kurang lebih 800-an meter dari lokasi bekas masjid tua Togo Lamantanari.
Ada lima desa yg diklaim dengan istilah 'Liya Besar', yakni Desa Liya Togo, Liya Bahari, Liya Mawi, Woru, & Kapota (Bhs sanskrit, berarti Merpati Setia) di Pulau Wangiwangi yg kini menjadi bagian paling krusial diperjuangkan oleh Lembaga Forkom Kabali buat dijadikan menjadi Kawasan Desa Adat.
Di dalamnya mencakup pelestarian Benteng Liya dengan perkampungan masyarakat adatnya yg mencakup luas sampai 20 km persegi. Terjalinnya kontak antara raja-raja yg terdapat di Pulau Jawa dengan raja-raja khususnya yg terdapat di Liya & sekitarnya dalam masa kemudian, keliru satunya juga bisa dicermati dari sejumlah nama tempat yg poly memakai bahasa sangsekerta. Nuwun.
Dirangkum dari aneka macam sumber