Dunia Keris Benar adanya, kadang dalam obrolan guyon pun menjadi sebuah wangsit. Setidaknya seperti guyonan seorang kolega beberapa waktu yang lalu waktu kami ketemu di sebuah acara, tak jauh dari keraton Yogyo. Pertanyaannya menarik, Misal sampeyan jadi Sultan, istrinya berapa mas?. Seperti yang kita tahu, sultan waktu ini kan istrinya cuma satu, GKR Hemas.
Pertanyaan ini menggelitik saya untuk mencari tahu sampai menjadi materi tulisan ini. Aika kita menilik sejarah tentang bangsawan-bangsawan pada masa dulu selalu diharu-biru oleh jejak gejolak syahwat para raja yang berbuntut sangat panjang melintasi abad. Contoh konkritnya serta jelas terlihat ialah konflik rebutan warisan berupa tahta. Gejolak syahwat para raja itu mewariskan benih konflik bagi anak keturunan yang berpredikat ningrat. Darah biru!
Mengambil contoh sejarah raja-raja Jawa misalnya, mereka lazimnya beristri lebih dari satu. Setiap istri melahirkan keturunan. Konflik rebutan warisan meledak apabila keturunan raja tak bisa berdamai dengan para saudara tiri. Dengan kata lain, banyak keluarga bangsawan Jawa dilanda kemelut soal warisan. Status saudara tiri sering disertai ketidakadilan dalam berbagi warisan. Rembukan macet, lantas segalanya hendak diselesaikan dengan perang di jalur hukum atau perang dalam arti sebenarnya. Siapa kuat dia menang. Karena itu, tak jarang keturunan raja sangat kejam serta tega membunuh saudara.
Kalau kita tarik lebih luas, dalam hal ini konteks global, gejolak syahwat para raja bukan hal aneh di mata masyarakat internasional. Pasalnya, hampir semua raja pada masa lalu di seluruh pelosok dunia memiliki gejolak syahwat sangat kuat sehingga mereka mempraktikkan poligami. Bahkan kaisar serta bangsawan di China abad pertengahan, misalnya, mengoleksi ribuan selir. Ribuan, bukan puluhan. Kebayang gak bagaimana cara berbaginya!
Karenanya, raja serta bangsawan sejak dulu selalu jadi pelopor poligami. Di titik ini, kekuasaan pun identik dengan menguasai perempuan. Makin kuat raja serta bangsawan berkuasa, kian mampu menguasai perempuan. Banyak narasi kelam berlangsung, seperti kisah harem dalam tembok istana.
Yang menarik di sini ialah mitos poligami para raja serta bangsawan untuk memperkuat serta memperluas kekuasaan. Makin banyak selir dari banyak penjuru bisa mencerminkan keluasan kekuasaan. Tak pelak, banyak narasi historis yang menyebutkan raja-raja di banyak sekali penjuru dunia seolah-olah berlomba mencitrakan kekuasaan dengan memperbanyak selir. Caranya, bisa lewat perang menaklukkan kerajaan lain atau mencaplok wilayah lain.
Misalnya, raja bersama kalangan bangsawan segera merampas perempuan di wilayah yang ditaklukkan untuk mereka jadikan selir. Atau, sebaliknya banyak perempuan di wilayah jajahan berlomba-lomba bisa terpilih menjadi selir karena posisi selir identik dengan banyak sekali kenyamanan serta kemewahan.
Lembu Peteng dalam konteks Jawa, narasi sejarah mencatat serta tertuang dalam Babad Tanah Jawa tentang gejolak syahwat para raja Majapahit (Brawijaya) telah memopulerkan istilah Lembu Peteng yang berarti keturunan ilegal sang raja pada masa jaya Kerajaan Majapahit. Narasi tentang Lembu Peteng ternyata banyak versi karena banyak yang mengaku Lembu Peteng di banyak sekali wilayah.
Narasi sejarah gejolak syahwat Brawijaya berkait dengan intrik kekuasaan, selalu beraroma kekerasan terhadap perempuan. Konon, banyak istri serta gadis cantik dipaksa menjadi selir dadakan pada waktu Brawijaya bersama para pengawal berkunjung ke wilayah-wilayah.
Kegemaran berkunjung ke wilayah yang dilakukan Brawijaya bersama para pengawal mungkin mirip fenomena kunjungan kerja ke wilayah yang dilakukan para pejabat pusat selama ini yang identik dengan fasilitas akomodasi penginapan plus. Dan, karena pada masa Brawijaya belum ada obat serta indera kontrasepsi, layanan ranjang short-time para perempuan dalam konteks mendadak jadi selir menghasilkan banyak anak berstatus atau berpredikat Lembu Peteng.
Selanjutnya, selama berabad-abad sejarah Jawa diwarnai konflik sesama Lembu Peteng dalam konteks kudeta yang identik dengan perebutan harta warisan. Setiap Lembu Peteng merasa berhak mewarisi kekuasaan Brawijaya atau minimal mewarisi wilayah jajahannya.
Konflik sesama Lembu Peteng tidak hanya berlangsung secara transparan berupa perang terbuka, tetapi juga secara laten dalam bentuk sosialisasi trah. Misalnya, di banyak sekali pelosok desa ada keluarga yang mengaku keturunan Lembu Peteng. Pengakuan itu tersemat dalam bentuk gelar kebangsawanan di depan nama mereka.
Nilai moralitas gejolak syahwat para raja serta bangsawan, karena bernuansa poligamis, cenderung dianggap berbeda dari nilai moralitas yang dianut masyarakat umum. Akibatnya, makin banyak warga masyarakat Jawa yang tak respek terhadap kaum bangsawan. Bahkan sementara gadis Jawa yang merasa sudah nyaman dengan kehidupan modern menolak dipersunting lakilaki bangsawan karena tak mau dimadu.
Kalangan orang tua umum memiliki ungkapan populer: Ora usah kedhuwuren panjangka murih ora kuciwa lan nelangsa. Ungkapan itu sering menjadi nasihat bagi anak gadis rakyat umum yang tergila-gila pada putra bangsawan. Maksud tersembunyi dari ungkapan itu ialah sikap menampik poligami yang kerap dilakukan kalangan bangsawan.
Di sisi lain, kalangan bangsawan Jawa selalu berusaha mempertahankan nilai moralitas yang dianggap identik dengan tradisi keraton berkait dengan perkawinan. Misalnya, mereka permanen mementingkan bibit, bebet, bobot dalam mengarah besan serta menantu. Itu mereka lakukan agar trah atau garis keturunan kebangsawanan tidak meluntur.
Namun sejak dahulu kala ada kesan ironis berkait upaya mempertahankan trah di kalangan bangsawan. Sebab, mereka mewarisi jejak gejolak syahwat para leluhur yang melunturkan trah kebangsawaan dengan banyak jejak selir atau praktik poligami. Maka harus diakui, para raja Jawa bukan teladan yang baik dalam urusan kesetiaan dalam perkawinan.
Jadi, apabila belakangan ini makin banyak bangsawan menolak poligami, itu bisa disebut sebagai pencerahan atas kekelaman sejarah. Itulah kekelaman sejarah yang sering dirunyamkan oleh kemelut konflik keluarga dalam perebutan warisan sebagai buntut jejak gejolak syahwat para leluhur. Aika sekiranya tulisan ini terlalu tendensius mohon kerabat perkerisan maklumi. Aika menurut panjenengan tulisan ini menginspirasi, saya sebagai penulis sangat berterima kasih apabila di share. Nuwun.